Jan 3, 2014

POLANTAS PROFESIONAL DI BENAK MASYARAKAT

Oleh
Peribadi
(Staf Pengajar FISIP Unhalu Kendari-Sultra)


                  Betapa menarik ketika kita mendengar anggota Polisi Lalu Lintas (Polantas) memberi nasehat kepada para pengendara roda dua dan roda empat, terutama kepada mereka yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Sungguh patut diacungi jempol dan bahkan sangat perlu diberi penghargaan kepada mereka yang berdiri seharian di tengah terik matahari nan panas itu. Betapa tidak, selain arus lalu lintas jalanan dapat berlangsung kondusif, sehingga suasana perjalanan berlangsung aman dan nyaman. Tentu pula warga masyarakat senantiasa merasa terayomi oleh petugas lalu lintas yang setiap saat menempati posisi siap siaga.
                  Mungkin memang banyak hal positif yang membuat warga masyarakat terkagum-kagum mendengar dan melihat life style seorang aparat kepolisian ketika sedang memakai seragam lengkap dan tak pelak lagi ketika melaksanakan tugas dengan penuh disiplin. Boleh jadi ikhwal ini pula yang menjadi motivasi bagi kebanyakan orang tua, sehingga berupaya maksimal mendaftarkan anak-anaknya menjadi anggota kepolisian, sekalipun terpaksa harus mengorbankan sesuatu yang selama ini sangat vital bagi sumber penghidupan sosial ekonomi rumah tangganya.

                  Meskipun memang, juga tidak bisa dipungkiri ketika ada orang yang berceloteh atau terkesan kecewa atas ulah oknum aparat Polantas yang dianggap menyimpang karena membuat gebrakan yang keluar dari Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas Nomor: 2 Tahun 2011 tentang tentang Etika Profesi Polisi Lalu Lintas yang mungkin saja bertujuan untuk memperoleh seonggok insentif material. Meskipun kita yakin dan percaya bahwa masih sebagian besar warga masyarakat yang memakluminya, dan bahkan menganggapnya sebagai perilaku yang wajar-wajar saja, sehingga hampir saja menjelmah menjadi sebuah budaya khas.
                  Karena itu, mungkin saja yang patut disoal dan sangat masuk akal untuk dikaji secara kontekstual melalui sebuah penelitian mendalam. Mengapa sebetulnya anak-anak bangsa yang diamanahi tugas dan tanggung jawab, terutama bagi mereka selaku pengabdi atau aparat institusi hukum yang demikian terhormat dan vital eksistensinya serta kontribusinya dalam menata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini, justru aparatnya tidak bisa ditauladani sebagai komponen terdepan dan handal dalam menghayati dan mengamalkan nilai dan norma hukum kita ? Tak pelak lagi, ketika kita menyaksikan langsung proses penanganan berlalu lintas di jalanan yang menuai banyak keganjilan.

TITIK BALIK REALITAS
                  Betapa mencemaskan ketika perilaku keganjilan telah menjadi tontonan realitas dan hiperealitas yang pada masa lalu dianggap terhina, tiba-tiba kini terpelanting menjadi sebuah kebenaran semu dan seolah membanggakan. Demikianlah mungkin dimaksudkan oleh Yasraf Amir Pilang sebagai “titik balik realitas” yang demikian menggeliat hingga sukses gemilang mengaburkan batas-batas antara spiritual dan pseudo spiritual. Ketika para sosiolog menyoal lenyapnya batas-batas sosial secara umum di tengah masyarakat kontemporer, sehingga yang “nyata-nyata haram” sekonyong-konyong menjelmah menjadi “halal dikit”. Tak pelak lagi, gejolak “inflasi moral’ yang pada umumnya melanda kaum elite (baca: pejabat) tampak begitu terkesan amat cerdas memainkan uang rakyat.
                  Namun implikasi dari fenomena penipisan lapisan nurani dan kelumpuhan akal sehat pun tampak menimpa petugas Polantas sebagai Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas pada fungsi Lalu Lintas Polri. Betapa tidak, azas legalitas, opportunitas, keseimbangan dan berorientasi pada tujuan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas seringkali tergadaikan di pinggir jalan sebagai implikasi dari sebuah bangunan sosial yang mulai menipiskan batas wilayah kebenaran dan kesalahan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan azas-azas dimaksud. Mungkin saja kita pernah menguping dan menyimak ocehan dari para pengguna jalanan yang belum memilik SIM khususnya, terkesan demikian ironis dengan aneka lelucon suka dukanya.
                  Fenomena melunturnya daya spiritual dalam ruang sosial modernisasi yang sejak awal disinyalir oleh Durkheim akan menipisnya homogenitas sosial hingga menggebrak ke gelanggang solidaritas organik, sesungguhnya merupakan refleksi dari menipisnya lapisan ozon yang serentak dengan menipisnya lapisan nurani pejabat, politisi dan aparat hukum. Kini, bagi mereka yang dimanahi tugas dan tanggung jawab masa depan bangsa dan negara tercinta ini, tampak menggeliat dan bahkan cenderung gegap gempita mengutamakan aksi penampilan yang sekalipun harus melanggar aturan demi memenuhi nafsu angkara murkahnya. Makna kebenaran, makna keadilan dan makna kejujuran seolah jatuh dan runtuh berkeping-keping di kursi panas dan di pinggir jalan. 
                  Sungguh-sungguh merupakan sebuah ironi kehidupan masyarakat kontemporer sebagaimana ditandaskan secara fenomenal oleh Yasraf Amir Piliang (1998) bahwa lenyapnya rasa malu di dalam diri kita, di dalam masyarakat kita, di dalam media, di dalam televisi, di dalam politik, dan di dalam ekonomi. Tubuh-tubuh yang tanpa bungkus di dalam media dan televise, para penegak kemanan yang menjajakan keamanan di jalanan, para penegak hukum yang menjual keadilan di dalam sebuah sidang pengadilan, para politisi yang mengobral kepalsuan di dalam kampanye politik, para konglomerat yang berpacu di dalam perkembang-biakan usaha dan kekayaan di atas pemiskinan orang lain. Semuanya tampak menjual rasa malu demi memperoleh akumulasi material/kapital. Ironisnya, masyarakat kontemporer kita seakan mulai malu memiliki rasa malu. Mereka menjual rasa malu tersebut dengan harga yang murah (korupsi, kolusi), dan membeli rasa tak bermalu dengan harga yang mahal (pil ecstasy).
                  Demikian pula secara faktual, sejak tahun 2005 Asian Developmen Bank (ADB) melaporkan hasil pengamatan dan evaluasinya bahwa bangsa kita tercinta ini masih lemah dan rendah dalam menjalankan berbagai indikator pembangunan, seperti:  indikator kebebasan berpendapat dan akuntabilitas, kestabilan politik, efektivitas pemerintah, kualitas peraturan, ketaatan atas hukum, dan kontrol korupsi. Searah dengan itu, indeks persepsi korupsi yang disusun oleh Transparancy International menandaskan bahwa bangsa kita pun menduduki urutan 122 dari 133 negara dan bahkan jauh lebih buruk ketimbang Negara ASEAN lainnya seperti: Malaysia, Thailand, dan Filipina yang masing-masing hanya menduduki peringkat 37, 70, dan 92.
                  Karena itu, terlepas dari kedalaman metodologis dan tingkat kualitas hasil yang digapai oleh beberapa penelitian terdahulu, mungkin sebaiknya tidak perlu diperdebatkan dan apalagi terkesan ingin membela diri. Yang pasti, kita haqqul yaqin bahwa bangsa kita adalah “bangsa super” dan kelak mampu keluar dari lingkaran setan itu. Ada baiknya kita tetap optimis, karena ikhwal tersebut merupakan suatu bahan yang amat patut direnungi dan tentu saja merupakan bahan introspeksi yang amat sangat berharga bagi instutusi, lembaga dan kementrian yang bersangkutan. Siapapun dia, tanpa kecuali, semuanya memang harus merenungi keberadaan bangsa dan negara kita tercinta ini, karena telah tertuding oleh lembaga Researct Internasional sebagai negara terkorup, meskipun memang masih terasa kesulitan menangkap koruptornya.

SECUIL KEGANJILAN POLANTAS
                  Implikasi dari fenomena makro penipisan nurani anak-anak bangsa kini telah diungkap di atas. Maka mungkin saja tidak dapat dipungkiri bahwa ikhwal kesemrawutan berlalu lintas yang pada umumnya terjadi di kota-kota selama ini, adalah disebabkan oleh tingkat kesadaran dan ketertiban warga masyarakat dalam berlalu lintas yang masih tampak mamprihatinkan. Akan tetapi, boleh jadi juga lebih tidak bisa terbantahkan jika fenomena dan realitas kesemrawutan itu ditimpakan kepada Polantas sebagai bagian integral dari degradasi moral yang demikian fenomenal itu.
                  Tentu saja dapat ditemukan berbagai faktor yang berpengaruh serta berkelindan di dalamnya. Betapa tidak, dalam konteks perilaku manusia yang boleh jadi belum disiplin, tidak tertib dan cenderung emosional; keadaan infra struktur jalanan yang mungkin belum proporsional dengan keberadaan kendaraan dan pejalan kaki; kondisi kendaraan yang selama ini terkesan tidak seimbang antara kendaraan pribadi dengan angkutan umum; dan akhirnya dalam konteks lingkungan yang tampak belum serius memperhatikan penataan arus lalu lintas jalan. Perihal tersebut tentu saja agak sulit terbantahkan, tetapi juga terkesan cukup logis dan argumentatif jika memang kesemrawutan tersebut dicitrakan kepada petugas Polantas karena disinyalir beberapa keganjilan yang acapkali mengemuka di lapangan.
                  Pertama, pihak petugas lalulintas belum bertindak edukatif dan mungkin dapat diklaim kurang transparan menjelaskan pasal pelanggaran dan sanksinya ketika mereka menahan seorang pengendara, sehingga pihak pengendara tidak memahami jenis pasal apa dan berapa yang dilanggarnya. Hal ini tentu saja sangat penting, agar selain pihak pengguna jalan dapat memahami makna sebuah pelanggaran, juga pihak masyarakat agar supaya tercerdaskan dan tercerahkan dalam konteks pemahaman hukum.
                  Kedua, betapa ironisnya ketika seorang pengendara yang ditahan karena ditenggarai melakukan pelanggaran, tetapi mereka digiring ke pos jaga polisi  dalam waktu yang cukup lama menunggu karena dipertanyakan kepadanya perihal yang terkesan mengada-ada dan cenderung kurang masuk akal, dan atau boleh jadi dimintai sesuatu sebagai persyaratan praktikal untuk membebaskannya. Padahal, seharusnya di tempat dimana pengendara ketika didatangi oleh petugas lalu lintas, maka di tempat itulah kaum pengguna jalan tersebut harus diperiksa dan dijelaskan pasal berapa dan sanksi apa yang harus diterimanya. Sebaliknya, tidak perlu di giring ke pos jaga karena bisa jadi menimbulkan persepsi dan prasangka yang negatif dan irasional.
                  Ketiga, sebaiknya tindakan yuridis dari pihak petugas polisi lalu lintas terhadap  pengendara roda dua dan roda empat yang melanggar itu, merupakan tindakan terakhir yang seyogyanya harus dilakukan dan dijatuhkan kepadanya. Pasalnya, mungkin saja pengendara yang bersangkutan adalah pertamakali baginya melanggar atau merasa tidak melanggar karena faktor ketidaktahuannya atas lingkungan jalanan di sekitarnya. Dalam artian, bagi pelanggar yang pertama kali dengan alasan apapun, maka ada baiknya diawali dengan tindakan edukatif yang mencerahkan, sugesti peringatan dan motivasi untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam artian, tindakan yuridis hanya pantas dibebankan kepada sang pengendara yang telah berulangkali melakukan pelanggaran atau melakukan pelanggaran yang amat mencelakakan keamanan berlalulintas.  
                  Keempat, kerapkali pihak petugas lalulintas melakukan swiping di posisi tikungan dan tidak meletakkan papan peringatan swiping jalanan yang seharusnya berjarak cukup jauh dari tempat pelaksanaan swiping. Meskipun ikhwal seperti ini tidak berarti salah atau benar, karena boleh jadi ada kendaraan curian yang harus ditemukan, sehingga sangat tepat jika dilakukan pada posisi yang tidak kelihatan dari arah depan. Namun sebaliknya, boleh jadi juga berdampak negatif karena bisa jadi membuat celaka bagi pengendara ketika dalam posisi kendaraan tengah melaju dengan cepat, sehingga spontanitas terkagetkan oleh petugas lalulintas yang tengah melakukan pemeriksaan SIM dan surat-surat kendaraan yang ada di depannya.
                  Kelima, mungkin saja ikhwal yang terakhir ini signifikan dengan budaya bangsa kita yang cenderung hipokrit, bermental menerabas, enggan bertanggung jawab dan beretos kerja lemah sebagaimana disinyalir oleh Koentjaraningrat sang bengawan antropolog dan Muhtar Lubis sang sastrawan senior kita. Betapa tidak, tampak menjadi sebuah pemandangan yang menyayat hati bagi pengguna jalan ketika kendaraan tengah bergerombol saling memperebutkan jalanan, terutama pada saat jam sibuk. Akan tetapi, pihak petugas lalu lintas pun tampak sibuk memainkan ponselnya sembari duduk-dukuk santai di pos jaga seolah tanpa ada masalah yang mengancam di depannya. Meskipun ikhwal ini bisa dimaklumi karena faktor manusiawi bagi seorang petugas yang apalagi bertugas sendirian di pos jaga itu, dan mungkin saja telah lama berdiri mengatur lalu lintas jalanan. Mungkin saja pada saat itu, baru saja masuk ke pos jaga untuk beristrahat sejenak. Namun tidak dapat dipungkiri juga ketika orang mengklaim pejabat dan aparat kita memang cenderung kurang amanah, kurang jujur, kurang kepusingan sosial dan enggan serta malas bertanggung jawab.

IMPLEMENTASI ETIKA PROFESI KEPOLISIAN   
                  Dalam konteks ini, lagi-lagi kita kembali menukik kepada sebuah pertanyaan yang terasa amat menggelitik, yakni mengapa para pejabat, dan khususnya aparat hukum kita belum bisa tampil prima dalam menghayati dan mengamalkan nilai dan norma hukum ? Mengapa mereka masih terasa amat sulit tampil di front terdepan sebagai aparat hukum yang patut ditauladani oleh warga masyarakat ? Belum cukupkah imbalan yang mereka terima dari rakyat yang selama ini menghidupinya ?
                  Padahal semua profesi telah didasari oleh etika profesinya masing-masing dan bahkan aneka etika profesi tersebut tergeletak di berbagai panggung profesionalisme. Sejak awal Max Weber telah mentesiskan “The Protestan Ethic ang the Spirit of capitalims” yang mensinyalir ikhwal kebangkitan kapitalisme di Eropa dan As yang terisnpirasi atau termotivasi oleh etika calvisnis. Demikian pula Robert bellah yang melihat kebangkitan bangsa Jepang karena faktor etika shinto serta kebangkitan Cina karena faktor etika khonfuchu. Tak pelak lagi, G. Geertz yang menandaskan kebangkitan Serikat Islam (SI) dan Serikat Dagang Islam (SDI) di Indonesia karena dobrakan dari etika Santri di Jawa dan sekitarnya.
                  Selain dilegitimasi oleh kaum ilmuwan akan betapa urgensinya dan betapa signikansinya antara sebuah nilai etos dengan sikap dan perilaku anak manusia, juga berbagai profesi telah dibekali dengan etika profesinya masing-masing. Bagi sang birokrat misalnya telah dilandasi oleh etika birokrasi, sang akademis dengan etika akademisinya, sang pengusaha dengan etika bisnisnya, kaum politikus dengan etika politisinya dan lain sebagainya. Tak pelak lagi, bagi Polantas dengan etika profesi polisi lalu lintas yang secara faktual tertuang dalam Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun 2011. Dengan demikian, tampak tidak ada yang kurang secuil pun, tetapi mengapa kemudian rentetan etika tersebut berseliwerang tak ubahnya sebagai sebuah universum simbolik yang tidak bermakna serta tidak mampu terimplementasikan oleh pemiliknya itu ?
                  Etika Profesi Polantas dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan etika profesi Polantas mencakup: (a) etika kepribadian; (b) etika kenegaraan; (c) etika kelembagaan; dan (d) etika dalam hubungan dengan masyarakat. Lebih lanjut, keempat jenis etika Polantas tersebut dijelaskan secara lebih terperinci dalam pasal 4 tentang etika keprbadian, pasal 5 tentang etika kenegaraan, dan pasal 6 tentang etika kelembagaan. Sementara di pasal 7 ditandaskan bahwa setiap anggota Polantas dalam melaksanakan kewenangan wajib berdasarkan  norma hukum serta mengindahkan  norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan nilai-nilai kemanusiaan.  
                  Jika demikian, sungguh tidak ada alasan yang patut diargumentasikan untuk tidak mengimplementasikan semua tugas, peran dan tanggung jawab sebagai amanah yang ada di pundak kita masing-masing. Tak pelak lagi, bagi Polantas yang sejak tahun 2000 hingga kini telah direkonstruksi menjadi “Polantas Profesional” dalam melayani masyarakat, sehingga pasti akan mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi momentum strategis untuk memperbaiki citra kepolisian di satu sisi, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat pada sisi lain melalui “Quick Wins” sebagai Grand Strategy Polri yang sudah dicanangkan dalam konteks trust building dan partnership building serta membangun keunggulan kesempurnaan pelayanan kepada masyarakat.

                  Akhirnya, menurut hemat penulis bahwa dalam rangka memulai dan terus memproses kebangkitan kepercayaan masyarakat, maka langkah sederhana yang patut ditumbuhkembangkan oleh petugas Polantas. Pertama, harus dimulai dengan memahami seutuhnya dan setulusnya atas eksistensi dan identitasnya sebagai petugas lalu lintas yang sangat vital dalam menjamin keamanan, kedamaian dan kenyamanan berlalu lintas. Kedua, harus ada upaya untuk memahami lingkungan, terutama di tempat mereka tengah menjalankan tugas, sehingga dapat mengetahui tugas pokok dan tugas utama yang harus dilakukan ketika mereka misalnya bertugas di depan pelaksanaan sebuah pesta pernikahan. Demikian pula tentunya di tempat-tempat lainnya pun harus terlebih dahulu dikenali dengan baik dan benar; sehingga dapat menjalankan tugas pokoknya secara profesional dan maksimal. Ketiga, petugas lalulintas juga harus memahami identitasnya bahwa selain sebagai petugas lalu lintas, juga mereka merupakan polisi umum yang harus melayani dan mengayomi warga masyarakat yang membutuhkannya.

No comments:

Post a Comment