Oleh
Peribadi
(Staf Pengajar FISIP Unhalu Kendari-Sultra)
Betapa
menarik ketika kita mendengar anggota Polisi Lalu Lintas (Polantas) memberi
nasehat kepada para pengendara roda dua dan roda empat, terutama kepada mereka yang
melakukan pelanggaran lalu lintas. Sungguh patut diacungi jempol dan
bahkan sangat perlu diberi penghargaan kepada mereka yang berdiri seharian di
tengah terik matahari nan panas itu. Betapa tidak, selain arus lalu lintas
jalanan dapat berlangsung kondusif, sehingga suasana perjalanan berlangsung
aman dan nyaman. Tentu pula warga masyarakat senantiasa merasa terayomi oleh
petugas lalu lintas yang setiap saat menempati posisi siap siaga.
Mungkin memang banyak hal
positif yang membuat warga masyarakat terkagum-kagum mendengar dan melihat life
style seorang aparat kepolisian ketika sedang memakai seragam lengkap dan
tak pelak lagi ketika melaksanakan tugas dengan penuh disiplin. Boleh jadi
ikhwal ini pula yang menjadi motivasi bagi kebanyakan orang tua, sehingga
berupaya maksimal mendaftarkan anak-anaknya menjadi anggota kepolisian,
sekalipun terpaksa harus mengorbankan sesuatu yang selama ini sangat vital bagi
sumber penghidupan sosial ekonomi rumah tangganya.
Meskipun memang, juga tidak
bisa dipungkiri ketika ada orang yang berceloteh atau terkesan kecewa atas ulah
oknum aparat Polantas yang dianggap menyimpang karena membuat gebrakan yang keluar
dari Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas Nomor: 2 Tahun 2011 tentang tentang
Etika Profesi Polisi Lalu Lintas yang mungkin saja bertujuan untuk memperoleh
seonggok insentif material. Meskipun kita yakin dan percaya bahwa masih
sebagian besar warga masyarakat yang memakluminya, dan bahkan menganggapnya
sebagai perilaku yang wajar-wajar saja, sehingga hampir saja menjelmah menjadi sebuah
budaya khas.
Karena itu, mungkin saja yang
patut disoal dan sangat masuk akal untuk dikaji secara kontekstual melalui
sebuah penelitian mendalam. Mengapa sebetulnya anak-anak bangsa yang diamanahi
tugas dan tanggung jawab, terutama bagi mereka selaku pengabdi atau aparat institusi
hukum yang demikian terhormat dan vital eksistensinya serta kontribusinya dalam
menata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini, justru aparatnya
tidak bisa ditauladani sebagai komponen terdepan dan handal dalam menghayati
dan mengamalkan nilai dan norma hukum kita ? Tak pelak lagi, ketika kita
menyaksikan langsung proses penanganan berlalu lintas di jalanan yang menuai
banyak keganjilan.
TITIK BALIK REALITAS
Betapa mencemaskan ketika perilaku
keganjilan telah menjadi tontonan realitas dan hiperealitas yang pada masa lalu
dianggap terhina, tiba-tiba kini terpelanting menjadi sebuah kebenaran semu dan
seolah membanggakan. Demikianlah mungkin dimaksudkan oleh Yasraf Amir Pilang
sebagai “titik balik realitas” yang demikian menggeliat hingga sukses gemilang
mengaburkan batas-batas antara spiritual dan pseudo spiritual. Ketika para
sosiolog menyoal lenyapnya batas-batas sosial secara umum di tengah masyarakat
kontemporer, sehingga yang “nyata-nyata haram” sekonyong-konyong menjelmah
menjadi “halal dikit”. Tak pelak lagi, gejolak “inflasi moral’ yang pada
umumnya melanda kaum elite (baca: pejabat) tampak begitu terkesan amat cerdas
memainkan uang rakyat.
Namun implikasi dari fenomena penipisan
lapisan nurani dan kelumpuhan akal sehat pun tampak menimpa petugas Polantas sebagai
Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas pada fungsi
Lalu Lintas Polri. Betapa tidak, azas legalitas, opportunitas, keseimbangan dan
berorientasi pada tujuan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran
berlalu lintas seringkali tergadaikan di pinggir jalan sebagai implikasi dari
sebuah bangunan sosial yang mulai menipiskan batas wilayah kebenaran dan
kesalahan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan azas-azas
dimaksud. Mungkin saja kita pernah menguping dan menyimak ocehan dari para pengguna
jalanan yang belum memilik SIM khususnya, terkesan demikian ironis dengan aneka
lelucon suka dukanya.
Fenomena melunturnya daya spiritual
dalam ruang sosial modernisasi yang sejak awal disinyalir oleh Durkheim akan
menipisnya homogenitas sosial hingga menggebrak ke gelanggang solidaritas
organik, sesungguhnya merupakan refleksi dari menipisnya lapisan ozon yang
serentak dengan menipisnya lapisan nurani pejabat, politisi dan aparat hukum.
Kini, bagi mereka yang dimanahi tugas dan tanggung jawab masa depan bangsa dan
negara tercinta ini, tampak menggeliat dan bahkan cenderung gegap gempita
mengutamakan aksi penampilan yang sekalipun harus melanggar aturan demi
memenuhi nafsu angkara murkahnya. Makna kebenaran, makna keadilan dan makna
kejujuran seolah jatuh dan runtuh berkeping-keping di kursi panas dan di
pinggir jalan.
Sungguh-sungguh merupakan sebuah
ironi kehidupan masyarakat kontemporer sebagaimana ditandaskan secara fenomenal
oleh Yasraf Amir Piliang (1998) bahwa lenyapnya rasa malu di dalam diri kita,
di dalam masyarakat kita, di dalam media, di dalam televisi, di dalam politik, dan
di dalam ekonomi. Tubuh-tubuh yang tanpa bungkus di dalam media dan televise,
para penegak kemanan yang menjajakan keamanan di jalanan, para penegak hukum
yang menjual keadilan di dalam sebuah sidang pengadilan, para politisi yang
mengobral kepalsuan di dalam kampanye politik, para konglomerat yang berpacu di
dalam perkembang-biakan usaha dan kekayaan di atas pemiskinan orang lain. Semuanya
tampak menjual rasa malu demi memperoleh akumulasi material/kapital. Ironisnya,
masyarakat kontemporer kita seakan mulai malu memiliki rasa malu. Mereka
menjual rasa malu tersebut dengan harga yang murah (korupsi, kolusi), dan
membeli rasa tak bermalu dengan harga yang mahal (pil ecstasy).
Demikian pula secara faktual,
sejak tahun 2005 Asian Developmen Bank (ADB)
melaporkan hasil pengamatan dan evaluasinya bahwa bangsa kita tercinta ini masih
lemah dan rendah dalam menjalankan berbagai indikator pembangunan,
seperti: indikator kebebasan berpendapat
dan akuntabilitas, kestabilan politik, efektivitas pemerintah, kualitas
peraturan, ketaatan atas hukum, dan kontrol korupsi. Searah dengan itu, indeks
persepsi korupsi yang disusun oleh Transparancy
International menandaskan bahwa bangsa kita pun menduduki urutan 122 dari
133 negara dan bahkan jauh lebih buruk ketimbang Negara ASEAN lainnya seperti:
Malaysia, Thailand, dan Filipina yang masing-masing hanya menduduki peringkat
37, 70, dan 92.
Karena itu, terlepas dari kedalaman metodologis dan tingkat
kualitas hasil yang digapai oleh beberapa penelitian terdahulu, mungkin
sebaiknya tidak perlu diperdebatkan dan apalagi terkesan ingin membela diri.
Yang pasti, kita haqqul yaqin bahwa
bangsa kita adalah “bangsa super” dan kelak mampu keluar dari lingkaran setan
itu. Ada baiknya kita tetap optimis, karena ikhwal tersebut merupakan suatu
bahan yang amat patut direnungi dan tentu saja merupakan bahan introspeksi yang
amat sangat berharga bagi instutusi, lembaga dan kementrian yang bersangkutan.
Siapapun dia, tanpa kecuali, semuanya memang harus merenungi keberadaan bangsa
dan negara kita tercinta ini, karena telah tertuding oleh lembaga Researct Internasional
sebagai negara terkorup, meskipun memang masih terasa kesulitan menangkap
koruptornya.
SECUIL KEGANJILAN POLANTAS
Implikasi
dari fenomena makro penipisan nurani anak-anak bangsa kini telah diungkap di
atas. Maka mungkin saja tidak dapat dipungkiri bahwa ikhwal kesemrawutan
berlalu lintas yang pada umumnya terjadi di kota-kota selama ini, adalah
disebabkan oleh tingkat kesadaran dan ketertiban warga masyarakat dalam berlalu
lintas yang masih tampak mamprihatinkan. Akan tetapi, boleh jadi juga lebih
tidak bisa terbantahkan jika fenomena dan realitas kesemrawutan itu ditimpakan
kepada Polantas sebagai bagian integral dari degradasi moral yang demikian
fenomenal itu.
Tentu
saja dapat ditemukan berbagai faktor yang berpengaruh serta berkelindan di
dalamnya. Betapa tidak, dalam konteks perilaku manusia yang boleh jadi belum
disiplin, tidak tertib dan cenderung emosional; keadaan infra struktur jalanan yang
mungkin belum proporsional dengan keberadaan kendaraan dan pejalan kaki; kondisi
kendaraan yang selama ini terkesan tidak seimbang antara kendaraan pribadi
dengan angkutan umum; dan akhirnya dalam konteks lingkungan yang tampak belum serius
memperhatikan penataan arus lalu lintas jalan. Perihal tersebut tentu saja agak
sulit terbantahkan, tetapi juga terkesan cukup logis dan argumentatif jika
memang kesemrawutan tersebut dicitrakan kepada petugas Polantas karena
disinyalir beberapa keganjilan yang acapkali mengemuka di lapangan.
Pertama, pihak petugas lalulintas belum
bertindak edukatif dan mungkin dapat diklaim kurang transparan menjelaskan
pasal pelanggaran dan sanksinya ketika mereka menahan seorang pengendara,
sehingga pihak pengendara tidak memahami jenis pasal apa dan berapa yang
dilanggarnya. Hal ini tentu saja sangat penting, agar selain pihak pengguna
jalan dapat memahami makna sebuah pelanggaran, juga pihak masyarakat agar
supaya tercerdaskan dan tercerahkan dalam konteks pemahaman hukum.
Kedua, betapa ironisnya ketika seorang
pengendara yang ditahan karena ditenggarai melakukan pelanggaran, tetapi mereka
digiring ke pos jaga polisi dalam waktu
yang cukup lama menunggu karena dipertanyakan kepadanya perihal yang terkesan
mengada-ada dan cenderung kurang masuk akal, dan atau boleh jadi dimintai
sesuatu sebagai persyaratan praktikal untuk membebaskannya. Padahal, seharusnya
di tempat dimana pengendara ketika didatangi oleh petugas lalu lintas, maka di
tempat itulah kaum pengguna jalan tersebut harus diperiksa dan dijelaskan pasal
berapa dan sanksi apa yang harus diterimanya. Sebaliknya, tidak perlu di giring
ke pos jaga karena bisa jadi menimbulkan persepsi dan prasangka yang negatif
dan irasional.
Ketiga, sebaiknya tindakan yuridis dari
pihak petugas polisi lalu lintas terhadap
pengendara roda dua dan roda empat yang melanggar itu, merupakan
tindakan terakhir yang seyogyanya harus dilakukan dan dijatuhkan kepadanya.
Pasalnya, mungkin saja pengendara yang bersangkutan adalah pertamakali baginya
melanggar atau merasa tidak melanggar karena faktor ketidaktahuannya atas lingkungan
jalanan di sekitarnya. Dalam artian, bagi pelanggar yang pertama kali dengan
alasan apapun, maka ada baiknya diawali dengan tindakan edukatif yang
mencerahkan, sugesti peringatan dan motivasi untuk tidak mengulangi lagi
perbuatannya. Dalam artian, tindakan yuridis hanya pantas dibebankan kepada
sang pengendara yang telah berulangkali melakukan pelanggaran atau melakukan
pelanggaran yang amat mencelakakan keamanan berlalulintas.
Keempat, kerapkali pihak petugas
lalulintas melakukan swiping di posisi tikungan dan tidak meletakkan papan
peringatan swiping jalanan yang seharusnya berjarak cukup jauh dari tempat
pelaksanaan swiping. Meskipun ikhwal seperti ini tidak berarti salah atau
benar, karena boleh jadi ada kendaraan curian yang harus ditemukan, sehingga
sangat tepat jika dilakukan pada posisi yang tidak kelihatan dari arah depan.
Namun sebaliknya, boleh jadi juga berdampak negatif karena bisa jadi membuat
celaka bagi pengendara ketika dalam posisi kendaraan tengah melaju dengan cepat,
sehingga spontanitas terkagetkan oleh petugas lalulintas yang tengah melakukan
pemeriksaan SIM dan surat-surat kendaraan yang ada di depannya.
Kelima, mungkin saja ikhwal yang
terakhir ini signifikan dengan budaya bangsa kita yang cenderung hipokrit,
bermental menerabas, enggan bertanggung jawab dan beretos kerja lemah
sebagaimana disinyalir oleh Koentjaraningrat sang bengawan antropolog dan
Muhtar Lubis sang sastrawan senior kita. Betapa tidak, tampak menjadi sebuah
pemandangan yang menyayat hati bagi pengguna jalan ketika kendaraan tengah
bergerombol saling memperebutkan jalanan, terutama pada saat jam sibuk. Akan
tetapi, pihak petugas lalu lintas pun tampak sibuk memainkan ponselnya sembari
duduk-dukuk santai di pos jaga seolah tanpa ada masalah yang mengancam di depannya.
Meskipun ikhwal ini bisa dimaklumi karena faktor manusiawi bagi seorang petugas
yang apalagi bertugas sendirian di pos jaga itu, dan mungkin saja telah lama
berdiri mengatur lalu lintas jalanan. Mungkin saja pada saat itu, baru saja
masuk ke pos jaga untuk beristrahat sejenak. Namun tidak dapat dipungkiri juga
ketika orang mengklaim pejabat dan aparat kita memang cenderung kurang amanah,
kurang jujur, kurang kepusingan sosial dan enggan serta malas bertanggung
jawab.
IMPLEMENTASI ETIKA PROFESI KEPOLISIAN
Dalam
konteks ini, lagi-lagi kita kembali menukik kepada sebuah pertanyaan yang
terasa amat menggelitik, yakni mengapa para pejabat, dan khususnya aparat hukum
kita belum bisa tampil prima dalam menghayati dan mengamalkan nilai dan norma
hukum ? Mengapa mereka masih terasa amat sulit tampil di front terdepan sebagai
aparat hukum yang patut ditauladani oleh warga masyarakat ? Belum cukupkah
imbalan yang mereka terima dari rakyat yang selama ini menghidupinya ?
Padahal
semua profesi telah didasari oleh etika profesinya masing-masing dan bahkan
aneka etika profesi tersebut tergeletak di berbagai panggung profesionalisme.
Sejak awal Max Weber telah mentesiskan “The
Protestan Ethic ang the Spirit of capitalims” yang mensinyalir ikhwal
kebangkitan kapitalisme di Eropa dan As yang terisnpirasi atau termotivasi oleh
etika calvisnis. Demikian pula Robert bellah yang melihat kebangkitan bangsa
Jepang karena faktor etika shinto serta kebangkitan Cina karena faktor etika khonfuchu.
Tak pelak lagi, G. Geertz yang menandaskan kebangkitan Serikat Islam (SI) dan
Serikat Dagang Islam (SDI) di Indonesia karena dobrakan dari etika Santri di
Jawa dan sekitarnya.
Selain
dilegitimasi oleh kaum ilmuwan akan betapa urgensinya dan betapa signikansinya antara
sebuah nilai etos dengan sikap dan perilaku anak manusia, juga berbagai profesi
telah dibekali dengan etika profesinya masing-masing. Bagi sang birokrat
misalnya telah dilandasi oleh etika birokrasi, sang akademis dengan etika
akademisinya, sang pengusaha dengan etika bisnisnya, kaum politikus dengan
etika politisinya dan lain sebagainya. Tak pelak lagi, bagi Polantas dengan
etika profesi polisi lalu lintas yang secara faktual tertuang dalam Peraturan
Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun
2011. Dengan demikian, tampak tidak ada yang kurang secuil pun, tetapi mengapa
kemudian rentetan etika tersebut berseliwerang tak ubahnya sebagai sebuah universum
simbolik yang tidak bermakna serta tidak mampu terimplementasikan oleh
pemiliknya itu ?
Etika
Profesi Polantas dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan
etika profesi Polantas mencakup: (a) etika kepribadian; (b) etika kenegaraan;
(c) etika kelembagaan; dan (d) etika dalam hubungan dengan masyarakat. Lebih
lanjut, keempat jenis etika Polantas tersebut dijelaskan secara lebih
terperinci dalam pasal 4 tentang etika keprbadian, pasal 5 tentang etika
kenegaraan, dan pasal 6 tentang etika kelembagaan. Sementara di pasal 7
ditandaskan bahwa setiap anggota Polantas dalam melaksanakan kewenangan wajib
berdasarkan norma hukum serta
mengindahkan norma agama, kesopanan,
kesusilaan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Jika
demikian, sungguh tidak ada alasan yang patut diargumentasikan untuk tidak mengimplementasikan
semua tugas, peran dan tanggung jawab sebagai amanah yang ada di pundak kita
masing-masing. Tak pelak lagi, bagi Polantas yang sejak tahun 2000 hingga kini
telah direkonstruksi menjadi “Polantas Profesional” dalam melayani masyarakat,
sehingga pasti akan mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat. Tentu saja
hal ini menjadi momentum strategis untuk memperbaiki citra kepolisian di satu
sisi, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat pada sisi lain melalui “Quick Wins” sebagai Grand Strategy Polri yang sudah dicanangkan dalam konteks trust building dan partnership building serta membangun keunggulan kesempurnaan
pelayanan kepada masyarakat.
Akhirnya,
menurut hemat penulis bahwa dalam rangka memulai dan terus memproses
kebangkitan kepercayaan masyarakat, maka langkah sederhana yang patut
ditumbuhkembangkan oleh petugas Polantas. Pertama, harus dimulai dengan
memahami seutuhnya dan setulusnya atas eksistensi dan identitasnya sebagai
petugas lalu lintas yang sangat vital dalam menjamin keamanan, kedamaian dan
kenyamanan berlalu lintas. Kedua, harus ada upaya untuk memahami lingkungan,
terutama di tempat mereka tengah menjalankan tugas, sehingga dapat mengetahui
tugas pokok dan tugas utama yang harus dilakukan ketika mereka misalnya
bertugas di depan pelaksanaan sebuah pesta pernikahan. Demikian pula tentunya
di tempat-tempat lainnya pun harus terlebih dahulu dikenali dengan baik dan
benar; sehingga dapat menjalankan tugas pokoknya secara profesional dan
maksimal. Ketiga, petugas lalulintas juga harus memahami identitasnya bahwa
selain sebagai petugas lalu lintas, juga mereka merupakan polisi umum yang
harus melayani dan mengayomi warga masyarakat yang membutuhkannya.
No comments:
Post a Comment