Jan 2, 2014

PERBANDITAN SOSIAL DAN DRAMA PEMISKINAN: Sebuah Telaah Kritis Atas fenomena Kapitalisme Agraris

Oleh
Peribadi

PERBANDITAN SOSIAL DAN DRAMA PEMISKINAN:
Sebuah Telaah Kritis Atas fenomena Kapitalisme Agraris


Prolog. Apa tidak lucu menyoal proses penanggulangan kemiskinan yang menggeliat di tengah eskalasi drama pemiskinan yang kini aktor-aktrisnya mulai ditelanjangi di ruang pesakitan Tipikor ? Betapa tidak, bantuan ke-haribaan “warga komunitas miskin” tertumpah bagai air bah ke bumi persada. Namun “drama pemiskinan” di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan BUMN, bersenandung sejak Orba hingga sukses gemilang meraih “prestise negara terkorup”.
 Jika demikian, bukankah ketika kita menumbuhkembangkan bedah kemiskinan serta upaya-upaya penanggulangan dengan gaya khas gonta-ganti paradigma dan metodologis, adalah bagian integral dari “geliat sandiwara” yang tampak signifikan dengan “eskalasi drama pemiskinan dimaksud ???
Betapa sulit dipungkiri. Pasalnya, ketika kuping telinga mulai mengiang dan lensa pandang terasa pedas, karena geliat drama dan sandiwara dana siluman sekaliber BLBI yang tidak jelas jantrungnya, dana raksasa BI yang memuncrak kiri-kanan, serta kewajiban royalti pengusaha batu bara yang contra-productive. Tak pelak lagi, soal gratifikasi yang mulai mendamprak pejabat/mantan pejabat. Entah dana siluman apalagi yang kelak menggelegar dan entah siapa lagi yang bakal terkerangkeng pasca Jaksa Urip, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dll, sehingga nuansa dramatisme kian transparan dan sandiwara penanggulangan kemiskinan kian sulit terbantahkan ?
Dalam konteks ini, belum cukupkah gelegar drama kasus dana siluman tersebut dapat menyadarkan semua pelaku kemiskinan mulai dari lembah birokrasi yang bersenjatakan TKPKD hingga pada tataran LSM dengan berbagai paradigma penanggulannya ? Mengapa kita, baik dari kalangan akademisi, pemerhati dan pengamat maupun pelaku (TKPKD/P2KP/NUSSP, dan LSM), masih kepingin bersandiwara menyoal akar penyebab kemiskinan dalam perspektif kultural ?
Mengapa lensa pandang dan kuping telinga kita terkesan kabur dan tuli dengan duit siluman yang terhambur di tangan-tangan jahil kaum elite itu? Bukankah akibat dari “degelan-degelan politik” yang bernafsu mengumbar hiper-tontonan dengan biaya mahal, adalah penyebab utama bangsa dan negara tercinta ini berkubang kemiskinan plus berutang dollar ?
Mungkin demikianlah lucuisme kini saudaraku, karena kita tetap saja menggeliat menyoal kemiskinan, tanpa kepingin dipusingkan dengan ikhwal drama pemiskinan yang nota bene “berwajah malaikat”. “Tau aja lho” - kata sang kritikus di tempat belanja: “memangnya penjual sayur atau penjual ikan yang menyebabkan bangsa dan negara tercinta bernasib malang, suram dan buram ?”
        Adalah kian marak, ketika analogi drama dan teater dari Goffman sang ahli sosiologi kontemporer kita coba pinjam pisaunya untuk membedah proses interaksi sosial yang mampu menghipnotis penonton. Dan mungkin saja kepala kita tergeleng-geleng ketika kerangka konseptual ini direfleksikan ke arena birokrasi dan parlement, dll. Pasti dech…, di balik interaksi itu akan ditemukan segumpal kesadaran virtual di lorong-lorong psedou-liberalis, psedou-demokrasi, dan psedou-welfare dan psedou religius.


KAPITALISME NEOLIB: Spilis...?
Tampaknya, di tengah pergumulan pemikiran yang amat panjang nan melelahkan itu, sekonyong-konyong menjelmah sebuah gerakan lagi yang nota bene beraliran ”Spilis”. Jika demikian, jangan sampai memang, semua gebrakan kelompok sosial, termasuk dalam konteks politik dan ekonomi, juga nota bene sesat ? Wah gawat nih...’
        Libidoisme. Jean Francois Lyotard menggambarkan sebuah sistem ekonomi ekstasi yaitu sebuah sistem ekonomi (dan kehidupan pada umumnya) yang melepaskan dirinya dari kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar yang disebutnya sebagai ekonomi libido: manfaatkanlah potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam dirimu tanpa takut akan tabu dan adat; gunakan dan petontonkan sebebas-bebasnya keindahan-keindahan penampilan, kepribadian, wajah dan tubuhmu untuk membangkitkan gairah perputaran modal.
        Menurut Piliang (1998), takkala di suatu sistem ekonomi, kapital mengapung dan berputar secara bebas tanpa batas, takkala apapun dilakukan, dipertontonkan, diproduksi, dikomsumsi, digunakan demi perputaran uang dan spiritual, maka di dalam sistem seperti ini orang akan tenggelam dalam ekstasi perputaran uang (gaya hidup jet set, selebritis, judi, undian, lotre, kuis).
        Di dalam sistem ekonomi komoditi sebuah komoditi mendapatkan nilai tukarnya sesuai dengan nilai material, jasa, keterampilan atau intelektual yang dikeluarkan pada proses produksinya. Di dalam sistem ekstasi, judi, undian, lotre dan kuis, uang mengalir deras dan bebas bukan mengikuti hukum nilai tukar  melainkan hukum nilai keberuntungan. Lihat misanya ekstasi perputaran uang dalam acara televisi ”Ayo Tebak” atau ”Jari-jari” . sebuah pernyataan ”siapakah nama asli McGyper? Bisa berharga Rp. 2,5 juta atau 2.000 kali upah harian seorang buruh bangunan. Atau pertanyaan ”Apa senjata yang digunakan tokoh Callaghan dalam film The Enforce?” bisa bernilai Rp. 5 juta, lima bulan gaji seorang peneliti di universitas. Di sinilah uang tak lagi berfungsi seperti disebutkan Marx sebagai ”sistem representasi nilai makna” ekonomi”, melainkan sebagai sebuah ”sistem penampakan tanpa makna” yang merupakan perpanjangan tangan dari sistem ”bujuk rayu”, ekonomi masyarakat konsumer.
        Ekonomi disemarkan dengan gairah-gairah, keterpesonaan dan ekstasi demi kelancaran mengalirnya perputaran uang. Di dalam ekstasi perputaran uang ini setiap orang dapat menikmati ampas komoditi berupa hadiah kuis, bonus. Kuis, bonus adalah bentuk ekstasi perputaran komoditi dan barang sebagaimana pelacuran, fornograpi, cyber porno dan seks bebas adalah bentuk ekastasi sirkulasi seks.
Premanisme. Sungguh-sungguh mengagungkan ajakan pertobatan individu dan pertobatan kolektif yang diajarkan dan dihimbaukan oleh John Perkins, sebagai orang yang merasa paling amat berdosa atas upaya ”pemiskinan strategis” terhadap manusia dan masyarakat yang menghuni bumi dunia ketiga. Tak bisa bisa dibayangkan, kalau sekiranya seluruh komponen masyarakat, terutama kaum elite sosial dunia ketiga mempunyai kesadaran setingkat dengan John Perkins. Maka, sudah pasti, tidak ada perbedaan persepsi dan tindakan kita terhadap kehadiran BUSH sang”manusia maniak perang” dan ”si-anak emas yahudi” itu.
Betapa menakjubkan, ajakan John Perkins kepada anak-anak bangsa di dunia ketiga untuk melakukan hal yang sama, sebagaimana yang dia telah lakukan secara jujur, berani dan transparan. Meskipun ikhwal itu merupakan status position yang empuk dan beresiko nyawa bagi diri dan keluarganya, ketika hendak mencampakkan dan mengekspose tangan jahilnya di masa lalu. Betapa tidak, John Perkins mengajak kita untuk melakukan sebuah pengakuan (confessions) atas kesalahan dan kezahliman yang kita abaikan dan menumpulkan nurani kita selama ini.
Menurutnya, mengakui sebuah kesalahan adalah awal dari solusi dan mengakui sebuah dosa besar adalah awal dari keselamatan. Itulah fatwa kontemporer dan spektakuler dari seorang ekonom yang amat patut direnungi oleh siapapun, terutama bagi mereka yang telah dimanahi sebuah tugas dan tanggung jawab masa depan atas kesinambungan hidup masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini.
        Tak bisa dibayangkan, jenis kebahagian apa gerangan yang kelak menjelmah, ketika semua elite dalam berbagai kapasitasnya masing-masing, yang selama ini secara langsung (sadar) dan tidak langsung (tidak sadar) bertindak sebagai pendekar Hit Man (Baca: preman picisan). Misalnya, ”pejabat Hit Man”,  ”akademisi Hit Man”, dan bahkan mungkin menjadi ”Ustadz/Kiyai Hit Man”. Maka besar dugaan, kita akan kesulitan bertemu dengan ”rakyat pengemis”, ”pengusaha pengemis”, ”penguasa pengemis”, ”legislator pengemis” dan ”ulama/pendeta pengemis” dan lain sebagainya. Sebaliknya, kita akan bangga serta kagum menyaksikan bangkitnya kaum pendekar yang berjurus handal, mumpuni, dan sakti mandrguna serta mandiri dan percaya diri.
Paling tidak, menurut bayangan dan harapan Yudho Pedyanto (dalam Peribadi, 2011) bahwa dengan kesadaran dan pertobatan kolektif, kelak mengemuka serangkaian buku-buku sebagai efek domino dari Confessions of Economic Hit Man ini. Apakah itu Confessions of, yang merupakan pengakuan dari para pemimpin dan birokrat korup yang mengabaikan kepentingan warga negaranya dan melayani kepentingan korporasi-kapitalisme. Atau Confessions of, yang merupakan pengakuan dari para ustadz/kiyai yang menjadikan agama sebagai alat legitimasi kepentingan kapitalisme, liberalisme, dan sekularisme serta doa-doa yang bernuansa politik. Atau siapapun yang selama ini melakukan ”pembodohan terselubung” yang terus-menerus mengetengahkan Agama hanya sebatas dimensi moral dan spiritual semata, tanpa pernah melakukan pencerdasan dan penyadaran terhadap aspek politik-ideologi Islam. Mampukah ikhwal ini kita mulai ? Tentu saja bukan soal mampu dan tidak mampu. Akan tetapi, adakah niatan kita (Baca: political will) untuk mengembangkan gebrakan kesadaran revolusioner ala John Perkins itu ?
          Pragmatisme. Dalam konteks ini, perkenankan saya mengambil dua pandangan representatif dalam deru debu pragmatism pasca reformasi. Pertama, Saiful Mujani menyayangkan dan bahkan amat terkesan menyesalkan atas perilaku rasional pemilih, tidak diikuti atau disertai dengan perilaku rasional politisi daerah. Karena menurutnya, para calon kepala daerah pada umumnya mengeluarkan biaya sangat besar untuk melakukan serangan fajar serta membagi-bagikan uang atau barang kepada calon pemilih. Calon lawan pun melakukan hal yang sama. Maka amat mudah diterka bahwa ketika menang, kandidat akan mencari kesempatan untuk mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan plus labanya. Pasalnya, mungkinkah gaji seorang gubernur, bupati, atau walikota mencapai miliaran rupiah dalam lima tahun, sehingga modal Pemilukada dan labanya dapat diraih? Tentu tidak, dan karena itu korupsi adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan modal tersebut.
Kedua, Karni Ilyas terkesan lebih rinci mengekspos ongkos pengorbanan para kandidat dimaksud, yakni sejak awal dalam upaya pencarian dukungan partai yang terkesan berbelit-belit, karena tidak diatur dalam undang-undang, sampai pada biaya kampanye dan upah saksi di TPS. Menurutnya, bagi bupati rata-rata harus menyediakan Rp 300 juta-Rp 500 juta. Sementara untuk calon gubernur disinyalir 10 kali lipat. Kalau misalnya biaya saksi pemungutan suara dibutuhkan dana Rp 100 ribu untuk sekedar uang makan dua orang saksi. Sudah pasti, kalau sebuah kabupaten terdapat sebanyak 800-1000 TPS, maka si calon bupati sekurangnya harus merogoh koceknya Rp 80 juta - Rp 100 juta. Angka itu juga harus dikalikan 10 untuk calon gubernur.
        Memang betul, sebagaimana juga ditandaskan oleh kedua pengamat tersebut bahwa betapa sulit dibayangkan kalau Pak Bupati, Wali Kota, atau Gubernur baru tidak berniat mengembalikan modal yang dikeluarkannya untuk duduk dikursi panas itu. Lebih celaka lagi - kata Karni Ilyas - kalau modal itu didapat dari atau dipinjamkan oleh para kontraktor atau supplier daerah. Sudahlah, yang pasti, tidak ada orang yang dibiarkan tidak bertanggung jawab – alias bebas testing dari tanggung jawab. Tak pelak lagi, di Mahkamah Ilhiah nanti, takkan berfungsi kelincahan, kelicikan dan kelihaian kita sekalian.

KETIMPANGAN EKONOMI POLITIK
        Lebih membumi lagi, menurut Sugihardjanto, 1995 (dalam Peribadi, 2011) bahwa diagnosis krisis ekonomi politik yang antara lain dikemukakan oleh H. Denis, J. Marshal dan H. Guitton di awal tahun 50-an memungkinkan kita untuk kembali pada masalah-masalah utama dalam perdebatan dan pertentangan yang kemudian menyebabkan ditinggalkannya model keseimbangan umum yang diilhami oleh model ilmu fisika Newton. Perdebatan itu antara lain membahas masalah penolakan kesatuan metodologi dengan ilmu pengetahuan alam dan masalah pencarian kesatuan metodologi baru antara Ekonomi Politik dan Sejarah dan Sosiologi.
        Sementara itu, di tengah konstalasi Bangsa Indonesia selama kurun waktu Orde Baru, pembangunan tampak dikendalikan oleh dua kekuatan intelektual dominan yaitu kelompok ekonom dan kelompok teknolog. Kelompok ekonom tampil ke depan ketika Orde Baru mulai menjalankan reformasi ekonomi pada tahun 1970-an, sehingga pertumbuhan ekonomi, efisien, produktivitas, dan keunggulan komparatif, merupakan pokok-pokok masalah yang lazim terdengar dalam perbincangan sehari-hari. Namun ketika memasuki awal 1990-an tampaknya peran ekonom mulai sedikit tergeser. Pembicaraan tentang efisiensi atau keunggulan komparatif mulai jarang terdengar, sehingga pembicaraan baru yang kerapkali terlontar adalah seperti nilai tambah, teknologi canggih, industri strategis, lompatan ke depan, dan sumberdaya manusia yang digulirkan oleh kaum teknolog.
        Namun bagi Arif Budiman, bahwa kedua ”nomik” tersebut, yakni Widjojonomic dan Habibienomic adalah sekedar ganti kesing karena isi dalamnya adalah sama-sama berintikan kapitalisme. Kalau aliran pemikiran Widjojonomic alias pemikiran sang ekonom Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan didasarkan pada usaha untuk mengembangkan produksi barang yang memiliki keunggulan komparatif, sehingga laris di pasaran. Maka Habibie sang teknolog beranggapan lain bahwa kita harus menciptakan industri berteknologi tinggi yang mempunyai nilai tambah besar. Hanya dengan cara ini kita bisa terlepas dari cengkraman kekuatan ekonomi dunia. Lebih jauh, kita akan berperan sebagai salah satu aktor kekuatan ekonomi global. Untuk tujuan ini maka ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, mendidik tenaga teknolog yang handal untuk menguasai teknologi canggih. Kedua, mendirikan industri dengan teknologi tinggi untuk merebut sebagian pangsa pasar dunia. Namun ternyata hasil gebrakan dan karya besar Pak Habibie itu, kini telah disia-siakan oleh anak-anak bangsa yang menyimbolkan diri sebagai reformis. Betapa tidak, produksi komoditi penerbangan strategis dari Nurtanio tampak berseliwerang menjadi besi-besi bekas. 
        Tampaknya pandangan Peter Drucker lebih relevan dengan kondisi Bangsa Indonesia kini. Menurutnya, kini negara tidak lagi menjadi satu-satunya pusat kekuatan (center of power). Berbagai kekuatan lain dari organisasi politik dan ekonomi yang kian pluralistis dan menekan. Meskipun bagi Herbert Spencer sebagai ahli ekonomi liberal adalah termasuk sebagai salah seorang ahli yang menyangsikan peranan negara di dalam kegiatan ekonomi. Demikian pula Hayek sebagai ahli ekonomi menandaskan bahwa di dalam ekonomi pasar negara tidak sangat layak (incompetence) untuk terlibat di dalam ekonomi secara langsung, dan bahkan Hayek menolak sama sekali peranan negara di bidang ekonomi.
        Namun betapapun para ahli tersebut cenderung antitesis atas campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi, tetapi beberapa bidang kegiatan ekonomi tertentu harus digarap dan ditangani secara monopolistik. Misalnya produksi komoditi persenjataan strategis yang harus ditangani langsung oleh negara agar masyarakat terhindar dari upaya perebutan kelompok kepentingan. Meskipun tetap diakui bahwa sampai saat ini masih terdapat perbedaan mendasar tentang tingkat keterlibatan pemerintah di dalam kegiatan ekonomi tersebut.
        Para ahli ekonomi kesejahteraan (welfare economics) menilai bahwa pareto optimum dapat dicapai jika dasar-dasar sistem ekonomi pasar diterapkan dalam iklim yang kondusif. Tetapi di dalam kenyataan kita melihat bahwa pasar tidak bekerja sempurna untuk segala keadaan dan situasi. Pada bidang-bidang tertentu di mana pasar tidak bekerja sempurna, maka negara lagi-lagi harus tampil memainkan perannya agar sistem ekonomi terjaga kelangsungannya. Di sinilah negara memainkan peranan khususnya yang suportif. Selain itu menurut Stigler, negara harus juga dijaga dari rongrongan kelompok kepentingan (vested interest).
       
KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF EKOPOL
Secara substantif, pandangan atas kemiskinan yang berkembang di Indonesia tampak dalam dua bentuk “school of thought”, yakni dalam pandangan pakar dan LSM serta dalam pandangan pejabat. Bagi kaum pakar dan kalangan aktivis LSM bahwa kemiskinan terjadi sebagai akibat dari campur tangan yang terlalu luas dari negara terhadap kehidupan masyarakat, terutama pada masyarakat perdesaan. Menurutnya, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri, jika pemerintah mau memberi kebebasan untuk mengatur diri mereka sendiri. Sementara dalam lensa pandang pejabat bahwa kemiskinan itu bersumber dari masalah budaya, sehingga orang menjadi miskin karena faktor etos kerja yang lemah, tidak memiliki jiwa wiraswasta dan berpendidikan rendah.
Namun demikian, menurut Lukman Soetrisno (1995) bahwa kedua pandangan tersebut masih merupakan kategori pandangan dari luar. Keduanya belum berupaya memahami inti dari masalah kemiskinan dari pandangan kelompok miskin itu sendiri. Hal inilah yang sesungguhnya terjadi di masa Orde Baru, sehingga pengetahuan lokal (local knowledge) dimaksud C. Geertz beserta kearifan-kearifan sosial sebagai mutiara orang-orang terdahulu mengalami degradasi secara fundamental.
Pada tingkat unit analisis, menurut Yeremias T. Keban (1995) terdapat 4 (empat) kerangka teori yang berpengaruh. Pertama, kemiskinan dilihat sebagai produk kegagalan individu dan sikap yang menghambat niat untuk memperbaiki nasib. Perspektif ini diambil dari perkiraan banfield.
Kedua, kemiskinan merupakan akibat dari adanya kebudayaan kemiskinan. Kebudayaan tersebut meliputi sistem kepercayaan fatalistik, kurang mampu mengandalkan diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan, atau gagal dalam merencanakan masa depan dan kurang mampu mengandalkan peluang-peluang yang ada. Prespektif ini didasarkan atas karya Oscar Lewis.
Ketiga, kemiskinan merupakan akibat dari kurang tersedianya kesempatan (lack of  opportunity) untuk maju, dan seseorang menjadi miskin karena kurang memiliki keterampilan atau pendidikan tertentu. Pemikiran tersebut didasarkan atas karya Campbell dan Burkhead. Keempat, kemiskinan dapat dilihat dari sudut pandang Karl Marx, yakni kemiskinan merupakan akibat dari ulah kaum kapitalis dalam masyarakat melalui proses eksploitasi. Perspektif mana yang diduga sesuai dengan kondisi obyektif dengan warga masyarakat kita ???
Perspektif pertama dan kedua cenderung digolongkan ke dalam kelompok konservatif karena selalu mengkambinghitamkan kaum miskin sebagai sumber kemiskinan. Kedua pandangan ini diklassifikasi ke dalam paradigma “kulturalis”. Perspektif ketiga dianggap sebagai pencerminan dari aliran liberal karena mereka melihat bahwa kemiskinan berasal dari ketidak mampuan struktur yang ada dalam masyarakat. Sementara pandangan keempat berusaha memojokkan kaum kapitalis sebagai penyebab kemiskinan ini, sehingga disebut sebagai aliran radikal. Kedua pandangan terakhir ini dikelompokkan ke dalam paradigma “strukturalis”.

STRUKTUR EKOPOL DAN EKSPLOITASI KAPITALISME
Dalam konteks kepemilikan tanah atau lahan pertanian dan perkebunan, seolah kita tidak asing lagi dengan konsep petani yang “kenyang tanah dan petani yang lapar tanah”, yang mengarah pada ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak seimbang. Akibatnya, secara khusus bagi mereka yang kategori “tunakisma” tersebut cenderung bergantung (dependent) dan bahkan terkesan menjadi budak kepada mereka yang diklaim sebagai pelaku “eksploitasi kapitalisme agraris” (Scott, 1984, Rajagukguk, 1995, Darman, 1996; Tjondronegoro, 1999).
        Tampaknya, eksploitasi agraris dari kaum kapitalistik yang tampak lebih sistemik di dalam berbagai aspek kehidupan sosial, terlihat dalam konstalasi hubungan antara negara dan masyarakat, terutama yang selama ini berlangsung di dunia ketiga. Paling tidak, hal ini dapat ditelusuri melalui tiga teori, yakni, teori ketergantungan, strukturalis semi otonom dan neo klasik (Salman, 1996). Pertama, teori ketergantungan mempersepsikan bahwa negara ketiga tidak lebih dari perpanjangan tangan atau kelas komparador kapitalisme internasional, yang melalui kekuasaan ekonomi negara berkembang di kontrol dan diarahkan agar mengambil kebijakan pembangunan yang sesuai dengan keinginan kapitalis internasional, sehingga kalau negara berkembang ingin lebih mandiri menentukan kebijakan pembangunannya, maka ketergantungan tersebut seyogyanya diputuskan.
        Kedua, teori strukturalis semi otonom mempersepsikan negara sebagai lembaga politik yang lebih otonom, dimana negara dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelompok kepentingan sehingga dengan demikian pembangunan (oleh negara) dapat dipandang sebagai upaya menggalang sumber daya untuk menengahi konflik yang terjadi terutama antara kapital asing, kapital domestic, dan laipisan bawah masyarakat.
        Ketiga, teori neo klasik memandang negara sebagai pengambil keputusan ekonomi politik yang selalu bersandar pada pertimbangan dan pilihan mekanisme pasar yang rasional, dimana kebijakan ekonomi diputuskan berdasarkan pengaruh faktor teknologi, penduduk, pasar dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, sehingga perilaku negara dianggap berkisar pada pendayagunaan ekonomi nasional untuk memenuhi tuntutan pasar dan kesejahteraan masyarakat.
Tampaknya, teori structural semi otonom menjadi lebih relevan dalam melihat hubungan negara dan petani di era Orde Baru, karena: (1) teori ini memperlihatkan latar belakang historis hubungan negara dan masyarakat; (2) teori ini memberi tempat bagi konflik dalam eksistensi negara dimana negara memperkuat kekuasaannya melalui peranan menengahi konflik antar berbagai kelompok. (3) teori ini memperhatikan secara mendalam hubungan dinamis saling mempengaruhi antara pemerintah dan masyarakat.
Peranan negara dalam dinamika masyarakat petani pada Orde Baru setidaknya dapat di lihat dalam tiga model politik pembangunan yang diterapkan dalam kerangka pengintegrasian kawasan pedesaan kedalam negara.
Pertama, dalam format “pembangunan politik” Orde Baru menempuh kebijakan “masa mengambang” dimana massa pedesaan diputuskan hubungannya secara permanen dengan Partai Politik sehingga praktis sesudah itu massa petani kehilangan kekuatan politiknya. Kebijakan ini didasari pengalaman masa pemerintahan orde lama dimana kontrol negara terhadap masyarakat tani begitu lemah, sehingga massa petani menjadi ajang pertarungan pengaruh dan dukungan bagi Partai Politik seperti PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Dengan mengasingkan pedesaan dari dunia politik, maka Orde Baru dapat menjamin stabilitas politik dan melalui kontrol serta mobilisasi politik dari bawah yang dipercayakan kepada aparat negara ditingkat desa.
Kedua, dalam pembangunan pertanian Orde Baru telah menjalankan Revolusi Hijau melalui adopsi inovasi teknologi (pupuk sintesis, bibit unggul, dan aplikasi pestisida) yang ditunjang oleh inovasi kelembagaan (perkreditan, perkoperasian, kelompok tani dan Perkumpulan Petani Pemakai Air-P3A) dan perangkat fisik (irigasi dan jalan tani), dengan target utama pada pencapaian dan pelestarian swasembada beras demi stabilitas sosial, ekonomi dan politik. Kini, para guru besar IPB sebagai perancang utama mega proyek Revolusi Hijauh terkesan menyesali kepedekarannya di masa lalu, sehingga mereka menelaah kritisi yang tertuang dalam buku: “Merevolusi Revolusi Hijauh, 2008”.
  Ketiga, dalam pembangunan desa, negara telah mengalirkan sejumlah proyek ke pedesaan guna perbaikan infrastruktur fisik pedesaan (jalan, jembatan, gedung sekolah, puskesmas, kantor aparat desa dan sebagainya), atau proyek lainnya seperti “Pengembangan Kawasan Terpadu” (PKT) dan “Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan fokus pada pengentasan kemiskinan. Kini, ikhwal kemiskinan masyarakat menjadi obyek pengembangan program PNPM Mandiri Perkotaan yang paradigma dan metodologisnya direduksi dari P2KP karena dianggap sukses gemilang dalam program penanggulangan kemiskinannya.  
   Memang masalah pemilikan tanah merupakan lambang status ekonomi di daerah pedesaan (Trijono, 1994). Namun saat ini sangat perlu ditinjau proses dan latar belakang pemilikan tanah seseorang di pedesaan. Berbagai latar belakang seseorang atau sekolompok orang memiliki tanah baik tanah yang luas maupun yang sempit berupa tanah sawa, ladang dan pekarangan.
Dalam perspektif hukum, menurut Rajagukguk (1995) bahwa dalam kenyataannya Land reform tidak dijalankan sebagaimana mestinya atau sebagimana yang dimaksudkan, karena sedikitnya tiga sebab : (1) beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut sulit diterapkan; (2) kondisi sosial, politik dan ekonomi tidak mendukung pelaksanaan program ini; dan (3) menurut rumusan yang dibuat lebih dari ¼ abad yang lalu (1960), tidak ada cukup tanah di Jawa untuk dibagikan kepada semua petani yang tidak memiliki tanah. Pada akhirnya, gagalnya pelaksanaan land reform menjadi tragedi dalam sejarah Indonesia. Padahal, kuping telinga bisa membengkak ketika mendengar ada konglomerat di Republik tercinta ini memiliki tanah seluas negara Swiss...Astagafirullah!
Betapa tidak, lanjut Rajagukguk (1995) bahwa sejak Indonesia mencapai kemerdekaan tahun 1945, setidaknya ada masalah yang mendasar dalam hukum tanah kita: (1) meliputi masalah kepemilikan tanah yang tidak proforsional dan kebutuhan tanah yang semakin meningkat di pulau Jawa yang kecil dibanding dengan penduduknya yang terus bertambah. Soal-soal tersebut memunculkan masalah land reform, distribusi tanah, bagi hasil, dan hubungan sewa menyewa antara pemilik tanah dan penggarap; dan (2) masalah tersebut melahirkan ide perlunya pembaharuan dalam hukum tanah itu sendiri.
Tak pelak lagi, ketika kita mengacu pada hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Wahono (1994) tampak ada petunjuk bahwa tekanan penduduk dan orientasi pemodal, berpihak pada cara produksi dan belanja lapisan petani atas dari pada petani bawah. Tetapi mengapa pranata distribusi alternatif yang lebih kerakyatan susah munculnya ? Jawabannya dapat direntang dari kuatnya hegemoni negara sampai budaya ekonomi nrimo dan pasrah petani Jawa.
Meskipun menurut hasil penelitian Trijono (1994) dalam kesimpulannya disebutkan bahwa terjadinya polarisasi di pedesaan Jawa adalah bukan polarisasi yang ditentukan oleh konsentrasi pemilikan tanah sebagaimana sering dikemukakan oleh penganut ekonomi politik radikal. Tetapi lebih merupakan polarisasi yang terjadi sebagai kensekwensi semakin tergantungnya ekonomi desa kepada ekonomi luar desa atau perekonomian nasional. Dalam hal ini polarisasi akan berkembang jika kesempatan hidup di luar pertanian semakin terbatas menampung mereka yang tergeser dari pertanian.
Dengan kata lain, polaisasi yang berkembang bukan konflik kelas antara pemilik tanah dengan buruh tani sebagai akibat kontradiksi internal dalam organisasi produksi pertanian. Tetapi lebih merupakan konflik yang terjadi karena semakin sempitnya katub penyelamat dan terbatasnya peluang untuk memperoleh sumber ekonomi dari luar pertanian. Tentu saja fenomena tersebut agak sulit dipisahkan atau dibedakan, karena banyak orang dari luar desa (petani berdasi) yang memiliki tanah yang kemudian dipekerjakan kepada penduduk setempat. Hal ini berarti merupakan polarisasi sebagai akibat dari konsentrasi pemilikan tanah antara orang-orang kota dengan penduduk setempat.
Apabila kita amati dengan cermat perihal permasalahan lahan di Indonesia tampak ada perubahan mendasar yang terjadi dalam permasalahan itu. Perubahan ini membuat permasalahan tanah saat ini menjadi lebih kompleks sifatnya. Dua puluh tahun yang lampau permasalahan tanah merupakan permasalahan lokal desa ditinjau dari siapa yang terlibat. Pada saat ini pengertian kita terhadap permasalahan tanah hanya terbatas pada persoalan pemilikan tanah berlebihan yang dimiliki oleh seorang penduduk desa ataupun ketidak adilan dalam pembagian hasil antara petani pemilik tanah dengan penyakap. Kecuali pada masa menjelang pecahnya peristiwa G.30.S/PKI, persoalan tersebut jarang muncul secara terbuka sampai melintasi batas desa. Pada saat itu, pada dasarnya persoalan pertanahan adalah masalah desa. Hubungan khusus patron-client yang mewarnai hubungan antara petani pemilik tanah luas dan petani gurem dan buruh tani, menyebabkan setiap persoalan tanah yang muncul dalam suatu desa dapat teredam. Pada saat ini persoalan tanah telah berubah sifatnya, yang terlibat dalam persoalan tanah bukan lagi pemilik tanah desa melawan buruh tani, tetapi antara pemilik modal besar melawan pemilik tanah setempat, dan antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa (Soetrisno, 1995. 62).
Tampaknya, fenomena dimaksud ini telah terjadi di sekitar wilayah pegunungan kakao Kabupaten Kolaka Utara yang mengundang perhatian para akademisi untuk mengkajinya lebih mendalam. Betapa tidak, semua warga masyarakat mengakui sejujurnya atas keberadaan pelaku kapital domestik dari kalangan pejabat dan mantan pejabat yang melakukan program pengkaplingan tanah secara terselubung di wilayah hutan belantara pegunungan dan sekitarnya. Hanya saja, para informan yang berhasil ditemui kurang berani menyebutkan identitas pelaku kapital domestik yang bersangkutan. Namun mereka sangat menyayangkan perilaku tersebut, karena menurut masyarakat bahwa seharusnyalah mereka yang terlebih dahulu harus menunjukkan tingkat kepedulian dan partsisipasinya atas kerawanan ekosistem dan dampak ekologis yang mulai dirasakan akibatnya dari proses penggundulan hutan belantara pegunungan itu (Madjid dan Peribadi, 2005).
        Karena itu menurut Wahono (1994) bahwa diskusi mengenai pertumbuhan dan pemerataan hanya dapat dimengerti lebih kaya bila digelar dalam alur pencarian jawab akan dinamika ekonomi sosial desa. Hal ini hanya dapat dijawab dalam struktur pelapisan masyarakat antara mereka yang dapat dikatakan patron sebagai orang yang hidupnya melampaui garis kecukupan dengan mereka yang dikatakan clien sebagai orang yang hidup diambang atau masih jauh di bawah kecukupan.
        Atas dasar itulah pemecahan masalah-masalah tanah bila ditinjau dari sudut pandang sosiologis berarti pemecahan yang harus dimulai dengan menganalisa hubungan antar golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai tanah dan aset atau modal lain, dilanjutkan dengan usaha-usaha untuk mengubah hubungan-hubungan tersebut (PKSPL-IPB, 2005). Artinya harus dipahami adanya lapisan yang penguasaannya kuat ada pula yang lemah atau sama sekali tidak mempunyai kuasa apa pun sehingga menjadi sangat bergantung. Hal ini didasari oleh kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial, dan ketiganya sukar dipisahkan secara sempurna. Keterjalinan kepentingan politik, ekonomi dan sosial merupakan suatu kenyataan yang harus kita ungkapkan secara berani dan obyektif, tanpa menimbulkan praduga bahwa ungkapan seperti ini akan mengadu domba atau memecah belah lapisan-lapisan masyarakat (Tjondronegoro, 1999).



QUO VADIS PERTANIAN RAKYAT KINI (Kompas, 18/3-2013)
Kini, nasib petani dan masa depan pertanian rakyat Indonesia sungguh gelap gulita. Betapa tidak, untuk meneruskan predikat sebagai petani adalah sudah pasti tidak mampu menjadi orang miskin di tengah segerombolan manusia yang bergelimang kekayaan. Para petani sekuat tenaga mendorong anaknya keluar dari sektor pertanian. Di sisi lain tidak ada kebijakan yang benar-benar mamihak kepada petani. Ikhwal inilah yang mengemuka dalam sarasehan satu tahun atas kepergian sang sosiolog pedesaan Prof. Dr. Ir. Sajogyo yang bertema “ Nasib dan Masa Depan Petani dan Pertanian Indonesia”, di Bogor Jawa Barat dan dihadiri oleh pelopor gerakan LSM yang juga pendiri Bina Swadaya Bambang Ismawan, Direktur Institut Ecosoc Right Sri Palupi, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Idhan Arsyad, pakar agraria Gunawan Wiradi, Staf Khusus Presiden Bidang Penanggulangan Kemiskinan HS Dillon, budayawan Mohammad Sobari, sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi.
Menurut Bambang, hasil penelitian Ahmad Erani Yustika menunjukkan ada 88 persen petani yang hanya memiliki lahan kurang lebih 0,5 hektar. Penghasilan mereka 80 persen dari luar sektor pertanian , seperti jadi tukang ojek, buruh, tukang batu, dan pedagang kecil. “Apakah mereka layak disebut petani?” katanya.
Kegelapan nasib dan masa depan pertanian rakyat Indonesia semakin nyata ketika petani sekuat tenaga mendorong anaknya agar tidak menjadi petani. Fatalisme. Tantangannya bagaimana memperkuat usaha mereka, sekalipun itu di luar sektor pertanian, agar tidak bertambah miskin selama-lamanya. Mereka menguasai 92 persen usaha mikro. Masalahnya di negara kita tidak ada sistem yang memberdayakan dan mendukung usaha-usaha mikro yang menghidupi 240 juta jiwa penduduk Indonesia. “Salah satu yang penting adalah memperkuat usaha mereka,” katanya.
Palupi mengatakan, fenomena kehidupan petani dan nasib pertaniannya bisa dilihat dari perkembangan desa TKI, atau desa yang memasok pekerja informal ke luar negeri. Di sebuah desa di Sulawesi Utara, misalnya, terjadi pertumbuhan desa TKI 100 persen dalam tiga tahun. “Kita bisa melihat dengan jelas dari perkembangan TKI-nya.” Ujar Palupi. Menjadi petani sekarang seperti banyak musuhnya. Pemerintah seperti tidak ikhlas kalau ada orang yang menjadi petani. Di Palangkaraya nyaris tidak ada pertanian pangan selain sawit.
“Zaman Soeharto orang dipaksa dengan segala cara untuk menanam padi. Sekarang orang dipaksa juga dengan segala cara meninggalkan tanam padi,” tegasnya. Kini ada petani yang lahannya dicaplok perusahaan sawit. Ada petani yang melawan dengan memasang spanduk dan orasi sendiri di depan rumahnya karena tidak ada jalan lagi melawan. Semua jalan buntu. “Itu pun anak-anaknya sampai diculik, supaya dia berhenti  bicara,” ungkapnya.





EPILOG
Capek khan, kalau kita terus disuguhi dengan perdebatan sengit, dan kapan berakhirnya serta apa manfaatnya ? Apa yang harus dilakukan oleh sebuah bangsa yang dikitari dengan hutan belantara keterpasungan, sehingga mampu keluar dari lingkaran setan kehidupan masyarakat kontemporer ? Ya, menurut guru bangsa Cak Nur perlu ditumbuhkan “Psychologikal striking force”, supaya bisa mengemuka ide-ide cerdas dan segar.
Jika demikian, dalam bentuk apa gerangan kekuatan pamungkas psikologis dimaksud, sehingga kelak menjelmah pikiran kolektif yang segar dan mencerahkan serta sepakat untuk menguburkan tindak-tanduk brutalisme dengan berbagai problematikanya ? Pasalnya, amat sangat dibutuhkan model pencerahan yang kelak mampu menetralisir virus dan bakteri akal bulus serta berbagai bentuk kejumudan lainnya. Namun dalam bentuk apa gerangan ?
        Apakah sejenis gerakan-gerakan SiPILIS, agama beraliran sesat, politik dan ekonomi beraliran sesat dan para musuh bebuyutannya, ataukah sebuah bengkel ala ESQ power Ary Ginanjar Agustian yang mampu menghidupkan “mayat berjalan” yang kebetulan jumlahnya cukup banyak malang melintang di republik tercinta ini ?
            Akhirnya, dalam upaya minimalisasi timbulnya pergolakan dan keresahan, maka amat perlu dinetralisis berbagai kontradiksi dan ketimpangan serta kesenjangan ekonomi antara lain melalui politik pemerataan, keadilan sosial, keseimbangan, dan keterpaduan pembangunan ekonomi dengan pembangunan di bidang sosial-politik dan kebudayaan. Demikian pula kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar sektor dan antar daerah perlu dijaga secara konsisten.
        Tampaknya, upaya membangun agroindustri berbasis lokal, merupakan solusi alternatif dan strategis untuk keluar dari lingkaran setan pemiskinan dan kemiskinan. Dalam konteks ini, menurut Prof. La Rianda dalam bukunya yang berjudul: ”Kawasan Ekonomi Khusus dan Sistem Kapitalisme Global (2012)”. Pertama, membangun agroindustri yang berbasis sumber daya lokal yang ditopang oleh komitmen yang kuat dari pemerintah dan stakeholder adalah solusi untuk membentuk struktur perekonomian bangsa yang kuat.
Kedua, fokus dan berkelanjutan dalam membangun agroindustri yang berbasis sumber daya lokal adalah unsur mutlak sebagai salah penentu kompetisi produk agroindustri dalam pasar domestik, regional dan internasional.
Ketiga, kelembagaan agroindustri yang berbasis sumber daya lokal, fokus dan berkelanjutan harus dibangun melalui pendekatan sistem karena sifatnya yang kompleks, dinamis dan sibernetik dengan tetap memperhatikan asas kepemilikan negara dalam pengelolaan sumber daya alam.
Keempat, upaya menekan laju pertambahan kemiskinan dan pengangguran serta terdistribusinya pendapatan secara merata dalam struktur ekonomi yang kuat perlu dibangun agroindustri yang berbasis sumber daya lokal, fokus dan berkelanjutan.

 


DAFTAR PUSTAKA


Ishak, Syamsuddin, Otto,
1996
Gerakan Protes Petani, Sebuah Sketsa Teoritis Struktural Scottian dan Kulturalis Weberian, dalam Prisma, No.7, 1996, LP3ES, Jakarta.


La Rianda, Baka,
2012
Kawasan Ekonomi Khusus dan Sistem Kapitalisme Global, Domain Ketergantungan dan Kemiskinan Anak Bangsa, Unhalu Press.


Majid, Ruslan dan Peribadi
2005
Fenomena Kenyang dan Lapar Tanah, Studi Sosiologi Pedesaan dan Sosiologi Agraria di Kecamatan Lasusua, BBI, Tahun Anggaran 2004/2005.


Pelzer, J. Karl,
1990
Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Sinar Harapan, Jakarta.


Peribadi,
2005
Sikap Moral dan Tindakan Rasional Petani, Sebuah Perdebatan Konseptual Antara Scott dan Popkins, Makalah diskusi Publik tentang Sengketa Tanah, Kerjasama BEM-Unhalu dan Kanwil BPN Sultra, 7 Januari 2005


2007
Berkah Dan Bencana Pemikiran: Secuil Refleksi Atas Tontonan Realitas Sosial, Kertas Kerja dalam Sebuah Diskusi Publik Menyoal Islam dan Kemajemukan di Indonesia, 29 Agustus 2007 di Audotorium Utama STAIN Kendari.


2011
Konfigurasi Politik Dan Karakter Ekonomi: Sebuah Telaah Kritis Dalam Perspektif Ekonomi Politik, Sebuah Kertas Kerja Dalam Kegiatan Kursus Advokasi Untuk Mahasiswa SULTRA, Minggu 16 Oktober 2011


Piliang, Amir, Yasraf,
1998
Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Pstmodernisme, Mizan, Anggota Ikapi, Bandung


PKSPL - IPB
2005
Pelibatan Masyarakat Menanggulangi Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut, Warta Pesisir dan Lautan, No. 2 / Tahun 2005


Rajagukguk, Herman,
1995
Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, Jakarta.


Salman, Darmawan,
1996
Gerakan Protes Petani dan Integrasi Pedesaan, Prisma, Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial, No 7 – 1996, LP3ES, Jakarta


Scott James,
1984
Moral Eknomi Petani, LP3ES, Jakarta


Soetrisno, Loekman
1995
Menuju Masyarakat Partisipatif, Karnisius, Yokyakarta.


Tjondronegoro, M.P. Sediono,
1999
Sosiologi Agraria, Kumpulan Tulisan Terpilih, Penyunting: Sitorus, Felix dan Wiradi Gunawan, Yayasan Akatiga, IPB, Bogor.


Trijono, Lambang
1994
Pasca Revolusi Hijauh di Pedesaan Jawa Timur, Prisma  3 Maret 1994, Jakarta.


Wahono, Prancis
1994
Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijauh, Prisma 3 Maret 1994, Jakarta.


Yerimias T. Kaban,

Profil Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur, Prisma No. 10 - 1995, LP3ES, Jakarta.


Harian Kompas, Tanggal 18 Maret 2013

No comments:

Post a Comment