Jan 2, 2014

Kado Khas Untuk Kaum Politisi dan Birokrat: URGENSI PENDEWASAAN POLITIK

Oleh
Peribadi

Ketika menyoal proses pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sebagai pesta demokrasi yang diharap berlangsung kondusif dan berkualitas, tampaknya memang banyak varian yang akhirnya terpaksa harus ditelaah secara skeptisisme plus kritisisme, sehingga bisa ditemukan solusi alternatif untuk keluar dari kemelut sosial politik yang pada dekade terakhir terasa amat membosankan dan mengecewakan.
Mungkin karena keberadaan demokrasi yang disinyalir sebagai barang import dari bangsa berbeda budaya dengan kita, sehingga diperlukan upaya revitalisasi budaya politik untuk membangun fatsun politik berbasis budaya lokal. Namun yang kerapkali digembor-gemborkan adalah pentingnya pendidikan politik, sehingga kecerdasan pemilih dan politisi tumbuh dan berkembang seiring dengan arus demokratisasi.
Boleh jadi demikian bahwa urgensi pendidikan politik di aras grass root amat mendesak untuk ditumbuhkembangkan. Akan tetapi, jangan pura-pura dilupakan dan apalagi sengaja dilupakan bahwa upaya “pendewasaan politik” yang secara khusus ditujukan kepada politisi pemula dan elite politik, tampak takkala urgensinya.
Dalam artian, upaya penciptaan budaya politik partisipan dalam konteks demokratisasi yang dimaknai sebagai “the hight political culture by political education di aras grass roots”, memang sangat diperlukan.  Namun proses peningkatan kesadaran politik yang juga dimaknai sebagai the hight political culture by political maturity khusus kepada elite politik, termasuk kepada awak-awak penyelenggara Pemilu/Pilkada yang bernama KPU/KPUD, pun tidak boleh ditawar-tawar.

Besar dugaan, kita bakal tak ubahnya terus bermimpi di siang bolong sembari menghambur-hamburkan harta karung negara dan uang rakyat, jika pesta demokrasi berlangsung di tengah suasana budaya politik yang masih didominasi oleh pola hubungan hirarkis dan patronage serta gejala neo-patrimonialisme yang berkelindan dengan kebodohan pemilih dan ke kanak-kanakan elite-elite politik.
Betapa menggelitik, ketika kita dipertontonkan dengan sebuah pergumulan sadis antara “kebodohan pemilih” dengan “perilaku brutalisme politisi”, baik dari kubu politisi senior yang ambisius mempertahankan status quo maupun dari kalangan “politisi pemula” yang amat mendambakan “kursi panas Parlement” sebagai lapangan kerja baru yang dianggap mampu melecitkan orang-orang untuk tampil menjadi “Orang Kaya Baru (OKB)”.
Pantaslah jika rakyat mulai dijangkiti virus pesimisme, karena kaum elite politik pun menjadi pecandu “narkotika budaya (narkoya)” dalam kerangka life style yang serba bebas (liberal), tidak mengenal haram-halal (permisif), dan amat memanjakan hawa nafsu (hedonis). Sehingga, fenomena “gempa politik” menggelegar di siang bolong seiring dengan “gempa bumi” yang menggetarkan bumi persada.
 Dalam konteks inilah, semua pihak harus segera menyadari betapa besar biaya ekonomi dan biaya sosial yang terkuras selama berlangsungnya penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Sementara konstalasi politik tampak tidak cukup signifikan dengan proses pertumbuhan kesejahteraan sosial masyarakat. Dalam konteks inilah, penulis menawarkan secuil langkah awal yang harus dihayati dan diamalkan oleh anak-anak bangsa yang hobby bergumul di gelanggang panggung sandiwara politik, jika memang demokrasi masih kita harap menjadi dewa penyelamat.
FILOSOFI POLITIK
Ikhwal yang mungkin paling pertama harus mewarnai identitas sang politisi adalah seperangkat pemahaman filsafat politik yang tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman dengan berbagai teori dan konsep-konsep politik di tengah dinamika perpolitikan kita. Adalah suka atau tidak suka, bagi siapa saja yang kepingin tampil menjadi “politisi ulung” versus “politisi pacundang”, maka mereka harus memahami filsafat politik yang berkembang dari zaman klasik hingga ke zaman moderen.
Uregensi pemahaman filosofi politik dimaksud, adalah tidak hanya merupakan upaya penciptaan budaya belajar (learning culture) berpolitik, sehingga logika dan estetika kita menjadi cemerlang. Akan tetapi, yang mungkin lebih terpenting adalah bagaimana kemudian hasil pembelajaran tersebut mampu mencerahkan serta menggerakkan jiwa untuk tampil menjadi “politisi idiolog” yang memiliki kepekaan sosial tajam, bermoral idealistik, bercita-cita besar, bervisi kuat hingga akhirnya menyelamatkan bangsa dan bersemangat menolong rakyat.
Tentu saja tidak sedikit politisi kita yang sudah berpengetahuan luas dan bahkan cemerlang logika berpikirnya karena berlatar akademis, aktivis dan praktisi, serta mungkin juga ilmuwan yang sangat ahli dalam berbagai bidang pengetahuan. Demikian pula, mungkin sudah ada segelintir lainnya berlatar pebisnis ulet, tangguh dan beretos kerja tinggi, serta artis dan penyair yang memiliki kepekaan estetis menakjubkan.
Namun disayangkan, karena latar kepintaran dan ketangguhan spektakuler itu, tampak belum dapat dipastikan mampu menjadi kekuatan penggerak (driving force) dalam proses berdemokrasi serta membangun cita-cita masa depan yang prospektif dalam kerangka pemberdayaan dan pensejahteraan rakyat jelata.
Dalam kerangka itulah, urgensi rancangan pendidikan politik untuk mencerdaskan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya secara profesional. Demikian pula upaya pendewasaan politik untuk mematangkan elite politik, sehingga tidak terkesan ”Politisi Baru Gede (PBG)” karena hanya cerdas menyambut kemenangan, tapi goblok menerima kekalahan.
Makanya, proses ontologi pendidikan dan pendewasaan politik yang mampu menggerakkan jiwa pemilih dan politisi kita, harus dikedepankan. Pasalnya, di balik epistemologi logika politik yang mengagumkan dan estetika politik yang menakjubkan selama ini, ternyata amat dibutuhkan aksiologi etika politik sebagai pelengkap penderita.
Pada gilirannya, akan tumbuh sebuah kesadaran bahwa gebrakan politik apa pun yang kita tampilkan, tidak lain dan tidak bukan, kecuali hanya diperuntukkan seluruhnya kepada kepentingan rakyat. Akan tetapi, lagi-lagi kunci pamungkasnya adalah perbendaharaan filsafat pemikiran dan filosofi politik yang menghunjam ke dalam fakultas otak dan rongga dada hingga mengkristal ke dalam bentuk ”ibadah demokratisasi”.
Mungkin ikhwal inilah yang secepatnya perlu diinternalisasikan ke dalam otak dan jiwa politisi pemula, sehingga terbentengi dari ”perilaku politisi pacundang” dan sukses gemilang mewarisi ”politisi idiolog dan negarawan” dari kalangan petarung sejati di alam kemerdekaan kita terdahulu.
Perlu dicamkan bahwa jati diri sang politisi idiolog terdahulu, memiliki varian preferensi politik yang terang benderang sebagaimana dimaksudkan dalam teori tiga pilah Geertz. Bukan seperti politisi kini yang tidak memiliki kejelasan idealisme dan idiologi, sehingga marak mendirikan Parpol hingga bergerombol masuk ke dalam sebuah Parpol untuk mencari instrumen dan wadah pragmatis dalam upaya mendulang ”kursi panas kekuasaan”.
Betapa mengagumkan ketika kita mencoba bernostalgia dengan filosofi pemikiran dan sikap politik Socrates misalnya yang rela dipenjara dan dihukum mati karena tegar mempertahankan prinsip pemikirannya, dan bahkan menolak untuk dikeluarkan dari penjara karena begitu taat kepada hukum negara yang telah dijatuhkan kepadanya.
Demikian pula kedalaman dan ketajaman pelanjutnya yang mengaku sebagai murid-murid darinya, yakni Plato dan Aristoteles. Meskipun mereka terkesan berbeda pandangan pemikiran, tetapi mereka tampil saling mengakui dan saling menyempurnakan demi eksistensi dan kesinambungan wacana pemikiran yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi bangsa dan negaranya.
Sementara kini, di tengah konstalasi politik bangsa dan negara tercinta ini, tampak bukan hanya kita cenderung ”caci-maki”. Namun kita pun terkesan amat kurang cerdas mengakui kekurangan dan menjempol kelebihan orang lain. Ironisnya, kita pun tampak jelas amat cerdas menerima kemenangan, tetapi sangat bodoh menerima kekalahan atau merspon realitas sosial politik, sehingga membutuhkan biaya-biaya ekstra sosial ekonomi di meja hijau peradilan.
Karena itu, seterusnya yang perlu didengung-dengungkan adalah bukan hanya pendidikan politik di tingkat grass root selaku pemilih. Akan tetapi, yang takkala pentingnya adalah lentingan suara pendewasaan politik (political maturity) yang secara khusus di arahkan kepada elite politik, Parpol dan termasuk kepada KPU/KPUD untuk tetap konsisten dengan rule of the game dan kecerdasan berimprovisasi untuk merakit formula baru dalam proses penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. 
TEORI DAN KONSEP POLITIK
Urgensi pemahaman teori dan konsep-konsep politik dari zaman pertengahan yang dipelopori oleh Agustinus, Thomas Aquinas & M. Luther, Ibnu Khaldun, Machiavelli & Teori politik Liberalis hingga zaman moderen dalam konteks Kontrak Sosial dan Demokrasi yang dipentaskan oleh Tomas. Hobbes, J. Locke dan Montesquieu, merupakan langkah strategis kedua seusai memahami filsafat pemikiran politik klasik di atas.
Pertama, menurut Hobbes bahwa negara harus menjadi perwujudan kelembagaan kuat dan mampu mengancam individu-individu dalam sebuah institusi negara. Baginya, negara bebas melakukan apa saja demi kepentingan masyarakatnya dan negara berhak menentukan nilai-nilai yang boleh dan tidak boleh. Demikian pula, negara merupakan lembaga politik yang hanya mengenal hak, tanpa mengenal kewajiban, sehingga dikenal dengan istilah “Absolute Obedience”.
Apakah kemudian teori dan konsep dimaksud inilah yang menjadi referensi pemikiran kaum birokrat pada umumnya dan elite politik pada khususnya bahwa sebagai pejabat atau penyelenggara negara, memang harus tampil prima untuk berlaku sewenang-wenang kepada rakyatnya ? Karena itu, mungkin tidak salah jika ada di antara kita menuding dan tertuding bahwa elite-elite sosial kita cenderung menjadi pewaris pemikiran Hobbes.
Kedua, antitesis dengan T. Hobbes adalah J. Locke dalam konsep state of nature yang mendefinisikan bahwa manusia adalah penuh kasih sayang, tolong menolong dan saling menghormati, sehingga negara harus dibangun atas dasar “consent by the people yang berbasis trust” (kepercayaan). Namun amat disayangkan, karena ketika gemerlapan developmentalisme memuncratkan perubahan sosial, sekonyong-konyong “uangisme” tampil menjadi “dewa peracun ganas” anak-anak zaman edan.
Sebaliknya, J. Locke amat tidak setuju dengan konsep pemerintahan “Monarki Absolut” karena hal itu berakar dari tradisi “Paternal Authority”. Baginya, distribusi kekuasaan harus disetting ke dalam lembaga Legislatif, Eksekutif dan Diplomasi. Lebih dari itu, Ia pun menawarkan konsep toleransi keberagamaan, sehingga tidak boleh ada pelanggaran azas berkeyakinan (freedom of Conscience), meskipun memang sekulerisasi sebagai pra kondisi kebangkitan “civil society” amat penting baginya.
Ketiga, sukses gemilang bagi Montesquieu adalah lebih lanjut mengembangkan distribusi kekuasaan Locke yang dianggapnya belum sempurnah dan kemudian terkenal dengan konsep “triaspolitica” sebagai separation of power. Dalam konteks ini, Montesquieu dipengaruhi oleh “Filsafat Deterministik Geografis”.
Tepatlah, jika elite-elite sosial kita di tengah bangsa nan merana ini, berupaya mencoba sekali lagi merefleksi filosofi pemikiran serta teori dan konsep-konsep politik yang relevan dan kontekstual dengan basis kultural kita sebagai bangsa yang terkenal beradab dan humanis. Memang, konsep triaspolitica dari Montesquieu telah menjadi ciri khas sistem pemerintahan kita. Namun sayang sekali, consent by the people yang berbasis trust dari J. Locke terabaikan, sehingga kita diterpah “badai krisis kepercayaan”. 
Keempat, kalau konsep terdahulu menyoal state of nature, maka Rousseau menekankan “natural goodness”, sehingga tidak perlu ada konflik dan peperangan. Menurutnya, konflik dan sejenisnya adalah bukan bagian dari “natural phenomenon”. Akan tetapi, merupakan social phenomenon dari sebuah hasil konstruksi sosial yang menjadi sumber bangkitnya idiom “homo homini lupus”. Rousseau menekankan bahwa baik dari aspek fisik maupun dari aspek moral dan politik, eksistensi manusia adalah berbeda.
Dalam konteks ini, amat penting direnungi oleh semua pihak bahwa jika seandainya “tata surya sosial” kita adalah sama konsistensinya dengan “tata surya alam” yang diedari oleh sejumlah planet dalam koridor in line dan on line. Maka sudah pasti, kita tidak akan pernah mengalami gempa politik, karena akibat dari “Planet Parpol” yang mengitari tata surya sosial kita, cenderung keluar dari koridor hukum dan aturan main yang telah ditentukan.
          Kelima, teori Kekuasaan Tuhan yang tidak rasional bahwa bagi seseorang yang sukses menjadi penguasa dalam menjalankan kekuasaan adalah refleksi dari kehendak Tuhan. Makanya, Teori Kekuasaan Tuhan yang rasional menandaskan bahwa seseorang yang menjadi penguasa dalam menjalankan kekuasaan merupakan Pemberian Tuhan yang harus dijalankan sesuai aturan Tuhan. Menurut Agustinus, Negara Tuhan penuh kebaikan karena dijalankan atas landasan Kasih Tuhan dan penguasanya memiliki kemulian, kesucian dan ketaqwaan.
Oleh karena konsep politik ini santer mewacana di tengah konstalasi politik kita, maka tidak ada salahnya jika kaum elite mencoba mempelajarinya. Paling tidak, kita tidak terkesan alergi, dan apalagi anti tesis dengan nuansa ke-Tuhanan sebagai paradigma alternatif. Betapa tidak, dalam konteks ekonomi sudah memuntahkan bukti nyata bahwa ketika semua Bank konvensional hampir terpelanting (collaps), Bank Syariah tetap tampil prima di tengah halilintar moneter itu. Siapa tahu, dalam konteks politik dan pemerintahan, pun bisa didamba ???   
          Keenam, dalam konteks Teori Kekuasaan Hukum, maka setiap penguasa dan masyarakat wajib tunduk dan taat pada hukum negara, sehingga semua komponen harus mempunyai kesadaran hukum (rule of law) dalam konteks supremacy of law; equality before law dan protection of human right. Adalah tidak boleh tawar menawar, bagi siapapun harus tunduk, patuh dan taat kepada hukum.
Thomas Aquinas menambahkan bahwa ada 4 tipologi hukum, yakni: (1) Hukum Abadi, keseluruhan berasal dari jiwa Tuhan; (2) Hukum Alam adalah manusia mahluk berpikir karena merupakan bagian integral dari hukum alam; (3) Hukum Positif adalah hasil modifikasi yang dikontekstualkan dengan kondisi obyektif negara; dan (4) Hukum Tuhan adalah hukum yang mengisi kekurangan pikiran manusia dan memimpin manusia dengan wahyu menuju kesucian.
Boleh jadi, kita memang telah mengalami sebuah kecelakaan sejarah dalam konteks hukum, politik dan pemerintahan yang kini dirasakan akibatnya. Pasalnya, selain mungkin kita telat meletakkan konsep “supremasi hukum”, karena kita lebih enjoy dengan skala prioritas pertumbuhan ekonomi. Juga mungkin terasa amat pedas, jika kita diklaim bahwa elite-elite sosial kita sejak awal hingga kini, adalah “pewaris setia dan pencinta hukum penjajahan”. 
          Ketujuh, dalam konteks Teori Kekuasaan Negara, eksistensi negara berada dalam posisi memaksa, memonopoli dan segalanya yang ditopang oleh militerisme. Tampaknya, konsep ini merupakan konkritisasi dari konsep kontrak sosial dan demokrasi yang dipentaskan oleh Tomas. Hobbes. Namun sebagai antitesisnya, Teori Kekuasaan Rakyat menawarkan supremasi kekuasaan tertinggi yang harus diimplemetasikan ke dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun sayang beribu-ribu sayang, politisi-politisi yang berumah di parlemen mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah, belum cerdas tampil memainkan jurus-jurus demokrasi. Pada umumnya, mereka masih berkubang di  arena “dekorasi politik”, sehingga diduga kelak banyak pemilih yang enggan menggunakan hak suaranya. 
URGENSI BUDAYA POLITIK
Budaya merupakan variabel nyata dari sistem politik, karena menggambarkan nilai-nilai dasar dan karakteristik suatu negara, serta memiliki pengaruh dalam perkembangan tatanan politik. Hasil studi Almond dan Verba, negara-negara yang mempunyai budaya politik matang akan mendulang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki derajat budaya politik rendah hanya menuai badai dan malapetaka.
Secara aktual, tipe kebudayaan politik terdiri atas tipologi partisipan, subjek yang enggan terlibat, dan kebudayaan politik parokial yang acuh tak acuh kepada politik dan pemerintahan. Namun secara faktual, tampaknya kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik “parokial-kaula” serta sikap paternalisme dan sifat patrimonial dalam bentuk “bapakisme” dan sikap ABS (Asal Bapak Senang).
Akhirnya, yang mungkin amat terpenting bahwa gerbang politik sebagai kumpulan fakta dan kejadian merupakan bagian integral dari “Kebenaran Pluralistik” – dalam pandangan Russel, semua pintu-pintu kebenaran dalam konteks Falsafah, Teori dan konsep-konsep pemikiran, harus melewati gerbang etika. Karena pada konsep etika inilah – dalam pandangan Hidayat Nataatmadja, sesungguhnya ajaran Islam, Hindu, Kristen dan Agama lain bersatu secara integral, interdependen dan sinergis.
Tak pelak lagi, konsep Rahman-Rahim yang secara psikis-matefisik dapat disebut cinta  – dalam pandangan Pitirim Sorokin Sosiolog Amerika bahwa cinta adalah panglima yang bisa manyatukan segala kaidah nilai menjadi satu kesatuan etis. Dan cinta inilah yang kemudian mendorong munculnya intuisi para politisi untuk berlomba tampil mensejahtrakan rakyat.
Oleh karena itulah, maka seharusnya gebrakan politik, tidak boleh hanya muncul dari kemampuan digital atau rasional, melaingkan dari kemampuan intiutif dan idealistik-moralistik. Sang politisi dan terutama kaum elite sosial yang diamanahi tugas dan tanggung jawab kesinambungan bangsa dan negara tercinta ini, harus tampil menjadi politsi arif (politician virtues) dalam kerangka Politician integrity; politician humility; politician autonomy; politician sense of justice; politician empathy; politician perseverance; politician courage; and politician confindence in reason. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.  
Penulis adalah Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Awak MPPI Sultra


No comments:

Post a Comment