Kajian Atas
Pengembangan Agrobisnis dan Agroindustri Dalam Kerangka Comparative Advantage,
Competitive Advantage, Quality and Quantity Food Security
Oleh
Peribadi
KEPEMIMPINAN:
KUNCI SUKSES GEMILANG
DI RANA KOMPETITIF DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI
PENDAHULUAN
Kebijakan Pembangunan di bidang
pertanian telah sukses gemilang mengubah negara Republik Indonesia dari
pengimpor beras terbesar di dunia pada dekade 1970 menjadi negara yang
berswasembada beras sejak tahun 1984. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan
Kebijakan Pembangunan Nasional sejak tahun 1988, sekonyong-konyong Indonesia
kembali menjadi pengimpor beras sebanyak 5,8 juta ton/tahun. Padahal swasembada
beras telah dapat dipertahankan selama lebih dari sepuluh tahun dan bahkan jumlah
penduduk miskin pun sudah berkurang di pedesaan atau di daerah pertanian. Tak
pelak lagi, ketika krisis ekonomi dan moneter menggelegar pada tahun 1998, pendapatan
perkapita turun lagi menjadi US$ 735. Pada gilirannya, krisis multi dimensional
tersebut, menyebabkan jumlah penduduk miskin yang sudah berkurang dari 70 juta
orang (60% dari penduduk Indonesia) pada tahun 1970 menjadi 25 juta orang (14%
dari penduduk Indonesia) pada 1997, kembali meningkat melebihi angka 60 juta
orang (29 % dari penduduk Indonesia) pada
tahun 1999.
Hal ini terjadi, karena faktor produktivitas
yang rendah, lahan pertanian yang sempit, harga hasil pertanian yang fluktuatif
serta kesempatan kerja dan pendapatan di luar dari usaha tani tampak sangat
terbatas. Sementara petani miskin di lahan yang sempit tampak terus saling
memiskinkan, gerah, tidak teratur, dan tidak produktif akibat dari pembiaran
atas segala unsur pemicunya. Keadaan ini dapat dijumpai hampir di seluruh
Indonesia terutama di areal pertanian lahan kering, karena proses pengelolaan lahan
kering yang kurang sesuai, sehingga tidak hanya tingkat produktivitas petani
menurun. Akan tetapi juga membuahkan erosi yang pada gilirannya mengakibatkan
lahan menjadi tidak produktif dan cenderung kritis.
Betapa mencengangkan, karena luas
lahan kritis saat ini saja diperkirakan sudah mencapai lebih dari 60 juta ha
atau lebih dari 30% luas daratan Indonesia (Darori 2006). Tampaknya, erosi
tersebut tidak hanya mengakibatkan berkurangnya lahan produktif. Akan tetapi
juga dapat merusak fungsi hodrologis di bagian hulu hingga menyebabkan banjir ketika
musim hujan serta terjadi kekeringan ketika musim kemarau tiba. Kondisi
obyektif tersebut, tentu saja memaksa para ilmuwan dan pakar pertanian dari
berbagai bidang kajian secara integral untuk merekonstruksi, mereformasi dan
meredefinisi serta merevitalisasi beberapa faktor yang urgen dalam rangka
menggapai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di bidang pembangunan
pertanian.
A. PARADIGMA
BARU PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA
Pendekatan
baru ini membangun pertanian menjadi industri yang lestari sudah dianut oleh
berbagai negara, meskipun di Indonesia penerapan tampak masih sangat terbatas. Maka
yang menjadi fokus dalam pendekatan baru ini adalah petani, daerah pedesaan,
dan kelestarian sumber daya alam. Oleh sebab itu, pendekatan baru ini
didasarkan pada pengembangan sistem pengelolaan lahan dan tanaman yang ekonomis
dalam jangka pendek dan dapat mempertahankan produktivitas lahan yang cukup
tinggi dalam jangka panjag (sustainable, lestari)
serta dapat diterima dan dilaksanakan oleh petani tanpa bantuan dari luar.
Dengan demikian, berarti teknologi yang diterapkan dalam pembangunan pertanian
tersebut harus dapat memberikan hasil yang cukup tinggi bagi petani dalam
jangka pendek tanpa merusak sumber daya alam dalam jangka panjang (lestari).
Secara operasional hal ini dapat diwujudkan dengan bentuk penerapan sistem
pembagunan pertanian berkelanjutan (Sustainable
Agriculture Development).
Sistem Pertanian Berkelanjutan
adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan agroteknologi baru ke dalam
sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan
petani, meningkatkan kesejahteraan petani, meningkatkan lapangan kerja di
daerah pertanian/pedesaan dan sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian
tersebut dapat berlanjut terus menerus tanpa batas waktu (sustainable). Jadi tujuan utama pertanian berkelanjutan bukan hanya
semata menerapkan agroteknologi baru saja, tetapi juga untuk meningkatkan
kesejahteraan petani serta mempertahankan pertanian yang lestari.
Oleh
sebab itu, dalam sistem pertanian berkelanjutan akan diwujudkan beberapa ciri
khas. Pertama, produksi pertanian
yang cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya. Kedua, pendapatan petani yang cukup
tinggi, sehingga petani dapat mendesain masa depan keluarganya dari pendapatan
usaha taninya. Ketiga, teknologi
yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi merupakan teknologi
yang dapat diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan diterima oleh petani
dengan senang hati, sehingga sistem pertanian tersebut dapat dan akan
diteruskan oleh petani dengan kemampuannya secara terus menerus tanpa bantuan
dari luar. Keempat, komoditas
pertanian yang diusahakan sangat beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik
daerah (site specific), dapat
diterima oleh petani dan laris di pasar. Kelima,
laju erosi kecil (minimalis), lebih
kecil dari erosi yang dapat ditoleransi (etol).
Akibatnya, produktivitas yang cukup tinggi tetap dapat dipertahankan/ditingkatkan
secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik, sehingga
tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Keenam, sistem penguasaan/pemilikan
lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk terus
berusaha sebagai petani. Ketujuah, meningktakan
lapangan pekerjaan di daerah pedesaan.
Agar ciri tersebut di atas terwujud
maka dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) itu harus diterapkan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yang menempatkan setiap bidang tanah
dalam penggunaan yang sesuai syarat-syarat yang diperlukan. Oleh karena itu,
SPB akan diintegrasikan dengan tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai
dan memadai ke dalam sistem pertanian yang cocok untuk setiap daerah serta
dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Komoditas pertanian
yang dikembangkan akan sangat bervariasi, dapat terdiri atas tanah pangan,
palawija, sayuran, buah-buahan, kayu-kayuan, termasuk ternak dan ikan yang
sesuai dengan tanah dan iklim setempat (site
specific), diterima oleh masyarakat dan laris di pasar. Dengan demikian,
pemilihan tindakan konservasi tanah, sistem pertanian dan pengelolaannya serta
agroteknologi yang akan diterapkan selalu disesuaikan dengan keadaan setempat sehingga
SPB tersebut dapat dikembangkan secara lestari. Teknik pemilihan tanaman dan
teknologi tersebut didasarkan pada prosedur yang telah sering dilaksanakan
(Sinukaban 1986; Sinukaban 1989).
Ketika
Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) dan Sistem Pertanian Terpadu (SPT) terwujud
sesuai dengan ciri dimaksud, maka keseluruhan daerah pertanian itu akan menghasilkan
bahan baku bagi industri lain dalam jumlah yang banyak dengan spektrum yang
luas secara terus menerus, sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang banyak serta dapat menyerap hasil
industri lain dalam jumlah yang banyak pula secara lestari. Keseluruhan keadaan
inilah yang sesuangguhnya menjadikan SPB dan SPT sebagai kunci untuk membangun
pertanian menjadi industri yang lestari.
Ciri
di atas menunjukkan bahwa SPB merupakan sistem pertanian yang khas kondisional
setempat (site specific). Pasalnya, SPB
yang cocok di satu tempat adalah belum tentu cocok di tempat yang lain. Dalam
artian, SPB yang dapat berkelanjutan di suatu tempat tidak dapat dipaksakan untuk
diberlakukan di tempat lain kalau memang tidak sesuai. Oleh sebab itu, untuk
membangun suatu SPB atau menyempurnakan sistem pertanian yang sedang berjalan
menjadi SPB, maka ada beberapa hal yang diperlukan: (1) data biofisik daerah, seperti tanah (sifat fisik dan kimia), drainase
penggunaan lahan, topografi, iklim, dan degradasi lahan. Data ini diperlukan
untuk menentukan kelas kemampuan/kesesuaian lahan untuk tanaman kerusakan tanah
yang sudah terjadi; (2) data keadaan sosial ekonomi petani, seperti besarnya
keluarga, pendidikan, keadaan ekonomi, tujuan keluarga, pemilikan lahan,
pengetahuan tentang teknologi pertanian, persepsi tentang erosi, dan
sebagainya; (3) data keadaan eksternal seperti pasar/pemasaran hasil, harga
hasil pertanian serta keadaan/jarak ke tempat pemasaran, perangkat
penyuluhan/lahan, koperasi, organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan
petani, dan sebagainya.
Semua
data tersebut diperlukan untuk merumuskan dan merancang SPB yang sesuai di
daerah setempat. Berdasarkan variasi data yang diperlukan di atas dan ciri
pertanian berkelanjutan terlihat bahwa merencanakan SPB, kemampuan, dan
pendapatan petani sangat menentukan. Di samping itu, kemampuan perencana yang
bersifat komprehensif pun sangat diperlukan. Oleh sebab itu,
hidrologi/meteorologi, sosiologi, ekonomi, antropologi, dan lain-lain dengan
sistem perencanaan terhadap sistem pertanian berkelanjutan (SPB) harus dimulai
dari petani itu sendiri atau masyarakat petani dengan sistem perencanaan yang
bersifat interdisipliner. Pendekatan seperti itu dikenal dengan pendekatan dari
bawah (bottom up approach) dengan
sistem perencanaan interdisiplin (interdiciplinary
planning).
Perwujudan SPB untuk membangun
pertanian menjadi industri yang lestari dengan cara pandang yang baru tersebut
memang tidaklah mudah karena ciri petani dan pertanian di daerah miskin
tersebut kurang kondusif bagi perwujudan SPB. Akan tetapi, pada kondisi seperti
itulah sesungguhnya SPB harus diwujudkan dan ini sekaligus menjadi tantangan
untuk mewujudkannya. Tentu saja demikian, karena secara umum kita diperhadapkan
dengan beberapa tantangan, antara lain: (1) petani pada umumnya miskin dan
kurang memiliki modal untuk melaksanakan SPB; (2) petani berlahan sempit,
petani tanpa lahan atau petani penyewa sehingga ia tidak bergairah untuk melaksanakan
SPB; (3) petani menganggap bahwa erosi/kerusakan lingkungan di daerah pertanian
bukanlah masalah pengelolaan pertanian atau masalah petani walaupun mereka
sadar bahwa erosi/kerusakan lingkungan dapat membahayakan kehidupannya; (4)
pengetahuan petani tentang agroteknologi yang dapat meningkatkan produksi
pertanian masih rendah; (5) lahan pertanian umumnya miskin (tidak subur), lahan
marjinal, kurang air (tanpa irigasi), erosi/kerusakan lingkungan yang terjadi
sudah berlanjut sehingga produktivitas lahan rendah; (6) harga hasil pertanian
sangat rendah; dan (7) kesempatan kerja di luar usaha tani sangat terbatas.
Namun demikian, tantangan dan
kendala apa pun jenisnya, adalah tidak berarti ikhwal tersebut merupakan
halangan untuk mengembangkan SPB di daerah miskin. Kata kuncinya ada pada
tingkat keinginan politik (political will),
komitmen politik (political commitment),
dan kebijakan politik (political action)
dari pihak penyelenggara pemerintahan yang telah diberi amanah untuk
menggunakan uang rakyat dengan penuh rasa tanggung jawab serta tindakan
tanggung jawab dengan melakukan beberapa langkah serius.
Pertama,
menyelenggarakan penyuluhan dan pelatihan yang efektif dan memadai untuk petani
di daerah miskin sudah sangat perlu ditingkatkan. Banyak hasil penelitian
lembaga-lembaga penelitian, LIPI, BPPT, dan universitas yang sesungguhnya sudah
dapat mendukung terciptanya SPB di daerah miskin. Akan tetapi, jumlah dan
kemampuan tenaga penyuluhan masih sangat kurang sehingga informasi tersebut
tidak sampai ke petani. Untuk itu diperlukan juga peningkatan jumlah dan
pengetahuan tenaga penyuluh melalui pelatihan agar mereka dapat melakukan
penyuluhan dan pelatihan tentang penerapan teknologi yang memadai untuk
mewujudkan SPB.
Kedua,
pengadaan lembaga keuangan atau perkreditan di desa serta pengadaan dan
penggunaan pupuk (buatan dan organik) dan bibit/benih tanaman yang bermutu
tinggi. Demikian pula bantuan alat-alat pertanian yang membutuhkan dana justru
tidak dimiliki oleh petani, sehingga sangat diperlukan lembaga keuangan di desa
yang dapat mempermudah dan menguntungkan petani dalam melaksanakan kegiatan
usaha taninya.
Ketiga,
perlunya penguasaan dan pemilikan lahan atas keberadaan petani miskin yang berlahan
sempit, petani penyewa, dan petani penggarap. Atas dukungan peraturan
penguasaan atau pemilikan lahan yang menguntungkan dan menggairahkan petani untuk
meneruskan usahanya adalah sangat mutlak diperlukan. Tampaknya, pengusaha lahan
untuk pertanian harus disediakan paling sedikit 1 sampai 2 hektar per petani.
Keempat,
dukungan atas sistem pemasaran hasil yang pada umumnya sangat rendah, sehingga sistem
pemasaran dan kebijakan penentuan harga hasil petani yang menguntungkan petani
perlu ditingkatkan. Kelima, pengembangan
industri rumah tangga dan industri pedesaan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan
pendapatan keluarga yang demikian sangat strategis di daerah miskin. Dan
akhirnya langkah yang takkalah pentingnya adalah Penelitian dan Pengembangan
tentang Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) yang cocok untuk berbagai daerah
perlu terus dikembangkan dengan dukungan penuh agar pewujudan SPB di seluruh
Indonesia dapat lebih cepat terlaksana.
B.
UPAYA PENGUNGGULAN KOMPETITIF PERTANIAN INDONESIA
Pertumbuhan
agribisnis dan agroindustri akhir-akhir ini lebih banyak disebabkan oleh
kondisi eksternal yang memungkinkan sektor tersebut berkembang. Akan tetapi,
apabila sistem agribisnis dan agroindustri tersebut mendapat pesaing yang kuat,
bukan tidak mungkin sektor ini akan mengalami kemunduran. Kondisi ini akan
terjadi dan sebagai salah satu contoh, yakni pada akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an, ketika produk buah
dan sayuran domestik tidak mampu
bersaing dengan buah dan sayuran impor.
Maka berarti, keadaan
ini menunjukkan bahwa sistem agribisnis dan agroindustri nasional belum
menunjukkan kinerjanya yang optimal dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Pertama, selama ini kita belum mengembangkan sistem agribisnis dan agroindustri
dari dalam. Hal ini sekaligus menandaskan bahwa sistem agribisnis dan
agroindustri kita belum dikembangkan secara integral dan intedependen. Kedua, proses pertumbuhan dan perubahan pada sistem agribisnis dan
agroindustri nasional tidak dikelola secara baik. Kedua hal inilah yang
sesungguhnya merupakan penyebab utama keterlambatan pengembangan sistem
agribisnis dan agroindustri nasional.
Karena itu, dalam rangka upaya menghindari
terjadinya keterlambatan tersebut, maka sangat perlu diterapkan manajemen
perubahan yang efektif dalam mengelola sistem agribisnis dan agroindustri
nasional kita. Hal ini mendesak untuk segera diwujudkan, karena sistem
agribisnis dan agroindustri kita saat ini, sudah harus mampu menghasilkan
barang dan jasa yang beriorentasi pada kebutuhan konsumen dalam bentuk barang
dan jasa yang inovatif. Dan dalam upaya mengembangkan agribisnis dan
agroindustri yang beriorentasi pada kebutuhan konsumen seperti itu, maka sangat
diperlukan potret kepemimpinan yang mampu menggerakkan seluruh elemen dan komponen
bangsa yang telibat dan concern
dengan pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri.
Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa
dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan yang sangat dinamis, maka setiap
organisasi termasuk sistem agribisnis dan agroindustri dituntut untuk mampu
belajar terhadap perubahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
organisasi yang tidak mau belajar, akan menghadapi banyak kesulitan dalam proses
pengembangannya. Pada sisi lain, betapa banyak pendapat yang menandaskan bahwa
kemajuan suatu organisasi sangat bergantung pada komitmen pimpinannya. Dengan
demikian, berarti peran leader dalam mengembangkan organisasi tersebut
(termasuk sistem agribisnis dan agroindustri) amat sangat menentukan, baik pada
kubu pucuk pimpinan, maupun pada tataran tingkatan operasional menengah ke
bawah.
Adalah sudah menjadi komitmen bangsa
dan negara tercinta ini bahwa visi pertanian Indonesia adalah menjadikan
pertanian kita menjadi tangguh, unggul dan modern dalam kerangka pengelolaan Sumber
Daya Alam dan genetik secara berkelanjutan, sehingga mampu menjamin ketahanan,
keamanan dan mutu pangan, penyediaan bahan baku industri dan kesejahteraan
petani, serta berdaya saing global. Namun dalam upaya mencapai visi tersebut, maka
diperlukan beberapa langkah strategis yang amat penting dikedepankan.
Pertama,
urgensi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan dalam penerapan penggunaan teknologi pertanian. Akan tetapi, juga diharapkan
dapat meningkatkan motivasi dan persepsi tentang pertanian modern dan perbaikan
moral serta transformasi tradisi dan kutural yang mengarah pada pengembangan pertanian
berbudaya industri.
Kedua,
urgensi penyempurnaan Kelembagaan Petani dan Pertanian, mengingat ikhwal ini
merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing pertanian Indonesia sebagai
akibat dari sempitnya lahan pertanian yang selama ini dikelola petani. Akibatnya,
petani pada umumnya mengelola lahan yang sempit secara sendiri-sendiri, tanpa
proses konsolidasi dalam pengelolaan lahan tersebut. Dalam konteks inilah
pentingnya upaya revitalisasi pengembangan pranata sosial dan kelembagaan ekonomi
sosial pedesaan atau komunitas petani harus mulai digalakkan dan disempurnakan.
Dengan demikian, proses rekayasa sosial, penguatan kelembagaan, dan
pendampingan oleh pakar menjadi kunci penting untuk peningkatan daya saing
produk pertanian Indonesia. Dalam konteks ini, adalah rekayasa sosial seperti
pengembangan Komunitas Estate Padi (KEP) yang sedang dikembangkan oleh Faperta
IPB, program sarjana masuk desa yang dikembangkan LPPM dengan BULOG, dan
aktivitas sejenisnya sebagai upaya pemberdayaan dan peningkatan mutu SDM
pertanian.
Ketiga,
upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi dengan menerapkan teknologi yang
tepat guna. Ikhwal Good Handling Practis dan
Good Manufacturing Practise menjadi
salah satu pilar dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Namun dalam
rangka mendukung hal itu, maka diperlukan sarana dan prasarana dalam bentuk
peta perwilayahan komoditas, sumber air irigasi yang mencukupi, jalan usaha
tani yang mendukung, penyaluran hasil pertanian, perusahaan pembibitan yang
profesional, laboratorium analisis tanah, stasiun meteorologi yang dapat
memberikan informasi cuaca yang dapat diandalkan, klinik tanaman, laboratorium
pengendalian kualitas dan sarana pasca panen, serta gudang yang memadai.
Keempat,
upaya peningkatan nilai tanah produk pertanian sebagai nilai tambah yang diarahkan
pada peningkatan pendapatan masyarakat petani dan pedesaan di luar kegiatan on farm, dan sekaligus mendukung
kebijakan lahan pertanian dengan banyaknya peluang pendapatan dari kegiatan off farm. Tentu saja peningkatan nilai
tambah dapat dicapai melalui pengembangan industri pertanian, pengembangan infrastruktur
pertanian dan pedesaan, penguatan kelembagaan, profesionalisme tenaga kerja,
sistem mutu produk pertanian, dan peningkatan daya saing produk dan pemasaran.
Kelima,
upaya kemandirian pangan yang diarahkan pada pemenuhan pangan nasional secara
mandiri berdasarkan sumber daya alam, kemampuan produksi dan kreativitas
masyarakat. Keanekaragaman pangan baik pada sumber dan bentuk serta cita rasa
hasil olahan dengan basis tepung sebagai produk antar bahan pangan. Adapun kemandirian
pangan diupayakan melalui diversifikasi pangan, pengembangan infrastruktur
pertanian dan pedesaan, serta pengembangan budaya indutri di pedesaan. Dengan
keberhasilan diversifikasi pangan, konsumsi beras diperkirakan akan turun
menjadi 90 kg/kapita/tahun.
Keenam,
upaya pengelolahan lingkungan hidup yang produktif dan lestari yang diarahkan kepada
terpeliharanya daya dukung lingkungan dengan produktivitas yang tinggi secara
berkelanjutan, keanekaragaman hayati, serta keseimbangan interaksi antara semua
unsur dan faktor lingkungan. Pengolahan lingkungan yang produktif dan lestari
dilaksanakan melalui upaya pengembangan sumber daya alam secara lestari,
pemberdayaan masyarakat, reklamasi lahan, perluasan area pertanian, dan
pengadaan lahan pertanian pangan abadi.
Ketujuh,
upaya penyempurnaan lingkungan hidup yang produktif dan lestari melalui pemberdayaan
rantai pasar dengan penerapan Supply-Chain
Management, sehingga tipe dan
karakteristik hubungan bisnis berubah dari tipe transaksional menjadi tipe partnership menuju pada upaya pencapaian rantai
pasokan yang ideal.
Kedelapan,
dalam rangka mendukung semua unsur penyelengaraan pertanian, maka diperlukan
kebijakan makro untuk menjadikan pertanian kita sebagai platform pembangunan nasional, memudahkan akses pertanian terhadap
lahan, modal, teknologi dan informasi memadai, membangun infrastruktur
pertanian dan pendukung pertanian, mengembangkan sektor industri dan jasa
dengan pesat sehingga mampu menyerap tenaga kerja dari pedesaan dan sektor
pertanian, dan melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan.
Pada gilirannya, disinyalir juga
bahwa terjadinya keterlambatan dalam pengembangan sistem agribinis dan
agroindustri seringkali disebabkan oleh kekurang mampuan pimpinan dalam
menjalankan sebuah organisasi. Oleh karena itu, kepemimpinan sistem agribisnis
dan agroindustri di berabagai tingkatan dituntut keandalanannya agar
saran-saran pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri yang telah
ditetapkan mampu dicapai secara tepat dan akurat. Sehingga, kepemimpinan dalam
menunjang pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri sangat dibutuhkan.
C. KEPEMIMPINAN: KUNCI GEMILANG DI ERA KOMPETITIF
Untuk lebih memberikan gambaran
tentang konsep dasar kepemimpinan, pada bagian ini akan dikemukakan konsep
kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Menurut Burns
(1978), kepamimpinan transformasional adalah
proses dimana pemimpin atau atasan dan bawahan saling mendorong satu dengan
lainnya ke arah moral dan motivasi yang lebih tinggi. Dengan demikian, kepemimpinan
transformasional dapat meningkatkan kesadaran bawahan dengan memberikan
dorongan cita-cita dan nilai moral yang lebih tinggi, seperti keadilan,
kesamaan, kedamaian dan rasa kemanusiaan. Jika dihubungkan dengan teori
hierarki kebutuhan Maslow, maka kepemimpinan transformasional dimaksudkan untuk
mendorong tingkatan kebutuhan bawahan ke arah hierarki yang lebih tinggi.
Burns memandang kepemimpinan
transformasional sebagai proses pengaruh di antara individu pada tingkat mikro,
dan pada tingkat makro yang berkaitan dengan pembentukan, pengungkapan,
penegasan dan penengahan atau pendamaian di antara kelompok yang bertikai dalam
rangka peningkatan motovasi individu. Pertentangan di antara kelompok pada
hakikatnya dapat menyulitkan para pemimpin. Akan tetapi di lain pihak, situasi seperti
itu dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi dan mengarahkan para pemimpin kepada
situasi dialogis sehingga tujuan kelompok dapat dicapai.
Burns membedakan secara jelas antara
kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan
transaksional menurutnya merupakan upaya untuk memotivasi bawahan dengan
membangkitkan kepentingan bawahan itu sendiri. Para pemimpin misalnya, berupaya
menaikkan upah atau status dengan harapan agar dapat meningkatkan daya kerja
bawahan. seperti kepemimpinan transformasional. Selain itu, kepemimpinan
transaksional juga menyangkut nilai-nilai tetapi penekanannya lebih pada proses
pertukaran atau keuntungan timbal balik.
Namun
bagi Barns bahwa kepemimpinan transformasional tidak hanya mengakui kebutuhan bawahan,
tetapi juga mencoba berusaha meningkatkan kebutuhan tersebut dari tingkatan
yang rendah ke tingkatan yang lebih tinggi sampai kepada tingkatan yang lebih mapan.
Dengan demikian, proses kepemimpinan transformasional dapat menghasilkan
kemampuan bawahan untuk memimpin diri mereka sendiri, mengambil tanggung jawab
bagi tindakannya sendiri, dan memperoleh imbalan melalui kemandiriannya yang
kuat.
Kepemimpinan
transformasional pada prinsipnya, memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik
dari apa yang dapat dilakukan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan atau
keyakinan diri bawahannya. Pemimpin dalam hal ini memusatkan perhatian pada
usaha untuk mengembangkan potensi bawahan secara penuh, melalui pencapaian
tingkat performansi kerja tertentu sebagaimana ditargetkan. Sudah menjadi
kenyatan bahwa setiap gerak-langkah suatu organisasi sangat ditentukan oleh
komiteman pemimpinnya. Betapa tidak, pemimpin yang memiliki komitmen tinggi
tarhadap pengembangan organisasi, akan selalu berupaya dan mencari masukan untuk
melakukan berbagai inovasi organisasinya.
Sehubungan
dengan pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri, maka peran pemimpin di berbagai
tingkatan juga memiliki peran yang sangat besar dan penting bagi pengembangan
sistem agribisnis dan agroindustri nasional. Dalam konteks ini, maka yang
menjadi tugas utama dan khusus bagi pemimpin di bidang agaribisnis dan
agroindustri. Pertama, adalah bagaimana
seorang pemimpin mengelolah sistem agribisnis dan agroindustri, sehingga
menjadikan sistem agribisnis dan agroindustri tersebut paling berhasil saat
ini. Kedua, adalah bagaimana
merancang bangun ulang sistem agribisnis dan agroindustri agar berhasil di masa
yang akan datang.
Kepemimpinan
dalam pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri harus mampu membangun
sistem agribisnis dan agroindustri yang memiliki nilai (values), arah yang jelas, struktur yang mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan dan
memiliki daya saing yang tinggi. Dengan demikian, sistem agribisnis dan
agroindustri nasional diharapkan memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk
mengantisipasi dan menjawab kebutuhan konsumen di masa akan datang serta mampu
memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi. Maka sebagai konsekuensinya,
sistem, agribisnis dan agroindustri nasional akan lebih mampu beradaptasi dengan
lingkungannya, lebih terintegrasi, lebih terampil dan lebih memuaskan seluruh
pelakunya.
Harus
diakui bahwa pelaksanaan sistem agribisnis dan agroindustri nasional dewasa ini,
tampak belum merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi secara menyeluruh. Hal
ini dapat dilihat dari ketidakseimbangan perkembangan subsistem-subsistem yang
ada di dalamnya. Misalnya, subsistem produksi (on-farm) masih jauh ketinggalan perkembangannya dari berbagai aspek
dibandingkan dengan subsistem pemasaran dan distribusi. Dalam konteks inilah,
maka tuntutan atas peran kepemimpinan yang lebih besar untuk menyeimbangkan dan
menyelaraskan perkembangan berbagai subsistem agribisnis dan agroindustri
nasional tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Apabila
kita ingin mengembangkan sistem agribisnis dan agroindustri, maka faktor kepemimpinan
harus mampu menciptakan keseimbangan tersebut. Jika tidak, sebagaimana yang
menjadi kenyataan pedis saat ini bahwa kepemimpinan yang ada belum mampu
menggerakkan sistem agribisnis dan agroindustri sebagai aktivitas ekonomi yang
mampu menggerakkan perekonomian nasional, sehingga tidak mustahil jika sistem
agribisnis dan agroindustri nasional kita akan ketinggalan jauh dari negara
yang justru basisnya bukan pertanian.
Di
samping itu, untuk lebih menyeimbangkan dan menyelaraskan pertumbuhan sistem
agribisnis dan agroindustri secara total, maka kepmimpinan tersebut perlu
memahami berbagai aspek yang terkait dengan semua subsistem dari sistem
agribisnis dan agroindustri itu sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa kepemimpinan
di berbagai tingkatan harus memiliki sense sebagai pelaku di berbagai subsistem dari sistem agribisnis dan agroindustri
tersebut. Dengan demikian, berbagai kebijakan dan strategi yang ditetapkan dan
dilaksanakan harus sejalan dengan harapan dan tuntutan seluruh pelaku sistem
agribisnis dan agroindustri.
Ketika
kita menyoal tugas pemimpin yang demikian sangat berat itu, maka sesungguhnya
sangat diperlukan pemahaman yang mendalam tentang peran sistem agribisnis dan
agroindustri nasional dalam pengembangan perekonomian nasional bagi semua unsur
kepemimpinan nasional. Atas dasar pemahaman yang mendalam tersebut, maka
diharapkan bangkitnya kemampuan untuk mneyeimbangkan serta menyelaraskan
pertumbuhan sistem agribisnis dan agroindustri nasional sebagai bagian integral
dari pembangunan nasional.
Kemudin
upaya tersebut harus ditindaklanjuti melalui berbagai kebijakan yang
memungkinkan sistem agribisnis dan agroindustri berkembang pesat ke depan. Di
samping itu, strategi-strategi yang relevan harus dielaborasi untuk memudahkan
pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Namun proses operasionalisasinya
memerlukan proses yang hati-hati agar
tidak keluar dari arah pembangunan sistem agribisnis dan agroindustri yang
dicita-citakan, yakni terjadinya keseimbangan pertumbuhan dari
subsistem-subsistem yang terkait dalam sistem agribisnis dan agroindustri
tersebut. Maka dalam konteks inilah, konsep kepemimpinan transformasional harus
ditetapkan dalam sistem agribisnis dan agroindustri untuk mengakselerasi
pertumbuhan, sehingga perkembangan sumber daya manusia dan aspek lainnya dalam
sistem agribisnis dan agroindustri di berbagai tingkatan terpacu menuju kondisi
yang lebih ideal.
PENUTUP
Pada
saat ini, laju pembangunan sektor pertanian semakin tertinggal dibandingkan
sektor-sektor lainnya. Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional
diprediksi memang akan terus menurun. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu
visi yang tepat untuk menempatkan sektor pertanian dalam perekonomian nasional.
Pertanian tanaman pangan seharusnya menjadi pertanian yang tangguh dan modern
berbasis pengelolaan sumber daya alam dan genetik secara berkelanjutan yang
menjamin ketahanan, keamanan dan mutu pangan, penyediaan bahan baku industri, kesejahteraan
petani, serta berdaya saing global.
Lemahnya
sumber daya manusia dalam bidang pertanian, kelembagaan petani, dan kelembagaan
penyuluhan. Kini, kelembagaan penyuluh yang pernah sukses menghantar Indonesia
mencapai swasembada beras pada tahun 1984 lalu, tampak sudah melemah dan kurang
berdaya. Akibatnya, semua pendapatan rata-rata petani lebih rendah dibandingkan
dengan masyarakat perkotaan. Tak pelak lagi, Sistem Agribisnis yang belum
berfungsi dengan baik karena tidak terintegrasinya sistem agribisnis
hulu-hilir, rantai tataniaga yang panjang, sistem pemasaran yang belum adil,
dan keterbatasan akses terhadap layanan usaha, terutama permodalan. Sementara
itu, kebijakan makro seperti halnya fiskal, peratutran ekspor dan impor,
perpajakan, kebijakan industri dan perdagangan, sering kali kurang memihak
sektor pertanian. Demikian pula, komsumsi beras per kapita tinggi (139
kg/kapita/tahun) dan usaha diversifikasi beras masih belum berhasil (Prabowo
2007).
Secara fenomenal, perubahan gaya
hidup dan cara pandang terhadap pangan masyarakat Indonesia pada masa mendatang
tampak akan berubah. Kecenderungan karakter konsumen yang terjadi pada masa
depan dan kini mulai dirasakan ketika tuntutan konsumen terhadap keamanan,
nilai gizi, cita rasa, dan ketersediaan pangan akan meningkat pesat. Pada masa
depan akan semakin banyak orang yang makan luar rumah, dan semakin banyak
makanan instan di rumah.
Kini,
pasar modern (hypermarket, supermarket,
minimarket) akan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi walaupun
jumlah supermarket chain berkurang.
Yang bertahan akan makin besar sehingga keseimbangan kekuatan akan bergeser
dari produsen/petani ke perusahaan multinasional. Kondisi ini akan menyebabkan
adanya kompetisi antara produk pangan domestik dan produk impor (yang
seringkali lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah).
Karena itu, ketika kita menyimak
kondisi empiris atas realitas kehidupan sosial petani di republik tercinta ini,
maka dalam upaya mengembangkan sistem agribisnis dan agroindustri diperlukan
kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan
dan menyelaraskan pertumbuhan subsistem-subsistem
dari sistem agribisnis dan agroindustri serta mengintegrasikannya sebagai suatu
kasatuan yang menyeluruh, sehingga mampu menghadapi dan mengantisipasi dinamika
perubahan lingkungannya.
Kita
harus haqqul yaqin bahwa sebesar apapun tantangan yang diperhadapkan kepada
kita semua, jika elite-elite sosial yang telah diamanahi tugas dan tanggung
jawab masa depan sungguh-sungguh memiliki keinginan dan komitmen politik untuk
mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negaranya. Maka pasti bisa berhasil,
karena pertanian tanaman pangan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan. Betapa tidak, Departeman Pertanian (2005) mencatat adanya lahan
yang potensial untuk pertanian sebesar 30,67 juta hektar. Tentu saja sebesar
8,28 juta hektar seperti itu adalah sangat berpotensi untuk sawah dan 7.08 juta
hektar untuk lahan kering. Selain daya dukung lahan yang demikian potensial
tersebut, juga kita memiliki kearifan dan teknologi lokal yang sudah
dikembangkan selama ini.
No comments:
Post a Comment