Jan 4, 2014

TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN AGRIBISNIS MULTINASIONAL


Kajian Atas Pengembangan Agrobisnis dan Agroindustri Dalam Kerangka Comparative Advantage, Competitive Advantage, Quality and Quantity Food Security


Oleh


Peribadi

KEPEMIMPINAN:
KUNCI SUKSES GEMILANG DI RANA KOMPETITIF DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS  DAN AGROINDUSTRI

PENDAHULUAN
            Kebijakan Pembangunan di bidang pertanian telah sukses gemilang mengubah negara Republik Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia pada dekade 1970 menjadi negara yang berswasembada beras sejak tahun 1984. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan Kebijakan Pembangunan Nasional sejak tahun 1988, sekonyong-konyong Indonesia kembali menjadi pengimpor beras sebanyak 5,8 juta ton/tahun. Padahal swasembada beras telah dapat dipertahankan selama lebih dari sepuluh tahun dan bahkan jumlah penduduk miskin pun sudah berkurang di pedesaan atau di daerah pertanian. Tak pelak lagi, ketika krisis ekonomi dan moneter menggelegar pada tahun 1998, pendapatan perkapita turun lagi menjadi US$ 735. Pada gilirannya, krisis multi dimensional tersebut, menyebabkan jumlah penduduk miskin yang sudah berkurang dari 70 juta orang (60% dari penduduk Indonesia) pada tahun 1970 menjadi 25 juta orang (14% dari penduduk Indonesia) pada 1997, kembali meningkat melebihi angka 60 juta orang  (29 % dari penduduk Indonesia) pada tahun 1999.
            Hal ini terjadi, karena faktor produktivitas yang rendah, lahan pertanian yang sempit, harga hasil pertanian yang fluktuatif serta kesempatan kerja dan pendapatan di luar dari usaha tani tampak sangat terbatas. Sementara petani miskin di lahan yang sempit tampak terus saling memiskinkan, gerah, tidak teratur, dan tidak produktif akibat dari pembiaran atas segala unsur pemicunya. Keadaan ini dapat dijumpai hampir di seluruh Indonesia terutama di areal pertanian lahan kering, karena proses pengelolaan lahan kering yang kurang sesuai, sehingga tidak hanya tingkat produktivitas petani menurun. Akan tetapi juga membuahkan erosi yang pada gilirannya mengakibatkan lahan menjadi tidak produktif dan cenderung kritis.
            Betapa mencengangkan, karena luas lahan kritis saat ini saja diperkirakan sudah mencapai lebih dari 60 juta ha atau lebih dari 30% luas daratan Indonesia (Darori 2006). Tampaknya, erosi tersebut tidak hanya mengakibatkan berkurangnya lahan produktif. Akan tetapi juga dapat merusak fungsi hodrologis di bagian hulu hingga menyebabkan banjir ketika musim hujan serta terjadi kekeringan ketika musim kemarau tiba. Kondisi obyektif tersebut, tentu saja memaksa para ilmuwan dan pakar pertanian dari berbagai bidang kajian secara integral untuk merekonstruksi, mereformasi dan meredefinisi serta merevitalisasi beberapa faktor yang urgen dalam rangka menggapai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di bidang pembangunan
pertanian.
A. PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA
            Pendekatan baru ini membangun pertanian menjadi industri yang lestari sudah dianut oleh berbagai negara, meskipun di Indonesia penerapan tampak masih sangat terbatas. Maka yang menjadi fokus dalam pendekatan baru ini adalah petani, daerah pedesaan, dan kelestarian sumber daya alam. Oleh sebab itu, pendekatan baru ini didasarkan pada pengembangan sistem pengelolaan lahan dan tanaman yang ekonomis dalam jangka pendek dan dapat mempertahankan produktivitas lahan yang cukup tinggi dalam jangka panjag (sustainable, lestari) serta dapat diterima dan dilaksanakan oleh petani tanpa bantuan dari luar. Dengan demikian, berarti teknologi yang diterapkan dalam pembangunan pertanian tersebut harus dapat memberikan hasil yang cukup tinggi bagi petani dalam jangka pendek tanpa merusak sumber daya alam dalam jangka panjang (lestari). Secara operasional hal ini dapat diwujudkan dengan bentuk penerapan sistem pembagunan pertanian berkelanjutan (Sustainable Agriculture Development).
            Sistem Pertanian Berkelanjutan adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan agroteknologi baru ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani, meningkatkan lapangan kerja di daerah pertanian/pedesaan dan sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut terus menerus tanpa batas waktu (sustainable). Jadi tujuan utama pertanian berkelanjutan bukan hanya semata menerapkan agroteknologi baru saja, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani serta mempertahankan pertanian yang lestari.
Oleh sebab itu, dalam sistem pertanian berkelanjutan akan diwujudkan beberapa ciri khas. Pertama, produksi pertanian yang cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya. Kedua, pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat mendesain masa depan keluarganya dari pendapatan usaha taninya. Ketiga, teknologi yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi merupakan teknologi yang dapat diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan diterima oleh petani dengan senang hati, sehingga sistem pertanian tersebut dapat dan akan diteruskan oleh petani dengan kemampuannya secara terus menerus tanpa bantuan dari luar. Keempat, komoditas pertanian yang diusahakan sangat beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah (site specific), dapat diterima oleh petani dan laris di pasar. Kelima, laju erosi kecil (minimalis), lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi (etol). Akibatnya, produktivitas yang cukup tinggi tetap dapat dipertahankan/ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik, sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Keenam, sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk terus berusaha sebagai petani. Ketujuah, meningktakan lapangan pekerjaan di daerah pedesaan.
            Agar ciri tersebut di atas terwujud maka dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) itu harus diterapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yang menempatkan setiap bidang tanah dalam penggunaan yang sesuai syarat-syarat yang diperlukan. Oleh karena itu, SPB akan diintegrasikan dengan tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai dan memadai ke dalam sistem pertanian yang cocok untuk setiap daerah serta dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Komoditas pertanian yang dikembangkan akan sangat bervariasi, dapat terdiri atas tanah pangan, palawija, sayuran, buah-buahan, kayu-kayuan, termasuk ternak dan ikan yang sesuai dengan tanah dan iklim setempat (site specific), diterima oleh masyarakat dan laris di pasar. Dengan demikian, pemilihan tindakan konservasi tanah, sistem pertanian dan pengelolaannya serta agroteknologi yang akan diterapkan selalu disesuaikan dengan keadaan setempat sehingga SPB tersebut dapat dikembangkan secara lestari. Teknik pemilihan tanaman dan teknologi tersebut didasarkan pada prosedur yang telah sering dilaksanakan (Sinukaban 1986; Sinukaban 1989).
Ketika Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) dan Sistem Pertanian Terpadu (SPT) terwujud sesuai dengan ciri dimaksud, maka keseluruhan daerah pertanian itu akan menghasilkan bahan baku bagi industri lain dalam jumlah yang banyak dengan spektrum yang luas secara terus menerus, sehingga dapat menyerap tenaga kerja  yang banyak serta dapat menyerap hasil industri lain dalam jumlah yang banyak pula secara lestari. Keseluruhan keadaan inilah yang sesuangguhnya menjadikan SPB dan SPT sebagai kunci untuk membangun pertanian menjadi industri yang lestari.
Ciri di atas menunjukkan bahwa SPB merupakan sistem pertanian yang khas kondisional setempat (site specific). Pasalnya, SPB yang cocok di satu tempat adalah belum tentu cocok di tempat yang lain. Dalam artian, SPB yang dapat berkelanjutan di suatu tempat tidak dapat dipaksakan untuk diberlakukan di tempat lain kalau memang tidak sesuai. Oleh sebab itu, untuk membangun suatu SPB atau menyempurnakan sistem pertanian yang sedang berjalan menjadi SPB, maka ada beberapa hal yang diperlukan: (1) data biofisik daerah, seperti tanah (sifat fisik dan kimia), drainase penggunaan lahan, topografi, iklim, dan degradasi lahan. Data ini diperlukan untuk menentukan kelas kemampuan/kesesuaian lahan untuk tanaman kerusakan tanah yang sudah terjadi; (2) data keadaan sosial ekonomi petani, seperti besarnya keluarga, pendidikan, keadaan ekonomi, tujuan keluarga, pemilikan lahan, pengetahuan tentang teknologi pertanian, persepsi tentang erosi, dan sebagainya; (3) data keadaan eksternal seperti pasar/pemasaran hasil, harga hasil pertanian serta keadaan/jarak ke tempat pemasaran, perangkat penyuluhan/lahan, koperasi, organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan petani, dan sebagainya.
Semua data tersebut diperlukan untuk merumuskan dan merancang SPB yang sesuai di daerah setempat. Berdasarkan variasi data yang diperlukan di atas dan ciri pertanian berkelanjutan terlihat bahwa merencanakan SPB, kemampuan, dan pendapatan petani sangat menentukan. Di samping itu, kemampuan perencana yang bersifat komprehensif pun sangat diperlukan. Oleh sebab itu, hidrologi/meteorologi, sosiologi, ekonomi, antropologi, dan lain-lain dengan sistem perencanaan terhadap sistem pertanian berkelanjutan (SPB) harus dimulai dari petani itu sendiri atau masyarakat petani dengan sistem perencanaan yang bersifat interdisipliner. Pendekatan seperti itu dikenal dengan pendekatan dari bawah (bottom up approach) dengan sistem perencanaan interdisiplin (interdiciplinary planning).
            Perwujudan SPB untuk membangun pertanian menjadi industri yang lestari dengan cara pandang yang baru tersebut memang tidaklah mudah karena ciri petani dan pertanian di daerah miskin tersebut kurang kondusif bagi perwujudan SPB. Akan tetapi, pada kondisi seperti itulah sesungguhnya SPB harus diwujudkan dan ini sekaligus menjadi tantangan untuk mewujudkannya. Tentu saja demikian, karena secara umum kita diperhadapkan dengan beberapa tantangan, antara lain: (1) petani pada umumnya miskin dan kurang memiliki modal untuk melaksanakan SPB; (2) petani berlahan sempit, petani tanpa lahan atau petani penyewa sehingga ia tidak bergairah untuk melaksanakan SPB; (3) petani menganggap bahwa erosi/kerusakan lingkungan di daerah pertanian bukanlah masalah pengelolaan pertanian atau masalah petani walaupun mereka sadar bahwa erosi/kerusakan lingkungan dapat membahayakan kehidupannya; (4) pengetahuan petani tentang agroteknologi yang dapat meningkatkan produksi pertanian masih rendah; (5) lahan pertanian umumnya miskin (tidak subur), lahan marjinal, kurang air (tanpa irigasi), erosi/kerusakan lingkungan yang terjadi sudah berlanjut sehingga produktivitas lahan rendah; (6) harga hasil pertanian sangat rendah; dan (7) kesempatan kerja di luar usaha tani sangat terbatas.
            Namun demikian, tantangan dan kendala apa pun jenisnya, adalah tidak berarti ikhwal tersebut merupakan halangan untuk mengembangkan SPB di daerah miskin. Kata kuncinya ada pada tingkat keinginan politik (political will), komitmen politik (political commitment), dan kebijakan politik (political action) dari pihak penyelenggara pemerintahan yang telah diberi amanah untuk menggunakan uang rakyat dengan penuh rasa tanggung jawab serta tindakan tanggung jawab dengan melakukan beberapa langkah serius.
            Pertama, menyelenggarakan penyuluhan dan pelatihan yang efektif dan memadai untuk petani di daerah miskin sudah sangat perlu ditingkatkan. Banyak hasil penelitian lembaga-lembaga penelitian, LIPI, BPPT, dan universitas yang sesungguhnya sudah dapat mendukung terciptanya SPB di daerah miskin. Akan tetapi, jumlah dan kemampuan tenaga penyuluhan masih sangat kurang sehingga informasi tersebut tidak sampai ke petani. Untuk itu diperlukan juga peningkatan jumlah dan pengetahuan tenaga penyuluh melalui pelatihan agar mereka dapat melakukan penyuluhan dan pelatihan tentang penerapan teknologi yang memadai untuk mewujudkan SPB.
            Kedua, pengadaan lembaga keuangan atau perkreditan di desa serta pengadaan dan penggunaan pupuk (buatan dan organik) dan bibit/benih tanaman yang bermutu tinggi. Demikian pula bantuan alat-alat pertanian yang membutuhkan dana justru tidak dimiliki oleh petani, sehingga sangat diperlukan lembaga keuangan di desa yang dapat mempermudah dan menguntungkan petani dalam melaksanakan kegiatan usaha taninya.
            Ketiga, perlunya penguasaan dan pemilikan lahan atas keberadaan petani miskin yang berlahan sempit, petani penyewa, dan petani penggarap. Atas dukungan peraturan penguasaan atau pemilikan lahan yang menguntungkan dan menggairahkan petani untuk meneruskan usahanya adalah sangat mutlak diperlukan. Tampaknya, pengusaha lahan untuk pertanian harus disediakan paling sedikit 1 sampai 2 hektar per petani.
            Keempat, dukungan atas sistem pemasaran hasil yang pada umumnya sangat rendah, sehingga sistem pemasaran dan kebijakan penentuan harga hasil petani yang menguntungkan petani perlu ditingkatkan. Kelima, pengembangan industri rumah tangga dan industri pedesaan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga yang demikian sangat strategis di daerah miskin. Dan akhirnya langkah yang takkalah pentingnya adalah Penelitian dan Pengembangan tentang Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) yang cocok untuk berbagai daerah perlu terus dikembangkan dengan dukungan penuh agar pewujudan SPB di seluruh Indonesia dapat lebih cepat terlaksana.
B. UPAYA PENGUNGGULAN KOMPETITIF PERTANIAN INDONESIA
Pertumbuhan agribisnis dan agroindustri akhir-akhir ini lebih banyak disebabkan oleh kondisi eksternal yang memungkinkan sektor tersebut berkembang. Akan tetapi, apabila sistem agribisnis dan agroindustri tersebut mendapat pesaing yang kuat, bukan tidak mungkin sektor ini akan mengalami kemunduran. Kondisi ini akan terjadi dan sebagai salah satu contoh, yakni pada akhir tahun 1980-an  hingga awal tahun 1990-an, ketika produk buah dan sayuran  domestik tidak mampu bersaing dengan buah dan sayuran impor.
Maka berarti, keadaan ini menunjukkan bahwa sistem agribisnis dan agroindustri nasional belum menunjukkan kinerjanya yang optimal dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pertama, selama ini kita belum mengembangkan sistem agribisnis dan agroindustri dari dalam. Hal ini sekaligus menandaskan bahwa sistem agribisnis dan agroindustri kita belum dikembangkan secara integral dan intedependen. Kedua, proses pertumbuhan dan perubahan pada sistem agribisnis dan agroindustri nasional tidak dikelola secara baik. Kedua hal inilah yang sesungguhnya merupakan penyebab utama keterlambatan pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri nasional.
            Karena itu, dalam rangka upaya menghindari terjadinya keterlambatan tersebut, maka sangat perlu diterapkan manajemen perubahan yang efektif dalam mengelola sistem agribisnis dan agroindustri nasional kita. Hal ini mendesak untuk segera diwujudkan, karena sistem agribisnis dan agroindustri kita saat ini, sudah harus mampu menghasilkan barang dan jasa yang beriorentasi pada kebutuhan konsumen dalam bentuk barang dan jasa yang inovatif. Dan dalam upaya mengembangkan agribisnis dan agroindustri yang beriorentasi pada kebutuhan konsumen seperti itu, maka sangat diperlukan potret kepemimpinan yang mampu menggerakkan seluruh elemen dan komponen bangsa yang telibat dan concern dengan pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri.
            Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan yang sangat dinamis, maka setiap organisasi termasuk sistem agribisnis dan agroindustri dituntut untuk mampu belajar terhadap perubahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa organisasi yang tidak mau belajar, akan menghadapi banyak kesulitan dalam proses pengembangannya. Pada sisi lain, betapa banyak pendapat yang menandaskan bahwa kemajuan suatu organisasi sangat bergantung pada komitmen pimpinannya. Dengan demikian, berarti peran leader dalam mengembangkan organisasi tersebut (termasuk sistem agribisnis dan agroindustri) amat sangat menentukan, baik pada kubu pucuk pimpinan, maupun pada tataran tingkatan operasional menengah ke bawah.
            Adalah sudah menjadi komitmen bangsa dan negara tercinta ini bahwa visi pertanian Indonesia adalah menjadikan pertanian kita menjadi tangguh, unggul dan modern dalam kerangka pengelolaan Sumber Daya Alam dan genetik secara berkelanjutan, sehingga mampu menjamin ketahanan, keamanan dan mutu pangan, penyediaan bahan baku industri dan kesejahteraan petani, serta berdaya saing global. Namun dalam upaya mencapai visi tersebut, maka diperlukan beberapa langkah strategis yang amat penting dikedepankan.
Pertama, urgensi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang  tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam penerapan penggunaan teknologi pertanian. Akan tetapi, juga diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan persepsi tentang pertanian modern dan perbaikan moral serta transformasi tradisi dan kutural yang mengarah pada pengembangan pertanian berbudaya industri.
Kedua, urgensi penyempurnaan Kelembagaan Petani dan Pertanian, mengingat ikhwal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing pertanian Indonesia sebagai akibat dari sempitnya lahan pertanian yang selama ini dikelola petani. Akibatnya, petani pada umumnya mengelola lahan yang sempit secara sendiri-sendiri, tanpa proses konsolidasi dalam pengelolaan lahan tersebut. Dalam konteks inilah pentingnya upaya revitalisasi pengembangan pranata sosial dan kelembagaan ekonomi sosial pedesaan atau komunitas petani harus mulai digalakkan dan disempurnakan. Dengan demikian, proses rekayasa sosial, penguatan kelembagaan, dan pendampingan oleh pakar menjadi kunci penting untuk peningkatan daya saing produk pertanian Indonesia. Dalam konteks ini, adalah rekayasa sosial seperti pengembangan Komunitas Estate Padi (KEP) yang sedang dikembangkan oleh Faperta IPB, program sarjana masuk desa yang dikembangkan LPPM dengan BULOG, dan aktivitas sejenisnya sebagai upaya pemberdayaan dan peningkatan mutu SDM pertanian.
Ketiga, upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi dengan menerapkan teknologi yang tepat guna. Ikhwal Good Handling Practis dan Good Manufacturing Practise menjadi salah satu pilar dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Namun dalam rangka mendukung hal itu, maka diperlukan sarana dan prasarana dalam bentuk peta perwilayahan komoditas, sumber air irigasi yang mencukupi, jalan usaha tani yang mendukung, penyaluran hasil pertanian, perusahaan pembibitan yang profesional, laboratorium analisis tanah, stasiun meteorologi yang dapat memberikan informasi cuaca yang dapat diandalkan, klinik tanaman, laboratorium pengendalian kualitas dan sarana pasca panen, serta gudang yang memadai.
Keempat, upaya peningkatan nilai tanah produk pertanian sebagai nilai tambah yang diarahkan pada peningkatan pendapatan masyarakat petani dan pedesaan di luar kegiatan on farm, dan sekaligus mendukung kebijakan lahan pertanian dengan banyaknya peluang pendapatan dari kegiatan off farm. Tentu saja peningkatan nilai tambah dapat dicapai melalui pengembangan industri pertanian, pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan, penguatan kelembagaan, profesionalisme tenaga kerja, sistem mutu produk pertanian, dan peningkatan daya saing produk dan pemasaran.
Kelima, upaya kemandirian pangan yang diarahkan pada pemenuhan pangan nasional secara mandiri berdasarkan sumber daya alam, kemampuan produksi dan kreativitas masyarakat. Keanekaragaman pangan baik pada sumber dan bentuk serta cita rasa hasil olahan dengan basis tepung sebagai produk antar bahan pangan. Adapun kemandirian pangan diupayakan melalui diversifikasi pangan, pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan, serta pengembangan budaya indutri di pedesaan. Dengan keberhasilan diversifikasi pangan, konsumsi beras diperkirakan akan turun menjadi 90 kg/kapita/tahun.
Keenam, upaya pengelolahan lingkungan hidup yang produktif dan lestari yang diarahkan kepada terpeliharanya daya dukung lingkungan dengan produktivitas yang tinggi secara berkelanjutan, keanekaragaman hayati, serta keseimbangan interaksi antara semua unsur dan faktor lingkungan. Pengolahan lingkungan yang produktif dan lestari dilaksanakan melalui upaya pengembangan sumber daya alam secara lestari, pemberdayaan masyarakat, reklamasi lahan, perluasan area pertanian, dan pengadaan lahan pertanian pangan abadi.
Ketujuh, upaya penyempurnaan lingkungan hidup yang produktif dan lestari melalui pemberdayaan rantai pasar dengan penerapan Supply-Chain Management,  sehingga tipe dan karakteristik hubungan bisnis berubah dari tipe transaksional menjadi tipe  partnership menuju pada upaya pencapaian rantai pasokan yang ideal.
Kedelapan, dalam rangka mendukung semua unsur penyelengaraan pertanian, maka diperlukan kebijakan makro untuk menjadikan pertanian kita sebagai platform pembangunan nasional, memudahkan akses pertanian terhadap lahan, modal, teknologi dan informasi memadai, membangun infrastruktur pertanian dan pendukung pertanian, mengembangkan sektor industri dan jasa dengan pesat sehingga mampu menyerap tenaga kerja dari pedesaan dan sektor pertanian, dan melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan. 
            Pada gilirannya, disinyalir juga bahwa terjadinya keterlambatan dalam pengembangan sistem agribinis dan agroindustri seringkali disebabkan oleh kekurang mampuan pimpinan dalam menjalankan sebuah organisasi. Oleh karena itu, kepemimpinan sistem agribisnis dan agroindustri di berabagai tingkatan dituntut keandalanannya agar saran-saran pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri yang telah ditetapkan mampu dicapai secara tepat dan akurat. Sehingga, kepemimpinan dalam menunjang pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri sangat dibutuhkan.
C. KEPEMIMPINAN: KUNCI GEMILANG DI ERA KOMPETITIF
            Untuk lebih memberikan gambaran tentang konsep dasar kepemimpinan, pada bagian ini akan dikemukakan konsep kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Menurut Burns (1978), kepamimpinan transformasional adalah proses dimana pemimpin atau atasan dan bawahan saling mendorong satu dengan lainnya ke arah moral dan motivasi yang lebih tinggi. Dengan demikian, kepemimpinan transformasional dapat meningkatkan kesadaran bawahan dengan memberikan dorongan cita-cita dan nilai moral yang lebih tinggi, seperti keadilan, kesamaan, kedamaian dan rasa kemanusiaan. Jika dihubungkan dengan teori hierarki kebutuhan Maslow, maka kepemimpinan transformasional dimaksudkan untuk mendorong tingkatan kebutuhan bawahan ke arah hierarki yang lebih tinggi.
            Burns memandang kepemimpinan transformasional sebagai proses pengaruh di antara individu pada tingkat mikro, dan pada tingkat makro yang berkaitan dengan pembentukan, pengungkapan, penegasan dan penengahan atau pendamaian di antara kelompok yang bertikai dalam rangka peningkatan motovasi individu. Pertentangan di antara kelompok pada hakikatnya dapat menyulitkan para pemimpin. Akan tetapi di lain pihak, situasi seperti itu dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi dan mengarahkan para pemimpin kepada situasi dialogis sehingga tujuan kelompok dapat dicapai.
            Burns membedakan secara jelas antara kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional menurutnya merupakan upaya untuk memotivasi bawahan dengan membangkitkan kepentingan bawahan itu sendiri. Para pemimpin misalnya, berupaya menaikkan upah atau status dengan harapan agar dapat meningkatkan daya kerja bawahan. seperti kepemimpinan transformasional. Selain itu, kepemimpinan transaksional juga menyangkut nilai-nilai tetapi penekanannya lebih pada proses pertukaran atau keuntungan timbal balik.
Namun bagi Barns bahwa kepemimpinan transformasional tidak hanya mengakui kebutuhan bawahan, tetapi juga mencoba berusaha meningkatkan kebutuhan tersebut dari tingkatan yang rendah ke tingkatan yang lebih tinggi sampai kepada tingkatan yang lebih mapan. Dengan demikian, proses kepemimpinan transformasional dapat menghasilkan kemampuan bawahan untuk memimpin diri mereka sendiri, mengambil tanggung jawab bagi tindakannya sendiri, dan memperoleh imbalan melalui kemandiriannya yang kuat.
Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya, memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang dapat dilakukan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahannya. Pemimpin dalam hal ini memusatkan perhatian pada usaha untuk mengembangkan potensi bawahan secara penuh, melalui pencapaian tingkat performansi kerja tertentu sebagaimana ditargetkan. Sudah menjadi kenyatan bahwa setiap gerak-langkah suatu organisasi sangat ditentukan oleh komiteman pemimpinnya. Betapa tidak, pemimpin yang memiliki komitmen tinggi tarhadap pengembangan organisasi, akan selalu berupaya dan mencari masukan untuk melakukan berbagai inovasi organisasinya.
Sehubungan dengan pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri, maka peran pemimpin di berbagai tingkatan juga memiliki peran yang sangat besar dan penting bagi pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri nasional. Dalam konteks ini, maka yang menjadi tugas utama dan khusus bagi pemimpin di bidang agaribisnis dan agroindustri. Pertama, adalah bagaimana seorang pemimpin mengelolah sistem agribisnis dan agroindustri, sehingga menjadikan sistem agribisnis dan agroindustri tersebut paling berhasil saat ini. Kedua, adalah bagaimana merancang bangun ulang sistem agribisnis dan agroindustri agar berhasil di masa yang akan datang.
Kepemimpinan dalam pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri harus mampu membangun sistem agribisnis dan agroindustri yang memiliki nilai (values), arah yang jelas, struktur yang mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan dan memiliki daya saing yang tinggi. Dengan demikian, sistem agribisnis dan agroindustri nasional diharapkan memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk mengantisipasi dan menjawab kebutuhan konsumen di masa akan datang serta mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi. Maka sebagai konsekuensinya, sistem, agribisnis dan agroindustri nasional akan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungannya, lebih terintegrasi, lebih terampil dan lebih memuaskan seluruh pelakunya.
Harus diakui bahwa pelaksanaan sistem agribisnis dan agroindustri nasional dewasa ini, tampak belum merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi secara menyeluruh. Hal ini dapat dilihat dari ketidakseimbangan perkembangan subsistem-subsistem yang ada di dalamnya. Misalnya, subsistem produksi (on-farm) masih jauh ketinggalan perkembangannya dari berbagai aspek dibandingkan dengan subsistem pemasaran dan distribusi. Dalam konteks inilah, maka tuntutan atas peran kepemimpinan yang lebih besar untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan perkembangan berbagai subsistem agribisnis dan agroindustri nasional tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Apabila kita ingin mengembangkan sistem agribisnis dan agroindustri, maka faktor kepemimpinan harus mampu menciptakan keseimbangan tersebut. Jika tidak, sebagaimana yang menjadi kenyataan pedis saat ini bahwa kepemimpinan yang ada belum mampu menggerakkan sistem agribisnis dan agroindustri sebagai aktivitas ekonomi yang mampu menggerakkan perekonomian nasional, sehingga tidak mustahil jika sistem agribisnis dan agroindustri nasional kita akan ketinggalan jauh dari negara yang justru basisnya bukan pertanian.
Di samping itu, untuk lebih menyeimbangkan dan menyelaraskan pertumbuhan sistem agribisnis dan agroindustri secara total, maka kepmimpinan tersebut perlu memahami berbagai aspek yang terkait dengan semua subsistem dari sistem agribisnis dan agroindustri itu sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa kepemimpinan di berbagai tingkatan harus memiliki  sense sebagai pelaku di berbagai subsistem dari sistem agribisnis dan agroindustri tersebut. Dengan demikian, berbagai kebijakan dan strategi yang ditetapkan dan dilaksanakan harus sejalan dengan harapan dan tuntutan seluruh pelaku sistem agribisnis dan agroindustri.
Ketika kita menyoal tugas pemimpin yang demikian sangat berat itu, maka sesungguhnya sangat diperlukan pemahaman yang mendalam tentang peran sistem agribisnis dan agroindustri nasional dalam pengembangan perekonomian nasional bagi semua unsur kepemimpinan nasional. Atas dasar pemahaman yang mendalam tersebut, maka diharapkan bangkitnya kemampuan untuk mneyeimbangkan serta menyelaraskan pertumbuhan sistem agribisnis dan agroindustri nasional sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
Kemudin upaya tersebut harus ditindaklanjuti melalui berbagai kebijakan yang memungkinkan sistem agribisnis dan agroindustri berkembang pesat ke depan. Di samping itu, strategi-strategi yang relevan harus dielaborasi untuk memudahkan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Namun proses operasionalisasinya memerlukan  proses yang hati-hati agar tidak keluar dari arah pembangunan sistem agribisnis dan agroindustri yang dicita-citakan, yakni terjadinya keseimbangan pertumbuhan dari subsistem-subsistem yang terkait dalam sistem agribisnis dan agroindustri tersebut. Maka dalam konteks inilah, konsep kepemimpinan transformasional harus ditetapkan dalam sistem agribisnis dan agroindustri untuk mengakselerasi pertumbuhan, sehingga perkembangan sumber daya manusia dan aspek lainnya dalam sistem agribisnis dan agroindustri di berbagai tingkatan terpacu menuju kondisi yang lebih ideal.

PENUTUP
            Pada saat ini, laju pembangunan sektor pertanian semakin tertinggal dibandingkan sektor-sektor lainnya. Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional diprediksi memang akan terus menurun. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu visi yang tepat untuk menempatkan sektor pertanian dalam perekonomian nasional. Pertanian tanaman pangan seharusnya menjadi pertanian yang tangguh dan modern berbasis pengelolaan sumber daya alam dan genetik secara berkelanjutan yang menjamin ketahanan, keamanan dan mutu pangan, penyediaan bahan baku industri, kesejahteraan petani, serta berdaya saing global.
            Lemahnya sumber daya manusia dalam bidang pertanian, kelembagaan petani, dan kelembagaan penyuluhan. Kini, kelembagaan penyuluh yang pernah sukses menghantar Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 lalu, tampak sudah melemah dan kurang berdaya. Akibatnya, semua pendapatan rata-rata petani lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Tak pelak lagi, Sistem Agribisnis yang belum berfungsi dengan baik karena tidak terintegrasinya sistem agribisnis hulu-hilir, rantai tataniaga yang panjang, sistem pemasaran yang belum adil, dan keterbatasan akses terhadap layanan usaha, terutama permodalan. Sementara itu, kebijakan makro seperti halnya fiskal, peratutran ekspor dan impor, perpajakan, kebijakan industri dan perdagangan, sering kali kurang memihak sektor pertanian. Demikian pula, komsumsi beras per kapita tinggi (139 kg/kapita/tahun) dan usaha diversifikasi beras masih belum berhasil (Prabowo 2007).
            Secara fenomenal, perubahan gaya hidup dan cara pandang terhadap pangan masyarakat Indonesia pada masa mendatang tampak akan berubah. Kecenderungan karakter konsumen yang terjadi pada masa depan dan kini mulai dirasakan ketika tuntutan konsumen terhadap keamanan, nilai gizi, cita rasa, dan ketersediaan pangan akan meningkat pesat. Pada masa depan akan semakin banyak orang yang makan luar rumah, dan semakin banyak makanan instan di rumah.
Kini, pasar modern (hypermarket, supermarket, minimarket) akan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi walaupun jumlah supermarket chain berkurang. Yang bertahan akan makin besar sehingga keseimbangan kekuatan akan bergeser dari produsen/petani ke perusahaan multinasional. Kondisi ini akan menyebabkan adanya kompetisi antara produk pangan domestik dan produk impor (yang seringkali lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah).
            Karena itu, ketika kita menyimak kondisi empiris atas realitas kehidupan sosial petani di republik tercinta ini, maka dalam upaya mengembangkan sistem agribisnis dan agroindustri diperlukan kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan pertumbuhan subsistem-subsistem dari sistem agribisnis dan agroindustri serta mengintegrasikannya sebagai suatu kasatuan yang menyeluruh, sehingga mampu menghadapi dan mengantisipasi dinamika perubahan lingkungannya.
Kita harus haqqul yaqin bahwa sebesar apapun tantangan yang diperhadapkan kepada kita semua, jika elite-elite sosial yang telah diamanahi tugas dan tanggung jawab masa depan sungguh-sungguh memiliki keinginan dan komitmen politik untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negaranya. Maka pasti bisa berhasil, karena pertanian tanaman pangan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Betapa tidak, Departeman Pertanian (2005) mencatat adanya lahan yang potensial untuk pertanian sebesar 30,67 juta hektar. Tentu saja sebesar 8,28 juta hektar seperti itu adalah sangat berpotensi untuk sawah dan 7.08 juta hektar untuk lahan kering. Selain daya dukung lahan yang demikian potensial tersebut, juga kita memiliki kearifan dan teknologi lokal yang sudah dikembangkan selama ini.

No comments:

Post a Comment