Oleh Peribadi
Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Pemerhati Pemiskinan
Kami bebas belanja produk dalam negeri, karena saya sebagai individu, komunitas, masyarakat, dan bangsa yang merdeka. Yang pasti, kita bebas menentukan pilihan dan keinginan kita sendiri, meskipun kita terus dicekoking dengan iklan glomour. “saya pilih produk dalam negeri, karena saya cinta Indonesia” – kata Surya Palo dalam setiap saat penayangan iklan sebagai upaya mengajak kita memulai mencintai produk dalam negeri. Tentu saja selain cinta negeri sendiri dengan segala hasil karyanya, juga karena saya merdeka menentukan pilihan untuk memenuhi pelbagai jenis kebutuhan hidup sehari-hari. Pasalnya, hampir kita semua, terutama kaum menengah ke atas tampak amat gandrung dan bahkan mungkin tidak bisa merasa hidup bahagia, kalau tidak dijejali dengan produk-produk luar negeri. Lebih dari itu, mungkin pula AS dan negara Eropa pada umumnya telah menjadi kiblat kebanggaan tersendiri bagi orang-orang yang telah teracuni otak dan nuraninya dengan globalisasi dan gombalisasi penjajahan pemikiran.
Jika demikian, upaya yang amat fundamentil dan mendesak untuk segera dilakukan dan digembor-digemborkan, adalah selain produsen kita harus berpacu menumbuh-kembangkan kualitas dan kuantitas produk dalam negeri, juga para pioner pencinta Indonesia harus berupaya keras dan tak boleh kenal lelah untuk membangkitkan kesadaran idiologis konsumen untuk melakukan program “hijrah berbelanja” dari produk luar negeri yang telah memperkaya produsen (Baca: kaum kapitalis), beralih ke produk dalam negeri sebagai upaya mengikis kemiskinan dan pemiskinan produsen dalam negeri, serta sekaligus bahu-membahu untuk mengangkat derajat kemerdekaan ekonomi rakyat (Baca: ekonomi santri dan umat) yang terpuruk hingga saat ini.
Adalah sebuah program kerja yang amat terpaksa digenjot, karena di tengah deru dan debu reformasi terus bergulir ini, mayoritas anak manusia Indonesia masih mempertontonkan wajah menyedihkan karena ikhwal perut yang lapar-keroncongan, pertumbuhan otak yang idiot, putus sekolah dan perkembangan pikiran yang pas-pasan? Sementara di atas kegetiran hidup mereka, berdansa segelintir anak manusia yang terus bangkit memiliki dan mengusai tanah yang berjuta hektar, dan bahkan disinyalir ada diantaranya yang memilki tanah seluas negara Swiss?
Apa arti sebuah reformasi bagi kaum monoritas yang terbahak-bahak mengerumuni tulang-belulang mayoritas penghuni Ibu Pertiwi ini? Mengapa hingga di tengah Gebyar Reformasi ini, masih mayoritas anak manusia yang berjejer dari Sabang sampai Marauke, yang belum merdeka menyingsingkan lengan baju, memekarkan otot dan mencerdaskan otak untuk mencintai produk dalam negeri terutama yang “halalan-toyyiban”?
Sementara itu, terutama kaum yang kaya-raya tak pernah bosan menuangkan, menyalurkan dan mencurahkan nafsu angkara murkahnya dengan membelanjakan dan bahkan menghambur-hamburkan uang yang mungkin diperoleh dengan taktik dan stretegi Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Akibatnya, mereka yang kategori miskin papa pun tak gentar menumpahkan nafsu angkara murkahnya melalui kebangkitan langkah vandalisme yang mengerikan. Betapa kita kaya dengan informasi tentang perilaku menyimpang dan perilaku kejahatan serta tindak-tanduk pembunuhan yang harus menjadi bahan renungan mendalam di tengah alam kemerdekaan ke-58 ini.
Karena itu, sudah harus kita mencari penyuntik virus yang bisa mengajak konsumen untuk tampil merdeka mencintai dan membeli produk dalam negeri, terutama yang telah berhasil diproduksi oleh pengusaha muslim. Dalam konteks ini, menurut Yasraf Amir Piliang (1998), proses penularan virus “need for Achievement” yang dimaksud Mc-Cleland untuk mendongkrak daya berprestasi, ternyata yang menjelmah adalah kegilaan konsumeristis. Demikianlah metode kapitalisme global, telah berhasil dengan gemilang menjangkitkan virus keserakahan untuk mengudangkan investasi serta sukses menancapkan virus menghambur-hamburkan uang negara dengan taktik dan strategi tertentu, yang pada gilirannya ada yang berhasil ditangkap dan ada belum. Namun ini tetap menjadi bom waktu baginya.
Tentu saja kalau kita berhasil menularkan “virus” yang dapat menggenjot kemerdekaan universal, dan apalagi disusul dengan sentakan nurani untuk mencintai produk dalam negeri yang jauh dari proses glatin ternak haram bagi mayoritas konsumen Ibu Pertiwi ini, besar dugaan kita mampu bangkit merdeka dari keterjajahan ekonomi kapitalisme global.
Karena itu, marilah kita mulai mengajak diri kita sendiri dan orang lain untuk bangkit merdeka mengkonsumsi semua produk yang dihasilkan oleh saudara kita di nusantara tercinta ini. Seterusnya, mari kita berupaya menggilas cemohan orang yang mengklaim Indonesiaku sebagai negara terjajah dan sebagai bangsa yang diperbudak dalam konteks ekonomi. Kalau kita tidak segera bangkit mencintai milik dan karya bangsa kita sendiri, praktis bangsa lain akan terus memandang kita sebeleh mata. Siapa lagi yang lebih patut mencintai karya bangsanya, kalau bukan penghuni bangsa itu sendiri.
Tak ada satu alasan pun yang dapat diargumentasikan untuk tidak bangkit menjadi negara yang besar, karena kita dilahirkan dan dibesarkan di kitaran alam yang penuh intan dan berlian dan pelbagai kekayaan alam lain yang terkandung di dalamnya. Demikian pula tak ada alasan yang logis, kita terpuruk menjadi negara miskin dan terbelakang seperti ini. Marilah kita mulai, jangan hanya kita pandai bangkit untuk menjadi manusia yang hebat berbelanja produk luar negeri, apalagi membelanjakan dan menghambur-hamburkan uang negara yang dipinjam dengan bunga setumpuk dan mencekik leher anak cucu kita kini dan akan mendatang.
Kini, hampir semuanya kita terperangkap dan terkurung dalam perangkat keras dan halusnya komoditi dan ekstase masyarakat kontemporer. Coba saja dibayangkan, mulai dari rambut kaum Cucunda Hawa yang ikal, alis mata yang lentik, hidung yang mancung, bibir yang sungging, dada yang aduhai, pinggul yang montok, betis yang mulus dan sekujur tubuh yang semampai, semuanya dijadikan sebagai bahan komoditi kaum kapitalis serta sekaligus menjadi instrumen pembangkitan hawa-nafsu berbelanja semua jenis produk yang mereka pertontonkan.
Akhirnya, langkah awal untuk mencegah kebangkitan nafsu angkara murkah akibat dari gencarnya penayangan gombalisasi produk kapitalime global, adalah telah tiba saatnya ditumbuh-kembangkan penularan virus kecintaan akan produk-produk dalam negeri. Tidak terlalu sulit rasanya kita mulai hijrah berbelanja dari jenis kebutuhan sehari-hari yang selama ini kita gandrungi. Dalam konteks kosmetik misalnya, tak ada salahnya kaum perempuan segera menjatuhkan pilihan pada kosmetika Zahra dan wardah yang anggun dan tenteram yang tak kalah mutuhnya dengan produk luar negeri. Demikian pula jenis produk lainnya seperti pasta gigi ziwak dan nazhif, sabun mandi susu balqis dan sabun tradisional sumber madu Madura, kecap zaitun yang terbuat dari kedelai hitam, pustaka anak-anak yang bersumber dari Iqra yang dapat mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan spritual sekaligus, serta obat habbassauda yang terbuat dari biji habbassauda, minyak zaitun dan madu asli yang rutin dikonsumsi Rasulullah Muhammad SAW.
Sekali lagi. marilah kita mulai dan bangkit mengkonsumsi semua jenis produk yang dapat membantu percepatan pengembangan ekonomi umat dan ekonomi rakyat yang selama ini tergilas oleh ekonomi pertumbuhan. Ahad-Net sebagai MLM Syariah misalnya, tidak hanya bermaksud menyodorkan produk dalam negeri yang terjamin halal, tetapi sekaligus mengajak kita untuk bahu-membahu mengentaskan harga diri lembaga perekonomian ummat yang hingga kini tampak masih terpuruk. Tak apalah berakit-rakit dahulu dan hingga bersenang-senang kemudian, namun hanya Allah jualah Yang Maha Tahu atas segalanya.
No comments:
Post a Comment