Jan 3, 2014

REFLEKSI LEMBAGA PEMBERDAYAAN DAN PROBLEMATIKANYA

Oleh
Peribadi

Tampaknya, P2KP/NUSSP dan para aktivis berikut para relawannya diperhadapkan dengan beberapa peluang dan tantangan dalam mengembangkan misi kemanusiannya. Hal ini penulis deskripsikan sehubungan dengan hasil studi lapang dari Tim Evaluasi Bappeda Kota Kendari Tahun 2007 lalu.
Pertama, pada tingkat struktural dan kelembagaan, diperhadapkan dengan beberapa indikator kemiskinan yang cukup tarasa mempengaruhi proses pengambilan kebijakan. Hal itu tidak dapat dipungkiri, hingga kini masih tetap menjadi persoalan bagi lembaga P2KP/NUSSP dan sejenisnya, meskipun telah terjadi perubahan mendasar dalam konteks paradigma dan pendekatan.
Sementara pada tataran masyarakat sebagaimana diakui oleh beberapa stakeholders, ada kecenderungan warga masyarakat melihat dan menganggap berbagai bantuan kemiskinan itu merupakan bentuk pemberian cuma-cuma (gratis/puso), sehingga tidak hanya dianggap kurang penting untuk segera dikembalikan. Akan tetapi, juga berakibat pada proses terciptanya rasa ketergantungan dari berbagai bantuan dimaksud.
Menurut beberapa informan bahwa hal ini terjadi, karena selama ini masyarakat memperoleh bantuan sejenis IDT dan JPS di kurun waktu Orba serta sejenis raskin, kompensasi BBM, dan bantuan eksodus di zaman reformasi kini. Namun karena bantuan yang disuguhkan selama ini tidak bersifat ”antibiotik”, sehingga berujung pada terciptanya gejala ketergantungan, dan bahkan boleh jadi juga membuahkan keserakahan bagi orang-orang yang cekatan menggunakan “kesempatan dalam kesempitan”. Dalam artian, ada gejala yang berkembang bahwa kalau pada masa lalu orang malu-malu digelar orang miskin. Maka kini, ada kecenderungan orang-orang kepingin dikategorikan sebagai orang miskin, karena mengharapkan ”durian runtuh dari pohonnya” seketika.

Kedua, proses penentuan indikator kemiskinan secara internal dari sudut pandang masyarakat itu sendiri, memang diakui lebih relevan dan strategis ketimbang pendekatan eksternal yang selama kurun waktu Orba terkesan otoriter diberlakukan dengan berbagai dampak negatif yang kini tampak menjadi ”lingkaran setan” di kitaran kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini.
Namun demikian, hasil studi evaluasi Tim menunjukkan bahwa selain perubahan paradigamatis seringkali berbenturan dengan budaya birokrat dan pola pikir aparat pemerintahan yang selama ini terninabobokkan atau sudah terlanjur diuntungkan dengan paradigma lama, juga proses sosialisasi yang telah dikembangkan tampak belum membuahkan pemahaman dan pelaksanaan terpadu sebagai akibat dari belum tertancapnya persepsi yang sama dan utuh di antara aktivis P2KP/NUSSP, aparat kelurahan dan masyarakat yang membutuhkan uluran tangan. Hal ini seringkali dibuktikan dengan pernyataan-pernyataan, baik dari pihak warga masyarakat yang terpilih menjadi pengurus BKM maupun dari pihak kepala kelurahan yang merasa kurang dilibatkan dan bahkan merasa diabaikan dalam konteks penyelesaikan kemiskinan di wilayah pemerintahannya.
Ketiga, secara khusus dari kalangan aktivis P2KP/NUSSP sebagai pelaku utama dalam proses pengentasan kemiskinan di perkotaan, diduga kurang maksimal menerapkan metode 'field research" yang berintikan pada pendekatan pembangunan partisipatif (participatory development approach) dalam upaya pengumpulan data melalui participatory action research, focus group discussion dan indepth interview. Dalam konteks ini, mungkin saja pihak aktivis P2KP/NUSSP yang bersangkutan sudah memahami proses penjajagan partisipatif secara baik dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat setempat (indigenous people) untuk mengidentifikasi serta menginventarisasi kondisi dan problematika kemiskinan yang berbasis lokal.
Namun secara faktual sebagaimana ditemukan dalam studi evalusi tersebut bahwa karena belum terciptanya pemahaman yang utuh serta belum adanya kesamaan persepsi dan interaksi yang harmonis di antara komponen indigenous people. Maka berarti, selain belum berlangsung proses sosialisasi secara intensif sesuai yang diharapkan, juga sekaligus diduga bahwa proses penerapan studi participatory development approach dalam mengembangkan ”refleksi kemiskinan”, terputus atau tidak nyambung ke dalam pola pikir stakeholders di tingkat aparat kelurahan dan warga masyarakatnya. Dan bahkan boleh jadi, dari kalangan aktivis P2KP/NUSSP itu sendiri, juga belum memahami secara holistik atas pendekatan verstehen tersebut.
            Keempat, keluhan yang beruntun acapkali terbeber dari kalangan pengurus BKM yang nota bene sebagai relawan yang harus bekerja tanpa mengharapkan sesuatu apapun (ikhlas). Hal ini terdengar cukup ironis, baik ketika tim evaluator berada di lapangan maupun (penulis sendiri) ketika menghadiri pertemuan KBP dan POKJA di Bappeda Kota Kendari, seringkali pihak relawan menandaskan secara tegas dan transparan. Betapa susahnya melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya tanpa ada kompensasi dalam bentuk material dan sejenisnya. Sementara pada tingkat struktural, pihak konsultan P2KP/NUSSP mendapat imbalan rutin yang cukup menggiurkan. Tampaknya, tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataan ini merupakan factor x yang membuat para relawan tidak mampu beraktivitas secara maksimal. Kecuali, jika mereka melakukan penyimpangan sebagaimana misalnya yang terjadi di kelurahan Alolama dll.
            Disamping itu, juga terdengar keluhan dan sindiran dari salah seorang peserta rapat Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) di Kantor Bappeda Kota Kendari, pada tangga 26 Juli 2007 lalu. Menurutnya, keberadaan kepala-kepala dinas yang dominan menjadi pengurus TKPKD Kabupaten/Kota merupakan biangkladi dari kemiskinan di tengah masyarakat, karena mereka sebagai Kepala Dinas yang sangat disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, sehingga tidak mempunyai sedikit pun waktu untuk memikirkan problematika dan solusi kemiskinan. Lebih celaka lagi, kalau seandainya para pengurus TKPKD tersebut mendapat honor tanpa aktivitas apapun dalam konteks penyelesaian kemiskinan. Sementara kaum relawan yang banting tulang, tetapi tidak mendapatkan saejenis imbalan material. Jika benar, maka sebaiknya honorarium tersebut dilimpahkan saja kepada mereka yang bergelar relawan itu.
            Kelima, tampaknya program penyelesaian kemiskinan secara terpadu menjadi mutlak untuk dikedepankan dan segera direalisasikan. Hal inilah yang membuat banyak orang seolah ingin bermimpi di siang bolong, karena masing-masing instansi merasa berwewenang serta merasa mampu untuk melaksanakan programnya. Dalam konteks ini, subyektivitas dan egoisme berkelindan dengan keengganan untuk merubah pola pikir dan tindakan sosialnya dalam memasuki era ”civil society”.

              Akhirnya, kalau selama ini boleh jadi kita telah sukses memenangkan berbagai jenis peperangan yang sifatnya fisik material. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa sungguh-sungguh kita masih kewalahan berperang dengan musuh yang bernama kemiskinan itu. Pasalnya, kita tidak hanya memerlukan aktivis dan relawan-relawan yang energik. Namun kita pun lebih membutuhkan senjata yang lebih canggih untuk berhadapan dan berperang dengan ”dedengkot pemiskinan”.
( penulis adalah  Awak Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi Sultra dan Anggota KBP Kota Kendari.)

No comments:

Post a Comment