Jan 2, 2014

TUGAS MATA KULIAH: FILSAFAT ILMU II

Reviewer: Peribadi
Atas Tulisan Scott Gordon
THE HISTORY AND PHILOSOPY OF SOCIAL SCIENCE, London and New York
Pada Bab 15
The Development Of Sociological Theory

      
  Prolog. Menurut Scott Gordon dalam bukunya “The History and Philosopy of Social Science, 1994”, diskusi tentang sejarah pemikiran ilmu sosial dan khususnya tentang perkembangan teori sosiologi, dianggap oleh para ilmuawan sosial sebagai tugas yang sangat berat dan sangat menantang. Hal itupun diakui oleh Turner dalam bukunya “Who’s Araid of the History of Sociology, 1998” dan Ritzer dan Goodman dalam buku “Teori Sosiologi Moderen, 2010”.
        Demikian pula, menurut Surbakti dalam mengantar buku “Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, 2010”. Menurutnya, untuk mengevaluasi suatu teori sosial diperlukan parameter yang relatif lengkap yang tidak hanya berguna untuk menilai suatu teori yang dianggap oleh Gordon sebagai proses penelaahan yang diperhadapkan dengan beberapa kesulitan khusus, sehingga tidak mudah untuk menentukan materi pelajaran sosiologi dengan cara yang berbeda-beda di antara ilmu-ilmu sosial lainnya. Akan tetapi, juga menjadi pedoman untuk mengeidentifikasi isi suatu teori sosial yang bisa memudahkan.
        Selain menjadi tugas berat bagi kaum ilmuawan sosial, juga mereka tak dapat memastikan kapan teori sosiologi itu lahir. Yang pasti, orang-orang telah memikirkan dan membangun teori tentang kehidupan sosial sejak zaman paling awal dalam sejarah pemikiran dan perkembangan teori sosiologi. Meskipun dengan terpaksa harus diakui bahwa jauh sebelumnya Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah (Lajnah al-Bayan al-Arabi) telah membahas pengaruh letak geografis (letak bumi) terhadap gejala, perilaku dan aktivitas masyarakat.
        Namun Scott Gordon kemudian menandaskan bahwa tak seorang pun pemikir abad 17 itu yang menganggap diri mereka sebagai sosiolog, dan bahkan sedikit sekali di antara mereka itu yang kini dianggap sebagai sosiolog. Namun pada 1800-an kita mulai menemukan pemikir yang secara jelas dapat disebut sosiolog dan mereka itulah yang menjadi sasaran perhatian dalam tulisan ini.
        Dalam konteks ini, kita akan mulai meneliti latar sosial dan gerakan-gerakan intelektual utama yang mempengaruhi dan membentuk gagasan dan pemikiran mereka. Karena dalam era inilah sejumlah besar penulis memberikan kontribusi dalam konteks pengembangan sosiologi modern. Meskipun menurut Scott Gordon hanya tiga di antaranya yang tampak melangit atau amat ternama ketimbang yang lainnya, sehingga khusus bab 15 dalam buku ini kajian difokuskan kepada mereka itu, yakni Herbert Spencer sebagai seorang berkebangsaan Inggris, Emile Durkheim berkebangsaan Prancis, dan Max Weber sebagai seorang  yang berkebangsaan Jerman.
        Memang dalam pandangan Scott Gordon bahwa Saint-Simon dan Comte juga dianggap cukup penting dalam pengembangan pemikiran sosial pada abad kesembilan belas, tetapi tulisan-tulisan mereka dianggap terlalu spekulatif dan metafisis serta dianggap antitesis dengan sosiologi positivisme yang merupakan wacana dan peletak dasar teori sosiologi moderen.
        Karena itu, tradisi arus utama penelitian sosiologis modern yang terutama berlangsung di Amerika Serikat, baik dalam bentuk praktikal maupun menjadi sumber inspirasi pengembangan grand teori sosiologi, kebanyakan sosiologi tidak merujuk kepada Saint-Simon atau Comte. Karena secara lebih substantif, ketika mengkaji perilaku sosial serta perdebatan metodologis yang demikian panjang mengemuka, maka metodologi Spencer, Durkheim, dan Weber lebih dianggap efektif dalam mendefinisikan serta mengembangkan banyak konsep yang berguna dalam pengembangan teoritis serta penelitian empiris ke depan.
       
A. HERBERT SPENCER (1820-1903)
        Spencer yang lahir di Derby, Inggris, 27 April 1820 adalah acapkali disamakan dengan Comte dalam arti pengaruh mereka terhadap perkembangan teori sosiologi, meski ditemukan beberapa perbedaan penting di antara mereka. Memang demikian bahwa ada perbedaan penting antara Spencer dan Comte, tetapi mereka pun mempunyai kesamaan orientasi, atau setidaknya kesamaan interpretasi dalam menumbuhkembangkan teori sosiologi. Dalam artian, Comte, Spencer dan Durkheim serta lainnya adalah sama-sama berkomitmen terhadap pengembangan ilmu sosiologi. Seperti halnya comte, maka Spencer mempunyai konsep evolusi tentang perkembangan historis, meski pada sisi lain ia pun mengkritik teori evolusi Comte dengan beberapa alasan.
        Menurut Beilharz (2005) bahwa memang agak sulit menggolongkan Spencer sebagai pemikir konservatif. Sebenarnya, pada awalnya, Spencer lebih tepat dipandang beraliran politik liberal dan ia tetap memelihara unsur-unsur liberalisme di sepanjang hidupnya. Tetapi, juga benar bahwa pemikiran Spencer tumbuh semakin konservatif selama hidupnya, sebagaimana halnya Comte yang juga konservartif.
        Spencer sebagai seorang Darwinis Sosial yang menganut pandangan evolusi dan berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang makin baik, sehingga kehidupan masyarakat tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan dari faktor eksternal yang acapkali memperburuk keadaan. Menurutnya, institusi sosial seperti halnya tumbuh-tumbuhan dan binatang mampu beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Dengan demikian, berarti Spencer pun menerima pandangan Darwinian tentang “survival of the fittest”.
        Spencer juga menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri, sehingga Spencer dianggap memiliki seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Karena pada awalnya gagasannya tampak sukses gemilang, meskipun kemudian menjadi redup karena mengalami kevakuman selama beberapa tahun. Akan tetapi, melejit kembali ketika menjelmah teori sosiologi yang beraliran “neo-evolusionisme”.
        Akan tetapi, ternyata, teori dan konsep-konsep Darwin yang menjadi landasan ilmiah serta merupakan instrumen kebiadaban para pemimpin otoriter ketika itu hingga penganutnya kini,  tampak mengandung 11 (sebelas) mantra hitam Darwinisme sebagai kebohongan dan kepalsuan yang baru terbongkar ketika memasuki abad ke-20 (www.harunyahya.com).
        Pertama, Darwinisme tidak lagi mampu mengatakan bahwa protein dapat terbentuk melalui evolusi. Sebab peluang terbentuknya satu protein saja dengan urutan yang benar secara acak  adalah 1 per 10950, sebuah angka yang menunjukkan kemustahilan secara matematis.
        Kedua, Darwinisme tidak lagi merujuk kepada fosil sebagai bukti terjadinya evolusi. Hal ini karena seluruh penggalian yang dilakukan dari pertengahan abad ke-19 hingga kini, tak satu pun dari "bentuk-bentuk peralihan" yang menurut para evolusionis seharusnya ada dalam jumlah jutaan, ternyata tidak pernah ditemukan. Telah disadari bahwa ini tidak lain hanyalah sebuah kisah khayalan.
        Ketiga, Para evolusionis berputus asa di hadapan fosil-fosil yang berjumlah tak berhingga yang telah berhasil digali hingga saat ini. Hal ini disebabkan semua fosil-fosil ini memiliki seluruh ciri-ciri yang mendukung dan membuktikan penciptaan.
        Keempat, Para evolusionis tidak lagi mampu menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah nenek moyang burung, sebab penelitian terkini menunjukkan bahwa Archaeopteryx memiliki struktur anatomi dan otak yang sempurna yang diperlukan untuk terbang. Archaeopteryx adalah seekor burung sejati, sehingga "dongeng khayal tentang evolusi burung" tidak lagi dapat dipertahankan keabsahannya.
        Kelima, Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan urutan palsu yang dikenal sebagai "silsilah evolusi kuda." Telah diketahui bahwa urutan silsilah palsu ini tersusun dari sejumlah spesies terpisah yang hidup di zaman yang berbeda dan di wilayah yang berbeda.
        Keenam, Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan fosil yang dikenal sebagai Coelocanth untuk mendukung dongeng khayal peralihan dari air ke darat, sebab makhluk yang dikukuhkan sebagai bentuk peralihan yang punah, ternyata ikan yang menghuni dasar lautan yang kini masih hidup, dan lebih dari 200 ikan hidup dari jenis tersebut hingga kini telah berhasil ditangkap.
        Ketujuh, Darwinisme tidak mampu lagi menyatakan bahwa makhluk hidup seperti Ramapithecus dan serangkaian Australopithecus (A. Bosei, A. Robustus, A. Aferensis, Africanus dan seterusnya) adalah para nenek moyang manusia. Karena Hasil penelitian terhadap fosil-fosil telah memperlihatkan bahwa semua makhluk ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan manusia dan merupakan spesies-spesies kera sejati yang punah.
        Kedelapan, Darwinisme tidak akan mampu lagi membohongi masyarakat dengan gambar-gambar rekonstruksi [mereka ulang], sebab para ilmuwan telah dengan jelas mengungkapkan bahwa rekonstruksi yang didasarkan pada sisa-sisa tubuh hewan yang pernah hidup di masa lalu itu, tidaklah bernilai ilmiah dan sama sekali tidak dapat dipercaya.
        Kesembilan, Darwinisme tidak mampu lagi mengemukakan "Manusia Piltdown" sebagai bukti bagi evolusi, sebab penelitian menunjukkan bahwa fosil seperti "Manusia Piltdown" tidak pernah ada dan selama 40 tahun masyarakat telah dibohongi dengan sepotong rahang orang hutan yang direkatkan pada sebongkah tengkorak manusia.
        Kesepuluh, Darwinisme tidak dapat lagi menyatakan bahwa "Manusia Nebraska" dan keluarganya membenarkan evolusi, sebab telah dikukuhkan bahwa fosil-fosil gigi geraham yang dijadikan bukti bagi kisah "Manusia Nebraska" ternyata milik sejenis babi liar yang telah punah.
        Kesebelas, Darwinisme tidak lagi mampu menyatakan bahwa seleksi alam mendorong terjadinya evolusi, sebab telah dibuktikan secara ilmiah bahwa mekanisme yang dimaksud tidak dapat menyebabkan makhluk hidup berevolusi dan tidak dapat menyebabkan mereka memperoleh sifat-sifat baru.
          Semua ini terkuak belangnya ketika sains dan teknologi berkembang pesat di abad 20, sehingga gagasan materialisme ala Darwinisme tersebut terpelanting di panggung sejarah keilmuan. Sementara puncak dari keruntuhan hegemoni pembohongan publick yang relatif amat panjang ini, adalah terkuak ketika Pada tahun 1929 di observatorium Mount Wilson California, seorang ahli astronomi Amerika yang bernama Edwin Hubble menggelegarkan sebuah penemuan terbesar di sepanjang sejarah astronomi.
        Penemuan yang dikenal dengan Tori Big Bang, akhirnya menyadarkan para ahli kaliber dunia, di antaranya: Arthur Eddington fisikawan materialis, Sir Fred Hoyle dan Dennis Sciama yang bertahun-tahun menentang Tuhan dengan Teori steady-state, Gerge Gamov yang amat yakin dengan sisa radiasi ledakan yang kemudian ditemukan tanpa sengaja oleh Gerge Gamov. Apalagi Prof. George Abel yang minta ampun atas kehebatan ilmiah ledakan Big Bang, serta Filosof ateis terkenal Antony Flew dan Hugh Ross Ahli astrofisika terkenal, akhirnya yakin dengan paradigma Tuhan. Demikian pula Paul Davis, profesor fisika teori yang melihatnya sebagai ledakan terencana. Tak pelak lagi, Prof. Stephen Hawking dan profesor George Greenstein sang astronomi Amerika sungguh yakin dengan campur tangan supernatural ini.

B. EMILE DURKHEIM  (1856 – 1917)
Emile Durkheim yang lahir Provinsi Lorraine di Prancis Timur dan dibesarkan di tengah keluarga dan komunitas Yahudi ortodoks sebagai anak seorang rabbi, adalah terkenal sebagai tokoh utama dalam perkembangan sosiologi. Ketika sukses gemilang merampungkan studinya di Paris tahun 1882, maka untuk beberapa tahun kemudian Durkheim mengajar filsafat di sejumlah Lycee dan pada Tahun 1887 ia diminta mengajar bidang sosiologi dan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Bordeaux. Durkheim mpertahankan dan menekankan suatu pandangan sosial radikal tentang perilaku manusia sebagai sesuatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur sosial.
Tesis Durkheim dalam “The Division Of Labor In Society” sebenarnya merupakan pembelaan atas modernitas. Menurutnya, surutnya otoritas keyakinan-keyakinan moral tradisional bukanlah indikasi adanya disintegrasi sosial melainkan perubahan sosial, pergeseran historis dari suatu bentuk tatanan sosial yang didasarkan pada keyakinan bersama dan control komunal (solidaritas mekanis) menuju tatanan yang berdasarkan ketergantungan mutual antar-individu yang relative otonom (solidaritas organis).
          Karena itulah, Emile Durkheim merupakan pelopor utama bangkitnya paradigma fakta sosial yang terdiri atas norms, aturan, adat-istiadat, kebiasaan yang kesemuanya berada di luar individu sebagai faktor eksternal. Hal itu, semuanya tertuang ke dalam teori stuktural fungsional, teori konflik, teori system dan teori sosiologi makro. Keempat teori tersebut menyoal tentang studi struktur dan fungsi masyarakat, sehingga mengedepan sebagai sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologis dan para ahli teori kontemporer dewasa ini.
        Karena itu, dalam perspektif paradigma fakta sosial maka sosiologi merupakan studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung. Makanya, fungsionalisme struktural seringkali menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur/lembaga sosial. salah satu ciri sebagai sosiologis positivistis/naturalistis adalah keyakinan akan fenomena sosial yang memiliki pola dan tunduk pada hukum determinsitis sebagaimana layaknya hukum yang mengatur ilmu alam.
        Tradisi rasionalis-positivis diruntuhkan dari dalam oleh Emiler Durkheim, ketika ia mengakui bahwa agama merupakan sebuah realitas sui generis. Ia mengartikan bahwa representasi atau simbol-simbol agama bukanlah hayalan (delusion), dan juga bukan sekedar mengacu kepada fenomena yang lain, seperti kekuatan-kekuatan alam atau (bertentangan dengan sebagian dari interpretasi terhadap karyanya) morfologi sosial. Melainkan, dengan Kantianisme sosialnya, Durkheim berpendapat bahwa repsentasi-representasi agama bersifat konstitutif bagi masyarakat. Representasi agama ada dalam pikiran individu-individu sedemikian rupa sehingga menanamkan dorongan-dororngan egosentris dan mendisiplinkan individu, sehingga ia bisa berhadapan dengan realitas eksternal. Repsentasi bersama itulah, dengan kemampuannya untuk mengarahkan dan mengendalikan motivasi pribadinya yang membuat masyarakat mungkin terwujud.
        Meskipun pemahamannya terhadap motivasi tetap kaku, Durkheim benar-benar memperlihatkan dengan sangat jelas arti penting dari tindakan reigius untuk merangsang individu-individu agar berpartisipasi secara positif dalam kehidupan sosial, serta untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan individu untuk lari dari kehidupan sosial. Atas dasar itulah, maka menurut Bellah (2000) Durkheim, Weber dan Frued serta beberapa ilmuan lainnya dianggap merupakan arsitek pemahaman terhadap agama yang lebih memadai.
Akan tetapi, kajian-kajian kuantitatif yang paling awal dalam sosiologi, Durkheim memperkenalkan sebuah “variabel agama” dalam kajiannya mengenai bunuh diri (suicide)”. Selanjutnya, banyak kajian yang bervariasi dari segi cakupan maupun kualitasnya yang telah memasukkan variabel agama, yang dengan demikian menambah pengetahuan kita tentang ada atau tidak adanya pengaruh agama terhadap beberapa aspek keberadaan masyarakat; namun, masih belum ada sebuah survei yang menyeluruh mengenai hasil-hasil yang sejauh ini telah dicapai.

C. MAX WEBER (1864 – 1920)
Max Weber dilahirkan di Erfurt Jerman pada tanggal 21 April 1864, adalah terkenal dengan Karyanya yang demikian spektakuler  dan kontroversial yakni “The Protestant Ethic and the Sprit Of Capitalism, 1904”. Esai Weber ini acapkali dituduh sebagai uraian mengenai agama secara sempit, atau sebagai metanarasi mengenai ideologi serta pentingnya ide-ide dalam kehidupan sosial. Jika agama dianggap membantu lahirnya kapitalisme, tetapi sebaliknya kapitalisme dianggap menghancurkan agama.
Namun demikian, menurut Weber bangkitnya kapitalisme di Eropa dan Amerika Serikat karena derasnya pengaruh etika calvinis. Dengan demikian, sebaliknya secara tidak langsung juga dapat dimaknai bahwa kemiskinan negara-negara di belahan dunia ketiga, karena nilai-nilai religiusitasnya tidak dapat menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya negara maju dewasa ini.
Akan tatapi, minat terhadap konsekwensi-konsekwensi sosial dari keyakinan dan tindakan religius mungkin sesuai dengan minat terhadap agama itu sendiri. Pada abad ke 16 dalam karyanya Discourses, Machiavelli mengemukakan suatu analisa fungsional terhadap signifikansi politik dari komitmen keagamaan serta masalah-masalah yang terkait dengan pengaruh agama terhadap moralitas pribadi dan solidaritas sosial.
Namun orang yang memberi sumbangan terbesar pada pemahaman sistematis tentang saling kait antara agama dan masyarakat, dan yang merangsang lebih banyak penelitian (baik kuantitatif maupun non-kuantitatif) dibanding sarjana-sarjana yang lain, tidak diragukan lagi adalah Max Weber. Hipotesis satu-satunya yang paling berpengaruh di bidang ini tentu saja adalah tesisnya mengenai pengaruh etika Protestan terhadap kemunculan masyarakat medern. Meskipun argumen dan bukti yang berkembang menyangkut tesis ini terlampau banyak untuk ditinjau. Salah satu kajian mutakhir dari Gerhard Lenski perlu disebut, bukan hanya karena ia menjernihkan tesis etika protestan dalam masyarakat Amerika kontemporer, melainkan juga karena mungkin karena karya tersebut merupakan upaya yang paling berhasil untuk menerapkan metode penelitian survey pada sosiologi agama. Lenski menaruh perhatian pada pengaruh afiliasi-afiliasi dan keyakinan-keyakinan keagamaan atas sikap-sikap terhadap kerja, otoritas pendidikan dan berbagai masalah lain di sebuah kota besar  Amerika. Ia menemukan bahwa pengaruh tersebut besar sekali.
Tampaknya, ide-ide Weber tentang agama non Barat telah diterapkan lebih banyak secara sporadis dan karena horison perbandingan dari soaiologi melebar, sehingga ide-ide tersebut menarik banyak perhatian, termasuk karya Robert N. Bellah dalam karyanya “Beyond Beleief”, Esei esei tentang Agama di Dunia Moderen. Menurutnya, bangkitnya bangsa Jepang karena ada kekuatan nilai dari agama Shinto serta bangkitnya bangsa China karena faktor kekuatan nilai Khonfucu. Tesis Weber pun ternyanta juga melebar ke Republik Indonesia ketika G. Geertz menandaskan bangkitnya Serikat Islam dan Serikat dagang Islam, itu karena pengaruh etos kerja Islam.
Demikianlah bagi Rousseau dan Kant adalah tokoh-tokoh masa peralihan dan keduanya lebih percaya pada sebuah agama yang secara umum masuk akal (a generalized reasonable religion) daripada keyakinan historis apapun, namun mereka melandaskan keyakinan keagamaan mereka lebih pada watak manusia (Rousseau) atau pada diktum-diktum pengalaman etika (Kant), daripada atas dasar argumen-argumen yang murni kgnitif.
    Pendekatan Weber terhadap pengetahuan lebih bersifat uraian bebas dalam kerangka hermeneutis. Ia memasukkan contoh-contoh teladan, tokoh-tokoh sejarah seperti Franklin dan Baxter untuk menggambarkan pendapat bahwa bersamaan dengan kapitalisme muncullah cara hidup baru, atau lebih tepatnya kapitalisme lahir bersama dengan cara hidup yang baru, rasional dan kalkulatif.
Weber memandang dunia sosial niscaya terdiri dari sejumlah wilayah dan etika yang khas. Problem yang menyangkut birokrasi, misalnya adalah bagaimana menjaganya agar tetap berada di wilayahnya semula. Demikian pula halnya dengan praktek-praktek lain. Weber merasa cemas jikalau politik dan kecendikiawanan akan tetap terpisah, bukan karena keduannya tak berkaitan. Namun karena masing-masing mempunyai tujuan sendiri yang berbeda.
Selain itu, Weber adalah seorang pembaharu dan memahami relasi  yang salah antara teori sosial dan kebijakan sosial. Namun demikian, kerasnya kenyataan dunia ini tidak membuatnya berpaling dari politik atau dari kecendikiawan sebagai pilihan-pilihan yang setara. Dengan perkataan lain, Weber adalah seorang ”borjuis beradab” seperti Keynes. Namun hal ini menghalangi untuk menjadi seorang pembaharu. Betapapun, logika teori sosialnya adalah bahwa prospek dari perbedaan kualitatif antara kapitalisme dan sosialisme sebenarnya tidak bisa dikonsepsikan.
        Dalam pandangan weber dan para penganutnya melihat perilaku anak manusia hanya bisa dipahami apabila dijelaskan dari sudut pandang pelakunya sendiri. karena aksi merupakan aktivitas yang dikembangkan secara rasionalitas oleh pelakunya, sehingga dalam konteks ini, maka fakta sosial dianggap sebagai sejumlah realitas yang dikonstruksi melalui interaksi. Namun kemudian, direkonstruksi ke dalam defenisi sosial oleh kaum social contructivist kedalam perspektif etnometodologi, relativisme budaya, fenomenologi, dan argumentatif yang hermeneutik.
        Pendekatan hermeneutik adalah pendekatan untuk memahami obyek (produk prilaku manusia yang berinteraksi atau berkomunikasi) dari sudut pelaku aksi-interaksi sang aktor. Pendekatan ini berasumsi secara paradigmatis bahwa setiap bentuk dan produk perilaku (hukum, bahasa, ekonomi, politik budaya dan tanah), selalu ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati oleh para pelakunya. Dengan demikian, pendekatan hermeneutik atau interpretatif merupakan pendekatan yang hendak melepaskan atau membebaskan kajian dari otoritarianisme kaum positivisme dan strukturalis. Dalam artian, pendekatan ini menganjurkan untuk to learn from the people.
        Sehubungan dengan itu, konteks sosial budaya sebagai gejala supraorganik yang abstrak ketimbang gejala alam yang organik dan anorganik yang konkrit dan empiris. Maka menurut kaum interaksionis bahwa apa yang hidup di dalam alam kepahaman masyarakat harus dipandang selaku aktor sosial yang sesungguhnya, sehingga tugas ilmuwan sosial adalah to learn from the people, bukan to learn about the people.
          Beberapa sosiolog yang mengacu pada pendekatan verstehen ala Weberian yang tergolong sebagai sosiologi humanistis/interpretatif yang tampak lebih mengentengahkan kemanusiaan ketimbang preskripsi metodologis dari ilmu alam. Pertama, Goffman sebagai ahli dramaturgi menggunakan bahasa tamsil dan teater, sehingga melihat manusia sebagai calon bintang yang menyajikan tindakan meyakinkan bagi orang lain. Hal ini berarti ia meninggalkan determinisme struktural fungsional, sehingga disebut seorang interaksionis simbolis. Analisisnya tertuju pada pertunjukan aktor individual dan drama kehidupan merupakan aktor yang mengikuti naskah yang dirancang di tengah lingkungan sosial.
        Kedua, blumer yang menekankan bahwa tindakan bersama yang mampu membentuk struktur atau lembaga hanya mungkin disebabkan oleh interaksi simbolis dengan menggunakan isyarat bahasa by simbol yang berarti makna, obyek yang dibatasi dan ditafsirkan melalui interaksi makna tersebut.
        Ketiga, garfinkel yang terkenal dengan teori etmetodologi menekankan bahwa studi aspek-aspek realitas adalah diterima begitu saja. Para ahli ini berusaha menemukan esensi pegalaman dalam kehidupan sehari-hari dan mereka melihat realitas sehari-hari sebagai hal yang ada dan menyadari kehadiran aktor-aktor secara individual.

PENUTUP
Tampaknya, kajian tentang pemikiran sosiologi merupakan tugas yang amat berat. Pasalnya, di dalam proses  pergumulan pemikiran tersebut tersenandung kekuatan social dalam bentuk revolusi politik yang pernah menggelegar di Prancis pada tahun 1789 serta revolusi industri hingga kemunculan kapitalisme yang pernah melanda masyarakat Eropa di sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20. Demikian pula, yang kemudian diikuti kemunculan sosialisme dan feminsime serta meledaknya fenomena urbanisasi. Lendakan-ledakan social politik dan social ekonomi tersebut sungguh sangat mempengaruhi pemikiran para ilmuawan social ketika itu.
Meskipun Comte dianggap terlalu spekulatif dan metafisis serta dianggap antitesis dengan sosiologi positivisme yang merupakan wacana dan peletak dasar teori sosiologi moderen. Akan tetapi, salah satu prestasi yang paling spektakuler adalah keberhasilan merumuskan tahapan perkembangan pemikiran, yaitu: (1) Tahap teologi (Mitologi); (2) Tahap metafisik (Ideologi); dan (3) Tahap positif atau ilmiah (Ilmu).
Spencer juga menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri, sehingga Spencer dianggap memiliki seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Karena pada awalnya gagasannya tampak sukses gemilang, meskipun kemudian menjadi redup karena mengalami kevakuman selama beberapa tahun. Akan tetapi, melejit kembali ketika menjelma teori sosiologi yang beraliran “neo-evolusionisme”.
        Materialisme sebagai sistem berpikir yang bersumber dari Yunani Kuno, pada gilirannya teori dan konsep-konsep Darwin yang menjadi landasan ilmiah serta merupakan instrumen kebiadaban para pemimpin otoriter, membuahkan sebelas mantra hitam Darwinisme sebagai kebohongan dan kepalsuan yang baru terbongkar ketika memasuki abad ke-20 (www.harunyahya.com). Besar dugaan, kebohongan itulah yang kini melekat dalam pemikiran ilmuan, terutama bagi pecandu Darwinisme sosial dan para politikus yang bergentayangan di panggung sandiwara politik dewasa ini.
Tampaknya, kajian-kajian kuantitatif yang paling awal dalam sosiologi, Durkheim memperkenalkan sebuah “variabel agama” dalam kajiannya mengenai bunuh diri (suicide)”. Selanjutnya, banyak kajian yang bervariasi dari segi cakupan maupun kualitasnya yang telah memasukkan variabel agama, yang dengan demikian menambah pengetahuan kita tentang ada atau tidak adanya pengaruh agama terhadap beberapa aspek keberadaan masyarakat; namun, masih belum ada sebuah survei yang menyeluruh mengenai hasil-hasil yang sejauh ini telah dicapai.
Akhirnya, Weber dan para penganutnya melihat perilaku anak manusia hanya bisa dipahami apabila dijelaskan dari sudut pandang pelakunya sendiri. karena aksi merupakan aktivitas yang dikembangkan secara rasionalitas oleh pelakunya, sehingga dalam konteks ini, maka fakta sosial dianggap sebagai sejumlah realitas yang dikonstruksi melalui interaksi. Namun kemudian, direkonstruksi ke dalam defenisi sosial oleh kaum social contructivist.

DAFTAR PUSTAKA

Bellah, N. Robert, Beyond Belief, Menentukan Kembali Agama, Esei-Esei Tentang Agama Di Dunia Moderen, Paramadina, Jakarta, 2000.

Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar, Jokyakarta, 2005.

Gordon, Scott,The History And Philosopy Of Social Science, London And New York

Suyanto, Bogong dan Amal, Khusna, M. (Ed.), Anatomi Perkembangan Teori Sosial, Cetakan Pertama, Aditya Media Publishing, Anggota IKAPI, Malang, 2010.

Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas, Teori Sosiologi Moderen, Edisi Keenam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2010.


No comments:

Post a Comment