Jan 3, 2014

SUNGGUH MALU MENJADI PEJABAT

Oleh  Peribadi

Seusai kerja bakti di lingkungan yang kebetulan dihuni oleh penduduk yang umumnya kategori kelompok sosial menengah ke atas, tiba-tiba saja pada ngelantur berceloteh ikhwal status sosial pejabat sehubungan dengan lembaga super KPK yang baru saja terbentuk: “ada baiknya juga kalau tidak jadi pejabat”. Waduh, memangnya kenapa Pak, saya kira kalau pejabat itu serba terpenuhi kebutuhan dengan segala fasilitas yang wah. Makanya dipertaruhkan, meskipun dengan menempuh pelbagai macam cara yang haram sekalipun. Ya, karena gara-gara itulah, sehingga mereka memboyong piala negara koruptor kelas kakap. Apa mereka merasa sebagai biangkladi prestasi yang amat memalukan itu ? Saya kira, mereka pura-pura tidak tahu saja, dan dengan terbentuknya KPK ini, berarti disamping banyak investasi siluman, juga sekaligus dilegatimisasi sebagai pejabat koruptor. Okelah, tetapi apakah lembaga yang satu ini mampu mengungkap dan menyelesaikan KKN di republik ini ? Tidak mungkin, karena beberapa lembaga sebelumnya tampak layu sebelum berkembang, dan anggota KPK ini  belum pasti luput dari metode perampokan berdasi khan ?” Demikian sambung-menyambung dan silih berganti komentar pelipur lelah seusai kerja bakti ketika itu.
Saya kira inti persoalannya, selain karena kita memang sudah kelabakan berhadapan dengan penyamung harta karung negara, juga dikandung maksud merakit “budaya malu” yang berserakan di sana-sini. Masih adakah yang terbesit rasa malu di lubuk hati terdalam bagi mereka yang nota-bene pejabat itu ? Tentu saja ada, tetapi masyarakat khan tidak menganggap bahwa pejabat bukan merupakan status sosial yang memalukan, dan bahkan sebaliknya, yakni membanggakan.

Namun perlu diingat bahwa tidak semua orang melihat eksistensi pejabat sebagai kedudukan sosial yang membanggakan. Simak misalnya sebuah kasus lelucon yang terjadi ketika berpapasan antri untuk menghadap kepada seorang pejabat. Di antara peserta antrian, ada seseorang yang bersendal jepit entah karena lupa atau memang tidak punya sepatu. Ketika ajudan bertanya kepadanya, “Kenapa kau pakai sendal ? Beginilah cara yang tepat menghargai seorang pejabat yang menggiring negara kita ke lembah kenistaan. Meskipun demikian, anda harus pakai sepatu. Kalau begitu, saya pulang dulu, yang panting saya puas, karena bapak sebagai ajudan juga paham atas kokalingkong pejabat. Sudahlah, semuanya telah menjadi rahasia pasar”.
Tak beberapa lama kemudian, saya mahfun ketika menyimak Khutbah Idul Fitri 1424 H yang dipresentasikan Prof Dr. Syafei Maarif Ketua Umum DPP Muhammadiyah di Mesjid Istiqlal. Inti sari khotbah itu amat terkesan menampar satu persatu wajah kaum elite nasional kita yang nota bene pejabat teras itu. Tanpa tedeng aling-aling, beliau menghimbau kepada semua pioner bangsa dan negara tercinta ini untuk segera mengakhiri dosa, noda dan dusta serta menguburkan pola penggunaan firman Tuhan untuk membohongi atau menipu rakyat kebanyakan. Masya Allah, berbahagialah kita tentunya, kalau ada orang sekelas Pak Syafei Maarif senantiasa ikhlas mengingatkan bencana dan malapetaka yang bakal menimpah eksistensi bangsa dan negara tercinta ini.
Demikianlah berangkali, adalah sesuatu yang memang tidak dapat dipungkiri, karena ucapan selamat terus mendengung di bibir serta mengiang di telinga. Akan tetapi sadar atau tidak dan mungkin pura-pura tidak tahu bahwa visi, persepsi, sikap dan tindakan kita pada umumnya dan para elite nasional dan daerah pada khususnya, cenderung dan bahkan berbanding terbalik atau miring 180 derajat dengan omelan dan ocehan “selamat” yang senantiasa didengung-dengungkan.
Padahal, ungkapan ini sesungguhnya menghendaki, agar kita tidak boleh berhenti atau jangan pernah berhenti mengucapkan serta mengembangkan aktivitas yang dapat menyelamatkan atau tidak mencelakakan diri, keluarga kerabat, tetangga, lingkungan sekitar, masyarakat, bangsa dan bahkan kepada negara yang sekalipun  belum berpihak sepenuhnya kepada rakyat jelata.
Betapa keras rasanya (belum tentu juga bagi yang lain) tamparan yang terkandung dalam khutbah Pak Syafei Maarif itu, karena dalam percaturan kehidupan anak bangsa sehari-hari, bibir kita berbusa-busa mengucapkan “selamat dan selamat”, tetapi sesungguhnya kita mencelakakan orang lain. Dengar dan lihat misalnya perilaku penghuni gedung legislatif yang nota-bene pejuang atau pahlawan aspirasi masyarakat, dibubuhi oleh lelucon money politics di atas slogan perwakilan itu. Mereka seolah mengikuti jejak langkah kaum eksekutor yang malang melintang dalam gerombolan penipisan harta karung negara. Tak terkecuali pula, pemain utama “supremasi hukum” di lembaga yudikatif, tidak lebih dari setumpuk sapuh kotor yang  hendak membersihkan ruangan.
Pelbagai bencana yang tengah menimpa masyarakat, bangsa dan negara kita yang tak mampu dipastikan, apakah sebagai ujian, teguran atau azab? Coba saja kita bayangkan ! Krisis moneter yang sejak tahun 1997 hingga saat ini, perihal konflik dan bentrok sosial yang berdimensi SARA di Ambon, Poso, Pontianak, Papua, dan Aceh. Demikian pula bentrok berdara-darah antaraTNI dan Polisi di Kediri, Binjai, Bogor dan lain sebagainya menelan cukup banyak korban, tiba-tiba saja bom meledak di Kutai-Bali, bom Makassar dan Bom hotel Mariot yang seolah berlari menyusul amat cepat.  Tak pelak lagi penderitaan TKI di Malaysia dan TKW di Jasirah Arab.
Tentu saja Prof Syafei Maarif mengharapkan sepenuh hati, agar para elite nasional segera bangkit memperhambakan dirinya kepada Tuhan, kepada bangsa dan negara dan kepada rakyatnya. Karena hanya dengan metode penghambahan inilah satu-satunya solusi alternatif dan amat ampuh untuk keluar dari kemelut bangsa dan negara.
Kini, meskipun dengan nafas yang terengas-engas kita telah sukses gemilang menuntaskan training center fungsionalisasi radar hati (God Spot) yang Allah hembuskan ke dalam rongga dada hamba Nya selama satu bulan penuh. Sudah pasti kita mampu mengantisipasi pelbagai rintangan masa depan yang senantiasa menghadang. Karena bulan ramadhan adalah bulan yang mampu mengidupkan kematian rohani seseorang, sehingga ia tidak bisa diberi gelar macam-macam seperti “buta hati atau mayat berjalan”, dan itulah yang sesungguhnya yang dsebut “fitrah”
Seorang hamba yang sukses gemilang kembali kepada fitrahnya, berarti dia tergolong anak manusia yang mampu menyedop dan menyadap kehebatan suara hati yang bersumber dari 99 Nama-Nama Allah (Asmahul husna). Dengan demikian, ia berarti mampu menggunakan hatinya sebagai radar yang senantiasa dapat memberi informasi penting atas keberadaannya sebagai “Khalifatul filardhi”. Ia dapat memfungsikan hatinya sebagai “Manajer Handal” yang mampu mengatur secara profesional dan proporsional terhadap berbagai aktivitas pengembangan program “Kaffatan Linnas dan Rahmatan Lilalamin”.
Adalah sebuah rahasia sukses dalam upaya menumbuh-kembangkan kualitas Sumber Daya Manusia sebagaimana prestasi Rasulullah dalam menggenjot fitrah para sahabatnya, bukan hanya dalam konteks puasa dan zakat saja. Apalagi kalau proses penghayatan dan pengamalan puasa kita hanya sebatas atau sederajat “puasa orang awam” yang bersusah-susah menahan lapar dan dahaga, maka jangan bermimpi bisa kembali kepada fitrah. Tak pelak lagi kalau pelaksanaan zakat kita belum mampu mencetuskan strategi kolaborasi yang kelak dapat mengentaskan kehidupan orang-orang terpinggirkan.
Karena itu, rahasia sukses kaderisasi kaum Salaf (Salafu Saleh) sebagai sahabat langsung Rasulullah, adalah melalui program sistemik oleh KH. Abdullah Said disebut “Wahyu Sistem”. Dalam konteks Nuzulnya Wahyu yang berurutan dari Surah Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Mudatzir dan hingga Surah Al-Fatiha  pada lima surah pertama yang diturunkan Allah SWT; ditandaskan bahwa Allah tidak pernah langsung memerintahkan Nabi Muhammad untuk melaksanakan Shalat, puasa, zakat dan haji. Akan tetapi, perintah itu justru bermula dari Al-alaq dan AL-Qalam sebagai perintah dari membaca hingga menulis. Setelah aktivitas membaca dan menulis telah berhasil menancapkan fondasi “kecerdasan intelektual”, maka Allah menurunkan Surah Al-Muzammil sebagai program kerja yang dapat mempertajam “kecerdasan rohani”. Ketika fakultas otak dan rohani sudah mantap, maka diperintahkanlah Rasulullah untuk segera turun ke lapangan, karena pada saat itulah potensi suara hati, fitrah dan god spot sudah dapat menjadi senjata pamungkas.
Wahyu sistem dalam konteks pra wahyu dan suasana wahyu, tampak amat relevan dengan rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spritual (ESQ) yang berdasarkan pada 6 tangga Rukun Iman dan 5 tangga Rukun Islam. Adalah sebuah formulasi ilmiah dari seorang Ary Ginanjar Agustian yang mungkin tidak hanya sukses melumatkan kesombongan intelektual ilmuawan Barat, tetapi juga sekaligus berhasil membangkitkan orang Islam dari kedunguan dan rendah dirinya sepanjang zaman. Sudah cukup lama dan bahkan mereka amat dipusingkan dengan struktur kecerdasan emosional yang bertempat di otak kanan, dan tak pelak lagi dengan kecerdasan spritual yang bertengger di rongga dada sebanyak 99 Nama Besar Allah SWT.
Namun amat perlu ditandaskan bahwa unsur-unsur kecerdasan tersebut tidak bisa digapai kalau tidak melalui tangga-tangga Rukun Iman dan Rukun Islam sebagaimana proses turunnya wahyu dari surah pertama hingga ke seratus empat-belas. Menurut Ary Ginanjar Agustian, God Spot sebagai pusat tata surya dikelilingi oleh 6 planet keimanan serta 5 planet keislaman. Seperti halnya elektron-elektron yang mengelilingi inti atom dan planet-planet bima sakti yang mengelilingi mata hari sebagai pusat tata surya, maka demikian halnya hati selaku titik pusat. Apabila ada satu di antara planet tersebut berhenti berputar misalnya Mars, maka langit dan bumi beserta seluruh isinya akan berantakan seketika. Demikian pula jika satu di antara planet Rukun Iman dan Rukun Islam yang dicoba dihentikan oleh seorang hamba, maka ia tak ubahnya langit dan bumi tersebut, seseorang akan mengalami nuansa kehidupan yang penuh kekacauan, kebingungan, kebimbangan dan stress.

Karena itu, jangan sekali-sekali dicoba untuk berhenti berputar dalam rangka memperhambakan diri kepada Tuhan. Dan jangan mimpi, ada metode lain yang bisa diharap untuk mampu membangun ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial, selain dari menapaki tangga dalam 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Silahkan ditamati karya Ary Ginajar Agustian dalam “Rahasia Sukses membangun ESQ” dan elaborasi murid Abdullah Said dalam “Sistematika Wahyu”! Percayalah, karena BP7 telah gagal di panggung sejarah ! Penulis, Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Pemerhati Masalah Pemiskinan.

No comments:

Post a Comment