Jan 2, 2014

Tugas Bedah Disertasi Endriatmo Soetarto


 


 DIALOG KRITIS ANTARA GOLONGAN ELITE DAN WARGA DESA DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA

Di Kabupaten Sumedang

Oleh
Peribadi
PROLOG  
          Penataan terhadap institusi-institusi formal desa oleh negara telah membawa fungsi dan tujuan-tujuan institusi yang bersangkutan terkungkung dalam struktur yang bersifat hirarkhis. Pola penataan yang bersifat korporatis ini menurut banyak pustaka ilmu-ilmu sosial pada gilirannya telah menggiring golongan elit desa, dalam hal ini Kepala Desa (Kades) dan aparat jajarannya, lebih terpusat pikiran dan tindakannya pada kepentingan yang sifatnya bias elitis. Dalam artian, berbagai praktek penyelenggaraan program pembangunan masyarakat desa tampak hanya menguntungkan kepentingan elit desa dan menganaktirikan golongan periferi, sehingga kehidupan mereka terpasung di posisi marginal.
            Besar dugaan bahwa manifestasi dari keberadaan ruang sosial semi-otonom ini merupakan refleksi dari keberadaan kelembagaan dan pranata sosial pedesaan yang masih tersisah. Dalam artian, kehidupan pada masyarakat setempat masih melandasi dirinya dengan norma moral sosial dengan ciri mengutamakan hubungan-hubungan primer resiprokal di aras kehidupan kolektif (etos komunal), sehingga kepekaan sosial (social sensitivisy) masih mampu merangsang terjalinnya interaksi timbal-balik dalam bentuk dialog kritis dimaksud.

A. TEORI DAN KONSEP-KONSEP
            Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji kekuatan dan daya paksa dari sebuah proses korporatisasi kepada institusi-institusi formal desa bentukan pemerintah yang bersifat hirarkis. Disamping itu, penelitian juga diarahkan  kepada refleksi kemampuan etos komunal untuk memuncratkan kepekaan sosial, sehingga ruang sosial semi-otomi terwujud dan berkembang menjadi ajang dialog kritis antar warga dari beragam golongan dengan Kepala Desa beserta aparat jajarannya.
            Maka dalam rangka mengkaji permasalahan ini, adalah mengacu pada gagasan Habermas (1979) yang menemukan Teori kritis-nya dari Marx. Habermas mencatat Marx mempertautkan unsur teori (pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah) dan unsur praktis (tindakan dasar manusia sebagai mahluk sosial) dalam ruang lingkup kerja unsich. Padahal menurut Habermas karena praksis senantiasa diterangi oleh kesadaran rasional, maka rasio tidaklah hanya tampak pada kegiatan menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam proses interaksi simbolik antar subyek (intersubyektif) dengan bahasa sehari-hari (komunikasi). Dalam konteks ini, Marx dinyatakan telah gagal mengembangkan gagasannya sebagai teori emansipatif.
            Bagi Habermas, tujuan pekerjaan sesungguhnya berada di luar pekerjaan itu sendiri sebagai tindakan instrumental. Sebaliknya, pada proses interaksi yang diantarkan secara simbolis menurut bahasa dan mengikuti norma-norma itu, seharusnya dapat dimengerti, benar, jujur, dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya. Pada intinya, hubungan antara manusia dengan alam bersifat asimetris dan interaksi sosial antar sesama manusia bersifat simetris, bukan hubungan kekuasaan. Interaksi hanya dapat terjadi apabila pihak-pihak yang bersangkutan saling mengakui kebebasannya dan saling mempercayai.
            Berbagai studi telah jelas menjelaskan adanya gejala keterbelahan moral yang menyertai kinerja institusi-institusi formal desa, seperti ditunjukkan dalam studi Sajogyo (1972), Tjondronegoro (1984), dan Nordholt (1987). Betapa tidak, jika pada UU No. 5/79 tentang Pemerintahan Desa secara implisit memuat nilai moral yang mengedepankan power compliance, maka pada institusi-isntitusi informal desa yang hendak digantikan perannya oleh institusi bentukan pemerintah, lebih memuat nilai moral yang mengutamakan need compliance. Dalam ungkapan yang lebih sloganistis dapat dinyatakan bahwa perkembangan atas musyawarah dikalahkan oleh kepentingan pembangunan atas perintah, sehingga modernisasi berjalan tanpa menghasilkan perkembangan (modernization without development).
            Demikian pula secara lebih empirik ditandaskan oleh Susanto-Sunario (1990) bahwa praktek pengendalian masyarakat (social engineering) dan pengawasan sosial (social control) merupakan gejala nyata yang senantiasa menyertai usaha suatu masyarakat untuk mengatur diri dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kaitannya dengan PMD-formal, Kepala Desa dan jajarannya tampil sebagai elit desa yang mengemban kepentingan Pengendalian Masyarakat (PM), sedangkan warga desa yang kategori periferi adalah pengemban kepentingan pengawasan sosial (PS) di aras kehidupan desa. Tentu saja praktek PM yang makin berciri formal dengan sendirinya akan memerlukan dukungan alat bantu yang semakin formal pula, seperti sanksi hukum dan perangkat kekuasaan. Sebaliknya, PS yang didasari dengan bentuk PM-informal tidaklah memiliki alat bantu khas seperti sanksi hukum apalagi kekuasaan. Konsep PS mengacu pada perilaku kelompok (group conduct) yang ditujukan untuk menciptakan keselarasan (konformitas), solidaritas dan memelihara kelangsungan hidup kelompok komunitas yang tata perilakunya dikukuhkan oleh adat-istiadat setempat.
            Secara teoritis dapat dikatakan bahwa perimpitan penuh antara kepentingan PM yang bersifat formal dengan kepentingan PS yang bersifat informal memang tidak pernah akan terjadi, sehingga setiap individu atau kelompok senantiasa akan terdorong untuk mengembangkan saluran-saluran informalnya yang terletak dalam kehidupan pra-politik. Dalam konteks inilah, menurut penulis disertasi dapat disejajarkan dengan pengertian ruang sosial semi-otonom yang dikenal dalam khazanah kepustakaan antropolgi hukum. Dalam kaitannya dengan konsep rekayasa sosial yang diduga mendasari pemikirannya adalah hubungan-hubungan sosial rentan terhadap praktek-praktek pengendalian dan alat yang dipergunakan untuk mencapai kendali adalah hukum atau aturan-aturan (Lazarfeld dan Reitz, 1975).

Bagan: KERANGKA PEMIKIRAN


B. PARADIGMA DAN METODOLOGI PENELITIAN
            Penelitian ini mendasari dirinya dengan teori kritis yang mengacu pada gagasan Habermas dengan adaptasi dan modifikasi tertentu. Teori kritis ini pada dasarnya bertolak dari upaya merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Bagi penulis disertasi dalam menggunakan teori ini, tidak berpretensi mengubah situasi sosial yang ada, meskipun diakui memang terkandung kepentingan praksis baginya untuk mendapatkan jalan keluar (solusi) dari masalah yang sedang dihadapi. Di sinilah poses-proses interaksi yang asosiatif antar berbagai pihak seperti peneliti, tineliti, dan para pengambil keputusan di atas-desa (aparat Dinas PMD tingkat kecamatan dan kabupaten) dia upayakan, sehingga dari proses tersebut dapat dihasilkan konsensus-konsensus (mutual understanding).
            Tampaknya, melalui pemikiran kritis ini peneliti mengharapkan sesuatu yang bersifat ganda, yakni selain berupaya untuk menetapkan prinsip-prinsip dasar, juga kepentingan yang berhubungan ikhwal praksis. Lebih jauh dari itu, peneliti atau penulis disertasi ini berupaya melakukan penjabaran reflektif dari proses yang bersifat (inter) subyektif sebagai hasil kerjasama antara peneliti dengan teneliti), sehingga kontribusi kajian tidak hanya penggambaran semata. Akan tetapi, sukses gemilang mengangkat masalah-masalah yang timbul dari kegiatan PMD-formal itu.
            Kesepakatan inter-subyektif antara peneliti dan teneliti, termasuk para pengambil keputusan di atas-desa, adalah berupaya melakukan pengamatan untuk mengetahui sejauh-mana ada kesesuaian pemahaman dari masing-masing pihak atas pemaknaan situasi dan persoalan yang ada di lapangan. Karena itu, subyektivitas teneliti diamati dari gagasan-gagasan yang muncul mengemuka ketika proses dialog dalam ruang sosial semi otonom tengah berlangsung.
1. Lokasi dan Waktu penelitian
            Penelitian berlangsung di kecamatan Situraja-Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat dengan dua pertimbangan. Pertama, peneliti memiliki sejumlah pengalaman penelitian khususnya di lingkup Kabupaten Sumedang. Kedua, pada desa kasus penelitian terlihat suatu kemampuan membangun kegiatan yang relatif berskala besar yang melibatkan berbagai kalangan masyarakat, dan bahkan menjangkau partisipan di luar kabupaten Sumedang tersebut.
            Waktu penelitian dilakukan sepanjang tahun 1997 hingga awal tahun 1998 secara terputus-putus. Hal ini dilakukan antara lain agar peneliti senantiasa dapat membuat jarak dengan pokok masalah yang sedang digeluti dan ini penting untuk mengkritisi arah plaksanaan penelitian di samping tentunya untuk mendapatkan validitas penelitian.

2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
            Peneliti melakukan sejumlah wawancara individu dan kelompok dengan sejumlah pejabat resmi pemerintah daerah dan para pemuka masyarakat tingkat kecamatan dan kabupaten untuk mendapatkan gambaran Sumedang yang lebih komprehensif dan kontekstual. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara kelompok secara terpisah dan kolektif dengan sejumlah Kades (8 orang) di lingkungan kabupeten Sumedang untuk mendukung pemahaman atas masalah umum yang dihadapi desa. Adapun konsentrasi utama peneliti adalah ingin mengetahui dan menggambarkan aspirasi para Kades tentang PMD-formal maupun PMD-swadaya dalam segala dimensi persoalannya.
            Karena itu, peneliti melakukan cara strategis untuk memperoleh data yang valid dengan melibatkan diri dalam perbincangan yang hampir tiap malam terjadi antara Kades dan warga yang berkunjung setiap malam, mulai dari warga biasa, guru, pengurus koperasi, tamu-tamu pejabat kecamatan, kabupaten, dan sebagainya. Selain itu, peneliti juga menggunakan ragam metoda pengumpulan dan analisis data secara multiparadigmatik, termasuk positivistik dan post-positivistik yang keduanya diharapkan dapat memberikan gambaran awal tentang situasi sosial lokal seperti obyek-obyek visual, pencatatan dan analisis terhadap dokumen-dokumen tertulis, studi riwayat hidup (interpretive biography) khususnya yang menyangkut Kades, dan analisis antropologis.
3. Hipotesis Pengarah
            Beberapa pernyataan hipotesis ini pada dasarnya ditujukan sebagai panduan kerja studi peneliti di lapangan (working guideline), bukan sebagai uji kebenaran (truth) yang hendak dibuktikan di lapangan, antara lain:        
1.  Timpangnya kedudukan antar golongan sosial (di aras materiil) yang menjadi pendukung beragam institusi PMD-formal bentukan pemeintah (pemerintah desa dan LKMD) diduga berpengaruh penting pada pembentukan corak kesadaran internal (di aras immateriil/normatif) yang akan mempengaruhi kinerja institusi. Hal terakhir ini diperkirakan akan berbias elitis.
2.  Pada sisi lain adanya pedoman normatif pada missi yang diemban oleh institusi-institusi tersebut, yang bertujuan mengangkat kesejahteraan warga desa khususnya warga golongan periferi (lapisan bawah), diduga tidak cukup mampu mempengaruhi kinerja institusi yang bersangkutan. Diperkirakan pedoman normatif tersebut hanya akan berlaku sebagai kategori imperatif yang bersifat simbolik saja, sehingga tidak mampu menjalin persambungan rasional dengan sikap dan perilaku yang berkembang dalam institusi yang bersangkutan.
3.  Dalam konteks itu semua praktek PM yang digulirkan pemerintah melalui prakarsa kegiatan PMD-formal khususnya yang ditujukan untuk kepentingan golongan periferi diduga hanya akan dikelola secara ad hoc dan pragmatis saja, tanpa suatu tuntunan norma moral sosial yang otentik.
4.  Kegiatan-kegiatan yang hanya bersifat ad hoc tersebut dinilai akan menjadi kendala bagi institusi-institusi PMD-formal desa untuk berkiprah lebih fungsional. Artinya, institusi-institusi ini diduga kurang atau tidak mampu mentransformasikan beragam gagasan dan program dari atas-desa menjadi suatu kegiatan PMD-parsitipatif yang menumbuhkan dialog kritis; suatu syarat untuk memahami persoalan dan aspirasi warga desa secara lebih otentik, terutama mengenai nasib golongan periferi (warga lapisan bawah).

C. TEMUAN PENELITIAN
            Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa terbukanya ruang sosial semi-otonom merupakan reaksi atas ketidak-mampuan institusi-institusi formal desa bentukan pemerintah tersebut dalam mengimplementasikan missinya sesuai dengan pedoman normatif yang diembannya. Dengan demikian, ruang sosial semi-otonom tersebut tampil menjadi sebuah wacana publik yang di dalamnya berlangsung dialog-dialog (kritis) antara Kepala Desa dengan warganya, sehingga terbuka jalan untuk mempertemukan aspirasi masing-masing serta terjalin kerjasama dalam menyelenggarakan berbagai program pembangunan.
1. Etos Hidup
            Hasil penelitian ternyata ditunjukkan bahwa ada kesesuaian antara etos (pola pandanga) hidup orang Sunda yang merupakan makrosistem sosial dari komunitas desa Cijati dengan praktek-praktek hidup di tataran empiris. Kesesuaian ini adalah sistem sosial dan pandangan mereka pada dasarnya bersifat egalitar. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah pengamatan di aras kelompok-kelompok primer (kekerabatan, teritorial, dan sodalis-sodalis). Antara hal apa yang ingin dikejar dan hal apa yang harus dihindari oleh orang secara pribadi didapati suatu dialektika yang bersifat sinergis. Artinya, kehidupan mereka masih kuat dilandasi oleh pendasaran norma moral sosial yang mencirikan etos komunal yang mengutamakan prinsip-prinsip resiprokal.
1.     Pengawasan Sosial
            Dengan etos komunal itu menarik untuk menyoroti sampai mana warga desa melalui kelompok-kelompok primernya melakukan pengawasan atas proses rekrutmen calon Kades (Pilkades) yang nota bene akan menjadi pemimpin puncak mereka di tingkat desa. Tampaknya, UU no. 5/1979 ini sama sekali tidak memberikan hak kepada Kades untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang peraturan-peraturannya bersumber dari otonom desa. Sementara itu, warga desa sangat berkepentingan untuk mendapatkan calon Kadesnya dari seseorang yang otentisitas moralnya tak diragukan agar Kades benar-benar dapat menjadi penyalur dan pembela aspirasi mereka. Apabila tidak, berdasarkan pengalaman warga, praktek yang biasa dilakukan Kades adalah justru melakukan banyak tekanan misalnya dengan mengintensifkan berbagai penguatan, dan ini adalah sesuatu yang sangat tidak populer di mata warga. Praktek lainnya adalah tidak cukup memberi perhatian pada persoalan-persoalan pokok yang senantiasa dihadapi golongan periferi, seperti bagaimana memberikan santunan sosial lewat kegiatan-kagiatan PMD yang terkordinir dan sistematis.
3. Pengendalian Masyarakat
            Menurut UU no 5/1979 kepada Kades sebenarnya masih diberi hak untuk menyelenggarakan rumah tangga desa, dan inilah yang membedakannya dengan Kepala Wilayah Kelurahan di perkotaan. Namun dengan peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No.4/1984 rumah tangga desa tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan umum. Dengan peraturan menteri ini, apa yang dikehendaki oleh pemerintah pusat adalah hak, wewenang, dan kewajiban mengurus rumah tangga yang diberikan dari atas kepada desa dan bukan yang tumbuh di dalam sistem adat yang mendasari pemerintah desa sejak zaman dahulu. Dari kasus penyelenggaraan Inpres Bandes nyata sekali bagaimana kendali negara begitu ketat tidak saja dalam mengatur alokasi dana, namun juga dalam pembentukan dan penataan institusi-institusi PMD-formal mana yang boleh dan mana yang tidak bisa dilakukan oleh Kades dan jajaran pemerintahannya.
4. Ruang Sosial Semi-Otonom: Dialog Kritis Antara Golongan Elit Dan Warga Desa
            Dari seluruh gambaran di atas dapatlah dipahami apabila kedudukan Kades lebih merupakan alat perpanjangan tangan negara. Tidaklah mengherankan jika kemudian proses-proses dialog di lingkungan institusi formal tidak berjalan, walaupun secara verbal telah didorong begitu rupa oleh para pejabat atas-desa, khusunya pada setiap bulan bhakti LKMD. Dengan demikian, sejauh mana ajang sosial (publik) ’alamiah’ yang muncul dari sebab interaksi antar warga pada komunitas setempat, mampu berlaku sebagai ajang alternatif bagi pengembangan dialog kritis antara Kades dan perangkatnya di satu pihak, dengan warga pengikutnya termasuk golongan periferi di pihak lain, dalan menyikapi kegiatan-kegiatan PMD khususnya yang datang dari atas-desa. Tampaknya, ruang sosial-semi otonom adalah arus bawah alamiah yang muncul dari kekuatan komunitas itu sendiri berkat proses interaksi yang menghasilkan konsensus-konsensus antar warga pendukungnya.
            Akhirnya, yang dapat disimpulkan dari penelitian dan penulisan disertasi ini. Pertama, pendekatan PMD-formal yang oleh pihak atas-desa dilakukan dengan cara teknokratis dan paternalistik, telah memberi pelajaran penting bagi kita bahwa cara seperti itu tidak tepat untuk terus dipertahankan.         Kedua, apabila disepakati untuk meninggalkan pendekatan di atas, maka keberadaan dan peran institusi-institusi formal bentukan atas-desa yang selama ini sarat dengan ciri korporatis juga perlu ditinjau ulang. Dengan ciri kelembagaan seperti ini mudah dimengerti apabila institusi-institusi formal gagal mengembangkan kagiatan PMD-formal menjadi PMD-partisipatif, karena memang tidak tercipta media yang dapat menghubungkan antara warga secara utuh dan negara dalam proses dialog yang kritis.
            Ketiga, keberadaan ruang sosial semi-otonom di bawah-desa dapat diduga tak akan cukup berdaya untuk secara terus-menerus mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di aras desa dan apalagi di aras atas-desa. Oleh karena itu hasil-hasil konsensus yang dicapai lewat wawancara sosial tersebut dapat kita nilai hanya sebagai solusi yang bersifat ad hoc belaka, sehingga sangat melelahkan dan menguras konsentrasi pikiran dan mental partisipan khususnya golongan periferi.
D. REKOMENDASI
            Pertama, atas dasar persoalan yang dihadapi di desa maka ada dua hal yang pertama-tama perlu menjadi perhatian banyak pihak, termasuk para ilmuwan sosial itu sendiri, yakni persoalan kepentingan internal desa dan persoalan eksternal yang melibatkan kepentingan antar desa (kecamatan), antar kecamatan (kabupaten), dan seterusnya.
            Kedua, ketika kita hendak membahas dimana dan bagaimana bentuk otonomi yang tepat maka kita perlu melibatkan aspek-aspek persoalan tersebut dalam keterhubungannya dengan kepentingan aras mikro, meso, dan bahkan makro/global. Adalah keterhubungan antara kesadaran lokal dengan faktor-faktor kekuatan dari atas-desa dalam hubungan yang sinergis. Dalam artian, otonomi perlu diberi konteks yang tak lagi me-dikhotomi-kan pemahaman konsep lokal vs global, basis-tempat (place-based) vs spasial (spatial). Otonomi juga bukan merupakan suatu bentuk yang harus berakibat munculnya fragmentasi kekuasaan. Otonomi justru sebagai implementsi demokrasi pemerintahan yang diharapkan mampu menjembatani kepentingan dari berbagai aras mulai dari nasional, regional, lokal, desa, komunal, termasuk dimensi kota.
                Ketiga, pikiran-pikiran alternatif untuk membangun pemerintahan terendah di waktu mendatang harus dapat menjamin dua hal, yaitu skala ekonomis, dan penyelenggaraan yang demokratis. Pengelompokan masyarakat dalam fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan partisipasinya: petani, peternak, nelayan, pramuka, alim ulama, koperasi, guru dan sebagainya. Perwakilan dalam LKMD menggunakan perwakilan atas dasar kelompok fungsional, bukan partai politik. Kades adalah koodinator fungsi-fungsi di desa yang menerima gaji. Dengan perkataan lain, diperlukan institusi PMD yang lebih independen dan demokratis sehingga secara formal kelembagaan dapat mengakomodasi aspirasi warga desa secara keseluruhan, termasuk dari golongan periferi. Namun sejajar dengan juga terlihat hidupnya berbagai aspirasi warga dalam lingkup antar-desa (kecamatan), sehingga menggugah untuk turut serta menguatkan kembali gagasan dalam konteks daerah-otonom tingkat III.



DAFTAR PUSTAKA


Budiman, Arief, 1994, Teori Negara dan Penggunaan, Gramedia, Jakarta.

Denzin, Norman K, 1989, Interpretive Biography. London: Sage Publication.

Dirlik, Arief, 1998, Globalism and The Politics of Place, dalam Depelopment, Journal Vol 41 no.2, Sage Publications.

Creswell, John W, 1994, Research Design: Qualitative & Quantitative
                   Aproaches, Sage Publications, London.

Guba, Egon D. and Yvonna S. Lincoln, 1994. Competing Paradigms In
                   Qualitative Researc, In Norman K. Denzin and Yvonna S.

 Loincoln  (Eds), Handbook of Qualitative Research, Thousand Oaks,London, New Delhi: Sagu Publications.

Gibss, Jack P Gibbs (ed), 1982. Social ontrol, London/New Delhi: Sage
                   Publication.

Hardiman, Fransisco Budi, 1990, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan danKepentingan, Kata Pengantar Franz Magnis Suseno, Kanisius.

                                     , 1993, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kata Pengantar Franz Magnis Suseno, Kanisius, Jakarta.

Habermas, Juergen, 1971, Knowledge And Human Interest, Beacon Pres,Boston.

Habermas, Juergen, 1973, Theory And Practice, Beacon Press, Boston.
                                     , 1984, The Theory of Communicative Action: Reason and Retionalization of Society (Volume one and two), Beacon Press,Boston.

Henry Pratt Fairchild and 100 Authorities, Dictionary of Sosiology, and Related, Sciences, A Littlefield Adams, New Jersey.

Herlina, Nina, 1997, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, DisertasiDoktor, UGM, Yogyakarta.
Hoftsteede, W.M.F., 1971, Decision Making Processes, In Four West Javanes Villages, Nijmegen.

Jay, Robert  R, 1969, Javanese Villagers; Social Relationship In Rural
                   Modjokuto, The MIT Press, Cambridge University, Massachusetts.

                                     , 1992, Kata Pengantar pada Pesta Demokrasi Di
                   Pedesaan: Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa, UGM Press,
                   Yogyakarta.

Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1965, Desa, Sumur Bandung.

Koentjaraningrat, 1972, Beberapa Poko Antropologi Sosial, Dian Rakyat,
                   Jakarta.

Lazarsfeld, Paul and J.G. Reitz 1975, Introduction to Applied Sociology, New York: Elsevier.

Mahoney, Timothy Michael, 1978, Local Pattems Of Econimic And zpolotical Organization And Their Relationship To Ruler Depelopment: Two Casses Studies In The Daerah Istimewah Yogyakarta, Centrak Java, Indonesia, Disertasi Doktor pada University Of Wisconsin Madison, Tidak diterbitkan.

Mas’oed Mohtar, 1994, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta:
                   Pustaka Pelajar.

Moore, Sally Falk, 1993, Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi Otonom Sebagai topik Studi yang Tepat, dalam TO Ihromi (ed),
                   Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor
                   Indonesia, Jakarta.

 Nordholt, Nico S, 1987, Ojo Dumeh; Kepemimpinan Lokal dalam
                   Pembangunan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Palmer, Andrea Wilcox, 1984, Desa Situraja,: Sebuah Desa di Priangan, dalam Koentjaraningrat (ed), Msyarakat Desa Di Indonesia, Lembaga
                   Penerbit FE UI, Jakarta.

Sajogyo, 1991, Sosiologi Terapan, Pidato Purna Bhakti Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Bogor: Lembaga Penelitian IPB.
                                     , 1997. Modernization Without Depelopment, A paper contributed to the study on changes unagraria struktures, organized      by FAO of the UN 1972-1973.

                                     , 1978, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Aplikasinya, dalam Koentjaraningrat (ed), Metodoli Penelitian Masyarakat, LIPI, Jakarta.

Scott, James, 1981, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta.

Slater, David, 1981, The Spatialities of Democratization In Global Time, dalam Development Journal, Vol. 41, Sage Publications.

Soekito, Wiratmo, 1978, Etos Sosial: Suatu Refleksi , Prisma no II, Jakarta:LP3ES.

Soemardjan, Selo, 1992, Otonomi Desa: Apakal itu?, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, No.2, PAU-UI dengan Gramedia Utama Jakarta

Soetrisno, Loekman, 1985, Massa Periferial Di Pedesaan Indonesia: Dfimensi Ekonomi-Polotik, Prisma No.3, LP3ES Jakarta.

                                     , 1988, Negara dan peranannya dalam Menciptakan
                   Pembangunan Desa yang Mandiri, Prisma No.1, LP3ES, Jakarta.

Soetarto, Endriatmo, 1979, Fungsi Ikatan Kekerabatan dalam Proses
                   Penyebaran Inovasi Usahatani Padi, Studi Kasus Kecamatan
                   Darmaradja-Kabupaten Sumedang, Skripsi Sarjana Lengkap,
                   Fakultas Sastra Unpad, Bandung.

Susanto Sunario, Astrid, 1989, Komunikasi Pengendalian dan Komunikasi Pengawasan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


                                                , 1977, Makna dan Fungsi Kritik Sosial Dalam Masyarakat dan Negara, Jakarta: LP3ES.

No comments:

Post a Comment