Oleh
Peribadi
Ketika menyoal proses pelaksanaan
Pemilu dan Pilkada sebagai pesta demokrasi yang diharap berlangsung kondusif
dan berkualitas, tampaknya memang banyak varian yang akhirnya terpaksa harus ditelaah
secara skeptisisme plus kritisisme, sehingga bisa ditemukan
solusi alternatif untuk keluar dari kemelut sosial politik yang pada dekade
terakhir terasa amat membosankan dan mengecewakan.
Mungkin karena keberadaan demokrasi yang
disinyalir sebagai barang import dari bangsa berbeda budaya dengan kita,
sehingga diperlukan upaya revitalisasi budaya politik untuk membangun fatsun
politik berbasis budaya lokal. Namun yang kerapkali digembor-gemborkan adalah
pentingnya pendidikan politik, sehingga kecerdasan pemilih dan politisi tumbuh
dan berkembang seiring dengan arus demokratisasi.
Boleh jadi demikian bahwa urgensi
pendidikan politik di aras grass root
amat mendesak untuk ditumbuhkembangkan. Akan tetapi, jangan pura-pura dilupakan
dan apalagi sengaja dilupakan bahwa upaya “pendewasaan politik” yang secara
khusus ditujukan kepada politisi pemula dan elite politik, tampak takkala urgensinya.
Dalam artian, upaya penciptaan budaya
politik partisipan dalam konteks demokratisasi yang dimaknai sebagai “the
hight political culture by political
education di aras grass roots”,
memang sangat diperlukan. Namun
proses peningkatan kesadaran politik yang juga dimaknai sebagai the hight
political culture by political
maturity khusus kepada elite politik, termasuk kepada awak-awak
penyelenggara Pemilu/Pilkada yang bernama KPU/KPUD, pun tidak boleh
ditawar-tawar.
Besar dugaan, kita bakal tak ubahnya terus
bermimpi di siang bolong sembari menghambur-hamburkan harta karung negara dan
uang rakyat, jika pesta demokrasi berlangsung di tengah suasana budaya politik yang
masih didominasi oleh pola hubungan hirarkis
dan patronage serta gejala neo-patrimonialisme yang berkelindan dengan kebodohan pemilih
dan ke kanak-kanakan elite-elite politik.
Betapa
menggelitik, ketika kita dipertontonkan dengan sebuah pergumulan sadis antara “kebodohan
pemilih” dengan “perilaku brutalisme politisi”, baik dari kubu politisi senior
yang ambisius mempertahankan status quo maupun dari kalangan “politisi pemula”
yang amat mendambakan “kursi panas Parlement” sebagai lapangan kerja baru yang dianggap
mampu melecitkan orang-orang untuk tampil menjadi “Orang Kaya Baru (OKB)”.
Pantaslah jika rakyat mulai dijangkiti virus pesimisme,
karena kaum elite politik pun menjadi pecandu “narkotika budaya (narkoya)” dalam kerangka life style
yang serba bebas (liberal), tidak mengenal haram-halal (permisif),
dan amat memanjakan hawa nafsu (hedonis). Sehingga, fenomena “gempa
politik” menggelegar di siang bolong seiring dengan “gempa bumi” yang menggetarkan
bumi persada.
Dalam konteks inilah, semua pihak harus segera menyadari
betapa besar biaya ekonomi dan biaya sosial yang terkuras selama berlangsungnya
penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Sementara konstalasi politik tampak tidak
cukup signifikan dengan proses pertumbuhan kesejahteraan sosial masyarakat.
Dalam konteks inilah, penulis menawarkan secuil langkah awal yang harus
dihayati dan diamalkan oleh anak-anak bangsa yang hobby bergumul di gelanggang panggung sandiwara politik, jika memang demokrasi masih kita harap
menjadi dewa penyelamat.
FILOSOFI
POLITIK
Ikhwal yang mungkin paling pertama
harus mewarnai identitas sang politisi adalah seperangkat pemahaman filsafat
politik yang tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman dengan berbagai teori dan
konsep-konsep politik di tengah dinamika perpolitikan kita. Adalah suka atau
tidak suka, bagi siapa saja yang kepingin tampil menjadi “politisi ulung” versus
“politisi pacundang”, maka mereka harus memahami filsafat politik yang berkembang
dari zaman klasik hingga ke zaman moderen.
Uregensi pemahaman filosofi politik
dimaksud, adalah tidak hanya merupakan upaya penciptaan budaya
belajar (learning culture) berpolitik, sehingga logika dan
estetika kita menjadi cemerlang. Akan tetapi, yang mungkin lebih terpenting
adalah bagaimana kemudian hasil pembelajaran tersebut mampu mencerahkan serta
menggerakkan jiwa untuk tampil menjadi “politisi idiolog” yang memiliki kepekaan sosial tajam, bermoral idealistik, bercita-cita
besar, bervisi kuat hingga akhirnya menyelamatkan bangsa dan bersemangat menolong
rakyat.
Tentu saja tidak sedikit politisi kita yang sudah
berpengetahuan luas dan bahkan cemerlang logika berpikirnya karena berlatar
akademis, aktivis dan praktisi, serta mungkin juga ilmuwan
yang sangat ahli dalam berbagai bidang pengetahuan. Demikian pula, mungkin sudah
ada segelintir lainnya berlatar pebisnis ulet, tangguh dan beretos kerja
tinggi, serta artis dan penyair
yang memiliki kepekaan estetis menakjubkan.
Namun disayangkan, karena latar kepintaran dan ketangguhan
spektakuler itu, tampak belum dapat dipastikan mampu menjadi kekuatan penggerak
(driving force) dalam proses berdemokrasi serta membangun cita-cita masa
depan yang prospektif dalam kerangka pemberdayaan dan pensejahteraan rakyat
jelata.
Dalam
kerangka itulah, urgensi rancangan pendidikan politik untuk mencerdaskan
pemilih dalam menggunakan hak pilihnya secara profesional. Demikian pula upaya
pendewasaan politik untuk mematangkan elite politik, sehingga tidak terkesan ”Politisi
Baru Gede (PBG)” karena hanya cerdas menyambut kemenangan, tapi goblok menerima
kekalahan.
Makanya,
proses ontologi pendidikan dan pendewasaan politik yang mampu menggerakkan jiwa
pemilih dan politisi kita, harus dikedepankan. Pasalnya, di balik epistemologi logika
politik yang mengagumkan dan estetika politik yang menakjubkan selama ini,
ternyata amat dibutuhkan aksiologi etika politik sebagai pelengkap penderita.
Pada gilirannya, akan tumbuh sebuah kesadaran bahwa gebrakan
politik apa pun yang kita tampilkan, tidak lain dan tidak bukan, kecuali hanya
diperuntukkan seluruhnya kepada kepentingan rakyat. Akan tetapi, lagi-lagi kunci pamungkasnya adalah perbendaharaan filsafat pemikiran dan filosofi politik yang menghunjam ke dalam fakultas
otak dan rongga dada hingga mengkristal ke dalam bentuk ”ibadah demokratisasi”.
Mungkin
ikhwal inilah yang secepatnya perlu diinternalisasikan ke dalam otak dan jiwa
politisi pemula, sehingga terbentengi dari ”perilaku politisi pacundang” dan
sukses gemilang mewarisi ”politisi idiolog dan negarawan” dari kalangan
petarung sejati di alam kemerdekaan kita terdahulu.
Perlu
dicamkan bahwa jati diri sang politisi idiolog terdahulu, memiliki varian preferensi
politik yang terang benderang sebagaimana dimaksudkan dalam teori tiga pilah
Geertz. Bukan seperti politisi kini yang tidak memiliki kejelasan idealisme dan
idiologi, sehingga marak mendirikan Parpol hingga bergerombol masuk ke dalam
sebuah Parpol untuk mencari instrumen dan wadah pragmatis dalam upaya mendulang
”kursi panas kekuasaan”.
Betapa
mengagumkan ketika kita mencoba bernostalgia dengan filosofi pemikiran dan
sikap politik Socrates misalnya yang rela dipenjara dan dihukum mati karena
tegar mempertahankan prinsip pemikirannya, dan bahkan menolak untuk dikeluarkan
dari penjara karena begitu taat kepada hukum negara yang telah dijatuhkan
kepadanya.
Demikian
pula kedalaman dan ketajaman pelanjutnya yang mengaku sebagai murid-murid
darinya, yakni Plato dan Aristoteles. Meskipun mereka terkesan berbeda
pandangan pemikiran, tetapi mereka tampil saling mengakui dan saling
menyempurnakan demi eksistensi dan kesinambungan wacana pemikiran yang menjadi
sumber inspirasi dan motivasi bagi bangsa dan negaranya.
Sementara
kini, di tengah konstalasi politik bangsa dan negara tercinta ini, tampak bukan
hanya kita cenderung ”caci-maki”. Namun kita pun terkesan amat kurang cerdas mengakui
kekurangan dan menjempol kelebihan orang lain. Ironisnya, kita pun tampak jelas
amat cerdas menerima kemenangan, tetapi sangat bodoh menerima kekalahan atau
merspon realitas sosial politik, sehingga membutuhkan biaya-biaya ekstra sosial
ekonomi di meja hijau peradilan.
Karena itu, seterusnya yang perlu didengung-dengungkan adalah bukan hanya
pendidikan politik di tingkat grass root
selaku pemilih. Akan tetapi, yang takkala pentingnya adalah lentingan suara
pendewasaan politik (political
maturity) yang secara khusus di arahkan kepada elite politik, Parpol dan
termasuk kepada KPU/KPUD untuk tetap konsisten dengan rule of the game
dan kecerdasan berimprovisasi untuk merakit formula baru dalam proses penyelenggaraan
Pemilu dan Pilkada.
TEORI DAN
KONSEP POLITIK
Urgensi pemahaman
teori dan konsep-konsep politik dari zaman pertengahan yang dipelopori oleh Agustinus,
Thomas Aquinas & M. Luther, Ibnu
Khaldun, Machiavelli & Teori politik Liberalis hingga zaman moderen dalam
konteks Kontrak Sosial dan Demokrasi yang dipentaskan oleh Tomas. Hobbes, J. Locke dan Montesquieu,
merupakan langkah strategis kedua seusai memahami filsafat pemikiran politik
klasik di atas.
Pertama, menurut Hobbes bahwa negara harus menjadi perwujudan
kelembagaan kuat dan mampu mengancam individu-individu dalam sebuah institusi
negara. Baginya, negara bebas melakukan apa saja demi kepentingan masyarakatnya
dan negara berhak menentukan nilai-nilai yang boleh dan tidak boleh. Demikian
pula, negara merupakan lembaga politik yang hanya mengenal hak, tanpa mengenal
kewajiban, sehingga dikenal dengan istilah “Absolute
Obedience”.
Apakah kemudian teori
dan konsep dimaksud inilah yang menjadi referensi pemikiran kaum birokrat pada
umumnya dan elite politik pada khususnya bahwa sebagai pejabat atau
penyelenggara negara, memang harus tampil prima untuk berlaku sewenang-wenang
kepada rakyatnya ? Karena itu, mungkin tidak salah jika ada di antara kita menuding
dan tertuding bahwa elite-elite sosial kita cenderung menjadi pewaris pemikiran
Hobbes.
Kedua, antitesis dengan T. Hobbes
adalah J. Locke dalam konsep state of
nature yang mendefinisikan bahwa manusia adalah penuh kasih sayang, tolong
menolong dan saling menghormati, sehingga negara harus dibangun atas dasar “consent by the people” yang berbasis “trust” (kepercayaan). Namun
amat disayangkan, karena ketika gemerlapan developmentalisme
memuncratkan perubahan sosial, sekonyong-konyong “uangisme” tampil menjadi “dewa peracun ganas” anak-anak zaman edan.
Sebaliknya, J. Locke
amat tidak setuju dengan konsep pemerintahan “Monarki Absolut” karena hal itu berakar dari tradisi “Paternal Authority”. Baginya, distribusi
kekuasaan harus disetting ke dalam lembaga Legislatif, Eksekutif dan Diplomasi.
Lebih dari itu, Ia pun menawarkan konsep toleransi keberagamaan, sehingga tidak
boleh ada pelanggaran azas berkeyakinan (freedom
of Conscience), meskipun memang sekulerisasi sebagai pra kondisi
kebangkitan “civil society” amat
penting baginya.
Ketiga,
sukses gemilang bagi Montesquieu adalah lebih lanjut mengembangkan distribusi
kekuasaan Locke yang dianggapnya belum sempurnah dan kemudian terkenal dengan
konsep “triaspolitica” sebagai separation of power. Dalam konteks ini, Montesquieu
dipengaruhi oleh “Filsafat Deterministik Geografis”.
Tepatlah, jika
elite-elite sosial kita di tengah bangsa nan merana ini, berupaya mencoba
sekali lagi merefleksi filosofi pemikiran serta teori dan konsep-konsep politik
yang relevan dan kontekstual dengan basis kultural kita sebagai bangsa yang
terkenal beradab dan humanis. Memang, konsep
triaspolitica dari Montesquieu telah
menjadi ciri khas sistem pemerintahan kita. Namun sayang sekali, consent by the people” yang berbasis trust dari J. Locke terabaikan, sehingga kita diterpah “badai
krisis kepercayaan”.
Keempat, kalau konsep terdahulu menyoal state of nature, maka Rousseau menekankan “natural goodness”, sehingga tidak perlu ada konflik dan peperangan.
Menurutnya, konflik dan sejenisnya adalah bukan bagian dari “natural phenomenon”. Akan tetapi,
merupakan social phenomenon dari
sebuah hasil konstruksi sosial yang menjadi sumber bangkitnya idiom “homo homini lupus”. Rousseau menekankan
bahwa baik dari aspek fisik maupun dari aspek moral dan politik, eksistensi
manusia adalah berbeda.
Dalam konteks
ini, amat penting direnungi oleh semua pihak bahwa jika seandainya “tata surya
sosial” kita adalah sama konsistensinya dengan “tata surya alam” yang diedari
oleh sejumlah planet dalam koridor in
line dan on line. Maka sudah
pasti, kita tidak akan pernah mengalami gempa politik, karena akibat dari “Planet
Parpol” yang mengitari tata surya sosial kita, cenderung keluar dari koridor
hukum dan aturan main yang telah ditentukan.
Kelima, teori Kekuasaan Tuhan yang tidak
rasional bahwa bagi seseorang yang sukses menjadi penguasa dalam menjalankan
kekuasaan adalah refleksi dari kehendak Tuhan. Makanya, Teori Kekuasaan Tuhan yang
rasional menandaskan bahwa seseorang yang menjadi penguasa dalam menjalankan
kekuasaan merupakan Pemberian Tuhan yang harus dijalankan sesuai aturan Tuhan. Menurut
Agustinus, Negara Tuhan penuh kebaikan karena dijalankan atas landasan Kasih
Tuhan dan penguasanya memiliki kemulian, kesucian dan ketaqwaan.
Oleh karena
konsep politik ini santer mewacana di tengah konstalasi politik kita, maka
tidak ada salahnya jika kaum elite mencoba mempelajarinya. Paling tidak, kita
tidak terkesan alergi, dan apalagi anti tesis dengan nuansa ke-Tuhanan sebagai
paradigma alternatif. Betapa tidak, dalam konteks ekonomi sudah memuntahkan
bukti nyata bahwa ketika semua Bank konvensional hampir terpelanting (collaps), Bank Syariah tetap tampil
prima di tengah halilintar moneter itu. Siapa tahu, dalam konteks politik dan
pemerintahan, pun bisa didamba ???
Keenam, dalam konteks Teori Kekuasaan Hukum,
maka setiap penguasa dan masyarakat wajib tunduk dan taat pada hukum negara,
sehingga semua komponen harus mempunyai kesadaran hukum (rule of law) dalam konteks supremacy
of law; equality before law dan protection of human right. Adalah tidak
boleh tawar menawar, bagi siapapun harus tunduk, patuh dan taat kepada hukum.
Thomas Aquinas
menambahkan bahwa ada 4 tipologi hukum, yakni: (1) Hukum Abadi, keseluruhan
berasal dari jiwa Tuhan; (2) Hukum Alam adalah manusia mahluk berpikir karena
merupakan bagian integral dari hukum alam; (3) Hukum Positif adalah hasil
modifikasi yang dikontekstualkan dengan kondisi obyektif negara; dan (4) Hukum
Tuhan adalah hukum yang mengisi kekurangan pikiran manusia dan memimpin manusia
dengan wahyu menuju kesucian.
Boleh jadi, kita
memang telah mengalami sebuah kecelakaan sejarah dalam konteks hukum, politik
dan pemerintahan yang kini dirasakan akibatnya. Pasalnya, selain mungkin kita
telat meletakkan konsep “supremasi hukum”, karena kita lebih enjoy dengan skala prioritas pertumbuhan
ekonomi. Juga mungkin terasa amat pedas, jika kita diklaim bahwa elite-elite
sosial kita sejak awal hingga kini, adalah “pewaris setia dan pencinta hukum
penjajahan”.
Ketujuh, dalam konteks Teori Kekuasaan Negara,
eksistensi negara berada dalam posisi memaksa, memonopoli dan segalanya yang
ditopang oleh militerisme. Tampaknya, konsep ini merupakan konkritisasi dari
konsep kontrak sosial dan demokrasi yang
dipentaskan oleh Tomas. Hobbes. Namun sebagai antitesisnya, Teori
Kekuasaan Rakyat menawarkan supremasi kekuasaan tertinggi yang harus diimplemetasikan
ke dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun sayang
beribu-ribu sayang, politisi-politisi yang berumah di parlemen mulai dari
tingkat pusat hingga ke tingkat daerah, belum cerdas tampil memainkan
jurus-jurus demokrasi. Pada umumnya, mereka masih berkubang di arena “dekorasi politik”, sehingga diduga
kelak banyak pemilih yang enggan menggunakan hak suaranya.
URGENSI
BUDAYA POLITIK
Budaya merupakan
variabel nyata dari sistem politik, karena menggambarkan nilai-nilai dasar dan
karakteristik suatu negara, serta memiliki pengaruh dalam perkembangan tatanan
politik. Hasil studi Almond dan Verba, negara-negara yang mempunyai budaya
politik matang akan mendulang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara
yang memiliki derajat budaya politik rendah hanya menuai badai dan malapetaka.
Secara aktual,
tipe kebudayaan politik terdiri atas tipologi partisipan, subjek yang enggan
terlibat, dan kebudayaan politik parokial yang acuh tak acuh kepada politik dan
pemerintahan. Namun secara faktual, tampaknya kebudayaan politik Indonesia
merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya
pengaruh kebudayaan politik “parokial-kaula”
serta sikap paternalisme dan sifat patrimonial dalam bentuk “bapakisme” dan sikap ABS (Asal Bapak Senang).
Akhirnya, yang
mungkin amat terpenting bahwa gerbang politik sebagai kumpulan fakta dan kejadian
merupakan bagian integral dari “Kebenaran Pluralistik” – dalam pandangan Russel,
semua pintu-pintu kebenaran dalam konteks Falsafah, Teori dan konsep-konsep
pemikiran, harus melewati gerbang etika. Karena pada konsep etika inilah –
dalam pandangan Hidayat Nataatmadja, sesungguhnya ajaran Islam, Hindu, Kristen dan
Agama lain bersatu secara integral, interdependen dan sinergis.
Tak pelak lagi,
konsep Rahman-Rahim yang
secara psikis-matefisik dapat disebut cinta
– dalam pandangan Pitirim Sorokin
Sosiolog Amerika bahwa cinta adalah panglima yang bisa manyatukan segala kaidah
nilai menjadi satu kesatuan etis. Dan cinta inilah yang kemudian mendorong
munculnya intuisi para politisi untuk berlomba tampil mensejahtrakan rakyat.
Oleh karena itulah, maka seharusnya gebrakan politik, tidak boleh hanya
muncul dari kemampuan digital atau rasional, melaingkan dari kemampuan intiutif
dan idealistik-moralistik. Sang politisi dan terutama kaum elite sosial yang
diamanahi tugas dan tanggung jawab kesinambungan bangsa dan negara tercinta
ini, harus tampil menjadi politsi arif (politician
virtues) dalam kerangka Politician
integrity; politician humility; politician
autonomy; politician sense of justice; politician empathy; politician
perseverance; politician courage; and politician confindence in reason.
Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Penulis adalah Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Awak MPPI Sultra
No comments:
Post a Comment