Oleh Peribadi
Pemerhati Masalah Pemiskinan
Beberapa Tulisan
Ilmiah Populer Dapat dilihat: www.peribadiunhalu.blogspot.com
Jenis
kebangKrutan apa yang paling tampak jelas mengitari kehidupan kita dewasa ini ?
Terasa amat sulit melacaknya, karena hampir semua yang menjadi milik berharga
dan dibanggakan, bahkan terkadang disombongkan, luluh, ludas dan pupus bersama
keringnya air mata. Mulai dari kebangkrutan Rupe, deforestasi, abrasi,
kesuburan tanah dan aneka ragam tambang dan batubara, sampai pada persoalan
dehumanisasi, dekadensi, degradasi budaya serta kebangKrutan martabat, jati
diri dan rasa malu. Lebih jauh dari itu kita juga tengah mengalami kebangrutan
nasionalisme dan patriotisme.
Jika demikian, apalagi yang patut dibanggakan plus diarogansikan ? Segalanya telah tercampakkan dan terjerembab dalam lautan komoditi yang tidak berujung pangkal. Pertama, uang yang menjadi alat komoditi yang paling fundamental ini tidak hanya dibangkrutkan oleh 16 Taipan Ali Baba yang kabur ke luar negeri. Akan tetapi rupiah yang merupakan nilai tukar ekonomi sangat terpuruk dalam konstalasi mata uang internasional hingga saat ini.
Sialnya, mata uang yang sedang
mengalami kebangKrutan nilai tukar tersebut, pun dibawah lari simata sipit.
Pantas saja founding fathers kita tidak mengizinkan keturunannya menduduki
dan berperan dalam lembaga-lembaga politik yang strategis untuk mengaburkan
semua yang telah digapai para pejuang kita terdahulu. Tentu saja kita kian
berdosa kalau subyektivitas emosional yang logis ini, tidak dipertahankan.
Dalam artian membiarkan atau memberi peluang secara sengaja atau tidak
disadari. Apalagi dengan terpaksa membuka kesempatan, karena insentif dana
siluman yang diobral oleh anak cucu Ali Baba ini.
Kedua, kebangkrutan aneka ragam
potensi Sumber Daya Alam (SDA) melalui eksplorasi dan eksploitasi darat, laut
dan hutan belantara dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Semuanya dikuras, dibabat, digorok, dan diperjual-belikan serta digadai untuk
memenuhi keserakahan dan nafsu angkara murkanya. Dibalik kebangkrutan material
tersebut, terselubung kebangkrutan etos dan pandangan hidup komunitas orang
timur yang melihat, menganggap dan merasakan alam sebagai bagian integral dari
dirinya (self existence). Akibatnya,
bukan hanya kita melarat karena kebangkrutan totalitas potensi SDA, tetapi
sekaligus kita merana karena
kebangkrutan potensi system nilai budaya yang humanis, solider, organic dan
etis. Karena itu, tidak patut diherankan
apabila manusia timur dewasa ini tampak galau dan tampil suram, sinis dan menyeramkan dalam interaksi
sosialnya sehari-hari. Karena memang, disamping mereka mengalami kebangrutan sumber
kebutuhan primer, juga mengalami kehancuran etos dan pandangan hidup yang mulia
serta penuh sopan santun. Tak perlu lagi kita membedahnya dari sudut pandang
teori dan konsep-konsep structural dan cultural atau pendekatan teori lain
terhadap kebringasan mereka. Karena semuanya sudah jelas dan terang benderang
bahwa fenomena dan realitas social tersebut, disebabkan oleh kebangkrutan
totalitas yang menjadi milik berharga baginya.
Tesis yang mungkin diklaim pesimis
ini, didukung oleh fakta empirik yang menunjukkan bahwa problematika bangsa Indonesia pada
decade terakhir ini, semua para ahli jadi membungkam, semua teori dan konsep
jadi lumpuh dan semua kebijakan jadi tumpul. Apalagi yang bisa diharap ? Sebuah
pertanyaan momentum yang amat tepat dan harus direnungkan dalam rangka kita
memperingati HUT Kemerdekaan ke 57 ini. Tentu saja anggota komunitas yang
paling utama dan harus menjawabnya, adalah kaum elite yang bergentayangan di
panggung legislatif, eksekutif, yudikatif dan perguruan tinggi. Karena mereka
sendiri yang menjadi biangkladi dari kebangkrutan dimaksud. Ketiga,
kebangkrutan jiwa patriotisme dan nasionalisme sebagai potensi handal dan
menjadi senjata pamungkas dalam mengusir manusia pemangsa dan penjajah di masa
lalu untuk merebut fondasi kebebasan dan kemerdekaan. Mungkin tidak ada kekayaan yang bisa setara
dengan nuansa patriotisme ini. Selaku pemilik
ketika itu dan mungkin masih ada yang memilikinya hari ini, untuk rela, berani dan ikhlas mengobarkan
serta mengorbankan segala yang menjadi milik berharga baginya, demi rindunya
dengan alam kemerdekaan yang hendak dinikmati dan diwariskan kepada anak
cucunya.
Kini, kaum pewaris telah berani
tampil beda dalam orientasi “proyektor”,
sehingga pelbagai kreativitas yang dirancang serta aktivitas yang
diselenggarakan serta dikembangkan harus meruncing pada sasaran dan target
sementara untuk menggapai seonggok materi , secuil kedudukan strategis dan
setumpuk prestise yang membanggakan. Tak pelak lagi, tidak ada aktivitas yang
bisa berjalan dan selesai, kalau tidak ditopang oleh perhitungan untung-rugi
yang melimpah. Visi skeptis, tindakan spekulatif dan target bombastis menjadi
kerangka landasan dalam melanjutkan prestasi pendahulu kita. Padahal, para
pejuang kemerdekaan beraksi dalam kancah pertarungan di ujung maut itu, tidak
ditopang oleh dana proyek trilyun serta target yang ambisius. Kecuali, mereka
diiming-imingi oleh sebuah “mega proyek
pencapai kemerdekaan sejati”, yang kini kita telah tempati, namun hidup
dalam suasana perbudakan dan penjajahan kembali. Akhirnya, kita lagi-lagi
dibingungkan perihal metode pengentasan
apa dan bagaimana yang bisa dilakukan untuk bangkit dari puing-puing
keruntuhan atau kebangkrutan totalitas ini ? Sebab, kalau pada point pertama di
atas, hanya terjerembab dalam kebangkrutan materi – kata orang awam, masih bisa
dicarikan solusi alternatifnya. Akan tetapi, pada kebangkrutan kedua dan ketiga
yang terkesan “bangrut total”,
praktis membutuhkan upaya rekonstruksi yang pelit dan relatif panjang waktunya. Persoalannya, kebangrutan SDA
beserta kearifan komunitas-tradisional dan kebangkrutan jiwa patriotisme,
sesungguhnya menggambarkan kebangkrutan moral budaya dan moral agama serta
idiologi. Penulis tidak memiliki tawaran resep alternatif yang bisa diungkap
dalam untaian kalimat. Kecuali, turut serta menangisi sesuap nasi (bukan
takdir) yang terlanjur menjadi lingkaran setan hidup kita di Indonesia. Tidak
ada kutipan yang mampu dijadikan tesis, antitesis dan sintesis untuk keluar
dari kemelut kebangrkutan total ini.
Jadi, bagaimana seharusnya? Sebuah pertanyaan yang sekaligus menjadi
epilog yang dapat mengakhiri tulisan ini Jelaslah sudah, bahwa suara langit
tampak lebih mumpuni dari pada polesan bibir dan pena penghuni bumi. Hanya
Tuhan Yang Maha Tahu rahasia kehidupan hamba-Nya.
Sialnya, mata uang yang sedang
mengalami kebangKrutan nilai tukar tersebut, pun dibawah lari simata sipit.
Pantas saja founding fathers kita tidak mengizinkan keturunannya menduduki
dan berperan dalam lembaga-lembaga politik yang strategis untuk mengaburkan
semua yang telah digapai para pejuang kita terdahulu. Tentu saja kita kian
berdosa kalau subyektivitas emosional yang logis ini, tidak dipertahankan.
Dalam artian membiarkan atau memberi peluang secara sengaja atau tidak
disadari. Apalagi dengan terpaksa membuka kesempatan, karena insentif dana
siluman yang diobral oleh anak cucu Ali Baba ini.
No comments:
Post a Comment