Oleh
Peribadi
PERBANDITAN SOSIAL DAN DRAMA PEMISKINAN:
Sebuah
Telaah Kritis Atas fenomena Kapitalisme Agraris
Prolog. Apa tidak lucu menyoal proses penanggulangan kemiskinan yang menggeliat di tengah eskalasi drama pemiskinan yang kini aktor-aktrisnya mulai ditelanjangi di ruang pesakitan Tipikor ? Betapa tidak, bantuan ke-haribaan “warga komunitas miskin” tertumpah bagai air bah ke bumi persada. Namun “drama pemiskinan” di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan BUMN, bersenandung sejak Orba hingga sukses gemilang meraih “prestise negara terkorup”.
Jika demikian, bukankah ketika kita
menumbuhkembangkan bedah kemiskinan serta upaya-upaya penanggulangan dengan
gaya khas gonta-ganti paradigma dan metodologis, adalah bagian integral dari
“geliat sandiwara” yang tampak signifikan dengan “eskalasi drama pemiskinan
dimaksud ???
Betapa sulit dipungkiri. Pasalnya, ketika kuping telinga mulai mengiang dan
lensa pandang terasa pedas, karena geliat drama dan sandiwara dana siluman
sekaliber BLBI yang tidak jelas jantrungnya, dana raksasa BI yang memuncrak
kiri-kanan, serta kewajiban royalti pengusaha batu bara yang contra-productive. Tak pelak lagi, soal
gratifikasi yang mulai mendamprak pejabat/mantan pejabat. Entah dana siluman
apalagi yang kelak menggelegar dan entah siapa lagi yang bakal terkerangkeng
pasca Jaksa Urip, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dll, sehingga nuansa
dramatisme kian transparan dan sandiwara penanggulangan kemiskinan kian sulit
terbantahkan ?
Dalam konteks ini, belum cukupkah gelegar drama kasus dana siluman tersebut
dapat menyadarkan semua pelaku kemiskinan mulai dari lembah birokrasi yang
bersenjatakan TKPKD hingga pada tataran LSM dengan berbagai paradigma
penanggulannya ? Mengapa kita, baik dari kalangan akademisi, pemerhati dan
pengamat maupun pelaku (TKPKD/P2KP/NUSSP, dan LSM), masih kepingin bersandiwara
menyoal akar penyebab kemiskinan dalam perspektif kultural ?
Mengapa lensa pandang dan kuping telinga kita terkesan kabur dan tuli
dengan duit siluman yang terhambur di tangan-tangan jahil kaum elite itu?
Bukankah akibat dari “degelan-degelan politik” yang bernafsu mengumbar
hiper-tontonan dengan biaya mahal, adalah penyebab utama bangsa dan negara
tercinta ini berkubang kemiskinan plus berutang dollar ?
Mungkin demikianlah lucuisme kini saudaraku, karena kita tetap saja
menggeliat menyoal kemiskinan, tanpa kepingin dipusingkan dengan ikhwal drama
pemiskinan yang nota bene “berwajah malaikat”. “Tau aja lho” - kata sang kritikus di tempat belanja: “memangnya
penjual sayur atau penjual ikan yang menyebabkan bangsa dan negara tercinta
bernasib malang, suram dan buram ?”
Adalah kian
marak, ketika analogi drama dan teater dari Goffman sang ahli sosiologi
kontemporer kita coba pinjam pisaunya untuk membedah proses interaksi sosial
yang mampu menghipnotis penonton. Dan mungkin saja kepala kita tergeleng-geleng
ketika kerangka konseptual ini direfleksikan ke arena birokrasi dan parlement,
dll. Pasti dech…, di balik interaksi itu akan ditemukan segumpal kesadaran
virtual di lorong-lorong psedou-liberalis,
psedou-demokrasi, dan psedou-welfare dan
psedou religius.
KAPITALISME NEOLIB: Spilis...?
Tampaknya, di tengah pergumulan
pemikiran yang amat panjang nan melelahkan itu, sekonyong-konyong menjelmah
sebuah gerakan lagi yang nota bene beraliran ”Spilis”. Jika demikian,
jangan sampai memang, semua gebrakan kelompok sosial, termasuk dalam konteks
politik dan ekonomi, juga nota bene sesat ? Wah gawat nih...’
Libidoisme. Jean Francois
Lyotard menggambarkan sebuah sistem ekonomi ekstasi yaitu sebuah sistem ekonomi
(dan kehidupan pada umumnya) yang melepaskan dirinya dari kriteria
moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar yang disebutnya sebagai ekonomi
libido: manfaatkanlah potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam
dirimu tanpa takut akan tabu dan adat; gunakan dan petontonkan sebebas-bebasnya
keindahan-keindahan penampilan, kepribadian, wajah dan tubuhmu untuk
membangkitkan gairah perputaran modal.
Menurut Piliang (1998), takkala di suatu
sistem ekonomi, kapital mengapung dan berputar secara bebas tanpa batas,
takkala apapun dilakukan, dipertontonkan, diproduksi, dikomsumsi, digunakan
demi perputaran uang dan spiritual, maka di dalam sistem seperti ini orang akan
tenggelam dalam ekstasi perputaran uang (gaya hidup jet set, selebritis,
judi, undian, lotre, kuis).
Di dalam sistem ekonomi komoditi sebuah
komoditi mendapatkan nilai tukarnya sesuai dengan nilai material, jasa,
keterampilan atau intelektual yang dikeluarkan pada proses produksinya. Di
dalam sistem ekstasi, judi, undian, lotre dan kuis, uang mengalir deras dan
bebas bukan mengikuti hukum nilai tukar melainkan hukum nilai keberuntungan.
Lihat misanya ekstasi perputaran uang dalam acara televisi ”Ayo Tebak” atau
”Jari-jari” . sebuah pernyataan ”siapakah nama asli McGyper? Bisa berharga Rp.
2,5 juta atau 2.000 kali upah harian seorang buruh bangunan. Atau pertanyaan
”Apa senjata yang digunakan tokoh Callaghan dalam film The Enforce?”
bisa bernilai Rp. 5 juta, lima bulan gaji seorang peneliti di universitas. Di
sinilah uang tak lagi berfungsi seperti disebutkan Marx sebagai ”sistem
representasi nilai makna” ekonomi”, melainkan sebagai sebuah ”sistem penampakan
tanpa makna” yang merupakan perpanjangan tangan dari sistem ”bujuk rayu”,
ekonomi masyarakat konsumer.
Ekonomi disemarkan dengan gairah-gairah,
keterpesonaan dan ekstasi demi kelancaran mengalirnya perputaran uang. Di dalam
ekstasi perputaran uang ini setiap orang dapat menikmati ampas komoditi berupa
hadiah kuis, bonus. Kuis, bonus adalah bentuk ekstasi perputaran komoditi dan
barang sebagaimana pelacuran, fornograpi, cyber porno dan seks bebas adalah
bentuk ekastasi sirkulasi seks.
Premanisme. Sungguh-sungguh mengagungkan ajakan pertobatan individu
dan pertobatan kolektif yang diajarkan dan dihimbaukan oleh John Perkins,
sebagai orang yang merasa paling amat berdosa atas upaya ”pemiskinan strategis”
terhadap manusia dan masyarakat yang menghuni bumi dunia ketiga. Tak bisa bisa
dibayangkan, kalau sekiranya seluruh komponen masyarakat, terutama kaum elite
sosial dunia ketiga mempunyai kesadaran setingkat dengan John Perkins. Maka,
sudah pasti, tidak ada perbedaan persepsi dan tindakan kita terhadap kehadiran
BUSH sang”manusia maniak perang” dan ”si-anak emas yahudi” itu.
Betapa menakjubkan, ajakan John Perkins kepada anak-anak bangsa di dunia ketiga
untuk melakukan hal yang sama, sebagaimana yang dia telah lakukan secara jujur,
berani dan transparan. Meskipun ikhwal itu merupakan status position yang empuk dan beresiko nyawa bagi diri dan
keluarganya, ketika hendak mencampakkan dan mengekspose tangan jahilnya di masa
lalu. Betapa tidak, John Perkins mengajak kita untuk melakukan sebuah pengakuan
(confessions) atas kesalahan dan kezahliman
yang kita abaikan dan menumpulkan nurani kita selama ini.
Menurutnya, mengakui sebuah kesalahan adalah awal dari solusi dan mengakui
sebuah dosa besar adalah awal dari keselamatan. Itulah fatwa kontemporer dan
spektakuler dari seorang ekonom yang amat patut direnungi oleh siapapun,
terutama bagi mereka yang telah dimanahi sebuah tugas dan tanggung jawab masa
depan atas kesinambungan hidup masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini.
Tak bisa dibayangkan, jenis kebahagian
apa gerangan yang kelak menjelmah, ketika semua elite dalam berbagai
kapasitasnya masing-masing, yang selama ini secara langsung (sadar) dan tidak
langsung (tidak sadar) bertindak sebagai pendekar Hit Man (Baca: preman picisan). Misalnya,
”pejabat Hit Man”, ”akademisi Hit Man”, dan bahkan mungkin menjadi ”Ustadz/Kiyai Hit Man”. Maka besar dugaan, kita akan
kesulitan bertemu dengan ”rakyat pengemis”, ”pengusaha pengemis”, ”penguasa
pengemis”, ”legislator pengemis” dan ”ulama/pendeta pengemis” dan lain
sebagainya. Sebaliknya, kita akan bangga serta kagum menyaksikan bangkitnya
kaum pendekar yang berjurus handal, mumpuni, dan sakti mandrguna serta mandiri
dan percaya diri.
Paling tidak, menurut bayangan dan harapan Yudho Pedyanto (dalam Peribadi,
2011) bahwa dengan kesadaran dan pertobatan kolektif, kelak mengemuka
serangkaian buku-buku sebagai efek domino dari Confessions of Economic Hit Man ini. Apakah itu Confessions of, yang merupakan pengakuan
dari para pemimpin dan birokrat korup yang mengabaikan kepentingan warga
negaranya dan melayani kepentingan korporasi-kapitalisme. Atau Confessions of, yang merupakan pengakuan
dari para ustadz/kiyai yang menjadikan agama sebagai alat legitimasi
kepentingan kapitalisme, liberalisme, dan sekularisme serta doa-doa yang
bernuansa politik. Atau siapapun yang selama ini melakukan ”pembodohan
terselubung” yang terus-menerus mengetengahkan Agama hanya sebatas dimensi
moral dan spiritual semata, tanpa pernah melakukan pencerdasan dan penyadaran
terhadap aspek politik-ideologi Islam. Mampukah ikhwal ini kita mulai ? Tentu
saja bukan soal mampu dan tidak mampu. Akan tetapi, adakah niatan kita (Baca: political will) untuk mengembangkan
gebrakan kesadaran revolusioner ala John Perkins itu ?
Pragmatisme.
Dalam
konteks ini, perkenankan saya mengambil dua pandangan representatif dalam deru
debu pragmatism pasca reformasi. Pertama, Saiful Mujani menyayangkan dan bahkan
amat terkesan menyesalkan atas perilaku rasional pemilih, tidak diikuti atau
disertai dengan perilaku rasional politisi daerah. Karena menurutnya, para
calon kepala daerah pada umumnya mengeluarkan biaya sangat besar untuk
melakukan serangan fajar serta membagi-bagikan uang atau barang kepada calon
pemilih. Calon lawan pun melakukan hal yang sama. Maka amat mudah diterka bahwa
ketika menang, kandidat akan mencari kesempatan untuk mengembalikan modal yang
sudah mereka keluarkan plus labanya. Pasalnya, mungkinkah gaji seorang
gubernur, bupati, atau walikota mencapai miliaran rupiah dalam lima tahun,
sehingga modal Pemilukada dan labanya dapat diraih? Tentu tidak, dan karena itu
korupsi adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan modal tersebut.
Kedua, Karni Ilyas terkesan lebih rinci
mengekspos ongkos pengorbanan para kandidat dimaksud, yakni sejak awal dalam
upaya pencarian dukungan partai yang terkesan berbelit-belit, karena tidak
diatur dalam undang-undang, sampai pada biaya kampanye dan upah saksi di TPS.
Menurutnya, bagi bupati rata-rata harus menyediakan Rp 300 juta-Rp 500 juta.
Sementara untuk calon gubernur disinyalir 10 kali lipat. Kalau misalnya biaya
saksi pemungutan suara dibutuhkan dana Rp 100 ribu untuk sekedar uang makan dua
orang saksi. Sudah pasti, kalau sebuah kabupaten terdapat sebanyak 800-1000
TPS, maka si calon bupati sekurangnya harus merogoh koceknya Rp 80 juta - Rp
100 juta. Angka itu juga harus dikalikan 10 untuk calon gubernur.
Memang betul, sebagaimana juga
ditandaskan oleh kedua pengamat tersebut bahwa betapa sulit dibayangkan kalau
Pak Bupati, Wali Kota, atau Gubernur baru tidak berniat mengembalikan modal
yang dikeluarkannya untuk duduk dikursi panas itu. Lebih celaka lagi - kata
Karni Ilyas - kalau modal itu didapat dari atau dipinjamkan oleh para
kontraktor atau supplier daerah. Sudahlah, yang pasti, tidak ada orang yang
dibiarkan tidak bertanggung jawab – alias bebas testing dari tanggung jawab.
Tak pelak lagi, di Mahkamah Ilhiah nanti, takkan berfungsi kelincahan,
kelicikan dan kelihaian kita sekalian.
KETIMPANGAN
EKONOMI POLITIK
Lebih membumi lagi, menurut
Sugihardjanto, 1995 (dalam Peribadi, 2011) bahwa diagnosis krisis ekonomi
politik yang antara lain dikemukakan oleh H. Denis, J. Marshal dan H. Guitton
di awal tahun 50-an memungkinkan kita untuk kembali pada masalah-masalah utama
dalam perdebatan dan pertentangan yang kemudian menyebabkan ditinggalkannya
model keseimbangan umum yang diilhami oleh model ilmu fisika Newton.
Perdebatan itu antara lain membahas masalah penolakan kesatuan metodologi
dengan ilmu pengetahuan alam dan masalah pencarian kesatuan metodologi baru
antara Ekonomi Politik dan Sejarah dan Sosiologi.
Sementara itu, di tengah konstalasi
Bangsa Indonesia selama kurun waktu Orde Baru, pembangunan tampak dikendalikan
oleh dua kekuatan intelektual dominan yaitu kelompok ekonom dan kelompok
teknolog. Kelompok ekonom tampil ke depan ketika Orde Baru mulai menjalankan
reformasi ekonomi pada tahun 1970-an, sehingga pertumbuhan ekonomi, efisien,
produktivitas, dan keunggulan komparatif, merupakan pokok-pokok masalah yang lazim
terdengar dalam perbincangan sehari-hari. Namun ketika memasuki awal 1990-an
tampaknya peran ekonom mulai sedikit tergeser. Pembicaraan tentang efisiensi
atau keunggulan komparatif mulai jarang terdengar, sehingga pembicaraan baru
yang kerapkali terlontar adalah seperti nilai tambah, teknologi canggih,
industri strategis, lompatan ke depan, dan sumberdaya manusia yang digulirkan
oleh kaum teknolog.
Namun bagi Arif Budiman, bahwa kedua ”nomik”
tersebut, yakni Widjojonomic dan Habibienomic adalah sekedar
ganti kesing karena isi dalamnya adalah sama-sama berintikan kapitalisme. Kalau
aliran pemikiran Widjojonomic alias pemikiran sang ekonom Widjojo Nitisastro
dan kawan-kawan didasarkan pada usaha untuk mengembangkan produksi barang yang
memiliki keunggulan komparatif, sehingga laris di pasaran. Maka Habibie sang
teknolog beranggapan lain bahwa kita harus menciptakan industri berteknologi
tinggi yang mempunyai nilai tambah besar. Hanya dengan cara ini kita bisa
terlepas dari cengkraman kekuatan ekonomi dunia. Lebih jauh, kita akan berperan
sebagai salah satu aktor kekuatan ekonomi global. Untuk tujuan ini maka ada dua
hal yang harus dilakukan. Pertama, mendidik tenaga teknolog yang handal untuk
menguasai teknologi canggih. Kedua, mendirikan industri dengan teknologi tinggi
untuk merebut sebagian pangsa pasar dunia. Namun ternyata hasil gebrakan dan
karya besar Pak Habibie itu, kini telah disia-siakan oleh anak-anak bangsa yang
menyimbolkan diri sebagai reformis. Betapa tidak, produksi komoditi penerbangan
strategis dari Nurtanio tampak berseliwerang menjadi besi-besi bekas.
Tampaknya pandangan Peter Drucker lebih
relevan dengan kondisi Bangsa Indonesia kini. Menurutnya, kini negara tidak
lagi menjadi satu-satunya pusat kekuatan (center of power). Berbagai kekuatan
lain dari organisasi politik dan ekonomi yang kian pluralistis dan menekan.
Meskipun bagi Herbert Spencer sebagai ahli ekonomi liberal adalah termasuk sebagai
salah seorang ahli yang menyangsikan peranan negara di dalam kegiatan ekonomi. Demikian
pula Hayek sebagai ahli ekonomi menandaskan bahwa di dalam ekonomi pasar negara
tidak sangat layak (incompetence) untuk terlibat di dalam ekonomi secara
langsung, dan bahkan Hayek menolak sama sekali peranan negara di bidang
ekonomi.
Namun betapapun para ahli tersebut
cenderung antitesis atas campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi, tetapi
beberapa bidang kegiatan ekonomi tertentu harus digarap dan ditangani secara
monopolistik. Misalnya produksi komoditi persenjataan strategis yang harus ditangani
langsung oleh negara agar masyarakat terhindar dari upaya perebutan kelompok
kepentingan. Meskipun tetap diakui bahwa sampai saat ini masih terdapat
perbedaan mendasar tentang tingkat keterlibatan pemerintah di dalam kegiatan
ekonomi tersebut.
Para ahli ekonomi kesejahteraan (welfare
economics) menilai bahwa pareto optimum dapat dicapai jika
dasar-dasar sistem ekonomi pasar diterapkan dalam iklim yang kondusif. Tetapi
di dalam kenyataan kita melihat bahwa pasar tidak bekerja sempurna untuk segala
keadaan dan situasi. Pada bidang-bidang tertentu di mana pasar tidak bekerja
sempurna, maka negara lagi-lagi harus tampil memainkan perannya agar sistem
ekonomi terjaga kelangsungannya. Di sinilah negara memainkan peranan khususnya
yang suportif. Selain itu menurut Stigler, negara harus juga dijaga dari rongrongan
kelompok kepentingan (vested interest).
KEMISKINAN
DALAM PERSPEKTIF EKOPOL
Secara substantif, pandangan atas kemiskinan yang berkembang di Indonesia
tampak dalam dua bentuk “school of
thought”, yakni dalam pandangan pakar dan LSM serta dalam pandangan
pejabat. Bagi kaum pakar dan kalangan aktivis LSM bahwa kemiskinan terjadi
sebagai akibat dari campur tangan yang terlalu luas dari negara terhadap
kehidupan masyarakat, terutama pada masyarakat perdesaan. Menurutnya, orang
miskin mampu membangun diri mereka sendiri, jika pemerintah mau memberi
kebebasan untuk mengatur diri mereka sendiri. Sementara dalam lensa pandang
pejabat bahwa kemiskinan itu bersumber dari masalah budaya, sehingga orang
menjadi miskin karena faktor etos kerja yang lemah, tidak memiliki jiwa
wiraswasta dan berpendidikan rendah.
Namun demikian, menurut Lukman Soetrisno (1995) bahwa kedua pandangan
tersebut masih merupakan kategori pandangan dari luar. Keduanya belum berupaya
memahami inti dari masalah kemiskinan dari pandangan kelompok miskin itu
sendiri. Hal inilah yang sesungguhnya terjadi di masa Orde Baru, sehingga
pengetahuan lokal (local knowledge)
dimaksud C. Geertz beserta kearifan-kearifan sosial sebagai mutiara orang-orang
terdahulu mengalami degradasi secara fundamental.
Pada tingkat unit analisis, menurut Yeremias T. Keban
(1995) terdapat 4 (empat) kerangka teori yang berpengaruh. Pertama, kemiskinan dilihat sebagai
produk kegagalan individu dan sikap yang menghambat niat untuk memperbaiki
nasib. Perspektif ini diambil dari perkiraan banfield.
Kedua,
kemiskinan merupakan akibat dari adanya kebudayaan kemiskinan. Kebudayaan
tersebut meliputi sistem kepercayaan fatalistik, kurang mampu mengandalkan
diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan, atau
gagal dalam merencanakan masa depan dan kurang mampu mengandalkan
peluang-peluang yang ada. Prespektif ini didasarkan atas karya Oscar Lewis.
Ketiga,
kemiskinan merupakan akibat dari kurang tersedianya kesempatan (lack of
opportunity) untuk maju, dan seseorang menjadi miskin karena kurang
memiliki keterampilan atau pendidikan tertentu. Pemikiran tersebut didasarkan
atas karya Campbell dan Burkhead. Keempat,
kemiskinan dapat dilihat dari sudut pandang Karl Marx, yakni kemiskinan
merupakan akibat dari ulah kaum kapitalis dalam masyarakat melalui proses
eksploitasi. Perspektif mana yang diduga sesuai dengan kondisi obyektif dengan warga
masyarakat kita ???
Perspektif pertama dan kedua cenderung digolongkan ke dalam
kelompok konservatif karena selalu mengkambinghitamkan kaum miskin sebagai
sumber kemiskinan. Kedua pandangan ini diklassifikasi ke dalam paradigma “kulturalis”. Perspektif ketiga dianggap
sebagai pencerminan dari aliran liberal karena mereka melihat bahwa kemiskinan
berasal dari ketidak mampuan struktur yang ada dalam masyarakat. Sementara
pandangan keempat berusaha memojokkan kaum kapitalis sebagai penyebab
kemiskinan ini, sehingga disebut sebagai aliran radikal. Kedua pandangan
terakhir ini dikelompokkan ke dalam paradigma “strukturalis”.
STRUKTUR EKOPOL DAN EKSPLOITASI KAPITALISME
Dalam konteks kepemilikan tanah atau lahan pertanian dan
perkebunan, seolah kita tidak asing lagi dengan konsep petani yang “kenyang
tanah dan petani yang lapar tanah”, yang mengarah pada ketimpangan struktur
pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak seimbang. Akibatnya, secara khusus
bagi mereka yang kategori “tunakisma” tersebut cenderung bergantung (dependent) dan bahkan terkesan menjadi
budak kepada mereka yang diklaim sebagai pelaku “eksploitasi kapitalisme agraris” (Scott, 1984, Rajagukguk, 1995,
Darman, 1996; Tjondronegoro, 1999).
Tampaknya,
eksploitasi agraris dari kaum kapitalistik yang tampak lebih sistemik di dalam
berbagai aspek kehidupan sosial, terlihat dalam konstalasi hubungan antara
negara dan masyarakat, terutama yang selama ini berlangsung di dunia ketiga.
Paling tidak, hal ini dapat ditelusuri melalui tiga teori, yakni, teori
ketergantungan, strukturalis semi otonom dan neo klasik (Salman, 1996). Pertama,
teori ketergantungan mempersepsikan bahwa negara ketiga tidak lebih dari
perpanjangan tangan atau kelas komparador kapitalisme internasional, yang
melalui kekuasaan ekonomi negara berkembang di kontrol dan diarahkan agar
mengambil kebijakan pembangunan yang sesuai dengan keinginan kapitalis
internasional, sehingga kalau negara berkembang ingin lebih mandiri menentukan
kebijakan pembangunannya, maka ketergantungan tersebut seyogyanya diputuskan.
Kedua,
teori strukturalis semi otonom mempersepsikan negara sebagai lembaga politik
yang lebih otonom, dimana negara dianggap lebih berperan sebagai penengah
konflik antara berbagai kelompok kepentingan sehingga dengan demikian
pembangunan (oleh negara) dapat dipandang sebagai upaya menggalang sumber daya
untuk menengahi konflik yang terjadi terutama antara kapital asing, kapital
domestic, dan laipisan bawah masyarakat.
Ketiga,
teori neo klasik memandang negara sebagai pengambil keputusan ekonomi politik
yang selalu bersandar pada pertimbangan dan pilihan mekanisme pasar yang
rasional, dimana kebijakan ekonomi diputuskan berdasarkan pengaruh faktor
teknologi, penduduk, pasar dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, sehingga
perilaku negara dianggap berkisar pada pendayagunaan ekonomi nasional untuk
memenuhi tuntutan pasar dan kesejahteraan masyarakat.
Tampaknya, teori structural semi otonom menjadi lebih
relevan dalam melihat hubungan negara dan petani di era Orde Baru, karena: (1)
teori ini memperlihatkan latar belakang historis hubungan negara dan
masyarakat; (2) teori ini memberi tempat bagi konflik dalam eksistensi negara
dimana negara memperkuat kekuasaannya melalui peranan menengahi konflik antar
berbagai kelompok. (3) teori ini memperhatikan secara mendalam hubungan dinamis
saling mempengaruhi antara pemerintah dan masyarakat.
Peranan negara dalam dinamika masyarakat petani pada Orde
Baru setidaknya dapat di lihat dalam tiga model politik pembangunan yang
diterapkan dalam kerangka pengintegrasian kawasan pedesaan kedalam negara.
Pertama, dalam
format “pembangunan politik” Orde Baru menempuh kebijakan “masa mengambang”
dimana massa pedesaan diputuskan hubungannya secara permanen dengan Partai
Politik sehingga praktis sesudah itu massa petani kehilangan kekuatan politiknya.
Kebijakan ini didasari pengalaman masa pemerintahan orde lama dimana kontrol
negara terhadap masyarakat tani begitu lemah, sehingga massa petani menjadi
ajang pertarungan pengaruh dan dukungan bagi Partai Politik seperti PNI,
Masyumi, NU, dan PKI. Dengan mengasingkan pedesaan dari dunia politik, maka Orde
Baru dapat menjamin stabilitas politik dan melalui kontrol serta mobilisasi
politik dari bawah yang dipercayakan kepada aparat negara ditingkat desa.
Kedua, dalam
pembangunan pertanian Orde Baru telah menjalankan Revolusi Hijau melalui adopsi
inovasi teknologi (pupuk sintesis, bibit unggul, dan aplikasi pestisida) yang
ditunjang oleh inovasi kelembagaan (perkreditan, perkoperasian, kelompok tani
dan Perkumpulan Petani Pemakai Air-P3A) dan perangkat fisik (irigasi dan jalan
tani), dengan target utama pada pencapaian dan pelestarian swasembada beras
demi stabilitas sosial, ekonomi dan politik. Kini, para guru besar IPB sebagai
perancang utama mega proyek Revolusi Hijauh terkesan menyesali kepedekarannya
di masa lalu, sehingga mereka menelaah kritisi yang tertuang dalam buku:
“Merevolusi Revolusi Hijauh, 2008”.
Ketiga, dalam
pembangunan desa, negara telah mengalirkan sejumlah proyek ke pedesaan guna
perbaikan infrastruktur fisik pedesaan (jalan, jembatan, gedung sekolah,
puskesmas, kantor aparat desa dan sebagainya), atau proyek lainnya seperti
“Pengembangan Kawasan Terpadu” (PKT) dan “Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan
fokus pada pengentasan kemiskinan. Kini, ikhwal kemiskinan masyarakat menjadi obyek
pengembangan program PNPM Mandiri Perkotaan yang paradigma dan metodologisnya
direduksi dari P2KP karena dianggap sukses gemilang dalam program
penanggulangan kemiskinannya.
Memang masalah pemilikan tanah
merupakan lambang status ekonomi di daerah pedesaan (Trijono, 1994). Namun saat
ini sangat perlu ditinjau proses dan latar belakang pemilikan tanah seseorang
di pedesaan. Berbagai latar belakang seseorang atau sekolompok orang memiliki
tanah baik tanah yang luas maupun yang sempit berupa tanah sawa, ladang dan
pekarangan.
Dalam perspektif hukum, menurut Rajagukguk (1995) bahwa dalam kenyataannya Land reform tidak dijalankan sebagaimana
mestinya atau sebagimana yang dimaksudkan, karena sedikitnya tiga sebab : (1)
beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut sulit diterapkan; (2) kondisi
sosial, politik dan ekonomi tidak mendukung pelaksanaan program ini; dan (3)
menurut rumusan yang dibuat lebih dari ¼ abad yang lalu (1960), tidak ada cukup
tanah di Jawa untuk dibagikan kepada semua petani yang tidak memiliki tanah.
Pada akhirnya, gagalnya pelaksanaan land
reform menjadi tragedi dalam sejarah Indonesia. Padahal, kuping telinga
bisa membengkak ketika mendengar ada konglomerat di Republik tercinta ini
memiliki tanah seluas negara Swiss...Astagafirullah!
Betapa tidak, lanjut Rajagukguk (1995) bahwa sejak Indonesia mencapai
kemerdekaan tahun 1945, setidaknya ada masalah yang mendasar dalam hukum tanah
kita: (1) meliputi masalah kepemilikan tanah yang tidak proforsional dan
kebutuhan tanah yang semakin meningkat di pulau Jawa yang kecil dibanding
dengan penduduknya yang terus bertambah. Soal-soal tersebut memunculkan masalah
land reform, distribusi tanah, bagi
hasil, dan hubungan sewa menyewa antara pemilik tanah dan penggarap; dan (2)
masalah tersebut melahirkan ide perlunya pembaharuan dalam hukum tanah itu
sendiri.
Tak pelak lagi, ketika kita mengacu pada hasil penelitian kualitatif yang
dilakukan Wahono (1994) tampak ada
petunjuk bahwa tekanan penduduk dan orientasi pemodal, berpihak pada cara
produksi dan belanja lapisan petani atas dari pada petani bawah. Tetapi mengapa
pranata distribusi alternatif yang lebih kerakyatan susah munculnya ?
Jawabannya dapat direntang dari kuatnya hegemoni negara sampai budaya ekonomi nrimo dan pasrah petani Jawa.
Meskipun menurut hasil penelitian Trijono (1994) dalam kesimpulannya
disebutkan bahwa terjadinya polarisasi di pedesaan Jawa adalah bukan polarisasi
yang ditentukan oleh konsentrasi pemilikan tanah sebagaimana sering dikemukakan
oleh penganut ekonomi politik radikal. Tetapi lebih merupakan polarisasi yang
terjadi sebagai kensekwensi semakin tergantungnya ekonomi desa kepada ekonomi
luar desa atau perekonomian nasional. Dalam hal ini polarisasi akan berkembang
jika kesempatan hidup di luar pertanian semakin terbatas menampung mereka yang
tergeser dari pertanian.
Dengan kata lain, polaisasi yang berkembang bukan konflik kelas antara
pemilik tanah dengan buruh tani sebagai akibat kontradiksi internal dalam
organisasi produksi pertanian. Tetapi lebih merupakan konflik yang terjadi
karena semakin sempitnya katub penyelamat
dan terbatasnya peluang untuk memperoleh sumber ekonomi dari luar pertanian.
Tentu saja fenomena tersebut agak sulit dipisahkan atau dibedakan, karena
banyak orang dari luar desa (petani berdasi) yang memiliki tanah yang kemudian
dipekerjakan kepada penduduk setempat. Hal ini berarti merupakan polarisasi
sebagai akibat dari konsentrasi pemilikan tanah antara orang-orang kota dengan
penduduk setempat.
Apabila kita amati dengan cermat perihal permasalahan lahan di Indonesia
tampak ada perubahan mendasar yang terjadi dalam permasalahan itu. Perubahan
ini membuat permasalahan tanah saat ini menjadi lebih kompleks sifatnya. Dua
puluh tahun yang lampau permasalahan tanah merupakan permasalahan lokal desa ditinjau
dari siapa yang terlibat. Pada saat ini pengertian kita terhadap permasalahan
tanah hanya terbatas pada persoalan pemilikan tanah berlebihan yang dimiliki
oleh seorang penduduk desa ataupun ketidak adilan dalam pembagian hasil antara
petani pemilik tanah dengan penyakap. Kecuali pada masa menjelang pecahnya
peristiwa G.30.S/PKI, persoalan tersebut jarang muncul secara terbuka sampai
melintasi batas desa. Pada saat itu, pada dasarnya persoalan pertanahan adalah
masalah desa. Hubungan khusus patron-client
yang mewarnai hubungan antara petani pemilik tanah luas dan petani gurem dan
buruh tani, menyebabkan setiap persoalan tanah yang muncul dalam suatu desa
dapat teredam. Pada saat ini persoalan tanah telah berubah sifatnya, yang
terlibat dalam persoalan tanah bukan lagi pemilik tanah desa melawan buruh
tani, tetapi antara pemilik modal besar melawan pemilik tanah setempat, dan
antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa (Soetrisno, 1995. 62).
Tampaknya, fenomena dimaksud ini telah terjadi di sekitar
wilayah pegunungan kakao Kabupaten Kolaka Utara yang mengundang perhatian para
akademisi untuk mengkajinya lebih mendalam. Betapa tidak, semua warga
masyarakat mengakui sejujurnya atas keberadaan pelaku kapital domestik dari
kalangan pejabat dan mantan pejabat yang melakukan program pengkaplingan tanah
secara terselubung di wilayah hutan belantara pegunungan dan sekitarnya. Hanya
saja, para informan yang berhasil ditemui kurang berani menyebutkan identitas
pelaku kapital domestik yang bersangkutan. Namun mereka sangat menyayangkan
perilaku tersebut, karena menurut masyarakat bahwa seharusnyalah mereka yang
terlebih dahulu harus menunjukkan tingkat kepedulian dan partsisipasinya atas
kerawanan ekosistem dan dampak ekologis yang mulai dirasakan akibatnya dari
proses penggundulan hutan belantara pegunungan itu (Madjid dan Peribadi, 2005).
Karena itu
menurut Wahono (1994) bahwa diskusi mengenai pertumbuhan dan pemerataan hanya
dapat dimengerti lebih kaya bila digelar dalam alur pencarian jawab akan dinamika
ekonomi sosial desa. Hal ini hanya dapat dijawab dalam struktur pelapisan
masyarakat antara mereka yang dapat dikatakan patron sebagai orang yang hidupnya melampaui garis kecukupan dengan
mereka yang dikatakan clien sebagai
orang yang hidup diambang atau masih jauh di bawah kecukupan.
Atas dasar
itulah pemecahan masalah-masalah tanah bila ditinjau dari sudut pandang
sosiologis berarti pemecahan yang harus dimulai dengan menganalisa hubungan
antar golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai tanah dan aset atau modal
lain, dilanjutkan dengan usaha-usaha untuk mengubah hubungan-hubungan tersebut
(PKSPL-IPB, 2005). Artinya harus dipahami adanya lapisan yang penguasaannya
kuat ada pula yang lemah atau sama sekali tidak mempunyai kuasa apa pun
sehingga menjadi sangat bergantung. Hal ini didasari oleh kombinasi
faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial, dan ketiganya sukar dipisahkan
secara sempurna. Keterjalinan kepentingan politik, ekonomi dan sosial merupakan
suatu kenyataan yang harus kita ungkapkan secara berani dan obyektif, tanpa
menimbulkan praduga bahwa ungkapan seperti ini akan mengadu domba atau memecah
belah lapisan-lapisan masyarakat (Tjondronegoro, 1999).
QUO VADIS PERTANIAN RAKYAT KINI (Kompas, 18/3-2013)
Kini, nasib petani dan masa depan pertanian rakyat Indonesia sungguh gelap
gulita. Betapa tidak, untuk meneruskan predikat sebagai petani adalah sudah
pasti tidak mampu menjadi orang miskin di tengah segerombolan manusia yang
bergelimang kekayaan. Para petani sekuat tenaga mendorong anaknya keluar dari
sektor pertanian. Di sisi lain tidak ada kebijakan yang benar-benar mamihak kepada
petani. Ikhwal inilah yang mengemuka dalam sarasehan satu tahun atas kepergian
sang sosiolog pedesaan Prof. Dr. Ir. Sajogyo yang bertema “ Nasib dan Masa
Depan Petani dan Pertanian Indonesia”, di Bogor Jawa Barat dan dihadiri oleh pelopor
gerakan LSM yang juga pendiri Bina Swadaya Bambang Ismawan, Direktur Institut
Ecosoc Right Sri Palupi, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Idhan Arsyad,
pakar agraria Gunawan Wiradi, Staf Khusus Presiden Bidang Penanggulangan
Kemiskinan HS Dillon, budayawan Mohammad Sobari, sastrawan dan budayawan Ajip
Rosidi.
Menurut Bambang, hasil penelitian Ahmad Erani Yustika menunjukkan ada 88
persen petani yang hanya memiliki lahan kurang lebih 0,5 hektar. Penghasilan
mereka 80 persen dari luar sektor pertanian , seperti jadi tukang ojek, buruh,
tukang batu, dan pedagang kecil. “Apakah mereka layak disebut petani?” katanya.
Kegelapan nasib dan masa depan pertanian rakyat Indonesia semakin nyata
ketika petani sekuat tenaga mendorong anaknya agar tidak menjadi petani.
Fatalisme. Tantangannya bagaimana memperkuat usaha mereka, sekalipun itu di
luar sektor pertanian, agar tidak bertambah miskin selama-lamanya. Mereka menguasai
92 persen usaha mikro. Masalahnya di negara kita tidak ada sistem yang
memberdayakan dan mendukung usaha-usaha mikro yang menghidupi 240 juta jiwa
penduduk Indonesia. “Salah satu yang penting adalah memperkuat usaha mereka,”
katanya.
Palupi mengatakan, fenomena kehidupan petani dan nasib pertaniannya bisa
dilihat dari perkembangan desa TKI, atau desa yang memasok pekerja informal ke
luar negeri. Di sebuah desa di Sulawesi Utara, misalnya, terjadi pertumbuhan
desa TKI 100 persen dalam tiga tahun. “Kita bisa melihat dengan jelas dari
perkembangan TKI-nya.” Ujar Palupi. Menjadi petani sekarang seperti banyak
musuhnya. Pemerintah seperti tidak ikhlas kalau ada orang yang menjadi petani.
Di Palangkaraya nyaris tidak ada pertanian pangan selain sawit.
“Zaman Soeharto orang dipaksa dengan segala cara untuk menanam padi.
Sekarang orang dipaksa juga dengan segala cara meninggalkan tanam padi,”
tegasnya. Kini ada petani yang lahannya dicaplok perusahaan sawit. Ada petani
yang melawan dengan memasang spanduk dan orasi sendiri di depan rumahnya karena
tidak ada jalan lagi melawan. Semua jalan buntu. “Itu pun anak-anaknya sampai
diculik, supaya dia berhenti bicara,”
ungkapnya.
EPILOG
Capek khan, kalau kita terus
disuguhi dengan perdebatan sengit, dan kapan berakhirnya serta apa manfaatnya ?
Apa yang harus dilakukan oleh sebuah bangsa yang dikitari dengan hutan
belantara keterpasungan, sehingga mampu keluar dari lingkaran setan kehidupan
masyarakat kontemporer ? Ya, menurut guru bangsa Cak Nur perlu ditumbuhkan “Psychologikal
striking force”, supaya bisa mengemuka ide-ide cerdas dan segar.
Jika demikian, dalam bentuk apa
gerangan kekuatan pamungkas psikologis dimaksud, sehingga kelak menjelmah
pikiran kolektif yang segar dan mencerahkan serta sepakat untuk menguburkan
tindak-tanduk brutalisme dengan berbagai problematikanya ? Pasalnya, amat
sangat dibutuhkan model pencerahan yang kelak mampu menetralisir virus dan
bakteri akal bulus serta berbagai bentuk kejumudan lainnya. Namun dalam bentuk
apa gerangan ?
Apakah sejenis gerakan-gerakan SiPILIS,
agama beraliran sesat, politik dan ekonomi beraliran sesat dan para musuh
bebuyutannya, ataukah sebuah bengkel ala ESQ power Ary Ginanjar Agustian yang
mampu menghidupkan “mayat berjalan”
yang kebetulan jumlahnya cukup banyak malang melintang di republik tercinta ini
?
Akhirnya,
dalam upaya minimalisasi timbulnya pergolakan dan keresahan, maka amat perlu
dinetralisis berbagai kontradiksi dan ketimpangan serta kesenjangan ekonomi
antara lain melalui politik pemerataan, keadilan sosial, keseimbangan, dan
keterpaduan pembangunan ekonomi dengan pembangunan di bidang sosial-politik dan
kebudayaan. Demikian pula kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar sektor dan
antar daerah perlu dijaga secara konsisten.
Tampaknya, upaya membangun agroindustri
berbasis lokal, merupakan solusi alternatif dan strategis untuk keluar dari
lingkaran setan pemiskinan dan kemiskinan. Dalam konteks ini, menurut Prof. La
Rianda dalam bukunya yang berjudul: ”Kawasan Ekonomi Khusus dan Sistem
Kapitalisme Global (2012)”. Pertama,
membangun agroindustri yang berbasis sumber daya lokal yang ditopang oleh
komitmen yang kuat dari pemerintah dan stakeholder
adalah solusi untuk membentuk struktur perekonomian bangsa yang kuat.
Kedua, fokus dan
berkelanjutan dalam membangun agroindustri yang berbasis sumber daya lokal
adalah unsur mutlak sebagai salah penentu kompetisi produk agroindustri dalam
pasar domestik, regional dan internasional.
Ketiga, kelembagaan
agroindustri yang berbasis sumber daya lokal, fokus dan berkelanjutan harus
dibangun melalui pendekatan sistem karena sifatnya yang kompleks, dinamis dan
sibernetik dengan tetap memperhatikan asas kepemilikan negara dalam pengelolaan
sumber daya alam.
Keempat, upaya menekan
laju pertambahan kemiskinan dan pengangguran serta terdistribusinya pendapatan
secara merata dalam struktur ekonomi yang kuat perlu dibangun agroindustri yang
berbasis sumber daya lokal, fokus dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ishak, Syamsuddin, Otto,
|
|
1996
|
Gerakan Protes Petani, Sebuah Sketsa Teoritis Struktural Scottian
dan Kulturalis Weberian, dalam Prisma, No.7, 1996, LP3ES, Jakarta.
|
La Rianda, Baka,
|
|
2012
|
Kawasan Ekonomi Khusus dan
Sistem Kapitalisme Global, Domain Ketergantungan dan Kemiskinan Anak Bangsa,
Unhalu Press.
|
Majid, Ruslan dan Peribadi
|
|
2005
|
Fenomena Kenyang dan Lapar Tanah, Studi Sosiologi Pedesaan dan
Sosiologi Agraria di Kecamatan Lasusua, BBI, Tahun Anggaran 2004/2005.
|
Pelzer, J. Karl,
|
|
1990
|
Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Sinar
Harapan, Jakarta.
|
Peribadi,
|
|
2005
|
Sikap Moral dan Tindakan Rasional Petani, Sebuah Perdebatan
Konseptual Antara Scott dan Popkins, Makalah diskusi Publik tentang Sengketa
Tanah, Kerjasama BEM-Unhalu dan Kanwil BPN Sultra, 7 Januari 2005
|
2007
|
Berkah Dan Bencana Pemikiran: Secuil Refleksi Atas Tontonan
Realitas Sosial, Kertas Kerja dalam Sebuah Diskusi Publik Menyoal Islam dan
Kemajemukan di Indonesia, 29 Agustus 2007 di Audotorium Utama STAIN Kendari.
|
2011
|
Konfigurasi Politik Dan Karakter Ekonomi: Sebuah Telaah Kritis Dalam Perspektif
Ekonomi Politik, Sebuah Kertas Kerja Dalam Kegiatan Kursus Advokasi Untuk
Mahasiswa SULTRA, Minggu 16 Oktober 2011
|
Piliang, Amir, Yasraf,
|
|
1998
|
Dunia Yang Dilipat, Realitas
Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Pstmodernisme, Mizan,
Anggota Ikapi,
|
PKSPL - IPB
|
|
2005
|
Pelibatan Masyarakat Menanggulangi Kerusakan Lingkungan Pesisir dan
Laut, Warta Pesisir dan Lautan, No. 2 / Tahun 2005
|
Rajagukguk, Herman,
|
|
1995
|
Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra
Pratama, Jakarta.
|
Salman, Darmawan,
|
|
1996
|
Gerakan Protes Petani dan Integrasi Pedesaan, Prisma, Majalah
Kajian Ekonomi dan Sosial, No 7 – 1996, LP3ES, Jakarta
|
Scott James,
|
|
1984
|
Moral Eknomi Petani, LP3ES, Jakarta
|
Soetrisno, Loekman
|
|
1995
|
Menuju Masyarakat Partisipatif, Karnisius, Yokyakarta.
|
Tjondronegoro, M.P. Sediono,
|
|
1999
|
Sosiologi Agraria, Kumpulan Tulisan Terpilih, Penyunting:
Sitorus, Felix dan Wiradi Gunawan, Yayasan Akatiga, IPB,
|
Trijono, Lambang
|
|
1994
|
Pasca Revolusi Hijauh di Pedesaan Jawa Timur, Prisma 3 Maret 1994,
|
Wahono, Prancis
|
|
1994
|
Dinamika Ekonomi Sosial
Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijauh, Prisma 3 Maret 1994, Jakarta.
|
Yerimias T. Kaban,
|
|
Profil Kemiskinan di Nusa
Tenggara Timur, Prisma
No. 10 - 1995, LP3ES, Jakarta.
|
Harian Kompas, Tanggal
18 Maret 2013
No comments:
Post a Comment