Teori Sos Pemb Dan Pedesaan Pak Barlian
Feb 25, 2014
Feb 23, 2014
Jan 4, 2014
TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN AGRIBISNIS MULTINASIONAL
Kajian Atas
Pengembangan Agrobisnis dan Agroindustri Dalam Kerangka Comparative Advantage,
Competitive Advantage, Quality and Quantity Food Security
Oleh
Peribadi
KEPEMIMPINAN:
KUNCI SUKSES GEMILANG
DI RANA KOMPETITIF DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI
PENDAHULUAN
Kebijakan Pembangunan di bidang
pertanian telah sukses gemilang mengubah negara Republik Indonesia dari
pengimpor beras terbesar di dunia pada dekade 1970 menjadi negara yang
berswasembada beras sejak tahun 1984. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan
Kebijakan Pembangunan Nasional sejak tahun 1988, sekonyong-konyong Indonesia
kembali menjadi pengimpor beras sebanyak 5,8 juta ton/tahun. Padahal swasembada
beras telah dapat dipertahankan selama lebih dari sepuluh tahun dan bahkan jumlah
penduduk miskin pun sudah berkurang di pedesaan atau di daerah pertanian. Tak
pelak lagi, ketika krisis ekonomi dan moneter menggelegar pada tahun 1998, pendapatan
perkapita turun lagi menjadi US$ 735. Pada gilirannya, krisis multi dimensional
tersebut, menyebabkan jumlah penduduk miskin yang sudah berkurang dari 70 juta
orang (60% dari penduduk Indonesia) pada tahun 1970 menjadi 25 juta orang (14%
dari penduduk Indonesia) pada 1997, kembali meningkat melebihi angka 60 juta
orang (29 % dari penduduk Indonesia) pada
tahun 1999.
Hal ini terjadi, karena faktor produktivitas
yang rendah, lahan pertanian yang sempit, harga hasil pertanian yang fluktuatif
serta kesempatan kerja dan pendapatan di luar dari usaha tani tampak sangat
terbatas. Sementara petani miskin di lahan yang sempit tampak terus saling
memiskinkan, gerah, tidak teratur, dan tidak produktif akibat dari pembiaran
atas segala unsur pemicunya. Keadaan ini dapat dijumpai hampir di seluruh
Indonesia terutama di areal pertanian lahan kering, karena proses pengelolaan lahan
kering yang kurang sesuai, sehingga tidak hanya tingkat produktivitas petani
menurun. Akan tetapi juga membuahkan erosi yang pada gilirannya mengakibatkan
lahan menjadi tidak produktif dan cenderung kritis.
Betapa mencengangkan, karena luas
lahan kritis saat ini saja diperkirakan sudah mencapai lebih dari 60 juta ha
atau lebih dari 30% luas daratan Indonesia (Darori 2006). Tampaknya, erosi
tersebut tidak hanya mengakibatkan berkurangnya lahan produktif. Akan tetapi
juga dapat merusak fungsi hodrologis di bagian hulu hingga menyebabkan banjir ketika
musim hujan serta terjadi kekeringan ketika musim kemarau tiba. Kondisi
obyektif tersebut, tentu saja memaksa para ilmuwan dan pakar pertanian dari
berbagai bidang kajian secara integral untuk merekonstruksi, mereformasi dan
meredefinisi serta merevitalisasi beberapa faktor yang urgen dalam rangka
menggapai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di bidang pembangunan
Jan 3, 2014
SUNGGUH MALU MENJADI PEJABAT
Oleh Peribadi
Seusai
kerja bakti di lingkungan yang kebetulan dihuni oleh penduduk yang umumnya
kategori kelompok sosial menengah ke atas, tiba-tiba saja pada ngelantur
berceloteh ikhwal status sosial pejabat sehubungan dengan lembaga super KPK
yang baru saja terbentuk: “ada baiknya juga kalau tidak jadi pejabat”. Waduh,
memangnya kenapa Pak, saya kira kalau pejabat itu serba terpenuhi kebutuhan
dengan segala fasilitas yang wah. Makanya dipertaruhkan, meskipun dengan menempuh
pelbagai macam cara yang haram sekalipun. Ya, karena
gara-gara itulah, sehingga mereka memboyong piala negara koruptor kelas kakap.
Apa mereka merasa sebagai biangkladi prestasi yang amat memalukan itu ? Saya
kira, mereka pura-pura tidak tahu saja, dan dengan terbentuknya KPK ini,
berarti disamping banyak investasi siluman, juga sekaligus dilegatimisasi
sebagai pejabat koruptor. Okelah, tetapi apakah lembaga yang satu ini mampu
mengungkap dan menyelesaikan KKN di republik ini ? Tidak mungkin, karena beberapa
lembaga sebelumnya tampak layu sebelum berkembang, dan anggota KPK ini belum pasti luput dari metode perampokan
berdasi khan ?” Demikian sambung-menyambung dan silih berganti komentar pelipur
lelah seusai kerja bakti ketika itu.
Saya kira inti persoalannya,
selain karena kita memang sudah kelabakan berhadapan dengan penyamung harta
karung negara, juga dikandung maksud merakit “budaya malu” yang berserakan di
sana-sini. Masih adakah yang terbesit rasa malu di lubuk hati terdalam bagi
mereka yang nota-bene pejabat itu ? Tentu saja ada, tetapi masyarakat khan
tidak menganggap bahwa pejabat bukan merupakan status sosial yang memalukan,
dan bahkan sebaliknya, yakni membanggakan.
KEMERDEKAAN BERBELANJA: Refleksi HUT Kemerdekaan RI
Oleh Peribadi
Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Pemerhati Pemiskinan
Kami bebas belanja produk dalam negeri, karena saya sebagai individu, komunitas, masyarakat, dan bangsa yang merdeka. Yang pasti, kita bebas menentukan pilihan dan keinginan kita sendiri, meskipun kita terus dicekoking dengan iklan glomour. “saya pilih produk dalam negeri, karena saya cinta Indonesia” – kata Surya Palo dalam setiap saat penayangan iklan sebagai upaya mengajak kita memulai mencintai produk dalam negeri. Tentu saja selain cinta negeri sendiri dengan segala hasil karyanya, juga karena saya merdeka menentukan pilihan untuk memenuhi pelbagai jenis kebutuhan hidup sehari-hari. Pasalnya, hampir kita semua, terutama kaum menengah ke atas tampak amat gandrung dan bahkan mungkin tidak bisa merasa hidup bahagia, kalau tidak dijejali dengan produk-produk luar negeri. Lebih dari itu, mungkin pula AS dan negara Eropa pada umumnya telah menjadi kiblat kebanggaan tersendiri bagi orang-orang yang telah teracuni otak dan nuraninya dengan globalisasi dan gombalisasi penjajahan pemikiran.
Jika demikian, upaya yang amat fundamentil dan mendesak untuk segera dilakukan dan digembor-digemborkan, adalah selain produsen kita harus berpacu menumbuh-kembangkan kualitas dan kuantitas produk dalam negeri, juga para pioner pencinta Indonesia harus berupaya keras dan tak boleh kenal lelah untuk membangkitkan kesadaran idiologis konsumen untuk melakukan program “hijrah berbelanja” dari produk luar negeri yang telah memperkaya produsen (Baca: kaum kapitalis), beralih ke produk dalam negeri sebagai upaya mengikis kemiskinan dan pemiskinan produsen dalam negeri, serta sekaligus bahu-membahu untuk mengangkat derajat kemerdekaan ekonomi rakyat (Baca: ekonomi santri dan umat) yang terpuruk hingga saat ini.
POLANTAS PROFESIONAL DI BENAK MASYARAKAT
Oleh
Peribadi
(Staf Pengajar FISIP Unhalu Kendari-Sultra)
Betapa
menarik ketika kita mendengar anggota Polisi Lalu Lintas (Polantas) memberi
nasehat kepada para pengendara roda dua dan roda empat, terutama kepada mereka yang
melakukan pelanggaran lalu lintas. Sungguh patut diacungi jempol dan
bahkan sangat perlu diberi penghargaan kepada mereka yang berdiri seharian di
tengah terik matahari nan panas itu. Betapa tidak, selain arus lalu lintas
jalanan dapat berlangsung kondusif, sehingga suasana perjalanan berlangsung
aman dan nyaman. Tentu pula warga masyarakat senantiasa merasa terayomi oleh
petugas lalu lintas yang setiap saat menempati posisi siap siaga.
Mungkin memang banyak hal
positif yang membuat warga masyarakat terkagum-kagum mendengar dan melihat life
style seorang aparat kepolisian ketika sedang memakai seragam lengkap dan
tak pelak lagi ketika melaksanakan tugas dengan penuh disiplin. Boleh jadi
ikhwal ini pula yang menjadi motivasi bagi kebanyakan orang tua, sehingga
berupaya maksimal mendaftarkan anak-anaknya menjadi anggota kepolisian,
sekalipun terpaksa harus mengorbankan sesuatu yang selama ini sangat vital bagi
sumber penghidupan sosial ekonomi rumah tangganya.
REFLEKSI LEMBAGA PEMBERDAYAAN DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh
Peribadi
Tampaknya,
P2KP/NUSSP dan para aktivis berikut para relawannya diperhadapkan dengan
beberapa peluang dan tantangan dalam mengembangkan misi kemanusiannya. Hal ini
penulis deskripsikan sehubungan dengan hasil studi lapang dari Tim Evaluasi
Bappeda Kota Kendari Tahun 2007 lalu.
Pertama, pada tingkat struktural dan kelembagaan, diperhadapkan
dengan beberapa indikator kemiskinan yang cukup tarasa mempengaruhi proses pengambilan
kebijakan. Hal itu tidak dapat dipungkiri, hingga kini masih tetap menjadi
persoalan bagi lembaga P2KP/NUSSP dan sejenisnya, meskipun telah terjadi perubahan
mendasar dalam konteks paradigma dan pendekatan.
Sementara
pada tataran masyarakat sebagaimana diakui oleh beberapa stakeholders, ada kecenderungan warga masyarakat melihat dan menganggap berbagai bantuan
kemiskinan itu merupakan bentuk pemberian cuma-cuma (gratis/puso), sehingga
tidak hanya dianggap kurang penting untuk segera dikembalikan. Akan tetapi,
juga berakibat pada proses terciptanya rasa ketergantungan dari berbagai
bantuan dimaksud.
Menurut
beberapa informan bahwa hal ini terjadi, karena selama ini masyarakat
memperoleh bantuan sejenis IDT dan JPS di kurun waktu Orba serta sejenis
raskin, kompensasi BBM, dan bantuan eksodus di zaman reformasi kini. Namun
karena bantuan yang disuguhkan selama ini tidak bersifat ”antibiotik”, sehingga
berujung pada terciptanya gejala ketergantungan, dan bahkan boleh jadi juga
membuahkan keserakahan bagi orang-orang yang cekatan menggunakan “kesempatan
dalam kesempitan”. Dalam artian, ada gejala yang berkembang bahwa kalau pada
masa lalu orang malu-malu digelar orang miskin. Maka kini, ada kecenderungan orang-orang
kepingin dikategorikan sebagai orang miskin, karena mengharapkan ”durian runtuh
dari pohonnya” seketika.
Jan 2, 2014
SADARKAN DIRI, DAN BANGKITLAH ! Renungan Atas Hari Kebangkitan Nasional 2003
Oleh Peribadi
Adalah cukup menyentak juga ketika virus need for Achievement yang dimaksudkan Mc Cleland untuk menyuntikkan dan sekaligus menularkan virus berprestasi dalam rangka membangkitkan kemandirian berwiraswasta. Namun yang terjadi kemudian, adalah bangkitnya gejolak hawa nafsu berbelanja di tengah hutan belantara konsumerisme dewasa ini. Hal ini berarti, upaya penularan memang tampak gemilang menjangkitkan virus keserakahan untuk mengundangkan investasi serta sukses menancapkan virus menghambur-hamburkan uang yang mungkin tidak jelas asal-usulnya itu.
Jika demikian, kita pun harus berupaya menjalarkan sebuah “virus” yang dapat mendobrak nafsu kebangkitan berprestasi serta nafsu mengembalikan semua uang misteri yang telah kita peroleh dengan strategi “KKN”. Seiring dengan itu, kita pun tengah membutuhkan resep pencekal nafsu perebutan status position yang tampak begitu ambisius untuk merenggut dan menduduki “kursi panas”. Karena faktor keambisian inilah yang menjadi penyebab malapetaka diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga serta kerabat dan para koleganya.
Karena itu, marilah, di tengah kita memperingati “Hari Kebangkitan Nasional 2003 ini, kita mulai mengajak diri kita sendiri dan orang lain untuk bangkit mencerahkan masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini. Bangkitlah bangsaku Indonesia, tanah airku Indonesia dan bahasaku Indonesia; Bangkitlah, sebagai bangsa Indonesia yang bersatu, sebagai tanah tumpah darah yang terbentang bagai permadani di zamrud katulistiwa, dan sebagai bahasa yang indah, halus dan sopan: Bangkitlah, untuk menggilas cemohan orang yang mengklaim Indonesiaku sebagai negara terjajah, tanah air yang terinjak dan sebagai bangsa yang diperbudak: Bangkitlah, sebagai manusia Indonesia yang ulet dan unggul; Bangkitlah, sebagai masyarakat yang beradab dan berpradaban;
Bangkit dan bangkitlah di kitaran alam yang penuh intan dan berlian dan pelbagai kekayaan alam lain yang terkandung di dalamnya; Marilah kita berpacu untuk mengentaskan semua kebangkrutan yang melingkari kehidupan manusia Indonesia dengan sebuah prestasi yang mampu menyelamatkan kepincangan negara kita ini. Dengan penuh harap, kiranya kita jangan hanya pandai bangkit untuk menjadi manusia yang hebat berbelanja, apalagi membelanjakan dan menghambur-hamburkan uang negara yang dipinjam dengan bunga setumpuk dan mencekik leher anak cucu kita kini dan akan mendatang.
Coba saja kita bayangkan, akibat dobrakan nafsu angkara murkah yang amat sulit terbendung itu, menyebabkan eksploitasi hutan belantara dan bahkan Prof. Soemitro sebagai seorang bengawan ekonomi mensinyalir sebanyak 30 persen biaya pengembangan hidup sejahtera manusia Indonesia diselewengkan.
Apa yang terjadi kemudian? Dalam artikel saya terdahulu disebutkan, hampir semua yang menjadi milik berharga dan dibanggakan, bahkan terkadang disombongkan, luluh, ludas dan pupus bersama keringnya air mata. Mulai dari kebangkrutan Rupe, deforestasi, abrasi, kesuburan tanah dan aneka ragam tambang dan batubara, sampai pada persoalan dehumanisasi, dekadensi, degradasi budaya serta kebangkrutan martabat, jati diri dan rasa malu. Lebih jauh dari itu kita juga tengah mengalami kebangrutan nasionalisme dan patriotisme.
Kalau kita tidak berani bangkit berprestasi untuk menyingkirkan keberanian kebangkitan menumpuk investasi yang entah “haram atau halal” serta berbelanja di sembarang tempat, maka mungkin tak ada lagi yang patut dibanggakan sebagai bangsa dan negara yang beradab dan kaya-raya.
Memang, kita tidak menghendaki proses revolusi kebangkitan yang spontanitas dengan segala resiko yang mungkin belum siap kita terima. Akan tetapi, kita harus melewati proses tahapan secara evolusioner sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat kita. Hanya saja proses menuju sebuah kebangkitan, harus ditempuh melalui tahapan strategis dan sistemik. Artinya, ada ihwal kehidupan yang harus diskala-prioritaskan untuk digenjot dalam memasuki langkah perubahan selanjutnya. Jangan sampai mendahulukan sesuatu yang ngebor-gebyaran yang sesungguhnya tidak fundamentil.
Kado Khas Untuk Kaum Politisi dan Birokrat: URGENSI PENDEWASAAN POLITIK
Oleh
Peribadi
Ketika menyoal proses pelaksanaan
Pemilu dan Pilkada sebagai pesta demokrasi yang diharap berlangsung kondusif
dan berkualitas, tampaknya memang banyak varian yang akhirnya terpaksa harus ditelaah
secara skeptisisme plus kritisisme, sehingga bisa ditemukan
solusi alternatif untuk keluar dari kemelut sosial politik yang pada dekade
terakhir terasa amat membosankan dan mengecewakan.
Mungkin karena keberadaan demokrasi yang
disinyalir sebagai barang import dari bangsa berbeda budaya dengan kita,
sehingga diperlukan upaya revitalisasi budaya politik untuk membangun fatsun
politik berbasis budaya lokal. Namun yang kerapkali digembor-gemborkan adalah
pentingnya pendidikan politik, sehingga kecerdasan pemilih dan politisi tumbuh
dan berkembang seiring dengan arus demokratisasi.
Boleh jadi demikian bahwa urgensi
pendidikan politik di aras grass root
amat mendesak untuk ditumbuhkembangkan. Akan tetapi, jangan pura-pura dilupakan
dan apalagi sengaja dilupakan bahwa upaya “pendewasaan politik” yang secara
khusus ditujukan kepada politisi pemula dan elite politik, tampak takkala urgensinya.
Dalam artian, upaya penciptaan budaya
politik partisipan dalam konteks demokratisasi yang dimaknai sebagai “the
hight political culture by political
education di aras grass roots”,
memang sangat diperlukan. Namun
proses peningkatan kesadaran politik yang juga dimaknai sebagai the hight
political culture by political
maturity khusus kepada elite politik, termasuk kepada awak-awak
penyelenggara Pemilu/Pilkada yang bernama KPU/KPUD, pun tidak boleh
ditawar-tawar.
KEBANGKRUTAN TOTAL: Renungan HUT Kemerdekaan Ke – 57
Oleh Peribadi
Pemerhati Masalah Pemiskinan
Beberapa Tulisan
Ilmiah Populer Dapat dilihat: www.peribadiunhalu.blogspot.com
Jenis
kebangKrutan apa yang paling tampak jelas mengitari kehidupan kita dewasa ini ?
Terasa amat sulit melacaknya, karena hampir semua yang menjadi milik berharga
dan dibanggakan, bahkan terkadang disombongkan, luluh, ludas dan pupus bersama
keringnya air mata. Mulai dari kebangkrutan Rupe, deforestasi, abrasi,
kesuburan tanah dan aneka ragam tambang dan batubara, sampai pada persoalan
dehumanisasi, dekadensi, degradasi budaya serta kebangKrutan martabat, jati
diri dan rasa malu. Lebih jauh dari itu kita juga tengah mengalami kebangrutan
nasionalisme dan patriotisme.
Jika demikian, apalagi yang patut dibanggakan plus diarogansikan ? Segalanya telah tercampakkan dan terjerembab dalam lautan komoditi yang tidak berujung pangkal. Pertama, uang yang menjadi alat komoditi yang paling fundamental ini tidak hanya dibangkrutkan oleh 16 Taipan Ali Baba yang kabur ke luar negeri. Akan tetapi rupiah yang merupakan nilai tukar ekonomi sangat terpuruk dalam konstalasi mata uang internasional hingga saat ini.
Sialnya, mata uang yang sedang
mengalami kebangKrutan nilai tukar tersebut, pun dibawah lari simata sipit.
Pantas saja founding fathers kita tidak mengizinkan keturunannya menduduki
dan berperan dalam lembaga-lembaga politik yang strategis untuk mengaburkan
semua yang telah digapai para pejuang kita terdahulu. Tentu saja kita kian
berdosa kalau subyektivitas emosional yang logis ini, tidak dipertahankan.
Dalam artian membiarkan atau memberi peluang secara sengaja atau tidak
disadari. Apalagi dengan terpaksa membuka kesempatan, karena insentif dana
siluman yang diobral oleh anak cucu Ali Baba ini.
Sialnya, mata uang yang sedang
mengalami kebangKrutan nilai tukar tersebut, pun dibawah lari simata sipit.
Pantas saja founding fathers kita tidak mengizinkan keturunannya menduduki
dan berperan dalam lembaga-lembaga politik yang strategis untuk mengaburkan
semua yang telah digapai para pejuang kita terdahulu. Tentu saja kita kian
berdosa kalau subyektivitas emosional yang logis ini, tidak dipertahankan.
Dalam artian membiarkan atau memberi peluang secara sengaja atau tidak
disadari. Apalagi dengan terpaksa membuka kesempatan, karena insentif dana
siluman yang diobral oleh anak cucu Ali Baba ini.
Tugas Bedah Disertasi Endriatmo Soetarto
DIALOG KRITIS ANTARA GOLONGAN ELITE DAN WARGA DESA DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA
Di Kabupaten Sumedang
Oleh
Peribadi
PROLOG
Penataan terhadap institusi-institusi formal desa oleh negara telah membawa
fungsi dan tujuan-tujuan institusi yang bersangkutan terkungkung dalam struktur
yang bersifat hirarkhis. Pola penataan yang bersifat korporatis ini menurut
banyak pustaka ilmu-ilmu sosial pada gilirannya telah menggiring golongan elit
desa, dalam hal ini Kepala Desa (Kades) dan aparat jajarannya, lebih terpusat
pikiran dan tindakannya pada kepentingan yang sifatnya bias elitis. Dalam
artian, berbagai praktek penyelenggaraan program pembangunan masyarakat desa tampak
hanya menguntungkan kepentingan elit desa dan menganaktirikan golongan
periferi, sehingga kehidupan mereka terpasung di posisi marginal.
Besar
dugaan bahwa manifestasi dari keberadaan ruang
sosial semi-otonom ini merupakan
refleksi dari keberadaan kelembagaan dan pranata sosial pedesaan yang masih
tersisah. Dalam artian, kehidupan pada masyarakat setempat masih melandasi
dirinya dengan norma moral sosial dengan ciri mengutamakan hubungan-hubungan
primer resiprokal di aras kehidupan kolektif (etos komunal), sehingga kepekaan
sosial (social sensitivisy) masih
mampu merangsang terjalinnya interaksi timbal-balik dalam bentuk dialog kritis
dimaksud.
A. TEORI
DAN KONSEP-KONSEP
Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji kekuatan dan
daya paksa dari sebuah proses korporatisasi kepada institusi-institusi formal
desa bentukan pemerintah yang bersifat hirarkis. Disamping itu, penelitian juga
diarahkan kepada refleksi kemampuan etos
komunal untuk memuncratkan kepekaan sosial, sehingga ruang sosial semi-otomi terwujud
dan berkembang menjadi ajang dialog kritis antar warga dari beragam golongan dengan
Kepala Desa beserta aparat jajarannya.
Maka dalam rangka mengkaji permasalahan
ini, adalah mengacu pada gagasan Habermas (1979) yang menemukan Teori kritis-nya
dari Marx. Habermas mencatat Marx mempertautkan unsur teori (pengetahuan
tentang masyarakat dan sejarah) dan unsur praktis (tindakan dasar manusia
sebagai mahluk sosial) dalam ruang lingkup kerja unsich. Padahal menurut
Habermas karena praksis senantiasa diterangi oleh kesadaran rasional, maka
rasio tidaklah hanya tampak pada kegiatan menaklukkan alam dengan kerja,
melainkan juga dalam proses interaksi simbolik antar subyek (intersubyektif)
dengan bahasa sehari-hari (komunikasi). Dalam konteks ini, Marx dinyatakan
telah gagal mengembangkan gagasannya sebagai teori emansipatif.
Bagi Habermas, tujuan pekerjaan sesungguhnya berada di
luar pekerjaan itu sendiri sebagai tindakan instrumental. Sebaliknya, pada
proses interaksi yang diantarkan secara simbolis menurut bahasa dan mengikuti
norma-norma itu, seharusnya dapat dimengerti, benar, jujur, dan tepat. Keberlakuan
norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama
bahwa kita terikat olehnya. Pada intinya, hubungan antara manusia dengan alam bersifat
asimetris dan interaksi sosial antar sesama manusia bersifat simetris, bukan
hubungan kekuasaan. Interaksi hanya dapat terjadi apabila pihak-pihak yang
bersangkutan saling mengakui kebebasannya dan saling mempercayai.
Berbagai studi telah jelas menjelaskan adanya gejala
keterbelahan moral yang menyertai kinerja institusi-institusi formal desa, seperti
ditunjukkan dalam studi Sajogyo (1972), Tjondronegoro (1984), dan Nordholt
(1987). Betapa tidak, jika pada UU No. 5/79 tentang Pemerintahan Desa secara
implisit memuat nilai moral yang mengedepankan power compliance, maka
pada institusi-isntitusi informal desa yang hendak digantikan perannya oleh
institusi bentukan pemerintah, lebih memuat nilai moral yang mengutamakan need
compliance. Dalam ungkapan yang lebih sloganistis dapat dinyatakan bahwa perkembangan
atas musyawarah dikalahkan oleh kepentingan pembangunan atas perintah, sehingga
modernisasi berjalan tanpa menghasilkan perkembangan (modernization without
development).
Demikian pula secara lebih empirik ditandaskan oleh
Susanto-Sunario (1990) bahwa praktek pengendalian masyarakat (social
engineering) dan pengawasan sosial (social control) merupakan gejala
nyata yang senantiasa menyertai usaha suatu masyarakat untuk mengatur diri
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kaitannya dengan PMD-formal, Kepala Desa dan
jajarannya tampil sebagai elit desa yang mengemban kepentingan Pengendalian Masyarakat
(PM), sedangkan warga desa yang kategori periferi adalah pengemban kepentingan
pengawasan sosial (PS) di aras kehidupan desa. Tentu saja praktek PM yang makin
berciri formal dengan sendirinya akan memerlukan dukungan alat bantu yang
semakin formal pula, seperti sanksi hukum dan perangkat kekuasaan. Sebaliknya,
PS yang didasari dengan bentuk PM-informal tidaklah memiliki alat bantu khas
seperti sanksi hukum apalagi kekuasaan. Konsep PS mengacu pada perilaku
kelompok (group conduct) yang ditujukan untuk menciptakan keselarasan (konformitas),
solidaritas dan memelihara kelangsungan hidup kelompok komunitas yang tata
perilakunya dikukuhkan oleh adat-istiadat setempat.
Secara teoritis dapat dikatakan bahwa perimpitan penuh
antara kepentingan PM yang bersifat formal dengan kepentingan PS yang bersifat
informal memang tidak pernah akan terjadi, sehingga setiap individu atau
kelompok senantiasa akan terdorong untuk mengembangkan saluran-saluran
informalnya yang terletak dalam kehidupan pra-politik. Dalam konteks inilah,
menurut penulis disertasi dapat disejajarkan dengan pengertian ruang sosial
semi-otonom yang dikenal dalam khazanah kepustakaan antropolgi hukum. Dalam
kaitannya dengan konsep rekayasa sosial yang diduga mendasari
pemikirannya adalah hubungan-hubungan sosial rentan terhadap praktek-praktek
pengendalian dan alat yang dipergunakan untuk mencapai kendali adalah hukum
atau aturan-aturan (Lazarfeld dan Reitz, 1975).
Tugas Bedah Disertasi NYOMAN UTARI VIPYANTI
STUDI SOSIAL EKONOMI
TENTANG KETERKAITAN ANTARA MODAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN WILAYAH
Studi Kasus
di Empat Kabupaten Provinsi Bali
Oleh
L A DUPAI DAN PERIBADI
1. PENDEKATAN
METODOLOGIS
Pendekatan
metodologis yang digunakan dalam disertasi tersebut dapat dikategorikan sebagai
pendekatan "mixing methodes" dan “combine
analysis”. Hal itu didasari dengan beberapa alasan:
Pertama, di dalamnya dikembangkan
3 (tiga) hipotesis yang akan diuji dengan analisis kuantitatif dengan menggunakan
analisis statistik non parametrik. Data primer dianalisis dengan mengunakan
analisis non-parametrik agar dapat dideskripsikan secara terinci mengenai
hubungan antar masing-masing indikator dalam konteks variabel rasa percaya,
jaringan kerja dan norma. Sementara hipotesis tentang hubungan antar indikator
tersebut diuji berdasarkan nilai korelasi Spearman. Selain itu, dilakukan pula
uji beda dua sampel yang tidak berhubungan untuk mengetahui apakah dua populasi
memiliki sifat-sifat yang identik. Adapun pernyataan hipotesis dimaksud sebagai
berikut:
1.
Komponen
modal sosial yang dominan dan memberi kontribusi terbesar adalah rasa percaya.
2.
a. Modal sosial menyambung (bridging social capital)
berpengaruh positif terhadap PDRB, dan sebaliknya
modal sosial mengikat (bonding social capital) yang berpengaruh
negatif terhadap PDRB.
b.
Terdapat
hubungan saling mempengaruhi (keterkaitan)
antara
modal sosial dengan kesejahteraan rumah tangga, pembangunan ekonomi wilayah
(IPM), kemiskinan (IKM), output (PDRB), pertumbuhan ekonomi wilayah (Laju PDRB)
dan total faktor produktivitas (TFP).
3.
Strategi
terbaik bagi pemerintah kabupaten, provinsi dan masyarakat dalam upaya
merevitalisasi modal sosial adalah bekerjasama (cooperative).
H0 : mM = mBB
H1 : mM =
mBB
dimana:
mM = rata-rata populasi di wilayah maju
mBB = rata-rata populasi di wilayah belum
berkembang
Hipotesis awal (H0) manyatakan bahwa
rata-rata populasi di wilayah belum berkembang tidak identik dengan rata-rata
di wilayah maju. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah rata-rata populasi di
wilayah maju. Hipotesis tersebut digunakan untuk masing-masing indikator modal
sosial.
Jika probabilitas
lebih besar dari (>) a,
maka H0 diterima
Jika probabilitas lebih kecil dari
(<) a,
maka tidak terdapat cukup bukti untuk
menerima H0
Lebih jauh dari
itu, maka analisis terhadap seluruh variabel secara bersama-sama dilakukan
melalui uji nilai tengah multi variate
(peubah ganda). Pengujian yang digunakan adalah statistik T2
Hoteling yang tersedia dalam proses SPSS. Analisis ini bertujuan menguji
hipotesa berikut:
H0 : Semua indikator modal sosial di wilayah berkembang sama dengan
wilayah maju (m =
m0)
H1 : Setidak-tidaknya ada satu indikator modal sosial yang berbeda
antara wilayah maju dan wilayah belum berkembang (m
≠ m0)
Kriteria pengambilan keputusan adalah:
Jika probabilitas lebih besar dari
(>)a, terima H0
Jika
probabilitas lebih kecil dari (<)a,
tidak terdapat cukup bukti untuk menerima H0.
Kedua, penulis disertasi menggunakan
Pola Pengukuran Indikator (Peubah Manifes) modal sosial di tingkat mikro,
tingkat mezo dan tingkat makro. Misalnya, proses identifikasi modal sosial di
tingkat mikro dilakukan dengan analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap
respons yang diberikan oleh responden melalui jawaban kuesioner yang unit
analisisnya adalah rumah tangga. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data
yang bersifat nominal dan ordinal seperti tingkat pendidikan, kesehatan, rasa
percaya (trust), kesediaan memberi
bantuan. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk data yang bersifat
interval dan rasio seperti besarnya keluarga, pengeluaran rumah tangga, indeks
partisipasi, indeks heterogenitas, kepadatan organisasi, jumlah teman dan
tingkat kontribusi anggota.
Ketiga, penulis disertasi
menggunakan defenisi konseptual dan defenisi operasional dalam konteks
Pembangunan dan Modal Sosial. Adapun konsep pembangunan dalam penelitian ini
dibatasi pada pembangunan manusia yang terdiri dari empat komponen utama,
yaitu: (1) produktivitas (productivity),
(2) keadilan (equity), (3)
keberlanjutan (substainability),
serta (4) pemberdayaan (empowerment).
Konsep pembangunan yang digunakan dalam penelitian ini lebih luas dari konsep
pertumbuhan ekonomi.
Kemudian, modal sosial
sesungguhnya dibedakan atas tiga tipe: (1) modal sosial mengikat (bounding social capital); (2) modal
sosial menyambung (bridging social
capital); dan (3) modal sosial mengait (linking
social capital). Namun demikian, penelitian ini hanya menganalisis modal
sosial yang mengikat dan modal sosial yang menyambung. Konsep modal sosial
dalam penelitian ini mengarah pada konsep modal sosial yang dikembangkan oleh
aliran ekonomi kelembagaan dengan memberikan penekanan khusus pada hubungan
sosial antara modal sosial dan kesejahteraan ekonomi masyarakat serta modal produktif
yang terdiri atas rasa percaya, kemampuan seseorang dalam membangun jaringan
kerja serta kepatuhannya terhadap norma yang berlaku dalam kelompok maupun
masyarakat di sekitarnya.
Batasan rasa
percaya adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat
buruk pada diri kita. Jaringan kerja adalah ikatan formal dan informal yang
dimiliki seseorang yang diproduksi dari jumlah keangotaannya dalam organisasi
serta jumlah teman yang berkeluh kesah kepadanya. Sementara norma adalah
nilai-nilai yang bertujuan membangun kegiatan bersama dan menguntungkan bagi
semua pihak yang diproduksi dari kemudahan menitipkan anak pada tetangga,
memberikan bantuan fisik, uang dan perilaku pembonceng (free rider).
TUGAS MATA KULIAH: FILSAFAT ILMU II
Reviewer:
Peribadi
Atas Tulisan
Scott Gordon
THE HISTORY AND
PHILOSOPY OF SOCIAL SCIENCE, London
and New York
Pada Bab 15
The
Development Of Sociological Theory
Prolog. Menurut Scott Gordon dalam bukunya “The History and Philosopy of Social Science, 1994”, diskusi tentang sejarah pemikiran ilmu sosial dan khususnya tentang perkembangan teori sosiologi, dianggap oleh para ilmuawan sosial sebagai tugas yang sangat berat dan sangat menantang. Hal itupun diakui oleh Turner dalam bukunya “Who’s Araid of the History of Sociology, 1998” dan Ritzer dan Goodman dalam buku “Teori Sosiologi Moderen, 2010”.
Demikian pula, menurut Surbakti dalam mengantar buku “Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial, 2010”. Menurutnya, untuk mengevaluasi suatu teori
sosial diperlukan parameter yang relatif lengkap yang tidak hanya berguna untuk
menilai suatu teori yang dianggap oleh Gordon sebagai proses penelaahan
yang diperhadapkan dengan beberapa kesulitan khusus, sehingga tidak mudah untuk menentukan materi pelajaran sosiologi dengan cara yang berbeda-beda
di antara ilmu-ilmu sosial lainnya.
Akan tetapi, juga menjadi
pedoman untuk mengeidentifikasi isi suatu teori sosial yang bisa memudahkan.
Selain menjadi tugas berat bagi kaum
ilmuawan sosial, juga mereka tak dapat memastikan kapan teori sosiologi itu
lahir. Yang pasti, orang-orang telah memikirkan dan membangun teori tentang
kehidupan sosial sejak zaman paling awal dalam sejarah pemikiran dan
perkembangan teori sosiologi. Meskipun dengan terpaksa harus diakui bahwa jauh
sebelumnya Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah (Lajnah al-Bayan al-Arabi)
telah membahas pengaruh letak geografis (letak bumi) terhadap gejala, perilaku
dan aktivitas masyarakat.
Namun Scott Gordon kemudian menandaskan bahwa tak seorang pun pemikir
abad 17 itu yang menganggap diri mereka sebagai sosiolog, dan bahkan sedikit
sekali di antara mereka itu yang kini dianggap sebagai sosiolog. Namun pada
1800-an kita mulai menemukan pemikir yang secara jelas dapat disebut sosiolog
dan mereka itulah yang menjadi sasaran perhatian dalam tulisan ini.
Dalam konteks ini, kita akan mulai meneliti latar sosial dan gerakan-gerakan
intelektual utama yang mempengaruhi dan membentuk gagasan dan pemikiran mereka.
Karena dalam era inilah sejumlah besar penulis memberikan
kontribusi dalam konteks pengembangan sosiologi modern. Meskipun menurut
Scott Gordon hanya
tiga di antaranya yang tampak melangit atau amat
ternama ketimbang yang lainnya, sehingga khusus bab 15 dalam buku ini kajian difokuskan kepada
mereka itu, yakni Herbert Spencer
sebagai seorang berkebangsaan Inggris,
Emile Durkheim berkebangsaan Prancis,
dan Max Weber
sebagai seorang yang berkebangsaan Jerman.
Memang dalam pandangan Scott Gordon bahwa Saint-Simon
dan Comte juga dianggap cukup penting dalam pengembangan pemikiran sosial pada abad kesembilan belas, tetapi tulisan-tulisan mereka dianggap terlalu
spekulatif dan metafisis serta
dianggap antitesis dengan sosiologi positivisme yang
merupakan wacana dan peletak dasar teori sosiologi moderen.
Karena itu, tradisi
arus utama penelitian sosiologis modern yang terutama berlangsung di Amerika
Serikat, baik dalam bentuk praktikal maupun menjadi sumber inspirasi pengembangan
grand teori sosiologi, kebanyakan sosiologi
tidak merujuk kepada Saint-Simon atau
Comte. Karena secara lebih substantif,
ketika mengkaji perilaku sosial serta
perdebatan metodologis yang demikian panjang mengemuka, maka metodologi Spencer, Durkheim,
dan Weber lebih dianggap efektif dalam mendefinisikan serta mengembangkan banyak konsep yang berguna dalam pengembangan
teoritis serta penelitian empiris ke depan.
A. HERBERT SPENCER (1820-1903)
Spencer yang lahir di Derby, Inggris, 27
April 1820 adalah acapkali disamakan dengan Comte dalam arti pengaruh mereka
terhadap perkembangan teori sosiologi, meski ditemukan beberapa perbedaan
penting di antara mereka. Memang demikian bahwa ada perbedaan penting antara
Spencer dan Comte, tetapi mereka pun mempunyai kesamaan orientasi, atau
setidaknya kesamaan interpretasi dalam menumbuhkembangkan teori sosiologi. Dalam
artian, Comte, Spencer dan Durkheim serta lainnya adalah sama-sama berkomitmen
terhadap pengembangan ilmu sosiologi. Seperti halnya comte, maka Spencer
mempunyai konsep evolusi tentang perkembangan historis, meski pada sisi lain ia
pun mengkritik teori evolusi Comte dengan beberapa alasan.
Menurut Beilharz (2005) bahwa memang agak sulit menggolongkan Spencer
sebagai pemikir konservatif. Sebenarnya, pada awalnya, Spencer lebih tepat
dipandang beraliran politik liberal dan ia tetap memelihara unsur-unsur
liberalisme di sepanjang hidupnya. Tetapi, juga benar bahwa pemikiran Spencer
tumbuh semakin konservatif selama hidupnya, sebagaimana halnya Comte yang juga konservartif.
Spencer sebagai seorang Darwinis Sosial yang menganut pandangan evolusi dan berkeyakinan bahwa kehidupan
masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang makin baik, sehingga
kehidupan masyarakat tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan dari faktor
eksternal yang acapkali memperburuk keadaan. Menurutnya, institusi sosial
seperti halnya tumbuh-tumbuhan dan binatang mampu beradaptasi secara progresif
dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Dengan demikian, berarti Spencer pun
menerima pandangan Darwinian tentang “survival
of the fittest”.
Spencer juga menawarkan teori evolusi
dari masyarakat militan ke masyarakat industri, sehingga Spencer dianggap
memiliki seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Karena pada awalnya
gagasannya tampak sukses gemilang, meskipun kemudian menjadi redup karena
mengalami kevakuman selama beberapa tahun. Akan tetapi, melejit kembali ketika
menjelmah teori sosiologi yang beraliran “neo-evolusionisme”.
Akan tetapi, ternyata, teori dan
konsep-konsep Darwin yang menjadi landasan ilmiah serta merupakan instrumen
kebiadaban para pemimpin otoriter ketika itu hingga penganutnya kini, tampak mengandung 11 (sebelas) mantra
hitam Darwinisme sebagai kebohongan dan kepalsuan yang baru terbongkar
ketika memasuki abad ke-20 (www.harunyahya.com).
Pertama, Darwinisme tidak lagi mampu
mengatakan bahwa protein dapat terbentuk melalui evolusi. Sebab peluang
terbentuknya satu protein saja dengan urutan yang benar secara acak adalah 1 per 10950, sebuah angka yang
menunjukkan kemustahilan secara matematis.
Kedua, Darwinisme tidak lagi merujuk
kepada fosil sebagai bukti terjadinya evolusi. Hal ini karena seluruh
penggalian yang dilakukan dari pertengahan abad ke-19 hingga kini, tak satu pun
dari "bentuk-bentuk peralihan" yang menurut para evolusionis
seharusnya ada dalam jumlah jutaan, ternyata tidak pernah ditemukan. Telah
disadari bahwa ini tidak lain hanyalah sebuah kisah khayalan.
Ketiga, Para evolusionis berputus asa di
hadapan fosil-fosil yang berjumlah tak berhingga yang telah berhasil digali
hingga saat ini. Hal ini disebabkan semua fosil-fosil ini memiliki seluruh
ciri-ciri yang mendukung dan membuktikan penciptaan.
Keempat, Para evolusionis tidak lagi
mampu menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah nenek moyang burung,
sebab penelitian terkini menunjukkan bahwa Archaeopteryx memiliki struktur
anatomi dan otak yang sempurna yang diperlukan untuk terbang. Archaeopteryx
adalah seekor burung sejati, sehingga "dongeng khayal tentang evolusi
burung" tidak lagi dapat dipertahankan keabsahannya.
Kelima, Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan urutan palsu yang dikenal
sebagai "silsilah evolusi kuda." Telah diketahui bahwa urutan
silsilah palsu ini tersusun dari sejumlah spesies terpisah yang hidup di zaman
yang berbeda dan di wilayah yang berbeda.
Keenam, Darwinisme tidak lagi dapat
menggunakan fosil yang dikenal sebagai Coelocanth untuk mendukung
dongeng khayal peralihan dari air ke darat, sebab makhluk yang dikukuhkan
sebagai bentuk peralihan yang punah, ternyata ikan yang menghuni dasar lautan
yang kini masih hidup, dan lebih dari 200 ikan hidup dari jenis tersebut hingga
kini telah berhasil ditangkap.
Ketujuh, Darwinisme tidak mampu lagi
menyatakan bahwa makhluk hidup seperti Ramapithecus dan serangkaian Australopithecus
(A. Bosei, A. Robustus, A. Aferensis, Africanus dan seterusnya) adalah para
nenek moyang manusia. Karena Hasil penelitian terhadap fosil-fosil telah
memperlihatkan bahwa semua makhluk ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan
manusia dan merupakan spesies-spesies kera sejati yang punah.
Kedelapan, Darwinisme tidak akan mampu lagi
membohongi masyarakat dengan gambar-gambar rekonstruksi [mereka ulang], sebab
para ilmuwan telah dengan jelas mengungkapkan bahwa rekonstruksi yang
didasarkan pada sisa-sisa tubuh hewan yang pernah hidup di masa lalu itu,
tidaklah bernilai ilmiah dan sama sekali tidak dapat dipercaya.
Kesembilan, Darwinisme tidak mampu lagi
mengemukakan "Manusia Piltdown" sebagai bukti bagi evolusi,
sebab penelitian menunjukkan bahwa fosil seperti "Manusia Piltdown"
tidak pernah ada dan selama 40 tahun masyarakat telah dibohongi dengan sepotong
rahang orang hutan yang direkatkan pada sebongkah tengkorak manusia.
Kesepuluh, Darwinisme tidak dapat lagi
menyatakan bahwa "Manusia Nebraska" dan keluarganya
membenarkan evolusi, sebab telah dikukuhkan bahwa fosil-fosil gigi geraham yang
dijadikan bukti bagi kisah "Manusia Nebraska" ternyata milik sejenis babi
liar yang telah punah.
Kesebelas, Darwinisme tidak lagi mampu
menyatakan bahwa seleksi alam mendorong terjadinya evolusi, sebab telah
dibuktikan secara ilmiah bahwa mekanisme yang dimaksud tidak dapat menyebabkan
makhluk hidup berevolusi dan tidak dapat menyebabkan mereka memperoleh
sifat-sifat baru.
Semua ini terkuak belangnya
ketika sains dan teknologi berkembang pesat di abad 20, sehingga gagasan
materialisme ala Darwinisme tersebut terpelanting di panggung sejarah keilmuan.
Sementara puncak dari keruntuhan hegemoni pembohongan publick yang relatif amat
panjang ini, adalah terkuak ketika Pada tahun 1929 di observatorium Mount
Wilson California, seorang ahli astronomi Amerika yang bernama Edwin Hubble menggelegarkan
sebuah penemuan terbesar di sepanjang sejarah astronomi.
Penemuan yang dikenal dengan
Tori Big Bang, akhirnya menyadarkan para ahli kaliber dunia, di antaranya:
Arthur Eddington fisikawan materialis, Sir Fred Hoyle dan Dennis Sciama yang
bertahun-tahun menentang Tuhan dengan Teori steady-state, Gerge Gamov yang amat
yakin dengan sisa radiasi ledakan yang kemudian ditemukan tanpa sengaja oleh
Gerge Gamov. Apalagi Prof. George Abel yang minta ampun atas kehebatan ilmiah
ledakan Big Bang, serta Filosof ateis terkenal Antony Flew dan Hugh Ross Ahli
astrofisika terkenal, akhirnya yakin dengan paradigma Tuhan. Demikian pula Paul
Davis, profesor fisika teori yang melihatnya sebagai ledakan terencana. Tak
pelak lagi, Prof. Stephen Hawking dan profesor George Greenstein sang astronomi
Amerika sungguh yakin dengan campur tangan supernatural ini.
B. EMILE DURKHEIM
(1856 – 1917)
Emile Durkheim yang lahir Provinsi Lorraine di Prancis Timur dan dibesarkan
di tengah keluarga dan komunitas Yahudi ortodoks sebagai anak seorang rabbi,
adalah terkenal sebagai tokoh utama dalam perkembangan sosiologi. Ketika sukses
gemilang merampungkan studinya di Paris tahun 1882, maka untuk beberapa tahun
kemudian Durkheim mengajar filsafat di sejumlah Lycee dan pada Tahun 1887 ia
diminta mengajar bidang sosiologi dan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas
Bordeaux. Durkheim mpertahankan dan menekankan suatu pandangan sosial radikal
tentang perilaku manusia sebagai sesuatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur
sosial.
Tesis Durkheim dalam “The Division Of Labor In Society” sebenarnya
merupakan pembelaan atas modernitas. Menurutnya, surutnya otoritas
keyakinan-keyakinan moral tradisional bukanlah indikasi adanya disintegrasi
sosial melainkan perubahan sosial, pergeseran historis dari suatu bentuk
tatanan sosial yang didasarkan pada keyakinan bersama dan control komunal (solidaritas
mekanis) menuju tatanan yang berdasarkan ketergantungan mutual
antar-individu yang relative otonom (solidaritas organis).
Karena itulah, Emile Durkheim merupakan pelopor
utama bangkitnya paradigma fakta sosial yang terdiri atas norms,
aturan, adat-istiadat, kebiasaan yang kesemuanya berada di luar individu
sebagai faktor eksternal. Hal itu, semuanya tertuang ke dalam teori stuktural fungsional, teori
konflik, teori system dan teori sosiologi makro. Keempat teori tersebut menyoal
tentang studi struktur dan fungsi masyarakat, sehingga mengedepan sebagai sebuah
masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologis
dan para ahli teori kontemporer dewasa ini.
Karena itu, dalam perspektif
paradigma fakta sosial maka sosiologi merupakan studi tentang struktur-struktur
sosial sebagai unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Makanya, fungsionalisme struktural seringkali menggunakan konsep sistem ketika
membahas struktur/lembaga sosial. salah satu ciri sebagai sosiologis
positivistis/naturalistis adalah keyakinan akan fenomena sosial yang memiliki
pola dan tunduk pada hukum determinsitis sebagaimana layaknya hukum yang
mengatur ilmu alam.
Tradisi rasionalis-positivis
diruntuhkan dari dalam oleh Emiler Durkheim, ketika ia mengakui bahwa agama
merupakan sebuah realitas sui generis. Ia mengartikan bahwa representasi
atau simbol-simbol agama bukanlah hayalan (delusion), dan juga bukan
sekedar mengacu kepada fenomena yang lain, seperti kekuatan-kekuatan alam atau
(bertentangan dengan sebagian dari interpretasi terhadap karyanya) morfologi
sosial. Melainkan, dengan Kantianisme sosialnya, Durkheim berpendapat bahwa
repsentasi-representasi agama bersifat konstitutif bagi masyarakat.
Representasi agama ada dalam pikiran individu-individu sedemikian rupa sehingga
menanamkan dorongan-dororngan egosentris dan mendisiplinkan individu, sehingga
ia bisa berhadapan dengan realitas eksternal. Repsentasi bersama itulah, dengan
kemampuannya untuk mengarahkan dan mengendalikan motivasi pribadinya yang
membuat masyarakat mungkin terwujud.
Meskipun pemahamannya terhadap
motivasi tetap kaku, Durkheim benar-benar memperlihatkan dengan sangat jelas
arti penting dari tindakan reigius untuk merangsang individu-individu agar
berpartisipasi secara positif dalam kehidupan sosial, serta untuk menghadapi
kecenderungan-kecenderungan individu untuk lari dari kehidupan sosial. Atas
dasar itulah, maka menurut Bellah (2000) Durkheim, Weber dan Frued serta
beberapa ilmuan lainnya dianggap merupakan arsitek pemahaman terhadap agama yang
lebih memadai.
Akan tetapi, kajian-kajian kuantitatif yang paling awal
dalam sosiologi, Durkheim memperkenalkan sebuah “variabel agama” dalam
kajiannya mengenai bunuh diri (suicide)”. Selanjutnya, banyak kajian
yang bervariasi dari segi cakupan maupun kualitasnya yang telah memasukkan
variabel agama, yang dengan demikian menambah pengetahuan kita tentang ada atau
tidak adanya pengaruh agama terhadap beberapa aspek keberadaan masyarakat;
namun, masih belum ada sebuah survei yang menyeluruh mengenai hasil-hasil yang
sejauh ini telah dicapai.
C. MAX WEBER (1864 – 1920)
Max Weber dilahirkan di Erfurt Jerman pada tanggal 21
April 1864, adalah terkenal dengan Karyanya yang demikian spektakuler dan kontroversial yakni “The Protestant
Ethic and the Sprit Of Capitalism, 1904”. Esai Weber ini acapkali dituduh
sebagai uraian mengenai agama secara sempit, atau sebagai metanarasi mengenai
ideologi serta pentingnya ide-ide dalam kehidupan sosial. Jika agama dianggap membantu
lahirnya kapitalisme, tetapi sebaliknya kapitalisme dianggap menghancurkan
agama.
Namun demikian, menurut Weber bangkitnya kapitalisme di
Eropa dan Amerika Serikat karena derasnya pengaruh etika calvinis. Dengan
demikian, sebaliknya secara tidak langsung juga dapat dimaknai bahwa kemiskinan
negara-negara di belahan dunia ketiga, karena nilai-nilai religiusitasnya tidak
dapat menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi untuk tumbuh dan berkembang
sebagaimana layaknya negara maju dewasa ini.
Akan tatapi, minat terhadap konsekwensi-konsekwensi
sosial dari keyakinan dan tindakan religius mungkin sesuai dengan minat
terhadap agama itu sendiri. Pada abad ke 16 dalam karyanya Discourses,
Machiavelli mengemukakan suatu analisa fungsional terhadap signifikansi politik
dari komitmen keagamaan serta masalah-masalah yang terkait dengan pengaruh
agama terhadap moralitas pribadi dan solidaritas sosial.
Namun orang yang memberi sumbangan terbesar pada
pemahaman sistematis tentang saling kait antara agama dan masyarakat, dan yang
merangsang lebih banyak penelitian (baik kuantitatif maupun non-kuantitatif)
dibanding sarjana-sarjana yang lain, tidak diragukan lagi adalah Max Weber.
Hipotesis satu-satunya yang paling berpengaruh di bidang ini tentu saja adalah
tesisnya mengenai pengaruh etika Protestan terhadap kemunculan masyarakat
medern. Meskipun argumen dan bukti yang berkembang menyangkut tesis ini terlampau
banyak untuk ditinjau. Salah satu kajian mutakhir dari Gerhard Lenski perlu
disebut, bukan hanya karena ia menjernihkan tesis etika protestan dalam
masyarakat Amerika kontemporer, melainkan juga karena mungkin karena karya
tersebut merupakan upaya yang paling berhasil untuk menerapkan metode
penelitian survey pada sosiologi agama. Lenski menaruh perhatian pada pengaruh
afiliasi-afiliasi dan keyakinan-keyakinan keagamaan atas sikap-sikap terhadap
kerja, otoritas pendidikan dan berbagai masalah lain di sebuah kota besar Amerika. Ia menemukan bahwa pengaruh tersebut
besar sekali.
Tampaknya, ide-ide Weber tentang agama non Barat telah
diterapkan lebih banyak secara sporadis dan karena horison perbandingan dari
soaiologi melebar, sehingga ide-ide tersebut menarik banyak perhatian, termasuk
karya Robert N. Bellah dalam karyanya “Beyond Beleief”, Esei esei tentang Agama
di Dunia Moderen. Menurutnya, bangkitnya bangsa Jepang karena ada kekuatan
nilai dari agama Shinto serta bangkitnya bangsa China karena faktor kekuatan nilai
Khonfucu. Tesis Weber pun ternyanta juga melebar ke Republik Indonesia ketika
G. Geertz menandaskan bangkitnya Serikat Islam dan Serikat dagang Islam, itu
karena pengaruh etos kerja Islam.
Demikianlah bagi Rousseau dan Kant adalah tokoh-tokoh
masa peralihan dan keduanya lebih percaya pada sebuah agama yang secara umum
masuk akal (a generalized reasonable religion) daripada keyakinan
historis apapun, namun mereka melandaskan keyakinan keagamaan mereka lebih pada
watak manusia (Rousseau) atau pada diktum-diktum pengalaman etika (Kant),
daripada atas dasar argumen-argumen yang murni kgnitif.
Pendekatan Weber terhadap pengetahuan
lebih bersifat uraian bebas dalam kerangka hermeneutis. Ia memasukkan
contoh-contoh teladan, tokoh-tokoh sejarah seperti Franklin dan Baxter untuk
menggambarkan pendapat bahwa bersamaan dengan kapitalisme muncullah cara hidup
baru, atau lebih tepatnya kapitalisme lahir bersama dengan cara hidup yang
baru, rasional dan kalkulatif.
Weber memandang dunia sosial niscaya terdiri dari sejumlah
wilayah dan etika yang khas. Problem yang menyangkut birokrasi, misalnya adalah
bagaimana menjaganya agar tetap berada di wilayahnya semula. Demikian pula
halnya dengan praktek-praktek lain. Weber merasa cemas jikalau politik dan
kecendikiawanan akan tetap terpisah, bukan karena keduannya tak berkaitan. Namun
karena masing-masing mempunyai tujuan sendiri yang berbeda.
Selain itu, Weber adalah seorang pembaharu dan memahami
relasi yang salah antara teori sosial
dan kebijakan sosial. Namun demikian, kerasnya kenyataan dunia ini tidak
membuatnya berpaling dari politik atau dari kecendikiawan sebagai
pilihan-pilihan yang setara. Dengan perkataan lain, Weber adalah seorang ”borjuis
beradab” seperti Keynes. Namun hal ini menghalangi untuk menjadi seorang
pembaharu. Betapapun, logika teori sosialnya adalah bahwa prospek dari
perbedaan kualitatif antara kapitalisme dan sosialisme sebenarnya tidak bisa
dikonsepsikan.
Dalam pandangan weber dan para
penganutnya melihat perilaku anak manusia hanya bisa dipahami apabila
dijelaskan dari sudut pandang pelakunya sendiri. karena aksi merupakan
aktivitas yang dikembangkan secara rasionalitas oleh pelakunya, sehingga dalam
konteks ini, maka fakta sosial dianggap sebagai sejumlah realitas yang
dikonstruksi melalui interaksi. Namun kemudian, direkonstruksi ke dalam
defenisi sosial oleh kaum social contructivist kedalam perspektif
etnometodologi, relativisme budaya, fenomenologi, dan argumentatif yang
hermeneutik.
Pendekatan hermeneutik adalah
pendekatan untuk memahami obyek (produk prilaku manusia yang berinteraksi atau
berkomunikasi) dari sudut pelaku aksi-interaksi sang aktor. Pendekatan ini
berasumsi secara paradigmatis bahwa setiap bentuk dan produk perilaku (hukum,
bahasa, ekonomi, politik budaya dan tanah), selalu ditentukan oleh interpretasi
yang dibuat dan disepakati oleh para pelakunya. Dengan demikian, pendekatan
hermeneutik atau interpretatif merupakan pendekatan yang hendak melepaskan atau
membebaskan kajian dari otoritarianisme kaum positivisme dan strukturalis. Dalam artian, pendekatan ini menganjurkan untuk to
learn from the people.
Sehubungan dengan itu, konteks sosial
budaya sebagai gejala supraorganik
yang abstrak ketimbang gejala alam yang organik dan anorganik
yang konkrit dan empiris. Maka menurut kaum interaksionis bahwa apa yang hidup
di dalam alam kepahaman masyarakat harus dipandang selaku aktor sosial yang
sesungguhnya, sehingga tugas ilmuwan sosial adalah to learn from the people, bukan to
learn about the people.
Beberapa sosiolog yang mengacu pada pendekatan verstehen ala
Weberian yang tergolong sebagai sosiologi humanistis/interpretatif yang tampak
lebih mengentengahkan kemanusiaan ketimbang preskripsi metodologis dari ilmu
alam. Pertama, Goffman sebagai ahli dramaturgi menggunakan bahasa tamsil dan
teater, sehingga melihat manusia sebagai calon bintang yang menyajikan tindakan
meyakinkan bagi orang lain. Hal ini berarti ia meninggalkan determinisme
struktural fungsional, sehingga disebut seorang interaksionis simbolis. Analisisnya
tertuju pada pertunjukan aktor individual dan drama kehidupan merupakan aktor
yang mengikuti naskah yang dirancang di tengah lingkungan sosial.
Kedua, blumer yang menekankan bahwa tindakan
bersama yang mampu membentuk struktur atau lembaga hanya mungkin disebabkan oleh
interaksi simbolis dengan menggunakan isyarat bahasa by simbol yang berarti
makna, obyek yang dibatasi dan ditafsirkan melalui interaksi makna tersebut.
Ketiga, garfinkel yang terkenal dengan
teori etmetodologi menekankan bahwa studi aspek-aspek realitas adalah diterima
begitu saja. Para ahli ini berusaha menemukan
esensi pegalaman dalam kehidupan sehari-hari dan mereka melihat realitas
sehari-hari sebagai hal yang ada dan menyadari kehadiran aktor-aktor secara
individual.
PENUTUP
Tampaknya, kajian tentang pemikiran sosiologi
merupakan tugas yang amat berat. Pasalnya, di dalam proses pergumulan pemikiran tersebut tersenandung
kekuatan social dalam bentuk revolusi politik yang pernah menggelegar di
Prancis pada tahun 1789 serta revolusi industri hingga kemunculan kapitalisme
yang pernah melanda masyarakat Eropa di sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Demikian pula, yang kemudian diikuti kemunculan sosialisme dan feminsime serta
meledaknya fenomena urbanisasi. Lendakan-ledakan social politik dan social
ekonomi tersebut sungguh sangat mempengaruhi pemikiran para ilmuawan social
ketika itu.
Meskipun
Comte dianggap terlalu spekulatif dan metafisis serta dianggap
antitesis dengan sosiologi positivisme yang merupakan
wacana dan peletak dasar teori sosiologi moderen. Akan tetapi, salah satu
prestasi yang paling spektakuler adalah keberhasilan merumuskan tahapan
perkembangan pemikiran, yaitu: (1) Tahap teologi (Mitologi); (2) Tahap metafisik (Ideologi);
dan (3) Tahap positif atau ilmiah (Ilmu).
Spencer juga menawarkan
teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri, sehingga Spencer
dianggap memiliki seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Karena pada awalnya
gagasannya tampak sukses gemilang, meskipun kemudian menjadi redup karena
mengalami kevakuman selama beberapa tahun. Akan tetapi, melejit kembali ketika
menjelma teori sosiologi yang beraliran “neo-evolusionisme”.
Materialisme
sebagai sistem berpikir yang bersumber dari Yunani Kuno, pada gilirannya teori
dan konsep-konsep Darwin yang menjadi landasan ilmiah serta merupakan instrumen
kebiadaban para pemimpin otoriter, membuahkan sebelas mantra hitam
Darwinisme sebagai kebohongan dan kepalsuan yang baru terbongkar ketika
memasuki abad ke-20 (www.harunyahya.com). Besar dugaan,
kebohongan itulah yang kini melekat dalam pemikiran ilmuan, terutama bagi
pecandu Darwinisme sosial dan para politikus yang bergentayangan di panggung
sandiwara politik dewasa ini.
Tampaknya,
kajian-kajian kuantitatif yang paling awal dalam sosiologi, Durkheim
memperkenalkan sebuah “variabel agama” dalam kajiannya mengenai bunuh diri (suicide)”.
Selanjutnya, banyak kajian yang bervariasi dari segi cakupan maupun kualitasnya
yang telah memasukkan variabel agama, yang dengan demikian menambah pengetahuan
kita tentang ada atau tidak adanya pengaruh agama terhadap beberapa aspek
keberadaan masyarakat; namun, masih belum ada sebuah survei yang menyeluruh
mengenai hasil-hasil yang sejauh ini telah dicapai.
Akhirnya, Weber dan para penganutnya melihat perilaku anak
manusia hanya bisa dipahami apabila dijelaskan dari sudut pandang pelakunya
sendiri. karena aksi merupakan aktivitas yang dikembangkan secara rasionalitas
oleh pelakunya, sehingga dalam konteks ini, maka fakta sosial dianggap sebagai
sejumlah realitas yang dikonstruksi melalui interaksi. Namun kemudian,
direkonstruksi ke dalam defenisi sosial oleh kaum social contructivist.
DAFTAR PUSTAKA
Bellah, N. Robert, Beyond Belief,
Menentukan Kembali Agama, Esei-Esei Tentang Agama Di Dunia Moderen, Paramadina,
Jakarta, 2000.
Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial,
Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar, Jokyakarta,
2005.
Gordon, Scott,The History And Philosopy Of Social
Science, London
And New York
Suyanto, Bogong dan Amal, Khusna, M.
(Ed.), Anatomi Perkembangan Teori Sosial, Cetakan Pertama, Aditya Media Publishing, Anggota IKAPI,
Malang, 2010.
Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas,
Teori Sosiologi Moderen, Edisi Keenam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2010.
Subscribe to:
Posts (Atom)