Oleh Peribadi
Seusai
kerja bakti di lingkungan yang kebetulan dihuni oleh penduduk yang umumnya
kategori kelompok sosial menengah ke atas, tiba-tiba saja pada ngelantur
berceloteh ikhwal status sosial pejabat sehubungan dengan lembaga super KPK
yang baru saja terbentuk: “ada baiknya juga kalau tidak jadi pejabat”. Waduh,
memangnya kenapa Pak, saya kira kalau pejabat itu serba terpenuhi kebutuhan
dengan segala fasilitas yang wah. Makanya dipertaruhkan, meskipun dengan menempuh
pelbagai macam cara yang haram sekalipun. Ya, karena
gara-gara itulah, sehingga mereka memboyong piala negara koruptor kelas kakap.
Apa mereka merasa sebagai biangkladi prestasi yang amat memalukan itu ? Saya
kira, mereka pura-pura tidak tahu saja, dan dengan terbentuknya KPK ini,
berarti disamping banyak investasi siluman, juga sekaligus dilegatimisasi
sebagai pejabat koruptor. Okelah, tetapi apakah lembaga yang satu ini mampu
mengungkap dan menyelesaikan KKN di republik ini ? Tidak mungkin, karena beberapa
lembaga sebelumnya tampak layu sebelum berkembang, dan anggota KPK ini belum pasti luput dari metode perampokan
berdasi khan ?” Demikian sambung-menyambung dan silih berganti komentar pelipur
lelah seusai kerja bakti ketika itu.
Saya kira inti persoalannya,
selain karena kita memang sudah kelabakan berhadapan dengan penyamung harta
karung negara, juga dikandung maksud merakit “budaya malu” yang berserakan di
sana-sini. Masih adakah yang terbesit rasa malu di lubuk hati terdalam bagi
mereka yang nota-bene pejabat itu ? Tentu saja ada, tetapi masyarakat khan
tidak menganggap bahwa pejabat bukan merupakan status sosial yang memalukan,
dan bahkan sebaliknya, yakni membanggakan.
Namun perlu diingat bahwa tidak
semua orang melihat eksistensi pejabat sebagai kedudukan sosial yang
membanggakan. Simak misalnya sebuah kasus lelucon yang terjadi ketika
berpapasan antri untuk menghadap kepada seorang pejabat. Di antara peserta
antrian, ada seseorang yang bersendal jepit entah karena lupa atau memang tidak
punya sepatu. Ketika ajudan bertanya kepadanya, “Kenapa kau pakai sendal ?
Beginilah cara yang tepat menghargai seorang pejabat yang menggiring negara
kita ke lembah kenistaan. Meskipun demikian, anda harus pakai sepatu. Kalau
begitu, saya pulang dulu, yang panting saya puas, karena bapak sebagai ajudan
juga paham atas kokalingkong pejabat. Sudahlah, semuanya telah menjadi rahasia
pasar”.
Tak beberapa lama kemudian,
saya mahfun ketika menyimak Khutbah Idul Fitri 1424 H yang dipresentasikan Prof
Dr. Syafei Maarif Ketua Umum DPP Muhammadiyah di Mesjid Istiqlal. Inti sari
khotbah itu amat terkesan menampar satu persatu wajah kaum elite nasional kita
yang nota bene pejabat teras itu. Tanpa tedeng aling-aling, beliau menghimbau
kepada semua pioner bangsa dan negara tercinta ini untuk segera mengakhiri
dosa, noda dan dusta serta menguburkan pola penggunaan firman Tuhan untuk
membohongi atau menipu rakyat kebanyakan. Masya
Allah, berbahagialah kita tentunya, kalau ada orang sekelas Pak Syafei
Maarif senantiasa ikhlas mengingatkan bencana dan malapetaka yang bakal
menimpah eksistensi bangsa dan negara tercinta ini.
Demikianlah berangkali, adalah
sesuatu yang memang tidak dapat dipungkiri, karena ucapan selamat terus
mendengung di bibir serta mengiang di telinga. Akan tetapi sadar atau tidak dan
mungkin pura-pura tidak tahu bahwa visi, persepsi, sikap dan tindakan kita pada
umumnya dan para elite nasional dan daerah pada khususnya, cenderung dan bahkan
berbanding terbalik atau miring 180 derajat dengan omelan dan ocehan “selamat”
yang senantiasa didengung-dengungkan.
Padahal, ungkapan ini
sesungguhnya menghendaki, agar kita tidak boleh berhenti atau jangan pernah
berhenti mengucapkan serta mengembangkan aktivitas yang dapat menyelamatkan
atau tidak mencelakakan diri, keluarga kerabat, tetangga, lingkungan sekitar,
masyarakat, bangsa dan bahkan kepada negara yang sekalipun belum berpihak sepenuhnya kepada rakyat
jelata.
Betapa keras rasanya (belum
tentu juga bagi yang lain) tamparan yang terkandung dalam khutbah Pak Syafei
Maarif itu, karena dalam percaturan kehidupan anak bangsa sehari-hari, bibir
kita berbusa-busa mengucapkan “selamat dan selamat”, tetapi sesungguhnya kita
mencelakakan orang lain. Dengar dan lihat misalnya perilaku penghuni gedung
legislatif yang nota-bene pejuang atau pahlawan aspirasi masyarakat, dibubuhi
oleh lelucon money politics di atas
slogan perwakilan itu. Mereka seolah mengikuti jejak langkah kaum eksekutor
yang malang melintang dalam gerombolan penipisan harta karung negara. Tak
terkecuali pula, pemain utama “supremasi hukum” di lembaga yudikatif, tidak
lebih dari setumpuk sapuh kotor yang hendak membersihkan ruangan.
Pelbagai bencana yang tengah
menimpa masyarakat, bangsa dan negara kita yang tak mampu dipastikan, apakah
sebagai ujian, teguran atau azab? Coba saja kita bayangkan ! Krisis moneter
yang sejak tahun 1997 hingga saat ini, perihal konflik dan bentrok sosial yang
berdimensi SARA di Ambon, Poso, Pontianak, Papua, dan Aceh. Demikian pula
bentrok berdara-darah antaraTNI dan Polisi di Kediri, Binjai, Bogor dan lain
sebagainya menelan cukup banyak korban, tiba-tiba saja bom meledak di
Kutai-Bali, bom Makassar dan Bom hotel Mariot yang seolah berlari menyusul amat
cepat. Tak pelak lagi penderitaan TKI di
Malaysia dan TKW di Jasirah Arab.
Tentu saja Prof Syafei Maarif
mengharapkan sepenuh hati, agar para elite nasional segera bangkit
memperhambakan dirinya kepada Tuhan, kepada bangsa dan negara dan kepada
rakyatnya. Karena hanya dengan metode penghambahan inilah satu-satunya solusi
alternatif dan amat ampuh untuk keluar dari kemelut bangsa dan negara.
Kini, meskipun dengan nafas
yang terengas-engas kita telah sukses gemilang menuntaskan training center
fungsionalisasi radar hati (God Spot)
yang Allah hembuskan ke dalam rongga dada hamba Nya selama satu bulan penuh.
Sudah pasti kita mampu mengantisipasi pelbagai rintangan masa depan yang
senantiasa menghadang. Karena bulan ramadhan adalah bulan yang mampu
mengidupkan kematian rohani seseorang, sehingga ia tidak bisa diberi gelar
macam-macam seperti “buta hati atau mayat berjalan”, dan itulah yang
sesungguhnya yang dsebut “fitrah”
Seorang hamba yang sukses
gemilang kembali kepada fitrahnya, berarti dia tergolong anak manusia yang
mampu menyedop dan menyadap kehebatan suara hati yang bersumber dari 99 Nama-Nama
Allah (Asmahul husna). Dengan
demikian, ia berarti mampu menggunakan hatinya sebagai radar yang senantiasa
dapat memberi informasi penting atas keberadaannya sebagai “Khalifatul filardhi”. Ia dapat
memfungsikan hatinya sebagai “Manajer Handal” yang mampu mengatur secara
profesional dan proporsional terhadap berbagai aktivitas pengembangan program “Kaffatan Linnas dan Rahmatan Lilalamin”.
Adalah sebuah rahasia sukses
dalam upaya menumbuh-kembangkan kualitas Sumber Daya Manusia sebagaimana
prestasi Rasulullah dalam menggenjot fitrah para sahabatnya, bukan hanya dalam
konteks puasa dan zakat saja. Apalagi kalau proses penghayatan dan pengamalan
puasa kita hanya sebatas atau sederajat “puasa orang awam” yang bersusah-susah
menahan lapar dan dahaga, maka jangan bermimpi bisa kembali kepada fitrah. Tak
pelak lagi kalau pelaksanaan zakat kita belum mampu mencetuskan strategi
kolaborasi yang kelak dapat mengentaskan kehidupan orang-orang terpinggirkan.
Karena itu, rahasia sukses
kaderisasi kaum Salaf (Salafu Saleh)
sebagai sahabat langsung Rasulullah, adalah melalui program sistemik oleh KH.
Abdullah Said disebut “Wahyu Sistem”. Dalam konteks Nuzulnya Wahyu yang
berurutan dari Surah Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Mudatzir dan hingga
Surah Al-Fatiha pada lima surah pertama
yang diturunkan Allah SWT; ditandaskan bahwa Allah tidak pernah langsung
memerintahkan Nabi Muhammad untuk melaksanakan Shalat, puasa, zakat dan haji.
Akan tetapi, perintah itu justru bermula dari Al-alaq dan AL-Qalam sebagai
perintah dari membaca hingga menulis. Setelah aktivitas membaca dan menulis
telah berhasil menancapkan fondasi “kecerdasan intelektual”, maka Allah
menurunkan Surah Al-Muzammil sebagai program kerja yang dapat mempertajam
“kecerdasan rohani”. Ketika fakultas otak dan rohani sudah mantap, maka
diperintahkanlah Rasulullah untuk segera turun ke lapangan, karena pada saat
itulah potensi suara hati, fitrah dan god spot sudah dapat menjadi senjata
pamungkas.
Wahyu sistem dalam konteks pra
wahyu dan suasana wahyu, tampak amat relevan dengan rahasia sukses membangun
kecerdasan emosi dan spritual (ESQ) yang berdasarkan pada 6 tangga Rukun Iman
dan 5 tangga Rukun Islam. Adalah sebuah formulasi ilmiah dari seorang Ary
Ginanjar Agustian yang mungkin tidak hanya sukses melumatkan kesombongan
intelektual ilmuawan Barat, tetapi juga sekaligus berhasil membangkitkan orang
Islam dari kedunguan dan rendah dirinya sepanjang zaman. Sudah cukup lama dan
bahkan mereka amat dipusingkan dengan struktur kecerdasan emosional yang
bertempat di otak kanan, dan tak pelak lagi dengan kecerdasan spritual yang
bertengger di rongga dada sebanyak 99 Nama Besar Allah SWT.
Namun amat perlu ditandaskan
bahwa unsur-unsur kecerdasan tersebut tidak bisa digapai kalau tidak melalui
tangga-tangga Rukun Iman dan Rukun Islam sebagaimana proses turunnya wahyu dari
surah pertama hingga ke seratus empat-belas. Menurut Ary Ginanjar Agustian, God
Spot sebagai pusat tata surya dikelilingi oleh 6 planet keimanan serta
5 planet keislaman. Seperti halnya elektron-elektron yang mengelilingi inti
atom dan planet-planet bima sakti yang mengelilingi mata hari sebagai pusat
tata surya, maka demikian halnya hati selaku titik pusat. Apabila ada satu di
antara planet tersebut berhenti berputar misalnya Mars, maka langit dan bumi beserta
seluruh isinya akan berantakan seketika. Demikian pula jika satu di antara
planet Rukun Iman dan Rukun Islam yang dicoba dihentikan oleh seorang hamba,
maka ia tak ubahnya langit dan bumi tersebut, seseorang akan mengalami nuansa
kehidupan yang penuh kekacauan, kebingungan, kebimbangan dan stress.
Karena itu, jangan
sekali-sekali dicoba untuk berhenti berputar dalam rangka memperhambakan diri
kepada Tuhan. Dan jangan mimpi, ada metode lain yang bisa diharap untuk mampu
membangun ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial, selain dari menapaki
tangga dalam 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Silahkan ditamati karya Ary
Ginajar Agustian dalam “Rahasia Sukses membangun ESQ” dan elaborasi murid
Abdullah Said dalam “Sistematika Wahyu”! Percayalah, karena BP7 telah gagal di
panggung sejarah ! Penulis, Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Pemerhati Masalah
Pemiskinan.
No comments:
Post a Comment