Reviewer:
Peribadi
Atas Tulisan
Scott Gordon
THE HISTORY AND
PHILOSOPY OF SOCIAL SCIENCE, London
and New York
Pada Bab 15
The
Development Of Sociological Theory
Prolog. Menurut Scott Gordon dalam bukunya “The History and Philosopy of Social
Science, 1994”, diskusi tentang sejarah pemikiran ilmu sosial dan khususnya
tentang perkembangan teori sosiologi, dianggap oleh para ilmuawan
sosial sebagai tugas yang sangat berat dan sangat menantang. Hal itupun diakui
oleh Turner dalam bukunya “Who’s Araid of the History of Sociology,
1998” dan Ritzer dan Goodman dalam buku “Teori Sosiologi Moderen, 2010”.
Demikian pula, menurut Surbakti dalam mengantar buku “Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial, 2010”. Menurutnya, untuk mengevaluasi suatu teori
sosial diperlukan parameter yang relatif lengkap yang tidak hanya berguna untuk
menilai suatu teori yang dianggap oleh Gordon sebagai proses penelaahan
yang diperhadapkan dengan beberapa kesulitan khusus, sehingga tidak mudah untuk menentukan materi pelajaran sosiologi dengan cara yang berbeda-beda
di antara ilmu-ilmu sosial lainnya.
Akan tetapi, juga menjadi
pedoman untuk mengeidentifikasi isi suatu teori sosial yang bisa memudahkan.
Selain menjadi tugas berat bagi kaum
ilmuawan sosial, juga mereka tak dapat memastikan kapan teori sosiologi itu
lahir. Yang pasti, orang-orang telah memikirkan dan membangun teori tentang
kehidupan sosial sejak zaman paling awal dalam sejarah pemikiran dan
perkembangan teori sosiologi. Meskipun dengan terpaksa harus diakui bahwa jauh
sebelumnya Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah (Lajnah al-Bayan al-Arabi)
telah membahas pengaruh letak geografis (letak bumi) terhadap gejala, perilaku
dan aktivitas masyarakat.
Namun Scott Gordon kemudian menandaskan bahwa tak seorang pun pemikir
abad 17 itu yang menganggap diri mereka sebagai sosiolog, dan bahkan sedikit
sekali di antara mereka itu yang kini dianggap sebagai sosiolog. Namun pada
1800-an kita mulai menemukan pemikir yang secara jelas dapat disebut sosiolog
dan mereka itulah yang menjadi sasaran perhatian dalam tulisan ini.
Dalam konteks ini, kita akan mulai meneliti latar sosial dan gerakan-gerakan
intelektual utama yang mempengaruhi dan membentuk gagasan dan pemikiran mereka.
Karena dalam era inilah sejumlah besar penulis memberikan
kontribusi dalam konteks pengembangan sosiologi modern. Meskipun menurut
Scott Gordon hanya
tiga di antaranya yang tampak melangit atau amat
ternama ketimbang yang lainnya, sehingga khusus bab 15 dalam buku ini kajian difokuskan kepada
mereka itu, yakni Herbert Spencer
sebagai seorang berkebangsaan Inggris,
Emile Durkheim berkebangsaan Prancis,
dan Max Weber
sebagai seorang yang berkebangsaan Jerman.
Memang dalam pandangan Scott Gordon bahwa Saint-Simon
dan Comte juga dianggap cukup penting dalam pengembangan pemikiran sosial pada abad kesembilan belas, tetapi tulisan-tulisan mereka dianggap terlalu
spekulatif dan metafisis serta
dianggap antitesis dengan sosiologi positivisme yang
merupakan wacana dan peletak dasar teori sosiologi moderen.
Karena itu, tradisi
arus utama penelitian sosiologis modern yang terutama berlangsung di Amerika
Serikat, baik dalam bentuk praktikal maupun menjadi sumber inspirasi pengembangan
grand teori sosiologi, kebanyakan sosiologi
tidak merujuk kepada Saint-Simon atau
Comte. Karena secara lebih substantif,
ketika mengkaji perilaku sosial serta
perdebatan metodologis yang demikian panjang mengemuka, maka metodologi Spencer, Durkheim,
dan Weber lebih dianggap efektif dalam mendefinisikan serta mengembangkan banyak konsep yang berguna dalam pengembangan
teoritis serta penelitian empiris ke depan.
A. HERBERT SPENCER (1820-1903)
Spencer yang lahir di Derby, Inggris, 27
April 1820 adalah acapkali disamakan dengan Comte dalam arti pengaruh mereka
terhadap perkembangan teori sosiologi, meski ditemukan beberapa perbedaan
penting di antara mereka. Memang demikian bahwa ada perbedaan penting antara
Spencer dan Comte, tetapi mereka pun mempunyai kesamaan orientasi, atau
setidaknya kesamaan interpretasi dalam menumbuhkembangkan teori sosiologi. Dalam
artian, Comte, Spencer dan Durkheim serta lainnya adalah sama-sama berkomitmen
terhadap pengembangan ilmu sosiologi. Seperti halnya comte, maka Spencer
mempunyai konsep evolusi tentang perkembangan historis, meski pada sisi lain ia
pun mengkritik teori evolusi Comte dengan beberapa alasan.
Menurut Beilharz (2005) bahwa memang agak sulit menggolongkan Spencer
sebagai pemikir konservatif. Sebenarnya, pada awalnya, Spencer lebih tepat
dipandang beraliran politik liberal dan ia tetap memelihara unsur-unsur
liberalisme di sepanjang hidupnya. Tetapi, juga benar bahwa pemikiran Spencer
tumbuh semakin konservatif selama hidupnya, sebagaimana halnya Comte yang juga konservartif.
Spencer sebagai seorang Darwinis Sosial yang menganut pandangan evolusi dan berkeyakinan bahwa kehidupan
masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang makin baik, sehingga
kehidupan masyarakat tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan dari faktor
eksternal yang acapkali memperburuk keadaan. Menurutnya, institusi sosial
seperti halnya tumbuh-tumbuhan dan binatang mampu beradaptasi secara progresif
dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Dengan demikian, berarti Spencer pun
menerima pandangan Darwinian tentang “survival
of the fittest”.
Spencer juga menawarkan teori evolusi
dari masyarakat militan ke masyarakat industri, sehingga Spencer dianggap
memiliki seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Karena pada awalnya
gagasannya tampak sukses gemilang, meskipun kemudian menjadi redup karena
mengalami kevakuman selama beberapa tahun. Akan tetapi, melejit kembali ketika
menjelmah teori sosiologi yang beraliran “neo-evolusionisme”.
Akan tetapi, ternyata, teori dan
konsep-konsep Darwin yang menjadi landasan ilmiah serta merupakan instrumen
kebiadaban para pemimpin otoriter ketika itu hingga penganutnya kini, tampak mengandung 11 (sebelas) mantra
hitam Darwinisme sebagai kebohongan dan kepalsuan yang baru terbongkar
ketika memasuki abad ke-20 (www.harunyahya.com).
Pertama, Darwinisme tidak lagi mampu
mengatakan bahwa protein dapat terbentuk melalui evolusi. Sebab peluang
terbentuknya satu protein saja dengan urutan yang benar secara acak adalah 1 per 10950, sebuah angka yang
menunjukkan kemustahilan secara matematis.
Kedua, Darwinisme tidak lagi merujuk
kepada fosil sebagai bukti terjadinya evolusi. Hal ini karena seluruh
penggalian yang dilakukan dari pertengahan abad ke-19 hingga kini, tak satu pun
dari "bentuk-bentuk peralihan" yang menurut para evolusionis
seharusnya ada dalam jumlah jutaan, ternyata tidak pernah ditemukan. Telah
disadari bahwa ini tidak lain hanyalah sebuah kisah khayalan.
Ketiga, Para evolusionis berputus asa di
hadapan fosil-fosil yang berjumlah tak berhingga yang telah berhasil digali
hingga saat ini. Hal ini disebabkan semua fosil-fosil ini memiliki seluruh
ciri-ciri yang mendukung dan membuktikan penciptaan.
Keempat, Para evolusionis tidak lagi
mampu menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah nenek moyang burung,
sebab penelitian terkini menunjukkan bahwa Archaeopteryx memiliki struktur
anatomi dan otak yang sempurna yang diperlukan untuk terbang. Archaeopteryx
adalah seekor burung sejati, sehingga "dongeng khayal tentang evolusi
burung" tidak lagi dapat dipertahankan keabsahannya.
Kelima, Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan urutan palsu yang dikenal
sebagai "silsilah evolusi kuda." Telah diketahui bahwa urutan
silsilah palsu ini tersusun dari sejumlah spesies terpisah yang hidup di zaman
yang berbeda dan di wilayah yang berbeda.
Keenam, Darwinisme tidak lagi dapat
menggunakan fosil yang dikenal sebagai Coelocanth untuk mendukung
dongeng khayal peralihan dari air ke darat, sebab makhluk yang dikukuhkan
sebagai bentuk peralihan yang punah, ternyata ikan yang menghuni dasar lautan
yang kini masih hidup, dan lebih dari 200 ikan hidup dari jenis tersebut hingga
kini telah berhasil ditangkap.
Ketujuh, Darwinisme tidak mampu lagi
menyatakan bahwa makhluk hidup seperti Ramapithecus dan serangkaian Australopithecus
(A. Bosei, A. Robustus, A. Aferensis, Africanus dan seterusnya) adalah para
nenek moyang manusia. Karena Hasil penelitian terhadap fosil-fosil telah
memperlihatkan bahwa semua makhluk ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan
manusia dan merupakan spesies-spesies kera sejati yang punah.
Kedelapan, Darwinisme tidak akan mampu lagi
membohongi masyarakat dengan gambar-gambar rekonstruksi [mereka ulang], sebab
para ilmuwan telah dengan jelas mengungkapkan bahwa rekonstruksi yang
didasarkan pada sisa-sisa tubuh hewan yang pernah hidup di masa lalu itu,
tidaklah bernilai ilmiah dan sama sekali tidak dapat dipercaya.
Kesembilan, Darwinisme tidak mampu lagi
mengemukakan "Manusia Piltdown" sebagai bukti bagi evolusi,
sebab penelitian menunjukkan bahwa fosil seperti "Manusia Piltdown"
tidak pernah ada dan selama 40 tahun masyarakat telah dibohongi dengan sepotong
rahang orang hutan yang direkatkan pada sebongkah tengkorak manusia.
Kesepuluh, Darwinisme tidak dapat lagi
menyatakan bahwa "Manusia Nebraska" dan keluarganya
membenarkan evolusi, sebab telah dikukuhkan bahwa fosil-fosil gigi geraham yang
dijadikan bukti bagi kisah "Manusia Nebraska" ternyata milik sejenis babi
liar yang telah punah.
Kesebelas, Darwinisme tidak lagi mampu
menyatakan bahwa seleksi alam mendorong terjadinya evolusi, sebab telah
dibuktikan secara ilmiah bahwa mekanisme yang dimaksud tidak dapat menyebabkan
makhluk hidup berevolusi dan tidak dapat menyebabkan mereka memperoleh
sifat-sifat baru.
Semua ini terkuak belangnya
ketika sains dan teknologi berkembang pesat di abad 20, sehingga gagasan
materialisme ala Darwinisme tersebut terpelanting di panggung sejarah keilmuan.
Sementara puncak dari keruntuhan hegemoni pembohongan publick yang relatif amat
panjang ini, adalah terkuak ketika Pada tahun 1929 di observatorium Mount
Wilson California, seorang ahli astronomi Amerika yang bernama Edwin Hubble menggelegarkan
sebuah penemuan terbesar di sepanjang sejarah astronomi.
Penemuan yang dikenal dengan
Tori Big Bang, akhirnya menyadarkan para ahli kaliber dunia, di antaranya:
Arthur Eddington fisikawan materialis, Sir Fred Hoyle dan Dennis Sciama yang
bertahun-tahun menentang Tuhan dengan Teori steady-state, Gerge Gamov yang amat
yakin dengan sisa radiasi ledakan yang kemudian ditemukan tanpa sengaja oleh
Gerge Gamov. Apalagi Prof. George Abel yang minta ampun atas kehebatan ilmiah
ledakan Big Bang, serta Filosof ateis terkenal Antony Flew dan Hugh Ross Ahli
astrofisika terkenal, akhirnya yakin dengan paradigma Tuhan. Demikian pula Paul
Davis, profesor fisika teori yang melihatnya sebagai ledakan terencana. Tak
pelak lagi, Prof. Stephen Hawking dan profesor George Greenstein sang astronomi
Amerika sungguh yakin dengan campur tangan supernatural ini.
B. EMILE DURKHEIM
(1856 – 1917)
Emile Durkheim yang lahir Provinsi Lorraine di Prancis Timur dan dibesarkan
di tengah keluarga dan komunitas Yahudi ortodoks sebagai anak seorang rabbi,
adalah terkenal sebagai tokoh utama dalam perkembangan sosiologi. Ketika sukses
gemilang merampungkan studinya di Paris tahun 1882, maka untuk beberapa tahun
kemudian Durkheim mengajar filsafat di sejumlah Lycee dan pada Tahun 1887 ia
diminta mengajar bidang sosiologi dan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas
Bordeaux. Durkheim mpertahankan dan menekankan suatu pandangan sosial radikal
tentang perilaku manusia sebagai sesuatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur
sosial.
Tesis Durkheim dalam “The Division Of Labor In Society” sebenarnya
merupakan pembelaan atas modernitas. Menurutnya, surutnya otoritas
keyakinan-keyakinan moral tradisional bukanlah indikasi adanya disintegrasi
sosial melainkan perubahan sosial, pergeseran historis dari suatu bentuk
tatanan sosial yang didasarkan pada keyakinan bersama dan control komunal (solidaritas
mekanis) menuju tatanan yang berdasarkan ketergantungan mutual
antar-individu yang relative otonom (solidaritas organis).
Karena itulah, Emile Durkheim merupakan pelopor
utama bangkitnya paradigma fakta sosial yang terdiri atas norms,
aturan, adat-istiadat, kebiasaan yang kesemuanya berada di luar individu
sebagai faktor eksternal. Hal itu, semuanya tertuang ke dalam teori stuktural fungsional, teori
konflik, teori system dan teori sosiologi makro. Keempat teori tersebut menyoal
tentang studi struktur dan fungsi masyarakat, sehingga mengedepan sebagai sebuah
masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologis
dan para ahli teori kontemporer dewasa ini.
Karena itu, dalam perspektif
paradigma fakta sosial maka sosiologi merupakan studi tentang struktur-struktur
sosial sebagai unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Makanya, fungsionalisme struktural seringkali menggunakan konsep sistem ketika
membahas struktur/lembaga sosial. salah satu ciri sebagai sosiologis
positivistis/naturalistis adalah keyakinan akan fenomena sosial yang memiliki
pola dan tunduk pada hukum determinsitis sebagaimana layaknya hukum yang
mengatur ilmu alam.
Tradisi rasionalis-positivis
diruntuhkan dari dalam oleh Emiler Durkheim, ketika ia mengakui bahwa agama
merupakan sebuah realitas sui generis. Ia mengartikan bahwa representasi
atau simbol-simbol agama bukanlah hayalan (delusion), dan juga bukan
sekedar mengacu kepada fenomena yang lain, seperti kekuatan-kekuatan alam atau
(bertentangan dengan sebagian dari interpretasi terhadap karyanya) morfologi
sosial. Melainkan, dengan Kantianisme sosialnya, Durkheim berpendapat bahwa
repsentasi-representasi agama bersifat konstitutif bagi masyarakat.
Representasi agama ada dalam pikiran individu-individu sedemikian rupa sehingga
menanamkan dorongan-dororngan egosentris dan mendisiplinkan individu, sehingga
ia bisa berhadapan dengan realitas eksternal. Repsentasi bersama itulah, dengan
kemampuannya untuk mengarahkan dan mengendalikan motivasi pribadinya yang
membuat masyarakat mungkin terwujud.
Meskipun pemahamannya terhadap
motivasi tetap kaku, Durkheim benar-benar memperlihatkan dengan sangat jelas
arti penting dari tindakan reigius untuk merangsang individu-individu agar
berpartisipasi secara positif dalam kehidupan sosial, serta untuk menghadapi
kecenderungan-kecenderungan individu untuk lari dari kehidupan sosial. Atas
dasar itulah, maka menurut Bellah (2000) Durkheim, Weber dan Frued serta
beberapa ilmuan lainnya dianggap merupakan arsitek pemahaman terhadap agama yang
lebih memadai.
Akan tetapi, kajian-kajian kuantitatif yang paling awal
dalam sosiologi, Durkheim memperkenalkan sebuah “variabel agama” dalam
kajiannya mengenai bunuh diri (suicide)”. Selanjutnya, banyak kajian
yang bervariasi dari segi cakupan maupun kualitasnya yang telah memasukkan
variabel agama, yang dengan demikian menambah pengetahuan kita tentang ada atau
tidak adanya pengaruh agama terhadap beberapa aspek keberadaan masyarakat;
namun, masih belum ada sebuah survei yang menyeluruh mengenai hasil-hasil yang
sejauh ini telah dicapai.
C. MAX WEBER (1864 – 1920)
Max Weber dilahirkan di Erfurt Jerman pada tanggal 21
April 1864, adalah terkenal dengan Karyanya yang demikian spektakuler dan kontroversial yakni “The Protestant
Ethic and the Sprit Of Capitalism, 1904”. Esai Weber ini acapkali dituduh
sebagai uraian mengenai agama secara sempit, atau sebagai metanarasi mengenai
ideologi serta pentingnya ide-ide dalam kehidupan sosial. Jika agama dianggap membantu
lahirnya kapitalisme, tetapi sebaliknya kapitalisme dianggap menghancurkan
agama.
Namun demikian, menurut Weber bangkitnya kapitalisme di
Eropa dan Amerika Serikat karena derasnya pengaruh etika calvinis. Dengan
demikian, sebaliknya secara tidak langsung juga dapat dimaknai bahwa kemiskinan
negara-negara di belahan dunia ketiga, karena nilai-nilai religiusitasnya tidak
dapat menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi untuk tumbuh dan berkembang
sebagaimana layaknya negara maju dewasa ini.
Akan tatapi, minat terhadap konsekwensi-konsekwensi
sosial dari keyakinan dan tindakan religius mungkin sesuai dengan minat
terhadap agama itu sendiri. Pada abad ke 16 dalam karyanya Discourses,
Machiavelli mengemukakan suatu analisa fungsional terhadap signifikansi politik
dari komitmen keagamaan serta masalah-masalah yang terkait dengan pengaruh
agama terhadap moralitas pribadi dan solidaritas sosial.
Namun orang yang memberi sumbangan terbesar pada
pemahaman sistematis tentang saling kait antara agama dan masyarakat, dan yang
merangsang lebih banyak penelitian (baik kuantitatif maupun non-kuantitatif)
dibanding sarjana-sarjana yang lain, tidak diragukan lagi adalah Max Weber.
Hipotesis satu-satunya yang paling berpengaruh di bidang ini tentu saja adalah
tesisnya mengenai pengaruh etika Protestan terhadap kemunculan masyarakat
medern. Meskipun argumen dan bukti yang berkembang menyangkut tesis ini terlampau
banyak untuk ditinjau. Salah satu kajian mutakhir dari Gerhard Lenski perlu
disebut, bukan hanya karena ia menjernihkan tesis etika protestan dalam
masyarakat Amerika kontemporer, melainkan juga karena mungkin karena karya
tersebut merupakan upaya yang paling berhasil untuk menerapkan metode
penelitian survey pada sosiologi agama. Lenski menaruh perhatian pada pengaruh
afiliasi-afiliasi dan keyakinan-keyakinan keagamaan atas sikap-sikap terhadap
kerja, otoritas pendidikan dan berbagai masalah lain di sebuah kota besar Amerika. Ia menemukan bahwa pengaruh tersebut
besar sekali.
Tampaknya, ide-ide Weber tentang agama non Barat telah
diterapkan lebih banyak secara sporadis dan karena horison perbandingan dari
soaiologi melebar, sehingga ide-ide tersebut menarik banyak perhatian, termasuk
karya Robert N. Bellah dalam karyanya “Beyond Beleief”, Esei esei tentang Agama
di Dunia Moderen. Menurutnya, bangkitnya bangsa Jepang karena ada kekuatan
nilai dari agama Shinto serta bangkitnya bangsa China karena faktor kekuatan nilai
Khonfucu. Tesis Weber pun ternyanta juga melebar ke Republik Indonesia ketika
G. Geertz menandaskan bangkitnya Serikat Islam dan Serikat dagang Islam, itu
karena pengaruh etos kerja Islam.
Demikianlah bagi Rousseau dan Kant adalah tokoh-tokoh
masa peralihan dan keduanya lebih percaya pada sebuah agama yang secara umum
masuk akal (a generalized reasonable religion) daripada keyakinan
historis apapun, namun mereka melandaskan keyakinan keagamaan mereka lebih pada
watak manusia (Rousseau) atau pada diktum-diktum pengalaman etika (Kant),
daripada atas dasar argumen-argumen yang murni kgnitif.
Pendekatan Weber terhadap pengetahuan
lebih bersifat uraian bebas dalam kerangka hermeneutis. Ia memasukkan
contoh-contoh teladan, tokoh-tokoh sejarah seperti Franklin dan Baxter untuk
menggambarkan pendapat bahwa bersamaan dengan kapitalisme muncullah cara hidup
baru, atau lebih tepatnya kapitalisme lahir bersama dengan cara hidup yang
baru, rasional dan kalkulatif.
Weber memandang dunia sosial niscaya terdiri dari sejumlah
wilayah dan etika yang khas. Problem yang menyangkut birokrasi, misalnya adalah
bagaimana menjaganya agar tetap berada di wilayahnya semula. Demikian pula
halnya dengan praktek-praktek lain. Weber merasa cemas jikalau politik dan
kecendikiawanan akan tetap terpisah, bukan karena keduannya tak berkaitan. Namun
karena masing-masing mempunyai tujuan sendiri yang berbeda.
Selain itu, Weber adalah seorang pembaharu dan memahami
relasi yang salah antara teori sosial
dan kebijakan sosial. Namun demikian, kerasnya kenyataan dunia ini tidak
membuatnya berpaling dari politik atau dari kecendikiawan sebagai
pilihan-pilihan yang setara. Dengan perkataan lain, Weber adalah seorang ”borjuis
beradab” seperti Keynes. Namun hal ini menghalangi untuk menjadi seorang
pembaharu. Betapapun, logika teori sosialnya adalah bahwa prospek dari
perbedaan kualitatif antara kapitalisme dan sosialisme sebenarnya tidak bisa
dikonsepsikan.
Dalam pandangan weber dan para
penganutnya melihat perilaku anak manusia hanya bisa dipahami apabila
dijelaskan dari sudut pandang pelakunya sendiri. karena aksi merupakan
aktivitas yang dikembangkan secara rasionalitas oleh pelakunya, sehingga dalam
konteks ini, maka fakta sosial dianggap sebagai sejumlah realitas yang
dikonstruksi melalui interaksi. Namun kemudian, direkonstruksi ke dalam
defenisi sosial oleh kaum social contructivist kedalam perspektif
etnometodologi, relativisme budaya, fenomenologi, dan argumentatif yang
hermeneutik.
Pendekatan hermeneutik adalah
pendekatan untuk memahami obyek (produk prilaku manusia yang berinteraksi atau
berkomunikasi) dari sudut pelaku aksi-interaksi sang aktor. Pendekatan ini
berasumsi secara paradigmatis bahwa setiap bentuk dan produk perilaku (hukum,
bahasa, ekonomi, politik budaya dan tanah), selalu ditentukan oleh interpretasi
yang dibuat dan disepakati oleh para pelakunya. Dengan demikian, pendekatan
hermeneutik atau interpretatif merupakan pendekatan yang hendak melepaskan atau
membebaskan kajian dari otoritarianisme kaum positivisme dan strukturalis. Dalam artian, pendekatan ini menganjurkan untuk to
learn from the people.
Sehubungan dengan itu, konteks sosial
budaya sebagai gejala supraorganik
yang abstrak ketimbang gejala alam yang organik dan anorganik
yang konkrit dan empiris. Maka menurut kaum interaksionis bahwa apa yang hidup
di dalam alam kepahaman masyarakat harus dipandang selaku aktor sosial yang
sesungguhnya, sehingga tugas ilmuwan sosial adalah to learn from the people, bukan to
learn about the people.
Beberapa sosiolog yang mengacu pada pendekatan verstehen ala
Weberian yang tergolong sebagai sosiologi humanistis/interpretatif yang tampak
lebih mengentengahkan kemanusiaan ketimbang preskripsi metodologis dari ilmu
alam. Pertama, Goffman sebagai ahli dramaturgi menggunakan bahasa tamsil dan
teater, sehingga melihat manusia sebagai calon bintang yang menyajikan tindakan
meyakinkan bagi orang lain. Hal ini berarti ia meninggalkan determinisme
struktural fungsional, sehingga disebut seorang interaksionis simbolis. Analisisnya
tertuju pada pertunjukan aktor individual dan drama kehidupan merupakan aktor
yang mengikuti naskah yang dirancang di tengah lingkungan sosial.
Kedua, blumer yang menekankan bahwa tindakan
bersama yang mampu membentuk struktur atau lembaga hanya mungkin disebabkan oleh
interaksi simbolis dengan menggunakan isyarat bahasa by simbol yang berarti
makna, obyek yang dibatasi dan ditafsirkan melalui interaksi makna tersebut.
Ketiga, garfinkel yang terkenal dengan
teori etmetodologi menekankan bahwa studi aspek-aspek realitas adalah diterima
begitu saja. Para ahli ini berusaha menemukan
esensi pegalaman dalam kehidupan sehari-hari dan mereka melihat realitas
sehari-hari sebagai hal yang ada dan menyadari kehadiran aktor-aktor secara
individual.
PENUTUP
Tampaknya, kajian tentang pemikiran sosiologi
merupakan tugas yang amat berat. Pasalnya, di dalam proses pergumulan pemikiran tersebut tersenandung
kekuatan social dalam bentuk revolusi politik yang pernah menggelegar di
Prancis pada tahun 1789 serta revolusi industri hingga kemunculan kapitalisme
yang pernah melanda masyarakat Eropa di sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Demikian pula, yang kemudian diikuti kemunculan sosialisme dan feminsime serta
meledaknya fenomena urbanisasi. Lendakan-ledakan social politik dan social
ekonomi tersebut sungguh sangat mempengaruhi pemikiran para ilmuawan social
ketika itu.
Meskipun
Comte dianggap terlalu spekulatif dan metafisis serta dianggap
antitesis dengan sosiologi positivisme yang merupakan
wacana dan peletak dasar teori sosiologi moderen. Akan tetapi, salah satu
prestasi yang paling spektakuler adalah keberhasilan merumuskan tahapan
perkembangan pemikiran, yaitu: (1) Tahap teologi (Mitologi); (2) Tahap metafisik (Ideologi);
dan (3) Tahap positif atau ilmiah (Ilmu).
Spencer juga menawarkan
teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri, sehingga Spencer
dianggap memiliki seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Karena pada awalnya
gagasannya tampak sukses gemilang, meskipun kemudian menjadi redup karena
mengalami kevakuman selama beberapa tahun. Akan tetapi, melejit kembali ketika
menjelma teori sosiologi yang beraliran “neo-evolusionisme”.
Materialisme
sebagai sistem berpikir yang bersumber dari Yunani Kuno, pada gilirannya teori
dan konsep-konsep Darwin yang menjadi landasan ilmiah serta merupakan instrumen
kebiadaban para pemimpin otoriter, membuahkan sebelas mantra hitam
Darwinisme sebagai kebohongan dan kepalsuan yang baru terbongkar ketika
memasuki abad ke-20 (www.harunyahya.com). Besar dugaan,
kebohongan itulah yang kini melekat dalam pemikiran ilmuan, terutama bagi
pecandu Darwinisme sosial dan para politikus yang bergentayangan di panggung
sandiwara politik dewasa ini.
Tampaknya,
kajian-kajian kuantitatif yang paling awal dalam sosiologi, Durkheim
memperkenalkan sebuah “variabel agama” dalam kajiannya mengenai bunuh diri (suicide)”.
Selanjutnya, banyak kajian yang bervariasi dari segi cakupan maupun kualitasnya
yang telah memasukkan variabel agama, yang dengan demikian menambah pengetahuan
kita tentang ada atau tidak adanya pengaruh agama terhadap beberapa aspek
keberadaan masyarakat; namun, masih belum ada sebuah survei yang menyeluruh
mengenai hasil-hasil yang sejauh ini telah dicapai.
Akhirnya, Weber dan para penganutnya melihat perilaku anak
manusia hanya bisa dipahami apabila dijelaskan dari sudut pandang pelakunya
sendiri. karena aksi merupakan aktivitas yang dikembangkan secara rasionalitas
oleh pelakunya, sehingga dalam konteks ini, maka fakta sosial dianggap sebagai
sejumlah realitas yang dikonstruksi melalui interaksi. Namun kemudian,
direkonstruksi ke dalam defenisi sosial oleh kaum social contructivist.
DAFTAR PUSTAKA
Bellah, N. Robert, Beyond Belief,
Menentukan Kembali Agama, Esei-Esei Tentang Agama Di Dunia Moderen, Paramadina,
Jakarta, 2000.
Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial,
Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar, Jokyakarta,
2005.
Gordon, Scott,The History And Philosopy Of Social
Science, London
And New York
Suyanto, Bogong dan Amal, Khusna, M.
(Ed.), Anatomi Perkembangan Teori Sosial, Cetakan Pertama, Aditya Media Publishing, Anggota IKAPI,
Malang, 2010.
Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas,
Teori Sosiologi Moderen, Edisi Keenam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2010.