Oleh
Peribadi
Tampaknya,
P2KP/NUSSP dan para aktivis berikut para relawannya diperhadapkan dengan
beberapa peluang dan tantangan dalam mengembangkan misi kemanusiannya. Hal ini
penulis deskripsikan sehubungan dengan hasil studi lapang dari Tim Evaluasi
Bappeda Kota Kendari Tahun 2007 lalu.
Pertama, pada tingkat struktural dan kelembagaan, diperhadapkan
dengan beberapa indikator kemiskinan yang cukup tarasa mempengaruhi proses pengambilan
kebijakan. Hal itu tidak dapat dipungkiri, hingga kini masih tetap menjadi
persoalan bagi lembaga P2KP/NUSSP dan sejenisnya, meskipun telah terjadi perubahan
mendasar dalam konteks paradigma dan pendekatan.
Sementara
pada tataran masyarakat sebagaimana diakui oleh beberapa stakeholders, ada kecenderungan warga masyarakat melihat dan menganggap berbagai bantuan
kemiskinan itu merupakan bentuk pemberian cuma-cuma (gratis/puso), sehingga
tidak hanya dianggap kurang penting untuk segera dikembalikan. Akan tetapi,
juga berakibat pada proses terciptanya rasa ketergantungan dari berbagai
bantuan dimaksud.
Menurut
beberapa informan bahwa hal ini terjadi, karena selama ini masyarakat
memperoleh bantuan sejenis IDT dan JPS di kurun waktu Orba serta sejenis
raskin, kompensasi BBM, dan bantuan eksodus di zaman reformasi kini. Namun
karena bantuan yang disuguhkan selama ini tidak bersifat ”antibiotik”, sehingga
berujung pada terciptanya gejala ketergantungan, dan bahkan boleh jadi juga
membuahkan keserakahan bagi orang-orang yang cekatan menggunakan “kesempatan
dalam kesempitan”. Dalam artian, ada gejala yang berkembang bahwa kalau pada
masa lalu orang malu-malu digelar orang miskin. Maka kini, ada kecenderungan orang-orang
kepingin dikategorikan sebagai orang miskin, karena mengharapkan ”durian runtuh
dari pohonnya” seketika.
Kedua, proses penentuan indikator kemiskinan secara internal
dari sudut pandang masyarakat itu sendiri, memang diakui lebih relevan dan
strategis ketimbang pendekatan eksternal yang selama kurun waktu Orba terkesan
otoriter diberlakukan dengan berbagai dampak negatif yang kini tampak menjadi
”lingkaran setan” di kitaran kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tercinta
ini.
Namun demikian,
hasil studi evaluasi Tim menunjukkan bahwa selain perubahan paradigamatis seringkali
berbenturan dengan budaya birokrat dan pola pikir aparat pemerintahan yang selama
ini terninabobokkan atau sudah terlanjur diuntungkan dengan paradigma lama, juga
proses sosialisasi yang telah dikembangkan tampak belum membuahkan pemahaman dan
pelaksanaan terpadu sebagai akibat dari belum tertancapnya persepsi yang sama
dan utuh di antara aktivis P2KP/NUSSP, aparat kelurahan dan masyarakat yang
membutuhkan uluran tangan. Hal ini seringkali dibuktikan dengan
pernyataan-pernyataan, baik dari pihak warga masyarakat yang terpilih menjadi
pengurus BKM maupun dari pihak kepala kelurahan yang merasa kurang dilibatkan
dan bahkan merasa diabaikan dalam konteks penyelesaikan kemiskinan di wilayah
pemerintahannya.
Ketiga, secara khusus
dari kalangan aktivis P2KP/NUSSP sebagai pelaku utama dalam proses pengentasan
kemiskinan di perkotaan, diduga kurang maksimal menerapkan metode 'field research" yang berintikan
pada pendekatan pembangunan partisipatif (participatory
development approach) dalam upaya pengumpulan data melalui participatory action research, focus group discussion dan indepth interview. Dalam konteks ini,
mungkin saja pihak aktivis P2KP/NUSSP yang bersangkutan sudah memahami proses
penjajagan partisipatif secara baik dengan melibatkan seluruh komponen
masyarakat setempat (indigenous people)
untuk mengidentifikasi serta menginventarisasi kondisi dan problematika kemiskinan
yang berbasis lokal.
Namun secara faktual
sebagaimana ditemukan dalam studi evalusi tersebut bahwa karena belum
terciptanya pemahaman yang utuh serta belum adanya kesamaan persepsi dan
interaksi yang harmonis di antara komponen indigenous
people. Maka berarti, selain belum berlangsung proses sosialisasi secara
intensif sesuai yang diharapkan, juga sekaligus diduga bahwa proses penerapan
studi participatory development approach
dalam mengembangkan ”refleksi kemiskinan”, terputus atau tidak nyambung ke
dalam pola pikir stakeholders di
tingkat aparat kelurahan dan warga masyarakatnya. Dan bahkan boleh jadi, dari
kalangan aktivis P2KP/NUSSP itu sendiri, juga belum memahami secara holistik
atas pendekatan verstehen tersebut.
Keempat,
keluhan yang beruntun acapkali terbeber dari kalangan pengurus BKM yang nota
bene sebagai relawan yang harus bekerja tanpa mengharapkan sesuatu apapun
(ikhlas). Hal ini terdengar cukup ironis, baik ketika tim evaluator berada di
lapangan maupun (penulis sendiri) ketika menghadiri pertemuan KBP dan POKJA di
Bappeda Kota
Kendari, seringkali pihak relawan menandaskan secara tegas dan transparan. Betapa
susahnya melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya tanpa ada kompensasi
dalam bentuk material dan sejenisnya. Sementara pada tingkat struktural, pihak
konsultan P2KP/NUSSP mendapat imbalan rutin yang cukup menggiurkan. Tampaknya,
tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataan ini merupakan factor x yang membuat para
relawan tidak mampu beraktivitas secara maksimal. Kecuali, jika mereka
melakukan penyimpangan sebagaimana misalnya yang terjadi di kelurahan Alolama
dll.
Disamping itu, juga terdengar
keluhan dan sindiran dari salah seorang peserta rapat Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) di Kantor Bappeda Kota Kendari, pada
tangga 26 Juli 2007 lalu. Menurutnya, keberadaan kepala-kepala dinas yang
dominan menjadi pengurus TKPKD Kabupaten/Kota merupakan biangkladi dari
kemiskinan di tengah masyarakat, karena mereka sebagai Kepala Dinas yang sangat
disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, sehingga tidak mempunyai sedikit
pun waktu untuk memikirkan problematika dan solusi kemiskinan. Lebih celaka
lagi, kalau seandainya para pengurus TKPKD tersebut mendapat honor tanpa
aktivitas apapun dalam konteks penyelesaian kemiskinan. Sementara kaum relawan
yang banting tulang, tetapi tidak mendapatkan saejenis imbalan material. Jika
benar, maka sebaiknya honorarium tersebut dilimpahkan saja kepada mereka yang
bergelar relawan itu.
Kelima, tampaknya program penyelesaian kemiskinan secara terpadu
menjadi mutlak untuk dikedepankan dan segera direalisasikan. Hal inilah yang
membuat banyak orang seolah ingin bermimpi di siang bolong, karena
masing-masing instansi merasa berwewenang serta merasa mampu untuk melaksanakan
programnya. Dalam konteks ini, subyektivitas dan egoisme berkelindan dengan
keengganan untuk merubah pola pikir dan tindakan sosialnya dalam memasuki era ”civil society”.
Akhirnya, kalau selama ini boleh jadi kita
telah sukses memenangkan berbagai jenis peperangan yang sifatnya fisik
material. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa sungguh-sungguh kita masih kewalahan
berperang dengan musuh yang bernama kemiskinan itu. Pasalnya, kita tidak hanya
memerlukan aktivis dan relawan-relawan yang energik. Namun kita pun lebih
membutuhkan senjata yang lebih canggih untuk berhadapan dan berperang dengan
”dedengkot pemiskinan”.
( penulis adalah Awak Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi Sultra dan
Anggota KBP Kota Kendari.)
No comments:
Post a Comment