Jan 2, 2014

KEBANGKRUTAN TOTAL: Renungan HUT Kemerdekaan Ke – 57

Oleh Peribadi
Pemerhati Masalah Pemiskinan
Beberapa Tulisan Ilmiah Populer Dapat dilihat: www.peribadiunhalu.blogspot.com
              Jenis kebangKrutan apa yang paling tampak jelas mengitari kehidupan kita dewasa ini ? Terasa amat sulit melacaknya, karena hampir semua yang menjadi milik berharga dan dibanggakan, bahkan terkadang disombongkan, luluh, ludas dan pupus bersama keringnya air mata. Mulai dari kebangkrutan Rupe, deforestasi, abrasi, kesuburan tanah dan aneka ragam tambang dan batubara, sampai pada persoalan dehumanisasi, dekadensi, degradasi budaya serta kebangKrutan martabat, jati diri dan rasa malu. Lebih jauh dari itu kita juga tengah mengalami kebangrutan nasionalisme dan patriotisme.
          Jika demikian, apalagi yang patut dibanggakan plus diarogansikan ? Segalanya telah tercampakkan dan terjerembab dalam lautan komoditi yang tidak berujung pangkal. Pertama, uang yang menjadi alat komoditi yang paling fundamental ini tidak hanya dibangkrutkan oleh 16 Taipan Ali Baba yang kabur ke luar negeri. Akan tetapi rupiah yang merupakan nilai tukar ekonomi sangat terpuruk dalam konstalasi mata uang internasional hingga saat ini.
            Sialnya, mata uang yang sedang mengalami kebangKrutan nilai tukar tersebut, pun dibawah lari simata sipit. Pantas saja founding fathers kita tidak mengizinkan keturunannya menduduki dan berperan dalam lembaga-lembaga politik yang strategis untuk mengaburkan semua yang telah digapai para pejuang kita terdahulu. Tentu saja kita kian berdosa kalau subyektivitas emosional yang logis ini, tidak dipertahankan. Dalam artian membiarkan atau memberi peluang secara sengaja atau tidak disadari. Apalagi dengan terpaksa membuka kesempatan, karena insentif dana siluman yang diobral oleh anak cucu Ali Baba ini.
            Kedua, kebangkrutan aneka ragam potensi Sumber Daya Alam (SDA) melalui eksplorasi dan eksploitasi darat, laut dan hutan belantara dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Semuanya dikuras, dibabat, digorok, dan diperjual-belikan serta digadai untuk memenuhi keserakahan dan nafsu angkara murkanya. Dibalik kebangkrutan material tersebut, terselubung kebangkrutan etos dan pandangan hidup komunitas orang timur yang melihat, menganggap dan merasakan alam sebagai bagian integral dari dirinya (self existence). Akibatnya, bukan hanya kita melarat karena kebangkrutan totalitas potensi SDA, tetapi sekaligus  kita merana karena kebangkrutan potensi system nilai budaya yang humanis, solider, organic dan etis.            Karena itu, tidak patut diherankan apabila manusia timur dewasa ini tampak galau dan tampil  suram, sinis dan menyeramkan dalam interaksi sosialnya sehari-hari. Karena memang, disamping mereka mengalami kebangrutan sumber kebutuhan primer, juga mengalami kehancuran etos dan pandangan hidup yang mulia serta penuh sopan santun. Tak perlu lagi kita membedahnya dari sudut pandang teori dan konsep-konsep structural dan cultural atau pendekatan teori lain terhadap kebringasan mereka. Karena semuanya sudah jelas dan terang benderang bahwa fenomena dan realitas social tersebut, disebabkan oleh kebangkrutan totalitas yang menjadi milik berharga baginya.
            Tesis yang mungkin diklaim pesimis ini, didukung oleh fakta empirik yang menunjukkan bahwa problematika bangsa Indonesia pada decade terakhir ini, semua para ahli jadi membungkam, semua teori dan konsep jadi lumpuh dan semua kebijakan jadi tumpul. Apalagi yang bisa diharap ? Sebuah pertanyaan momentum yang amat tepat dan harus direnungkan dalam rangka kita memperingati HUT Kemerdekaan ke 57 ini. Tentu saja anggota komunitas yang paling utama dan harus menjawabnya, adalah kaum elite yang bergentayangan di panggung legislatif, eksekutif, yudikatif dan perguruan tinggi. Karena mereka sendiri yang menjadi biangkladi dari kebangkrutan dimaksud.            Ketiga, kebangkrutan jiwa patriotisme dan nasionalisme sebagai potensi handal dan menjadi senjata pamungkas dalam mengusir manusia pemangsa dan penjajah di masa lalu untuk merebut fondasi kebebasan dan kemerdekaan.  Mungkin tidak ada kekayaan yang bisa setara dengan nuansa patriotisme ini. Selaku pemilik  ketika itu dan mungkin masih ada yang memilikinya hari ini,  untuk rela, berani dan ikhlas mengobarkan serta mengorbankan segala yang menjadi milik berharga baginya, demi rindunya dengan alam kemerdekaan yang hendak dinikmati dan diwariskan kepada anak cucunya.
            Kini, kaum pewaris telah berani tampil beda dalam orientasi “proyektor”, sehingga pelbagai kreativitas yang dirancang serta aktivitas yang diselenggarakan serta dikembangkan harus meruncing pada sasaran dan target sementara untuk menggapai seonggok materi , secuil kedudukan strategis dan setumpuk prestise yang membanggakan. Tak pelak lagi, tidak ada aktivitas yang bisa berjalan dan selesai, kalau tidak ditopang oleh perhitungan untung-rugi yang melimpah. Visi skeptis, tindakan spekulatif dan target bombastis menjadi kerangka landasan dalam melanjutkan prestasi pendahulu kita. Padahal, para pejuang kemerdekaan beraksi dalam kancah pertarungan di ujung maut itu, tidak ditopang oleh dana proyek trilyun serta target yang ambisius. Kecuali, mereka diiming-imingi oleh sebuah “mega proyek pencapai kemerdekaan sejati”, yang kini kita telah tempati, namun hidup dalam suasana perbudakan dan penjajahan kembali.            Akhirnya, kita lagi-lagi dibingungkan perihal metode pengentasan  apa dan bagaimana yang bisa dilakukan untuk bangkit dari puing-puing keruntuhan atau kebangkrutan totalitas ini ? Sebab, kalau pada point pertama di atas, hanya terjerembab dalam kebangkrutan materi – kata orang awam, masih bisa dicarikan solusi alternatifnya. Akan tetapi, pada kebangkrutan kedua dan ketiga yang terkesan “bangrut total”, praktis membutuhkan upaya rekonstruksi yang pelit dan relatif panjang waktunya.            Persoalannya, kebangrutan SDA beserta kearifan komunitas-tradisional dan kebangkrutan jiwa patriotisme, sesungguhnya menggambarkan kebangkrutan moral budaya dan moral agama serta idiologi. Penulis tidak memiliki tawaran resep alternatif yang bisa diungkap dalam untaian kalimat. Kecuali, turut serta menangisi sesuap nasi (bukan takdir) yang terlanjur menjadi lingkaran setan hidup kita di Indonesia. Tidak ada kutipan yang mampu dijadikan tesis, antitesis dan sintesis untuk keluar dari kemelut kebangrkutan total ini.  Jadi, bagaimana seharusnya? Sebuah pertanyaan yang sekaligus menjadi epilog yang dapat mengakhiri tulisan ini Jelaslah sudah, bahwa suara langit tampak lebih mumpuni dari pada polesan bibir dan pena penghuni bumi. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu rahasia kehidupan hamba-Nya. 

No comments:

Post a Comment