DIALOG KRITIS ANTARA GOLONGAN ELITE DAN WARGA DESA DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA
Di Kabupaten Sumedang
Oleh
Peribadi
PROLOG
Penataan terhadap institusi-institusi formal desa oleh negara telah membawa
fungsi dan tujuan-tujuan institusi yang bersangkutan terkungkung dalam struktur
yang bersifat hirarkhis. Pola penataan yang bersifat korporatis ini menurut
banyak pustaka ilmu-ilmu sosial pada gilirannya telah menggiring golongan elit
desa, dalam hal ini Kepala Desa (Kades) dan aparat jajarannya, lebih terpusat
pikiran dan tindakannya pada kepentingan yang sifatnya bias elitis. Dalam
artian, berbagai praktek penyelenggaraan program pembangunan masyarakat desa tampak
hanya menguntungkan kepentingan elit desa dan menganaktirikan golongan
periferi, sehingga kehidupan mereka terpasung di posisi marginal.
Besar
dugaan bahwa manifestasi dari keberadaan ruang
sosial semi-otonom ini merupakan
refleksi dari keberadaan kelembagaan dan pranata sosial pedesaan yang masih
tersisah. Dalam artian, kehidupan pada masyarakat setempat masih melandasi
dirinya dengan norma moral sosial dengan ciri mengutamakan hubungan-hubungan
primer resiprokal di aras kehidupan kolektif (etos komunal), sehingga kepekaan
sosial (social sensitivisy) masih
mampu merangsang terjalinnya interaksi timbal-balik dalam bentuk dialog kritis
dimaksud.
A. TEORI
DAN KONSEP-KONSEP
Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji kekuatan dan
daya paksa dari sebuah proses korporatisasi kepada institusi-institusi formal
desa bentukan pemerintah yang bersifat hirarkis. Disamping itu, penelitian juga
diarahkan kepada refleksi kemampuan etos
komunal untuk memuncratkan kepekaan sosial, sehingga ruang sosial semi-otomi terwujud
dan berkembang menjadi ajang dialog kritis antar warga dari beragam golongan dengan
Kepala Desa beserta aparat jajarannya.
Maka dalam rangka mengkaji permasalahan
ini, adalah mengacu pada gagasan Habermas (1979) yang menemukan Teori kritis-nya
dari Marx. Habermas mencatat Marx mempertautkan unsur teori (pengetahuan
tentang masyarakat dan sejarah) dan unsur praktis (tindakan dasar manusia
sebagai mahluk sosial) dalam ruang lingkup kerja unsich. Padahal menurut
Habermas karena praksis senantiasa diterangi oleh kesadaran rasional, maka
rasio tidaklah hanya tampak pada kegiatan menaklukkan alam dengan kerja,
melainkan juga dalam proses interaksi simbolik antar subyek (intersubyektif)
dengan bahasa sehari-hari (komunikasi). Dalam konteks ini, Marx dinyatakan
telah gagal mengembangkan gagasannya sebagai teori emansipatif.
Bagi Habermas, tujuan pekerjaan sesungguhnya berada di
luar pekerjaan itu sendiri sebagai tindakan instrumental. Sebaliknya, pada
proses interaksi yang diantarkan secara simbolis menurut bahasa dan mengikuti
norma-norma itu, seharusnya dapat dimengerti, benar, jujur, dan tepat. Keberlakuan
norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama
bahwa kita terikat olehnya. Pada intinya, hubungan antara manusia dengan alam bersifat
asimetris dan interaksi sosial antar sesama manusia bersifat simetris, bukan
hubungan kekuasaan. Interaksi hanya dapat terjadi apabila pihak-pihak yang
bersangkutan saling mengakui kebebasannya dan saling mempercayai.
Berbagai studi telah jelas menjelaskan adanya gejala
keterbelahan moral yang menyertai kinerja institusi-institusi formal desa, seperti
ditunjukkan dalam studi Sajogyo (1972), Tjondronegoro (1984), dan Nordholt
(1987). Betapa tidak, jika pada UU No. 5/79 tentang Pemerintahan Desa secara
implisit memuat nilai moral yang mengedepankan power compliance, maka
pada institusi-isntitusi informal desa yang hendak digantikan perannya oleh
institusi bentukan pemerintah, lebih memuat nilai moral yang mengutamakan need
compliance. Dalam ungkapan yang lebih sloganistis dapat dinyatakan bahwa perkembangan
atas musyawarah dikalahkan oleh kepentingan pembangunan atas perintah, sehingga
modernisasi berjalan tanpa menghasilkan perkembangan (modernization without
development).
Demikian pula secara lebih empirik ditandaskan oleh
Susanto-Sunario (1990) bahwa praktek pengendalian masyarakat (social
engineering) dan pengawasan sosial (social control) merupakan gejala
nyata yang senantiasa menyertai usaha suatu masyarakat untuk mengatur diri
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kaitannya dengan PMD-formal, Kepala Desa dan
jajarannya tampil sebagai elit desa yang mengemban kepentingan Pengendalian Masyarakat
(PM), sedangkan warga desa yang kategori periferi adalah pengemban kepentingan
pengawasan sosial (PS) di aras kehidupan desa. Tentu saja praktek PM yang makin
berciri formal dengan sendirinya akan memerlukan dukungan alat bantu yang
semakin formal pula, seperti sanksi hukum dan perangkat kekuasaan. Sebaliknya,
PS yang didasari dengan bentuk PM-informal tidaklah memiliki alat bantu khas
seperti sanksi hukum apalagi kekuasaan. Konsep PS mengacu pada perilaku
kelompok (group conduct) yang ditujukan untuk menciptakan keselarasan (konformitas),
solidaritas dan memelihara kelangsungan hidup kelompok komunitas yang tata
perilakunya dikukuhkan oleh adat-istiadat setempat.
Secara teoritis dapat dikatakan bahwa perimpitan penuh
antara kepentingan PM yang bersifat formal dengan kepentingan PS yang bersifat
informal memang tidak pernah akan terjadi, sehingga setiap individu atau
kelompok senantiasa akan terdorong untuk mengembangkan saluran-saluran
informalnya yang terletak dalam kehidupan pra-politik. Dalam konteks inilah,
menurut penulis disertasi dapat disejajarkan dengan pengertian ruang sosial
semi-otonom yang dikenal dalam khazanah kepustakaan antropolgi hukum. Dalam
kaitannya dengan konsep rekayasa sosial yang diduga mendasari
pemikirannya adalah hubungan-hubungan sosial rentan terhadap praktek-praktek
pengendalian dan alat yang dipergunakan untuk mencapai kendali adalah hukum
atau aturan-aturan (Lazarfeld dan Reitz, 1975).
Bagan: KERANGKA PEMIKIRAN

B.
PARADIGMA DAN METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini mendasari dirinya dengan teori kritis yang
mengacu pada gagasan Habermas dengan adaptasi dan modifikasi tertentu. Teori
kritis ini pada dasarnya bertolak dari upaya merefleksikan masyarakat serta
dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan
emansipasi. Bagi penulis disertasi dalam menggunakan teori ini, tidak
berpretensi mengubah situasi sosial yang ada, meskipun diakui memang terkandung
kepentingan praksis baginya untuk mendapatkan jalan keluar (solusi) dari masalah
yang sedang dihadapi. Di sinilah poses-proses interaksi yang asosiatif antar
berbagai pihak seperti peneliti, tineliti, dan para pengambil keputusan di
atas-desa (aparat Dinas PMD tingkat kecamatan dan kabupaten) dia upayakan,
sehingga dari proses tersebut dapat dihasilkan konsensus-konsensus (mutual
understanding).
Tampaknya, melalui pemikiran kritis ini peneliti mengharapkan
sesuatu yang bersifat ganda, yakni selain berupaya untuk menetapkan
prinsip-prinsip dasar, juga kepentingan yang berhubungan ikhwal praksis. Lebih
jauh dari itu, peneliti atau penulis disertasi ini berupaya melakukan penjabaran
reflektif dari proses yang bersifat (inter) subyektif sebagai hasil kerjasama antara
peneliti dengan teneliti), sehingga kontribusi kajian tidak hanya penggambaran
semata. Akan tetapi, sukses gemilang mengangkat masalah-masalah yang timbul
dari kegiatan PMD-formal itu.
Kesepakatan inter-subyektif antara peneliti dan teneliti,
termasuk para pengambil keputusan di atas-desa, adalah berupaya melakukan pengamatan
untuk mengetahui sejauh-mana ada kesesuaian pemahaman dari masing-masing pihak
atas pemaknaan situasi dan persoalan yang ada di lapangan. Karena itu, subyektivitas
teneliti diamati dari gagasan-gagasan yang muncul mengemuka ketika proses
dialog dalam ruang sosial semi otonom tengah berlangsung.
1. Lokasi dan Waktu penelitian
Penelitian berlangsung di
kecamatan Situraja-Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat dengan dua pertimbangan.
Pertama, peneliti memiliki sejumlah pengalaman penelitian khususnya di lingkup
Kabupaten Sumedang. Kedua, pada desa kasus penelitian terlihat suatu kemampuan
membangun kegiatan yang relatif berskala besar yang melibatkan berbagai
kalangan masyarakat, dan bahkan menjangkau partisipan di luar kabupaten
Sumedang tersebut.
Waktu penelitian dilakukan sepanjang tahun 1997 hingga
awal tahun 1998 secara terputus-putus. Hal ini dilakukan antara lain agar
peneliti senantiasa dapat membuat jarak dengan pokok masalah yang sedang
digeluti dan ini penting untuk mengkritisi arah plaksanaan penelitian di
samping tentunya untuk mendapatkan validitas penelitian.
2. Teknik
Pengumpulan dan Analisis Data
Peneliti melakukan sejumlah wawancara individu dan
kelompok dengan sejumlah pejabat resmi pemerintah daerah dan para pemuka
masyarakat tingkat kecamatan dan kabupaten untuk mendapatkan gambaran Sumedang
yang lebih komprehensif dan kontekstual. Selain itu, peneliti juga melakukan
wawancara kelompok secara terpisah dan kolektif dengan sejumlah Kades (8 orang)
di lingkungan kabupeten Sumedang untuk mendukung pemahaman atas masalah umum yang
dihadapi desa. Adapun konsentrasi utama peneliti adalah ingin mengetahui dan
menggambarkan aspirasi para Kades tentang PMD-formal maupun PMD-swadaya dalam
segala dimensi persoalannya.
Karena itu, peneliti melakukan cara strategis untuk memperoleh
data yang valid dengan melibatkan diri dalam perbincangan yang hampir tiap
malam terjadi antara Kades dan warga yang berkunjung setiap malam, mulai dari
warga biasa, guru, pengurus koperasi, tamu-tamu pejabat kecamatan, kabupaten,
dan sebagainya. Selain itu, peneliti juga menggunakan ragam metoda pengumpulan
dan analisis data secara multiparadigmatik, termasuk positivistik dan
post-positivistik yang keduanya diharapkan dapat memberikan gambaran awal
tentang situasi sosial lokal seperti obyek-obyek visual, pencatatan dan
analisis terhadap dokumen-dokumen tertulis, studi riwayat hidup (interpretive
biography) khususnya yang menyangkut Kades, dan analisis antropologis.
3. Hipotesis
Pengarah
Beberapa pernyataan hipotesis ini pada dasarnya ditujukan
sebagai panduan kerja studi peneliti di lapangan (working guideline), bukan
sebagai uji kebenaran (truth) yang hendak dibuktikan di lapangan, antara
lain:
1. Timpangnya kedudukan antar golongan sosial (di aras materiil) yang menjadi
pendukung beragam institusi PMD-formal bentukan pemeintah (pemerintah desa dan
LKMD) diduga berpengaruh penting pada pembentukan corak kesadaran internal (di
aras immateriil/normatif) yang akan mempengaruhi kinerja institusi. Hal
terakhir ini diperkirakan akan berbias elitis.
2. Pada sisi lain adanya pedoman normatif pada missi yang diemban oleh
institusi-institusi tersebut, yang bertujuan mengangkat kesejahteraan warga
desa khususnya warga golongan periferi (lapisan bawah), diduga tidak cukup
mampu mempengaruhi kinerja institusi yang bersangkutan. Diperkirakan pedoman
normatif tersebut hanya akan berlaku sebagai kategori imperatif yang bersifat
simbolik saja, sehingga tidak mampu menjalin persambungan rasional dengan sikap
dan perilaku yang berkembang dalam institusi yang bersangkutan.
3. Dalam konteks itu semua praktek PM yang digulirkan pemerintah melalui
prakarsa kegiatan PMD-formal khususnya yang ditujukan untuk kepentingan
golongan periferi diduga hanya akan dikelola secara ad hoc dan pragmatis
saja, tanpa suatu tuntunan norma moral sosial yang otentik.
4. Kegiatan-kegiatan yang hanya bersifat ad hoc tersebut dinilai akan
menjadi kendala bagi institusi-institusi PMD-formal desa untuk berkiprah lebih
fungsional. Artinya, institusi-institusi ini diduga kurang atau tidak mampu
mentransformasikan beragam gagasan dan program dari atas-desa menjadi suatu
kegiatan PMD-parsitipatif yang menumbuhkan dialog kritis; suatu syarat untuk
memahami persoalan dan aspirasi warga desa secara lebih otentik, terutama
mengenai nasib golongan periferi (warga lapisan bawah).
C.
TEMUAN PENELITIAN
Secara
umum hasil penelitian menunjukkan bahwa terbukanya ruang sosial semi-otonom merupakan reaksi atas ketidak-mampuan
institusi-institusi formal desa bentukan pemerintah tersebut dalam mengimplementasikan
missinya sesuai dengan pedoman normatif yang diembannya. Dengan demikian, ruang sosial semi-otonom tersebut tampil menjadi sebuah wacana
publik yang di dalamnya berlangsung dialog-dialog (kritis) antara Kepala Desa dengan
warganya, sehingga terbuka jalan untuk mempertemukan aspirasi masing-masing serta
terjalin kerjasama dalam menyelenggarakan berbagai program pembangunan.
1. Etos
Hidup
Hasil penelitian ternyata ditunjukkan bahwa ada kesesuaian
antara etos (pola pandanga) hidup orang Sunda yang merupakan makrosistem sosial
dari komunitas desa Cijati dengan praktek-praktek hidup di tataran empiris.
Kesesuaian ini adalah sistem sosial dan pandangan mereka pada dasarnya bersifat
egalitar. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah pengamatan di aras kelompok-kelompok
primer (kekerabatan, teritorial, dan sodalis-sodalis). Antara hal apa yang
ingin dikejar dan hal apa yang harus dihindari oleh orang secara pribadi
didapati suatu dialektika yang bersifat sinergis. Artinya, kehidupan mereka
masih kuat dilandasi oleh pendasaran norma moral sosial yang mencirikan etos
komunal yang mengutamakan prinsip-prinsip resiprokal.
1.
Pengawasan Sosial
Dengan etos komunal itu menarik untuk menyoroti sampai
mana warga desa melalui kelompok-kelompok primernya melakukan pengawasan atas
proses rekrutmen calon Kades (Pilkades) yang nota bene akan menjadi pemimpin
puncak mereka di tingkat desa. Tampaknya, UU no. 5/1979 ini sama sekali tidak
memberikan hak kepada Kades untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang
peraturan-peraturannya bersumber dari otonom desa. Sementara itu, warga desa
sangat berkepentingan untuk mendapatkan calon Kadesnya dari seseorang yang
otentisitas moralnya tak diragukan agar Kades benar-benar dapat menjadi
penyalur dan pembela aspirasi mereka. Apabila tidak, berdasarkan pengalaman
warga, praktek yang biasa dilakukan Kades adalah justru melakukan banyak
tekanan misalnya dengan mengintensifkan berbagai penguatan, dan ini adalah
sesuatu yang sangat tidak populer di mata warga. Praktek lainnya adalah tidak cukup
memberi perhatian pada persoalan-persoalan pokok yang senantiasa dihadapi
golongan periferi, seperti bagaimana memberikan santunan sosial lewat
kegiatan-kagiatan PMD yang terkordinir dan sistematis.
3.
Pengendalian Masyarakat
Menurut UU no 5/1979 kepada Kades sebenarnya masih diberi
hak untuk menyelenggarakan rumah tangga desa, dan inilah yang membedakannya
dengan Kepala Wilayah Kelurahan di perkotaan. Namun dengan peraturan Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) No.4/1984 rumah tangga desa tidak dapat dipisahkan dari
pemerintahan umum. Dengan peraturan menteri ini, apa yang dikehendaki oleh
pemerintah pusat adalah hak, wewenang, dan kewajiban mengurus rumah tangga yang
diberikan dari atas kepada desa dan bukan yang tumbuh di dalam sistem adat yang
mendasari pemerintah desa sejak zaman dahulu. Dari kasus penyelenggaraan Inpres
Bandes nyata sekali bagaimana kendali negara begitu ketat tidak saja dalam
mengatur alokasi dana, namun juga dalam pembentukan dan penataan
institusi-institusi PMD-formal mana yang boleh dan mana yang tidak bisa dilakukan
oleh Kades dan jajaran pemerintahannya.
4. Ruang Sosial Semi-Otonom: Dialog Kritis Antara
Golongan Elit Dan Warga Desa
Dari seluruh gambaran di atas dapatlah dipahami apabila kedudukan
Kades lebih merupakan alat perpanjangan tangan negara. Tidaklah mengherankan
jika kemudian proses-proses dialog di lingkungan institusi formal tidak
berjalan, walaupun secara verbal telah didorong begitu rupa oleh para pejabat
atas-desa, khusunya pada setiap bulan bhakti LKMD. Dengan demikian, sejauh mana
ajang sosial (publik) ’alamiah’ yang muncul dari sebab interaksi antar warga
pada komunitas setempat, mampu berlaku sebagai ajang alternatif bagi
pengembangan dialog kritis antara Kades dan perangkatnya di satu pihak, dengan
warga pengikutnya termasuk golongan periferi di pihak lain, dalan menyikapi
kegiatan-kegiatan PMD khususnya yang datang dari atas-desa. Tampaknya, ruang
sosial-semi otonom adalah arus bawah alamiah yang muncul dari kekuatan
komunitas itu sendiri berkat proses interaksi yang menghasilkan
konsensus-konsensus antar warga pendukungnya.
Akhirnya, yang dapat disimpulkan dari penelitian dan
penulisan disertasi ini. Pertama, pendekatan PMD-formal yang oleh pihak
atas-desa dilakukan dengan cara teknokratis dan paternalistik, telah memberi
pelajaran penting bagi kita bahwa cara seperti itu tidak tepat untuk terus
dipertahankan. Kedua, apabila
disepakati untuk meninggalkan pendekatan di atas, maka keberadaan dan peran
institusi-institusi formal bentukan atas-desa yang selama ini sarat dengan ciri
korporatis juga perlu ditinjau ulang. Dengan ciri kelembagaan seperti ini mudah
dimengerti apabila institusi-institusi formal gagal mengembangkan kagiatan
PMD-formal menjadi PMD-partisipatif, karena memang tidak tercipta media yang
dapat menghubungkan antara warga secara utuh
dan negara dalam proses dialog yang kritis.
Ketiga, keberadaan ruang sosial semi-otonom di bawah-desa
dapat diduga tak akan cukup berdaya untuk secara terus-menerus mempengaruhi
proses-proses pengambilan keputusan di aras desa dan apalagi di aras atas-desa.
Oleh karena itu hasil-hasil konsensus yang dicapai lewat wawancara sosial
tersebut dapat kita nilai hanya sebagai solusi yang bersifat ad hoc belaka,
sehingga sangat melelahkan dan menguras konsentrasi pikiran dan mental
partisipan khususnya golongan periferi.
D. REKOMENDASI
Pertama, atas dasar persoalan yang
dihadapi di desa maka ada dua hal yang pertama-tama perlu menjadi perhatian
banyak pihak, termasuk para ilmuwan sosial itu sendiri, yakni persoalan
kepentingan internal desa dan persoalan eksternal yang melibatkan kepentingan
antar desa (kecamatan), antar kecamatan (kabupaten), dan seterusnya.
Kedua, ketika kita hendak membahas dimana dan bagaimana
bentuk otonomi yang tepat maka kita perlu melibatkan aspek-aspek
persoalan tersebut dalam keterhubungannya dengan kepentingan aras mikro, meso,
dan bahkan makro/global. Adalah keterhubungan antara kesadaran lokal dengan
faktor-faktor kekuatan dari atas-desa dalam hubungan yang sinergis. Dalam
artian, otonomi perlu diberi konteks yang tak lagi me-dikhotomi-kan pemahaman
konsep lokal vs global, basis-tempat (place-based) vs spasial (spatial).
Otonomi juga bukan merupakan suatu bentuk yang harus berakibat munculnya
fragmentasi kekuasaan. Otonomi justru sebagai implementsi demokrasi
pemerintahan yang diharapkan mampu menjembatani kepentingan dari berbagai aras
mulai dari nasional, regional, lokal, desa, komunal, termasuk dimensi kota.
Ketiga, pikiran-pikiran alternatif untuk membangun pemerintahan
terendah di waktu mendatang harus dapat menjamin dua hal, yaitu skala
ekonomis, dan penyelenggaraan yang demokratis. Pengelompokan
masyarakat dalam fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan partisipasinya: petani,
peternak, nelayan, pramuka, alim ulama, koperasi, guru dan sebagainya. Perwakilan dalam LKMD menggunakan perwakilan atas
dasar kelompok fungsional, bukan partai politik. Kades adalah koodinator fungsi-fungsi di desa yang
menerima gaji. Dengan perkataan lain, diperlukan institusi PMD yang lebih
independen dan demokratis sehingga secara formal kelembagaan dapat
mengakomodasi aspirasi warga desa secara keseluruhan, termasuk dari golongan
periferi. Namun sejajar dengan juga terlihat hidupnya berbagai
aspirasi warga dalam lingkup antar-desa (kecamatan), sehingga menggugah untuk
turut serta menguatkan kembali gagasan dalam konteks daerah-otonom tingkat III.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiman, Arief, 1994, Teori Negara dan Penggunaan, Gramedia,
Jakarta.
Denzin, Norman K, 1989, Interpretive Biography. London: Sage
Publication.
Dirlik, Arief, 1998, Globalism and The Politics of Place,
dalam Depelopment, Journal Vol 41 no.2, Sage Publications.
Creswell, John W,
1994, Research Design: Qualitative &
Quantitative
Aproaches,
Sage
Publications, London.
Guba, Egon D. and
Yvonna S. Lincoln, 1994. Competing
Paradigms In
Qualitative
Researc, In
Norman K. Denzin and Yvonna S.
Loincoln (Eds), Handbook
of Qualitative Research, Thousand Oaks,London, New Delhi: Sagu
Publications.
Gibss, Jack P Gibbs
(ed), 1982. Social ontrol, London/New
Delhi: Sage
Publication.
Hardiman, Fransisco
Budi, 1990, Kritik Ideologi, Pertautan
Pengetahuan danKepentingan, Kata Pengantar Franz Magnis Suseno, Kanisius.
“ , 1993, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan, Kata Pengantar Franz Magnis Suseno, Kanisius, Jakarta.
Habermas,
Juergen, 1971, Knowledge And Human
Interest, Beacon Pres,Boston.
Habermas,
Juergen, 1973, Theory And Practice, Beacon
Press, Boston.
“ , 1984, The Theory of Communicative Action: Reason
and Retionalization of Society (Volume one and two), Beacon Press,Boston.
Henry Pratt
Fairchild and 100 Authorities, Dictionary
of Sosiology, and Related, Sciences, A Littlefield Adams, New Jersey.
Herlina, Nina, 1997,
Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, DisertasiDoktor, UGM, Yogyakarta.
Hoftsteede, W.M.F.,
1971, Decision Making Processes, In Four
West Javanes Villages, Nijmegen.
Jay, Robert R, 1969, Javanese
Villagers; Social Relationship In Rural
Modjokuto, The MIT
Press, Cambridge University, Massachusetts.
‘ , 1992, Kata Pengantar pada Pesta Demokrasi Di
Pedesaan:
Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa, UGM Press,
Yogyakarta.
Kartohadikoesoemo,
Soetardjo, 1965, Desa, Sumur Bandung.
Koentjaraningrat,
1972, Beberapa Poko Antropologi Sosial, Dian
Rakyat,
Jakarta.
Lazarsfeld, Paul and J.G.
Reitz 1975, Introduction to Applied
Sociology, New York: Elsevier.
Mahoney, Timothy
Michael, 1978, Local Pattems Of Econimic
And zpolotical Organization And Their Relationship To Ruler Depelopment: Two
Casses Studies In The Daerah Istimewah Yogyakarta, Centrak Java, Indonesia, Disertasi
Doktor pada University Of Wisconsin Madison, Tidak diterbitkan.
Mas’oed Mohtar, 1994,
Politik, Birokrasi dan Pembangunan,
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Moore, Sally Falk,
1993, Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang
Sosial Semi Otonom Sebagai topik Studi yang Tepat, dalam TO Ihromi (ed),
Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Nordholt,
Nico S, 1987, Ojo Dumeh; Kepemimpinan
Lokal dalam
Pembangunan,
Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Palmer, Andrea
Wilcox, 1984, Desa Situraja,: Sebuah Desa
di Priangan, dalam Koentjaraningrat (ed), Msyarakat Desa Di Indonesia,
Lembaga
Penerbit FE UI, Jakarta.
Sajogyo, 1991, Sosiologi Terapan, Pidato Purna Bhakti
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Bogor: Lembaga Penelitian IPB.
“ , 1997. Modernization Without Depelopment, A paper contributed
to the study on changes unagraria struktures, organized by
FAO of the UN 1972-1973.
“ , 1978, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Aplikasinya,
dalam Koentjaraningrat (ed), Metodoli
Penelitian Masyarakat, LIPI, Jakarta.
Scott, James,
1981, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan
dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta.
Slater,
David, 1981, The Spatialities of
Democratization In Global Time, dalam Development Journal, Vol. 41, Sage
Publications.
Soekito,
Wiratmo, 1978, Etos Sosial: Suatu
Refleksi , Prisma no II, Jakarta:LP3ES.
Soemardjan,
Selo, 1992, Otonomi Desa: Apakal itu?, Jurnal
Ilmu-ilmu Sosial, No.2, PAU-UI dengan Gramedia Utama Jakarta
Soetrisno,
Loekman, 1985, Massa Periferial Di
Pedesaan Indonesia: Dfimensi Ekonomi-Polotik, Prisma No.3, LP3ES Jakarta.
“ , 1988, Negara dan peranannya dalam Menciptakan
Pembangunan
Desa yang Mandiri, Prisma No.1, LP3ES, Jakarta.
Soetarto,
Endriatmo, 1979, Fungsi Ikatan Kekerabatan
dalam Proses
Penyebaran
Inovasi Usahatani Padi, Studi Kasus Kecamatan
Darmaradja-Kabupaten
Sumedang, Skripsi
Sarjana Lengkap,
Fakultas
Sastra Unpad, Bandung.
Susanto
Sunario, Astrid, 1989, Komunikasi
Pengendalian dan Komunikasi Pengawasan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
“ ,
1977, Makna dan Fungsi Kritik Sosial Dalam Masyarakat dan Negara, Jakarta:
LP3ES.
No comments:
Post a Comment