Jan 4, 2014

TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN AGRIBISNIS MULTINASIONAL


Kajian Atas Pengembangan Agrobisnis dan Agroindustri Dalam Kerangka Comparative Advantage, Competitive Advantage, Quality and Quantity Food Security


Oleh


Peribadi

KEPEMIMPINAN:
KUNCI SUKSES GEMILANG DI RANA KOMPETITIF DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS  DAN AGROINDUSTRI

PENDAHULUAN
            Kebijakan Pembangunan di bidang pertanian telah sukses gemilang mengubah negara Republik Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia pada dekade 1970 menjadi negara yang berswasembada beras sejak tahun 1984. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan Kebijakan Pembangunan Nasional sejak tahun 1988, sekonyong-konyong Indonesia kembali menjadi pengimpor beras sebanyak 5,8 juta ton/tahun. Padahal swasembada beras telah dapat dipertahankan selama lebih dari sepuluh tahun dan bahkan jumlah penduduk miskin pun sudah berkurang di pedesaan atau di daerah pertanian. Tak pelak lagi, ketika krisis ekonomi dan moneter menggelegar pada tahun 1998, pendapatan perkapita turun lagi menjadi US$ 735. Pada gilirannya, krisis multi dimensional tersebut, menyebabkan jumlah penduduk miskin yang sudah berkurang dari 70 juta orang (60% dari penduduk Indonesia) pada tahun 1970 menjadi 25 juta orang (14% dari penduduk Indonesia) pada 1997, kembali meningkat melebihi angka 60 juta orang  (29 % dari penduduk Indonesia) pada tahun 1999.
            Hal ini terjadi, karena faktor produktivitas yang rendah, lahan pertanian yang sempit, harga hasil pertanian yang fluktuatif serta kesempatan kerja dan pendapatan di luar dari usaha tani tampak sangat terbatas. Sementara petani miskin di lahan yang sempit tampak terus saling memiskinkan, gerah, tidak teratur, dan tidak produktif akibat dari pembiaran atas segala unsur pemicunya. Keadaan ini dapat dijumpai hampir di seluruh Indonesia terutama di areal pertanian lahan kering, karena proses pengelolaan lahan kering yang kurang sesuai, sehingga tidak hanya tingkat produktivitas petani menurun. Akan tetapi juga membuahkan erosi yang pada gilirannya mengakibatkan lahan menjadi tidak produktif dan cenderung kritis.
            Betapa mencengangkan, karena luas lahan kritis saat ini saja diperkirakan sudah mencapai lebih dari 60 juta ha atau lebih dari 30% luas daratan Indonesia (Darori 2006). Tampaknya, erosi tersebut tidak hanya mengakibatkan berkurangnya lahan produktif. Akan tetapi juga dapat merusak fungsi hodrologis di bagian hulu hingga menyebabkan banjir ketika musim hujan serta terjadi kekeringan ketika musim kemarau tiba. Kondisi obyektif tersebut, tentu saja memaksa para ilmuwan dan pakar pertanian dari berbagai bidang kajian secara integral untuk merekonstruksi, mereformasi dan meredefinisi serta merevitalisasi beberapa faktor yang urgen dalam rangka menggapai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di bidang pembangunan

Jan 3, 2014

SUNGGUH MALU MENJADI PEJABAT

Oleh  Peribadi

Seusai kerja bakti di lingkungan yang kebetulan dihuni oleh penduduk yang umumnya kategori kelompok sosial menengah ke atas, tiba-tiba saja pada ngelantur berceloteh ikhwal status sosial pejabat sehubungan dengan lembaga super KPK yang baru saja terbentuk: “ada baiknya juga kalau tidak jadi pejabat”. Waduh, memangnya kenapa Pak, saya kira kalau pejabat itu serba terpenuhi kebutuhan dengan segala fasilitas yang wah. Makanya dipertaruhkan, meskipun dengan menempuh pelbagai macam cara yang haram sekalipun. Ya, karena gara-gara itulah, sehingga mereka memboyong piala negara koruptor kelas kakap. Apa mereka merasa sebagai biangkladi prestasi yang amat memalukan itu ? Saya kira, mereka pura-pura tidak tahu saja, dan dengan terbentuknya KPK ini, berarti disamping banyak investasi siluman, juga sekaligus dilegatimisasi sebagai pejabat koruptor. Okelah, tetapi apakah lembaga yang satu ini mampu mengungkap dan menyelesaikan KKN di republik ini ? Tidak mungkin, karena beberapa lembaga sebelumnya tampak layu sebelum berkembang, dan anggota KPK ini  belum pasti luput dari metode perampokan berdasi khan ?” Demikian sambung-menyambung dan silih berganti komentar pelipur lelah seusai kerja bakti ketika itu.
Saya kira inti persoalannya, selain karena kita memang sudah kelabakan berhadapan dengan penyamung harta karung negara, juga dikandung maksud merakit “budaya malu” yang berserakan di sana-sini. Masih adakah yang terbesit rasa malu di lubuk hati terdalam bagi mereka yang nota-bene pejabat itu ? Tentu saja ada, tetapi masyarakat khan tidak menganggap bahwa pejabat bukan merupakan status sosial yang memalukan, dan bahkan sebaliknya, yakni membanggakan.

KEMERDEKAAN BERBELANJA: Refleksi HUT Kemerdekaan RI

Oleh Peribadi

Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Pemerhati Pemiskinan


Kami bebas belanja produk dalam negeri, karena saya sebagai individu, komunitas, masyarakat, dan bangsa yang merdeka. Yang pasti, kita bebas menentukan pilihan dan keinginan kita sendiri, meskipun kita terus dicekoking dengan iklan glomour. “saya pilih produk dalam negeri, karena saya cinta Indonesia” – kata Surya Palo dalam setiap saat penayangan iklan sebagai upaya mengajak kita memulai mencintai produk dalam negeri. Tentu saja selain cinta negeri sendiri dengan segala hasil karyanya, juga karena saya merdeka menentukan pilihan untuk memenuhi pelbagai jenis kebutuhan hidup sehari-hari. Pasalnya, hampir kita semua, terutama kaum menengah ke atas tampak amat gandrung dan bahkan mungkin tidak bisa merasa hidup bahagia, kalau tidak dijejali dengan produk-produk luar negeri. Lebih dari itu, mungkin pula AS dan negara Eropa pada umumnya telah menjadi kiblat kebanggaan tersendiri bagi orang-orang yang telah teracuni otak dan nuraninya dengan globalisasi dan gombalisasi penjajahan pemikiran.

Jika demikian, upaya yang amat fundamentil dan mendesak untuk segera dilakukan dan digembor-digemborkan, adalah selain produsen kita harus berpacu menumbuh-kembangkan kualitas dan kuantitas produk dalam negeri, juga para pioner pencinta Indonesia harus berupaya keras dan tak boleh kenal lelah untuk membangkitkan kesadaran idiologis konsumen untuk melakukan program “hijrah berbelanja” dari produk luar negeri yang telah memperkaya produsen (Baca: kaum kapitalis), beralih ke produk dalam negeri sebagai upaya mengikis kemiskinan dan pemiskinan produsen dalam negeri, serta sekaligus bahu-membahu untuk mengangkat derajat kemerdekaan ekonomi rakyat (Baca: ekonomi santri dan umat) yang terpuruk hingga saat ini. 

POLANTAS PROFESIONAL DI BENAK MASYARAKAT

Oleh
Peribadi
(Staf Pengajar FISIP Unhalu Kendari-Sultra)


                  Betapa menarik ketika kita mendengar anggota Polisi Lalu Lintas (Polantas) memberi nasehat kepada para pengendara roda dua dan roda empat, terutama kepada mereka yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Sungguh patut diacungi jempol dan bahkan sangat perlu diberi penghargaan kepada mereka yang berdiri seharian di tengah terik matahari nan panas itu. Betapa tidak, selain arus lalu lintas jalanan dapat berlangsung kondusif, sehingga suasana perjalanan berlangsung aman dan nyaman. Tentu pula warga masyarakat senantiasa merasa terayomi oleh petugas lalu lintas yang setiap saat menempati posisi siap siaga.
                  Mungkin memang banyak hal positif yang membuat warga masyarakat terkagum-kagum mendengar dan melihat life style seorang aparat kepolisian ketika sedang memakai seragam lengkap dan tak pelak lagi ketika melaksanakan tugas dengan penuh disiplin. Boleh jadi ikhwal ini pula yang menjadi motivasi bagi kebanyakan orang tua, sehingga berupaya maksimal mendaftarkan anak-anaknya menjadi anggota kepolisian, sekalipun terpaksa harus mengorbankan sesuatu yang selama ini sangat vital bagi sumber penghidupan sosial ekonomi rumah tangganya.

REFLEKSI LEMBAGA PEMBERDAYAAN DAN PROBLEMATIKANYA

Oleh
Peribadi

Tampaknya, P2KP/NUSSP dan para aktivis berikut para relawannya diperhadapkan dengan beberapa peluang dan tantangan dalam mengembangkan misi kemanusiannya. Hal ini penulis deskripsikan sehubungan dengan hasil studi lapang dari Tim Evaluasi Bappeda Kota Kendari Tahun 2007 lalu.
Pertama, pada tingkat struktural dan kelembagaan, diperhadapkan dengan beberapa indikator kemiskinan yang cukup tarasa mempengaruhi proses pengambilan kebijakan. Hal itu tidak dapat dipungkiri, hingga kini masih tetap menjadi persoalan bagi lembaga P2KP/NUSSP dan sejenisnya, meskipun telah terjadi perubahan mendasar dalam konteks paradigma dan pendekatan.
Sementara pada tataran masyarakat sebagaimana diakui oleh beberapa stakeholders, ada kecenderungan warga masyarakat melihat dan menganggap berbagai bantuan kemiskinan itu merupakan bentuk pemberian cuma-cuma (gratis/puso), sehingga tidak hanya dianggap kurang penting untuk segera dikembalikan. Akan tetapi, juga berakibat pada proses terciptanya rasa ketergantungan dari berbagai bantuan dimaksud.
Menurut beberapa informan bahwa hal ini terjadi, karena selama ini masyarakat memperoleh bantuan sejenis IDT dan JPS di kurun waktu Orba serta sejenis raskin, kompensasi BBM, dan bantuan eksodus di zaman reformasi kini. Namun karena bantuan yang disuguhkan selama ini tidak bersifat ”antibiotik”, sehingga berujung pada terciptanya gejala ketergantungan, dan bahkan boleh jadi juga membuahkan keserakahan bagi orang-orang yang cekatan menggunakan “kesempatan dalam kesempitan”. Dalam artian, ada gejala yang berkembang bahwa kalau pada masa lalu orang malu-malu digelar orang miskin. Maka kini, ada kecenderungan orang-orang kepingin dikategorikan sebagai orang miskin, karena mengharapkan ”durian runtuh dari pohonnya” seketika.

Jan 2, 2014

SADARKAN DIRI, DAN BANGKITLAH ! Renungan Atas Hari Kebangkitan Nasional 2003


Oleh Peribadi

Adalah cukup menyentak juga ketika virus need for Achievement yang dimaksudkan Mc Cleland untuk menyuntikkan dan sekaligus menularkan virus berprestasi dalam rangka membangkitkan kemandirian berwiraswasta. Namun yang terjadi kemudian, adalah bangkitnya gejolak hawa nafsu berbelanja di tengah hutan belantara konsumerisme dewasa ini. Hal ini berarti, upaya penularan memang tampak gemilang menjangkitkan virus keserakahan untuk mengundangkan investasi serta sukses menancapkan virus menghambur-hamburkan uang yang mungkin tidak jelas asal-usulnya itu.
Jika demikian, kita pun harus berupaya menjalarkan sebuah “virus” yang dapat mendobrak nafsu kebangkitan berprestasi serta nafsu mengembalikan semua uang misteri yang telah kita peroleh dengan strategi “KKN”. Seiring dengan itu, kita pun tengah membutuhkan resep pencekal nafsu perebutan status position yang tampak begitu ambisius untuk merenggut dan menduduki “kursi panas”. Karena faktor keambisian inilah yang menjadi penyebab malapetaka diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga serta kerabat dan para koleganya.
Karena itu, marilah, di tengah kita memperingati “Hari Kebangkitan Nasional 2003 ini, kita mulai mengajak diri kita sendiri dan orang lain untuk bangkit mencerahkan masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini. Bangkitlah bangsaku Indonesia, tanah airku Indonesia dan bahasaku Indonesia; Bangkitlah, sebagai bangsa Indonesia yang bersatu, sebagai tanah tumpah darah yang terbentang bagai permadani di zamrud katulistiwa, dan sebagai bahasa yang indah, halus dan sopan: Bangkitlah, untuk menggilas cemohan orang yang mengklaim Indonesiaku sebagai negara terjajah, tanah air yang terinjak dan sebagai bangsa yang diperbudak: Bangkitlah, sebagai manusia Indonesia yang ulet dan unggul; Bangkitlah, sebagai masyarakat yang beradab dan berpradaban;
Bangkit dan bangkitlah di kitaran alam yang penuh intan dan berlian dan pelbagai kekayaan alam lain yang terkandung di dalamnya; Marilah kita berpacu untuk mengentaskan semua kebangkrutan yang melingkari kehidupan manusia Indonesia dengan sebuah prestasi yang mampu menyelamatkan kepincangan negara kita ini. Dengan penuh harap, kiranya kita jangan hanya pandai bangkit untuk menjadi manusia yang hebat berbelanja, apalagi membelanjakan dan menghambur-hamburkan uang negara yang dipinjam dengan bunga setumpuk dan mencekik leher anak cucu kita kini dan akan mendatang.
Coba saja kita bayangkan, akibat dobrakan nafsu angkara murkah yang amat sulit terbendung itu, menyebabkan eksploitasi hutan belantara dan bahkan Prof. Soemitro sebagai seorang bengawan ekonomi mensinyalir sebanyak 30 persen biaya pengembangan hidup sejahtera manusia Indonesia diselewengkan.
Apa yang terjadi kemudian? Dalam artikel saya terdahulu disebutkan, hampir semua yang menjadi milik berharga dan dibanggakan, bahkan terkadang disombongkan, luluh, ludas dan pupus bersama keringnya air mata. Mulai dari kebangkrutan Rupe, deforestasi, abrasi, kesuburan tanah dan aneka ragam tambang dan batubara, sampai pada persoalan dehumanisasi, dekadensi, degradasi budaya serta kebangkrutan martabat, jati diri dan rasa malu. Lebih jauh dari itu kita juga tengah mengalami kebangrutan nasionalisme dan patriotisme.
Kalau kita tidak berani bangkit berprestasi untuk menyingkirkan keberanian kebangkitan menumpuk investasi yang entah “haram atau halal” serta berbelanja di sembarang tempat, maka mungkin tak ada lagi yang patut dibanggakan sebagai bangsa dan negara yang beradab dan kaya-raya.
Memang, kita tidak menghendaki proses revolusi kebangkitan yang spontanitas dengan segala resiko yang mungkin belum siap kita terima. Akan tetapi, kita harus melewati proses tahapan secara evolusioner sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat kita. Hanya saja proses menuju sebuah kebangkitan, harus ditempuh melalui tahapan strategis dan sistemik. Artinya, ada ihwal kehidupan yang harus diskala-prioritaskan untuk digenjot dalam memasuki langkah perubahan selanjutnya. Jangan sampai mendahulukan sesuatu yang ngebor-gebyaran yang sesungguhnya tidak fundamentil.

Kado Khas Untuk Kaum Politisi dan Birokrat: URGENSI PENDEWASAAN POLITIK

Oleh
Peribadi

Ketika menyoal proses pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sebagai pesta demokrasi yang diharap berlangsung kondusif dan berkualitas, tampaknya memang banyak varian yang akhirnya terpaksa harus ditelaah secara skeptisisme plus kritisisme, sehingga bisa ditemukan solusi alternatif untuk keluar dari kemelut sosial politik yang pada dekade terakhir terasa amat membosankan dan mengecewakan.
Mungkin karena keberadaan demokrasi yang disinyalir sebagai barang import dari bangsa berbeda budaya dengan kita, sehingga diperlukan upaya revitalisasi budaya politik untuk membangun fatsun politik berbasis budaya lokal. Namun yang kerapkali digembor-gemborkan adalah pentingnya pendidikan politik, sehingga kecerdasan pemilih dan politisi tumbuh dan berkembang seiring dengan arus demokratisasi.
Boleh jadi demikian bahwa urgensi pendidikan politik di aras grass root amat mendesak untuk ditumbuhkembangkan. Akan tetapi, jangan pura-pura dilupakan dan apalagi sengaja dilupakan bahwa upaya “pendewasaan politik” yang secara khusus ditujukan kepada politisi pemula dan elite politik, tampak takkala urgensinya.
Dalam artian, upaya penciptaan budaya politik partisipan dalam konteks demokratisasi yang dimaknai sebagai “the hight political culture by political education di aras grass roots”, memang sangat diperlukan.  Namun proses peningkatan kesadaran politik yang juga dimaknai sebagai the hight political culture by political maturity khusus kepada elite politik, termasuk kepada awak-awak penyelenggara Pemilu/Pilkada yang bernama KPU/KPUD, pun tidak boleh ditawar-tawar.

KEBANGKRUTAN TOTAL: Renungan HUT Kemerdekaan Ke – 57

Oleh Peribadi
Pemerhati Masalah Pemiskinan
Beberapa Tulisan Ilmiah Populer Dapat dilihat: www.peribadiunhalu.blogspot.com
              Jenis kebangKrutan apa yang paling tampak jelas mengitari kehidupan kita dewasa ini ? Terasa amat sulit melacaknya, karena hampir semua yang menjadi milik berharga dan dibanggakan, bahkan terkadang disombongkan, luluh, ludas dan pupus bersama keringnya air mata. Mulai dari kebangkrutan Rupe, deforestasi, abrasi, kesuburan tanah dan aneka ragam tambang dan batubara, sampai pada persoalan dehumanisasi, dekadensi, degradasi budaya serta kebangKrutan martabat, jati diri dan rasa malu. Lebih jauh dari itu kita juga tengah mengalami kebangrutan nasionalisme dan patriotisme.
          Jika demikian, apalagi yang patut dibanggakan plus diarogansikan ? Segalanya telah tercampakkan dan terjerembab dalam lautan komoditi yang tidak berujung pangkal. Pertama, uang yang menjadi alat komoditi yang paling fundamental ini tidak hanya dibangkrutkan oleh 16 Taipan Ali Baba yang kabur ke luar negeri. Akan tetapi rupiah yang merupakan nilai tukar ekonomi sangat terpuruk dalam konstalasi mata uang internasional hingga saat ini.
            Sialnya, mata uang yang sedang mengalami kebangKrutan nilai tukar tersebut, pun dibawah lari simata sipit. Pantas saja founding fathers kita tidak mengizinkan keturunannya menduduki dan berperan dalam lembaga-lembaga politik yang strategis untuk mengaburkan semua yang telah digapai para pejuang kita terdahulu. Tentu saja kita kian berdosa kalau subyektivitas emosional yang logis ini, tidak dipertahankan. Dalam artian membiarkan atau memberi peluang secara sengaja atau tidak disadari. Apalagi dengan terpaksa membuka kesempatan, karena insentif dana siluman yang diobral oleh anak cucu Ali Baba ini.

Tugas Bedah Disertasi Endriatmo Soetarto


 


 DIALOG KRITIS ANTARA GOLONGAN ELITE DAN WARGA DESA DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA

Di Kabupaten Sumedang

Oleh
Peribadi
PROLOG  
          Penataan terhadap institusi-institusi formal desa oleh negara telah membawa fungsi dan tujuan-tujuan institusi yang bersangkutan terkungkung dalam struktur yang bersifat hirarkhis. Pola penataan yang bersifat korporatis ini menurut banyak pustaka ilmu-ilmu sosial pada gilirannya telah menggiring golongan elit desa, dalam hal ini Kepala Desa (Kades) dan aparat jajarannya, lebih terpusat pikiran dan tindakannya pada kepentingan yang sifatnya bias elitis. Dalam artian, berbagai praktek penyelenggaraan program pembangunan masyarakat desa tampak hanya menguntungkan kepentingan elit desa dan menganaktirikan golongan periferi, sehingga kehidupan mereka terpasung di posisi marginal.
            Besar dugaan bahwa manifestasi dari keberadaan ruang sosial semi-otonom ini merupakan refleksi dari keberadaan kelembagaan dan pranata sosial pedesaan yang masih tersisah. Dalam artian, kehidupan pada masyarakat setempat masih melandasi dirinya dengan norma moral sosial dengan ciri mengutamakan hubungan-hubungan primer resiprokal di aras kehidupan kolektif (etos komunal), sehingga kepekaan sosial (social sensitivisy) masih mampu merangsang terjalinnya interaksi timbal-balik dalam bentuk dialog kritis dimaksud.

A. TEORI DAN KONSEP-KONSEP
            Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji kekuatan dan daya paksa dari sebuah proses korporatisasi kepada institusi-institusi formal desa bentukan pemerintah yang bersifat hirarkis. Disamping itu, penelitian juga diarahkan  kepada refleksi kemampuan etos komunal untuk memuncratkan kepekaan sosial, sehingga ruang sosial semi-otomi terwujud dan berkembang menjadi ajang dialog kritis antar warga dari beragam golongan dengan Kepala Desa beserta aparat jajarannya.
            Maka dalam rangka mengkaji permasalahan ini, adalah mengacu pada gagasan Habermas (1979) yang menemukan Teori kritis-nya dari Marx. Habermas mencatat Marx mempertautkan unsur teori (pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah) dan unsur praktis (tindakan dasar manusia sebagai mahluk sosial) dalam ruang lingkup kerja unsich. Padahal menurut Habermas karena praksis senantiasa diterangi oleh kesadaran rasional, maka rasio tidaklah hanya tampak pada kegiatan menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam proses interaksi simbolik antar subyek (intersubyektif) dengan bahasa sehari-hari (komunikasi). Dalam konteks ini, Marx dinyatakan telah gagal mengembangkan gagasannya sebagai teori emansipatif.
            Bagi Habermas, tujuan pekerjaan sesungguhnya berada di luar pekerjaan itu sendiri sebagai tindakan instrumental. Sebaliknya, pada proses interaksi yang diantarkan secara simbolis menurut bahasa dan mengikuti norma-norma itu, seharusnya dapat dimengerti, benar, jujur, dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya. Pada intinya, hubungan antara manusia dengan alam bersifat asimetris dan interaksi sosial antar sesama manusia bersifat simetris, bukan hubungan kekuasaan. Interaksi hanya dapat terjadi apabila pihak-pihak yang bersangkutan saling mengakui kebebasannya dan saling mempercayai.
            Berbagai studi telah jelas menjelaskan adanya gejala keterbelahan moral yang menyertai kinerja institusi-institusi formal desa, seperti ditunjukkan dalam studi Sajogyo (1972), Tjondronegoro (1984), dan Nordholt (1987). Betapa tidak, jika pada UU No. 5/79 tentang Pemerintahan Desa secara implisit memuat nilai moral yang mengedepankan power compliance, maka pada institusi-isntitusi informal desa yang hendak digantikan perannya oleh institusi bentukan pemerintah, lebih memuat nilai moral yang mengutamakan need compliance. Dalam ungkapan yang lebih sloganistis dapat dinyatakan bahwa perkembangan atas musyawarah dikalahkan oleh kepentingan pembangunan atas perintah, sehingga modernisasi berjalan tanpa menghasilkan perkembangan (modernization without development).
            Demikian pula secara lebih empirik ditandaskan oleh Susanto-Sunario (1990) bahwa praktek pengendalian masyarakat (social engineering) dan pengawasan sosial (social control) merupakan gejala nyata yang senantiasa menyertai usaha suatu masyarakat untuk mengatur diri dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kaitannya dengan PMD-formal, Kepala Desa dan jajarannya tampil sebagai elit desa yang mengemban kepentingan Pengendalian Masyarakat (PM), sedangkan warga desa yang kategori periferi adalah pengemban kepentingan pengawasan sosial (PS) di aras kehidupan desa. Tentu saja praktek PM yang makin berciri formal dengan sendirinya akan memerlukan dukungan alat bantu yang semakin formal pula, seperti sanksi hukum dan perangkat kekuasaan. Sebaliknya, PS yang didasari dengan bentuk PM-informal tidaklah memiliki alat bantu khas seperti sanksi hukum apalagi kekuasaan. Konsep PS mengacu pada perilaku kelompok (group conduct) yang ditujukan untuk menciptakan keselarasan (konformitas), solidaritas dan memelihara kelangsungan hidup kelompok komunitas yang tata perilakunya dikukuhkan oleh adat-istiadat setempat.
            Secara teoritis dapat dikatakan bahwa perimpitan penuh antara kepentingan PM yang bersifat formal dengan kepentingan PS yang bersifat informal memang tidak pernah akan terjadi, sehingga setiap individu atau kelompok senantiasa akan terdorong untuk mengembangkan saluran-saluran informalnya yang terletak dalam kehidupan pra-politik. Dalam konteks inilah, menurut penulis disertasi dapat disejajarkan dengan pengertian ruang sosial semi-otonom yang dikenal dalam khazanah kepustakaan antropolgi hukum. Dalam kaitannya dengan konsep rekayasa sosial yang diduga mendasari pemikirannya adalah hubungan-hubungan sosial rentan terhadap praktek-praktek pengendalian dan alat yang dipergunakan untuk mencapai kendali adalah hukum atau aturan-aturan (Lazarfeld dan Reitz, 1975).

Tugas Bedah Disertasi NYOMAN UTARI VIPYANTI

STUDI SOSIAL EKONOMI TENTANG KETERKAITAN ANTARA MODAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN WILAYAH

Studi Kasus di Empat Kabupaten Provinsi Bali

Oleh

L A DUPAI DAN PERIBADI


1. PENDEKATAN METODOLOGIS
            Pendekatan metodologis yang digunakan dalam disertasi tersebut dapat dikategorikan sebagai pendekatan "mixing methodes" dan “combine analysis”. Hal itu didasari dengan beberapa alasan:
Pertama, di dalamnya dikembangkan 3 (tiga) hipotesis yang akan diuji dengan analisis kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik non parametrik. Data primer dianalisis dengan mengunakan analisis non-parametrik agar dapat dideskripsikan secara terinci mengenai hubungan antar masing-masing indikator dalam konteks variabel rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Sementara hipotesis tentang hubungan antar indikator tersebut diuji berdasarkan nilai korelasi Spearman. Selain itu, dilakukan pula uji beda dua sampel yang tidak berhubungan untuk mengetahui apakah dua populasi memiliki sifat-sifat yang identik. Adapun pernyataan hipotesis dimaksud sebagai berikut:
1.       Komponen modal sosial yang dominan dan memberi kontribusi terbesar adalah rasa percaya.
2.       a.  Modal sosial menyambung (bridging social capital)
 berpengaruh positif terhadap PDRB, dan sebaliknya  modal sosial mengikat (bonding social capital) yang berpengaruh negatif terhadap PDRB.
b.    Terdapat hubungan saling mempengaruhi (keterkaitan)  
antara modal sosial dengan kesejahteraan rumah tangga, pembangunan ekonomi wilayah (IPM), kemiskinan (IKM), output (PDRB), pertumbuhan ekonomi wilayah (Laju PDRB) dan total faktor produktivitas (TFP).
3.       Strategi terbaik bagi pemerintah kabupaten, provinsi dan masyarakat dalam upaya merevitalisasi modal sosial adalah bekerjasama (cooperative).
H0 : m= mBB
H1 : m= mBB
dimana:
mM     = rata-rata populasi di wilayah maju
mBB­    = rata-rata populasi di wilayah belum berkembang
Hipotesis awal (H0) manyatakan bahwa rata-rata populasi di wilayah belum berkembang tidak identik dengan rata-rata di wilayah maju. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah rata-rata populasi di wilayah maju. Hipotesis tersebut digunakan untuk masing-masing indikator modal sosial.
Jika probabilitas lebih besar dari (>) a, maka H0 diterima
Jika probabilitas lebih kecil dari (<) a, maka tidak terdapat cukup bukti untuk menerima H0
Lebih jauh dari itu, maka analisis terhadap seluruh variabel secara bersama-sama dilakukan melalui uji nilai tengah multi variate (peubah ganda). Pengujian yang digunakan adalah statistik T2 Hoteling yang tersedia dalam proses SPSS. Analisis ini bertujuan menguji hipotesa berikut:
H0 ­:   Semua indikator modal sosial di wilayah berkembang sama dengan wilayah maju (m = m0)
H1 :   Setidak-tidaknya ada satu indikator modal sosial yang berbeda antara wilayah maju dan wilayah belum berkembang (mm0)
Kriteria pengambilan keputusan adalah:
        Jika probabilitas lebih besar dari (>)a, terima H0
            Jika probabilitas lebih kecil dari (<)a, tidak terdapat cukup bukti untuk menerima H0.
        Kedua, penulis disertasi menggunakan Pola Pengukuran Indikator (Peubah Manifes) modal sosial di tingkat mikro, tingkat mezo dan tingkat makro. Misalnya, proses identifikasi modal sosial di tingkat mikro dilakukan dengan analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap respons yang diberikan oleh responden melalui jawaban kuesioner yang unit analisisnya adalah rumah tangga. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang bersifat nominal dan ordinal seperti tingkat pendidikan, kesehatan, rasa percaya (trust), kesediaan memberi bantuan. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk data yang bersifat interval dan rasio seperti besarnya keluarga, pengeluaran rumah tangga, indeks partisipasi, indeks heterogenitas, kepadatan organisasi, jumlah teman dan tingkat kontribusi anggota.
Ketiga, penulis disertasi menggunakan defenisi konseptual dan defenisi operasional dalam konteks Pembangunan dan Modal Sosial. Adapun konsep pembangunan dalam penelitian ini dibatasi pada pembangunan manusia yang terdiri dari empat komponen utama, yaitu: (1) produktivitas (productivity), (2) keadilan (equity), (3) keberlanjutan (substainability), serta (4) pemberdayaan (empowerment). Konsep pembangunan yang digunakan dalam penelitian ini lebih luas dari konsep pertumbuhan ekonomi.
Kemudian, modal sosial sesungguhnya dibedakan atas tiga tipe: (1) modal sosial mengikat (bounding social capital); (2) modal sosial menyambung (bridging social capital); dan (3) modal sosial mengait (linking social capital). Namun demikian, penelitian ini hanya menganalisis modal sosial yang mengikat dan modal sosial yang menyambung. Konsep modal sosial dalam penelitian ini mengarah pada konsep modal sosial yang dikembangkan oleh aliran ekonomi kelembagaan dengan memberikan penekanan khusus pada hubungan sosial antara modal sosial dan kesejahteraan ekonomi masyarakat serta modal produktif yang terdiri atas rasa percaya, kemampuan seseorang dalam membangun jaringan kerja serta kepatuhannya terhadap norma yang berlaku dalam kelompok maupun masyarakat di sekitarnya.
Batasan rasa percaya adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat buruk pada diri kita. Jaringan kerja adalah ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang yang diproduksi dari jumlah keangotaannya dalam organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah kepadanya. Sementara norma adalah nilai-nilai yang bertujuan membangun kegiatan bersama dan menguntungkan bagi semua pihak yang diproduksi dari kemudahan menitipkan anak pada tetangga, memberikan bantuan fisik, uang dan perilaku pembonceng (free rider).

TUGAS MATA KULIAH: FILSAFAT ILMU II

Reviewer: Peribadi
Atas Tulisan Scott Gordon
THE HISTORY AND PHILOSOPY OF SOCIAL SCIENCE, London and New York
Pada Bab 15
The Development Of Sociological Theory

      
  Prolog. Menurut Scott Gordon dalam bukunya “The History and Philosopy of Social Science, 1994”, diskusi tentang sejarah pemikiran ilmu sosial dan khususnya tentang perkembangan teori sosiologi, dianggap oleh para ilmuawan sosial sebagai tugas yang sangat berat dan sangat menantang. Hal itupun diakui oleh Turner dalam bukunya “Who’s Araid of the History of Sociology, 1998” dan Ritzer dan Goodman dalam buku “Teori Sosiologi Moderen, 2010”.
        Demikian pula, menurut Surbakti dalam mengantar buku “Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, 2010”. Menurutnya, untuk mengevaluasi suatu teori sosial diperlukan parameter yang relatif lengkap yang tidak hanya berguna untuk menilai suatu teori yang dianggap oleh Gordon sebagai proses penelaahan yang diperhadapkan dengan beberapa kesulitan khusus, sehingga tidak mudah untuk menentukan materi pelajaran sosiologi dengan cara yang berbeda-beda di antara ilmu-ilmu sosial lainnya. Akan tetapi, juga menjadi pedoman untuk mengeidentifikasi isi suatu teori sosial yang bisa memudahkan.
        Selain menjadi tugas berat bagi kaum ilmuawan sosial, juga mereka tak dapat memastikan kapan teori sosiologi itu lahir. Yang pasti, orang-orang telah memikirkan dan membangun teori tentang kehidupan sosial sejak zaman paling awal dalam sejarah pemikiran dan perkembangan teori sosiologi. Meskipun dengan terpaksa harus diakui bahwa jauh sebelumnya Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah (Lajnah al-Bayan al-Arabi) telah membahas pengaruh letak geografis (letak bumi) terhadap gejala, perilaku dan aktivitas masyarakat.
        Namun Scott Gordon kemudian menandaskan bahwa tak seorang pun pemikir abad 17 itu yang menganggap diri mereka sebagai sosiolog, dan bahkan sedikit sekali di antara mereka itu yang kini dianggap sebagai sosiolog. Namun pada 1800-an kita mulai menemukan pemikir yang secara jelas dapat disebut sosiolog dan mereka itulah yang menjadi sasaran perhatian dalam tulisan ini.
        Dalam konteks ini, kita akan mulai meneliti latar sosial dan gerakan-gerakan intelektual utama yang mempengaruhi dan membentuk gagasan dan pemikiran mereka. Karena dalam era inilah sejumlah besar penulis memberikan kontribusi dalam konteks pengembangan sosiologi modern. Meskipun menurut Scott Gordon hanya tiga di antaranya yang tampak melangit atau amat ternama ketimbang yang lainnya, sehingga khusus bab 15 dalam buku ini kajian difokuskan kepada mereka itu, yakni Herbert Spencer sebagai seorang berkebangsaan Inggris, Emile Durkheim berkebangsaan Prancis, dan Max Weber sebagai seorang  yang berkebangsaan Jerman.
        Memang dalam pandangan Scott Gordon bahwa Saint-Simon dan Comte juga dianggap cukup penting dalam pengembangan pemikiran sosial pada abad kesembilan belas, tetapi tulisan-tulisan mereka dianggap terlalu spekulatif dan metafisis serta dianggap antitesis dengan sosiologi positivisme yang merupakan wacana dan peletak dasar teori sosiologi moderen.
        Karena itu, tradisi arus utama penelitian sosiologis modern yang terutama berlangsung di Amerika Serikat, baik dalam bentuk praktikal maupun menjadi sumber inspirasi pengembangan grand teori sosiologi, kebanyakan sosiologi tidak merujuk kepada Saint-Simon atau Comte. Karena secara lebih substantif, ketika mengkaji perilaku sosial serta perdebatan metodologis yang demikian panjang mengemuka, maka metodologi Spencer, Durkheim, dan Weber lebih dianggap efektif dalam mendefinisikan serta mengembangkan banyak konsep yang berguna dalam pengembangan teoritis serta penelitian empiris ke depan.
       
A. HERBERT SPENCER (1820-1903)
        Spencer yang lahir di Derby, Inggris, 27 April 1820 adalah acapkali disamakan dengan Comte dalam arti pengaruh mereka terhadap perkembangan teori sosiologi, meski ditemukan beberapa perbedaan penting di antara mereka. Memang demikian bahwa ada perbedaan penting antara Spencer dan Comte, tetapi mereka pun mempunyai kesamaan orientasi, atau setidaknya kesamaan interpretasi dalam menumbuhkembangkan teori sosiologi. Dalam artian, Comte, Spencer dan Durkheim serta lainnya adalah sama-sama berkomitmen terhadap pengembangan ilmu sosiologi. Seperti halnya comte, maka Spencer mempunyai konsep evolusi tentang perkembangan historis, meski pada sisi lain ia pun mengkritik teori evolusi Comte dengan beberapa alasan.
        Menurut Beilharz (2005) bahwa memang agak sulit menggolongkan Spencer sebagai pemikir konservatif. Sebenarnya, pada awalnya, Spencer lebih tepat dipandang beraliran politik liberal dan ia tetap memelihara unsur-unsur liberalisme di sepanjang hidupnya. Tetapi, juga benar bahwa pemikiran Spencer tumbuh semakin konservatif selama hidupnya, sebagaimana halnya Comte yang juga konservartif.
        Spencer sebagai seorang Darwinis Sosial yang menganut pandangan evolusi dan berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang makin baik, sehingga kehidupan masyarakat tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan dari faktor eksternal yang acapkali memperburuk keadaan. Menurutnya, institusi sosial seperti halnya tumbuh-tumbuhan dan binatang mampu beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Dengan demikian, berarti Spencer pun menerima pandangan Darwinian tentang “survival of the fittest”.
        Spencer juga menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri, sehingga Spencer dianggap memiliki seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Karena pada awalnya gagasannya tampak sukses gemilang, meskipun kemudian menjadi redup karena mengalami kevakuman selama beberapa tahun. Akan tetapi, melejit kembali ketika menjelmah teori sosiologi yang beraliran “neo-evolusionisme”.
        Akan tetapi, ternyata, teori dan konsep-konsep Darwin yang menjadi landasan ilmiah serta merupakan instrumen kebiadaban para pemimpin otoriter ketika itu hingga penganutnya kini,  tampak mengandung 11 (sebelas) mantra hitam Darwinisme sebagai kebohongan dan kepalsuan yang baru terbongkar ketika memasuki abad ke-20 (www.harunyahya.com).
        Pertama, Darwinisme tidak lagi mampu mengatakan bahwa protein dapat terbentuk melalui evolusi. Sebab peluang terbentuknya satu protein saja dengan urutan yang benar secara acak  adalah 1 per 10950, sebuah angka yang menunjukkan kemustahilan secara matematis.
        Kedua, Darwinisme tidak lagi merujuk kepada fosil sebagai bukti terjadinya evolusi. Hal ini karena seluruh penggalian yang dilakukan dari pertengahan abad ke-19 hingga kini, tak satu pun dari "bentuk-bentuk peralihan" yang menurut para evolusionis seharusnya ada dalam jumlah jutaan, ternyata tidak pernah ditemukan. Telah disadari bahwa ini tidak lain hanyalah sebuah kisah khayalan.
        Ketiga, Para evolusionis berputus asa di hadapan fosil-fosil yang berjumlah tak berhingga yang telah berhasil digali hingga saat ini. Hal ini disebabkan semua fosil-fosil ini memiliki seluruh ciri-ciri yang mendukung dan membuktikan penciptaan.
        Keempat, Para evolusionis tidak lagi mampu menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah nenek moyang burung, sebab penelitian terkini menunjukkan bahwa Archaeopteryx memiliki struktur anatomi dan otak yang sempurna yang diperlukan untuk terbang. Archaeopteryx adalah seekor burung sejati, sehingga "dongeng khayal tentang evolusi burung" tidak lagi dapat dipertahankan keabsahannya.
        Kelima, Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan urutan palsu yang dikenal sebagai "silsilah evolusi kuda." Telah diketahui bahwa urutan silsilah palsu ini tersusun dari sejumlah spesies terpisah yang hidup di zaman yang berbeda dan di wilayah yang berbeda.
        Keenam, Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan fosil yang dikenal sebagai Coelocanth untuk mendukung dongeng khayal peralihan dari air ke darat, sebab makhluk yang dikukuhkan sebagai bentuk peralihan yang punah, ternyata ikan yang menghuni dasar lautan yang kini masih hidup, dan lebih dari 200 ikan hidup dari jenis tersebut hingga kini telah berhasil ditangkap.
        Ketujuh, Darwinisme tidak mampu lagi menyatakan bahwa makhluk hidup seperti Ramapithecus dan serangkaian Australopithecus (A. Bosei, A. Robustus, A. Aferensis, Africanus dan seterusnya) adalah para nenek moyang manusia. Karena Hasil penelitian terhadap fosil-fosil telah memperlihatkan bahwa semua makhluk ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan manusia dan merupakan spesies-spesies kera sejati yang punah.
        Kedelapan, Darwinisme tidak akan mampu lagi membohongi masyarakat dengan gambar-gambar rekonstruksi [mereka ulang], sebab para ilmuwan telah dengan jelas mengungkapkan bahwa rekonstruksi yang didasarkan pada sisa-sisa tubuh hewan yang pernah hidup di masa lalu itu, tidaklah bernilai ilmiah dan sama sekali tidak dapat dipercaya.
        Kesembilan, Darwinisme tidak mampu lagi mengemukakan "Manusia Piltdown" sebagai bukti bagi evolusi, sebab penelitian menunjukkan bahwa fosil seperti "Manusia Piltdown" tidak pernah ada dan selama 40 tahun masyarakat telah dibohongi dengan sepotong rahang orang hutan yang direkatkan pada sebongkah tengkorak manusia.
        Kesepuluh, Darwinisme tidak dapat lagi menyatakan bahwa "Manusia Nebraska" dan keluarganya membenarkan evolusi, sebab telah dikukuhkan bahwa fosil-fosil gigi geraham yang dijadikan bukti bagi kisah "Manusia Nebraska" ternyata milik sejenis babi liar yang telah punah.
        Kesebelas, Darwinisme tidak lagi mampu menyatakan bahwa seleksi alam mendorong terjadinya evolusi, sebab telah dibuktikan secara ilmiah bahwa mekanisme yang dimaksud tidak dapat menyebabkan makhluk hidup berevolusi dan tidak dapat menyebabkan mereka memperoleh sifat-sifat baru.
          Semua ini terkuak belangnya ketika sains dan teknologi berkembang pesat di abad 20, sehingga gagasan materialisme ala Darwinisme tersebut terpelanting di panggung sejarah keilmuan. Sementara puncak dari keruntuhan hegemoni pembohongan publick yang relatif amat panjang ini, adalah terkuak ketika Pada tahun 1929 di observatorium Mount Wilson California, seorang ahli astronomi Amerika yang bernama Edwin Hubble menggelegarkan sebuah penemuan terbesar di sepanjang sejarah astronomi.
        Penemuan yang dikenal dengan Tori Big Bang, akhirnya menyadarkan para ahli kaliber dunia, di antaranya: Arthur Eddington fisikawan materialis, Sir Fred Hoyle dan Dennis Sciama yang bertahun-tahun menentang Tuhan dengan Teori steady-state, Gerge Gamov yang amat yakin dengan sisa radiasi ledakan yang kemudian ditemukan tanpa sengaja oleh Gerge Gamov. Apalagi Prof. George Abel yang minta ampun atas kehebatan ilmiah ledakan Big Bang, serta Filosof ateis terkenal Antony Flew dan Hugh Ross Ahli astrofisika terkenal, akhirnya yakin dengan paradigma Tuhan. Demikian pula Paul Davis, profesor fisika teori yang melihatnya sebagai ledakan terencana. Tak pelak lagi, Prof. Stephen Hawking dan profesor George Greenstein sang astronomi Amerika sungguh yakin dengan campur tangan supernatural ini.

B. EMILE DURKHEIM  (1856 – 1917)
Emile Durkheim yang lahir Provinsi Lorraine di Prancis Timur dan dibesarkan di tengah keluarga dan komunitas Yahudi ortodoks sebagai anak seorang rabbi, adalah terkenal sebagai tokoh utama dalam perkembangan sosiologi. Ketika sukses gemilang merampungkan studinya di Paris tahun 1882, maka untuk beberapa tahun kemudian Durkheim mengajar filsafat di sejumlah Lycee dan pada Tahun 1887 ia diminta mengajar bidang sosiologi dan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Bordeaux. Durkheim mpertahankan dan menekankan suatu pandangan sosial radikal tentang perilaku manusia sebagai sesuatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur sosial.
Tesis Durkheim dalam “The Division Of Labor In Society” sebenarnya merupakan pembelaan atas modernitas. Menurutnya, surutnya otoritas keyakinan-keyakinan moral tradisional bukanlah indikasi adanya disintegrasi sosial melainkan perubahan sosial, pergeseran historis dari suatu bentuk tatanan sosial yang didasarkan pada keyakinan bersama dan control komunal (solidaritas mekanis) menuju tatanan yang berdasarkan ketergantungan mutual antar-individu yang relative otonom (solidaritas organis).
          Karena itulah, Emile Durkheim merupakan pelopor utama bangkitnya paradigma fakta sosial yang terdiri atas norms, aturan, adat-istiadat, kebiasaan yang kesemuanya berada di luar individu sebagai faktor eksternal. Hal itu, semuanya tertuang ke dalam teori stuktural fungsional, teori konflik, teori system dan teori sosiologi makro. Keempat teori tersebut menyoal tentang studi struktur dan fungsi masyarakat, sehingga mengedepan sebagai sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologis dan para ahli teori kontemporer dewasa ini.
        Karena itu, dalam perspektif paradigma fakta sosial maka sosiologi merupakan studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung. Makanya, fungsionalisme struktural seringkali menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur/lembaga sosial. salah satu ciri sebagai sosiologis positivistis/naturalistis adalah keyakinan akan fenomena sosial yang memiliki pola dan tunduk pada hukum determinsitis sebagaimana layaknya hukum yang mengatur ilmu alam.
        Tradisi rasionalis-positivis diruntuhkan dari dalam oleh Emiler Durkheim, ketika ia mengakui bahwa agama merupakan sebuah realitas sui generis. Ia mengartikan bahwa representasi atau simbol-simbol agama bukanlah hayalan (delusion), dan juga bukan sekedar mengacu kepada fenomena yang lain, seperti kekuatan-kekuatan alam atau (bertentangan dengan sebagian dari interpretasi terhadap karyanya) morfologi sosial. Melainkan, dengan Kantianisme sosialnya, Durkheim berpendapat bahwa repsentasi-representasi agama bersifat konstitutif bagi masyarakat. Representasi agama ada dalam pikiran individu-individu sedemikian rupa sehingga menanamkan dorongan-dororngan egosentris dan mendisiplinkan individu, sehingga ia bisa berhadapan dengan realitas eksternal. Repsentasi bersama itulah, dengan kemampuannya untuk mengarahkan dan mengendalikan motivasi pribadinya yang membuat masyarakat mungkin terwujud.
        Meskipun pemahamannya terhadap motivasi tetap kaku, Durkheim benar-benar memperlihatkan dengan sangat jelas arti penting dari tindakan reigius untuk merangsang individu-individu agar berpartisipasi secara positif dalam kehidupan sosial, serta untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan individu untuk lari dari kehidupan sosial. Atas dasar itulah, maka menurut Bellah (2000) Durkheim, Weber dan Frued serta beberapa ilmuan lainnya dianggap merupakan arsitek pemahaman terhadap agama yang lebih memadai.
Akan tetapi, kajian-kajian kuantitatif yang paling awal dalam sosiologi, Durkheim memperkenalkan sebuah “variabel agama” dalam kajiannya mengenai bunuh diri (suicide)”. Selanjutnya, banyak kajian yang bervariasi dari segi cakupan maupun kualitasnya yang telah memasukkan variabel agama, yang dengan demikian menambah pengetahuan kita tentang ada atau tidak adanya pengaruh agama terhadap beberapa aspek keberadaan masyarakat; namun, masih belum ada sebuah survei yang menyeluruh mengenai hasil-hasil yang sejauh ini telah dicapai.

C. MAX WEBER (1864 – 1920)
Max Weber dilahirkan di Erfurt Jerman pada tanggal 21 April 1864, adalah terkenal dengan Karyanya yang demikian spektakuler  dan kontroversial yakni “The Protestant Ethic and the Sprit Of Capitalism, 1904”. Esai Weber ini acapkali dituduh sebagai uraian mengenai agama secara sempit, atau sebagai metanarasi mengenai ideologi serta pentingnya ide-ide dalam kehidupan sosial. Jika agama dianggap membantu lahirnya kapitalisme, tetapi sebaliknya kapitalisme dianggap menghancurkan agama.
Namun demikian, menurut Weber bangkitnya kapitalisme di Eropa dan Amerika Serikat karena derasnya pengaruh etika calvinis. Dengan demikian, sebaliknya secara tidak langsung juga dapat dimaknai bahwa kemiskinan negara-negara di belahan dunia ketiga, karena nilai-nilai religiusitasnya tidak dapat menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya negara maju dewasa ini.
Akan tatapi, minat terhadap konsekwensi-konsekwensi sosial dari keyakinan dan tindakan religius mungkin sesuai dengan minat terhadap agama itu sendiri. Pada abad ke 16 dalam karyanya Discourses, Machiavelli mengemukakan suatu analisa fungsional terhadap signifikansi politik dari komitmen keagamaan serta masalah-masalah yang terkait dengan pengaruh agama terhadap moralitas pribadi dan solidaritas sosial.
Namun orang yang memberi sumbangan terbesar pada pemahaman sistematis tentang saling kait antara agama dan masyarakat, dan yang merangsang lebih banyak penelitian (baik kuantitatif maupun non-kuantitatif) dibanding sarjana-sarjana yang lain, tidak diragukan lagi adalah Max Weber. Hipotesis satu-satunya yang paling berpengaruh di bidang ini tentu saja adalah tesisnya mengenai pengaruh etika Protestan terhadap kemunculan masyarakat medern. Meskipun argumen dan bukti yang berkembang menyangkut tesis ini terlampau banyak untuk ditinjau. Salah satu kajian mutakhir dari Gerhard Lenski perlu disebut, bukan hanya karena ia menjernihkan tesis etika protestan dalam masyarakat Amerika kontemporer, melainkan juga karena mungkin karena karya tersebut merupakan upaya yang paling berhasil untuk menerapkan metode penelitian survey pada sosiologi agama. Lenski menaruh perhatian pada pengaruh afiliasi-afiliasi dan keyakinan-keyakinan keagamaan atas sikap-sikap terhadap kerja, otoritas pendidikan dan berbagai masalah lain di sebuah kota besar  Amerika. Ia menemukan bahwa pengaruh tersebut besar sekali.
Tampaknya, ide-ide Weber tentang agama non Barat telah diterapkan lebih banyak secara sporadis dan karena horison perbandingan dari soaiologi melebar, sehingga ide-ide tersebut menarik banyak perhatian, termasuk karya Robert N. Bellah dalam karyanya “Beyond Beleief”, Esei esei tentang Agama di Dunia Moderen. Menurutnya, bangkitnya bangsa Jepang karena ada kekuatan nilai dari agama Shinto serta bangkitnya bangsa China karena faktor kekuatan nilai Khonfucu. Tesis Weber pun ternyanta juga melebar ke Republik Indonesia ketika G. Geertz menandaskan bangkitnya Serikat Islam dan Serikat dagang Islam, itu karena pengaruh etos kerja Islam.
Demikianlah bagi Rousseau dan Kant adalah tokoh-tokoh masa peralihan dan keduanya lebih percaya pada sebuah agama yang secara umum masuk akal (a generalized reasonable religion) daripada keyakinan historis apapun, namun mereka melandaskan keyakinan keagamaan mereka lebih pada watak manusia (Rousseau) atau pada diktum-diktum pengalaman etika (Kant), daripada atas dasar argumen-argumen yang murni kgnitif.
    Pendekatan Weber terhadap pengetahuan lebih bersifat uraian bebas dalam kerangka hermeneutis. Ia memasukkan contoh-contoh teladan, tokoh-tokoh sejarah seperti Franklin dan Baxter untuk menggambarkan pendapat bahwa bersamaan dengan kapitalisme muncullah cara hidup baru, atau lebih tepatnya kapitalisme lahir bersama dengan cara hidup yang baru, rasional dan kalkulatif.
Weber memandang dunia sosial niscaya terdiri dari sejumlah wilayah dan etika yang khas. Problem yang menyangkut birokrasi, misalnya adalah bagaimana menjaganya agar tetap berada di wilayahnya semula. Demikian pula halnya dengan praktek-praktek lain. Weber merasa cemas jikalau politik dan kecendikiawanan akan tetap terpisah, bukan karena keduannya tak berkaitan. Namun karena masing-masing mempunyai tujuan sendiri yang berbeda.
Selain itu, Weber adalah seorang pembaharu dan memahami relasi  yang salah antara teori sosial dan kebijakan sosial. Namun demikian, kerasnya kenyataan dunia ini tidak membuatnya berpaling dari politik atau dari kecendikiawan sebagai pilihan-pilihan yang setara. Dengan perkataan lain, Weber adalah seorang ”borjuis beradab” seperti Keynes. Namun hal ini menghalangi untuk menjadi seorang pembaharu. Betapapun, logika teori sosialnya adalah bahwa prospek dari perbedaan kualitatif antara kapitalisme dan sosialisme sebenarnya tidak bisa dikonsepsikan.
        Dalam pandangan weber dan para penganutnya melihat perilaku anak manusia hanya bisa dipahami apabila dijelaskan dari sudut pandang pelakunya sendiri. karena aksi merupakan aktivitas yang dikembangkan secara rasionalitas oleh pelakunya, sehingga dalam konteks ini, maka fakta sosial dianggap sebagai sejumlah realitas yang dikonstruksi melalui interaksi. Namun kemudian, direkonstruksi ke dalam defenisi sosial oleh kaum social contructivist kedalam perspektif etnometodologi, relativisme budaya, fenomenologi, dan argumentatif yang hermeneutik.
        Pendekatan hermeneutik adalah pendekatan untuk memahami obyek (produk prilaku manusia yang berinteraksi atau berkomunikasi) dari sudut pelaku aksi-interaksi sang aktor. Pendekatan ini berasumsi secara paradigmatis bahwa setiap bentuk dan produk perilaku (hukum, bahasa, ekonomi, politik budaya dan tanah), selalu ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati oleh para pelakunya. Dengan demikian, pendekatan hermeneutik atau interpretatif merupakan pendekatan yang hendak melepaskan atau membebaskan kajian dari otoritarianisme kaum positivisme dan strukturalis. Dalam artian, pendekatan ini menganjurkan untuk to learn from the people.
        Sehubungan dengan itu, konteks sosial budaya sebagai gejala supraorganik yang abstrak ketimbang gejala alam yang organik dan anorganik yang konkrit dan empiris. Maka menurut kaum interaksionis bahwa apa yang hidup di dalam alam kepahaman masyarakat harus dipandang selaku aktor sosial yang sesungguhnya, sehingga tugas ilmuwan sosial adalah to learn from the people, bukan to learn about the people.
          Beberapa sosiolog yang mengacu pada pendekatan verstehen ala Weberian yang tergolong sebagai sosiologi humanistis/interpretatif yang tampak lebih mengentengahkan kemanusiaan ketimbang preskripsi metodologis dari ilmu alam. Pertama, Goffman sebagai ahli dramaturgi menggunakan bahasa tamsil dan teater, sehingga melihat manusia sebagai calon bintang yang menyajikan tindakan meyakinkan bagi orang lain. Hal ini berarti ia meninggalkan determinisme struktural fungsional, sehingga disebut seorang interaksionis simbolis. Analisisnya tertuju pada pertunjukan aktor individual dan drama kehidupan merupakan aktor yang mengikuti naskah yang dirancang di tengah lingkungan sosial.
        Kedua, blumer yang menekankan bahwa tindakan bersama yang mampu membentuk struktur atau lembaga hanya mungkin disebabkan oleh interaksi simbolis dengan menggunakan isyarat bahasa by simbol yang berarti makna, obyek yang dibatasi dan ditafsirkan melalui interaksi makna tersebut.
        Ketiga, garfinkel yang terkenal dengan teori etmetodologi menekankan bahwa studi aspek-aspek realitas adalah diterima begitu saja. Para ahli ini berusaha menemukan esensi pegalaman dalam kehidupan sehari-hari dan mereka melihat realitas sehari-hari sebagai hal yang ada dan menyadari kehadiran aktor-aktor secara individual.

PENUTUP
Tampaknya, kajian tentang pemikiran sosiologi merupakan tugas yang amat berat. Pasalnya, di dalam proses  pergumulan pemikiran tersebut tersenandung kekuatan social dalam bentuk revolusi politik yang pernah menggelegar di Prancis pada tahun 1789 serta revolusi industri hingga kemunculan kapitalisme yang pernah melanda masyarakat Eropa di sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20. Demikian pula, yang kemudian diikuti kemunculan sosialisme dan feminsime serta meledaknya fenomena urbanisasi. Lendakan-ledakan social politik dan social ekonomi tersebut sungguh sangat mempengaruhi pemikiran para ilmuawan social ketika itu.
Meskipun Comte dianggap terlalu spekulatif dan metafisis serta dianggap antitesis dengan sosiologi positivisme yang merupakan wacana dan peletak dasar teori sosiologi moderen. Akan tetapi, salah satu prestasi yang paling spektakuler adalah keberhasilan merumuskan tahapan perkembangan pemikiran, yaitu: (1) Tahap teologi (Mitologi); (2) Tahap metafisik (Ideologi); dan (3) Tahap positif atau ilmiah (Ilmu).
Spencer juga menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri, sehingga Spencer dianggap memiliki seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Karena pada awalnya gagasannya tampak sukses gemilang, meskipun kemudian menjadi redup karena mengalami kevakuman selama beberapa tahun. Akan tetapi, melejit kembali ketika menjelma teori sosiologi yang beraliran “neo-evolusionisme”.
        Materialisme sebagai sistem berpikir yang bersumber dari Yunani Kuno, pada gilirannya teori dan konsep-konsep Darwin yang menjadi landasan ilmiah serta merupakan instrumen kebiadaban para pemimpin otoriter, membuahkan sebelas mantra hitam Darwinisme sebagai kebohongan dan kepalsuan yang baru terbongkar ketika memasuki abad ke-20 (www.harunyahya.com). Besar dugaan, kebohongan itulah yang kini melekat dalam pemikiran ilmuan, terutama bagi pecandu Darwinisme sosial dan para politikus yang bergentayangan di panggung sandiwara politik dewasa ini.
Tampaknya, kajian-kajian kuantitatif yang paling awal dalam sosiologi, Durkheim memperkenalkan sebuah “variabel agama” dalam kajiannya mengenai bunuh diri (suicide)”. Selanjutnya, banyak kajian yang bervariasi dari segi cakupan maupun kualitasnya yang telah memasukkan variabel agama, yang dengan demikian menambah pengetahuan kita tentang ada atau tidak adanya pengaruh agama terhadap beberapa aspek keberadaan masyarakat; namun, masih belum ada sebuah survei yang menyeluruh mengenai hasil-hasil yang sejauh ini telah dicapai.
Akhirnya, Weber dan para penganutnya melihat perilaku anak manusia hanya bisa dipahami apabila dijelaskan dari sudut pandang pelakunya sendiri. karena aksi merupakan aktivitas yang dikembangkan secara rasionalitas oleh pelakunya, sehingga dalam konteks ini, maka fakta sosial dianggap sebagai sejumlah realitas yang dikonstruksi melalui interaksi. Namun kemudian, direkonstruksi ke dalam defenisi sosial oleh kaum social contructivist.

DAFTAR PUSTAKA

Bellah, N. Robert, Beyond Belief, Menentukan Kembali Agama, Esei-Esei Tentang Agama Di Dunia Moderen, Paramadina, Jakarta, 2000.

Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar, Jokyakarta, 2005.

Gordon, Scott,The History And Philosopy Of Social Science, London And New York

Suyanto, Bogong dan Amal, Khusna, M. (Ed.), Anatomi Perkembangan Teori Sosial, Cetakan Pertama, Aditya Media Publishing, Anggota IKAPI, Malang, 2010.

Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas, Teori Sosiologi Moderen, Edisi Keenam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2010.