Dec 25, 2018
LALU LINTAS KEHIDUPAN: Sebuah Bunga Rampai Transformasi Sosial
Dec 4, 2018
TOWARDS PROFETIC METHODOLOGY: An Initial Idea
Oleh: Peribadi
A paper presented at the forum
Indonesia Qualitative Research
Colloquim (IQRA 2018) & Iqra Researcher Award 2018,
Telkom University Bandung, 3 -
4 Desember 2018
The Lecturer of Literary
Department of Sociology Study Faculty Halu Oleo University, Southeast Sulawesi, Indonesia.
Abstract. The methodological
discourse of this narrative is a reflection of thought that comes from the
results of the author's dissertation. The use of a qualitative approach base on
the constructivism paradigm is intended to develop metaphysical moral truths as
a major premise through the philosophy of deductive phenomenology version of Karl
Raimun Popper. Methodological design which questions deductive probalistic
truths on metaphysical moral truths through analysis of phenomenological
philosophy based on interpretive data, interpretive validity, interpretive
analysis and interpretive conclusions, in turn illustrates holistic conclusions
and essential truths. However, when probabilistic theory is used as a deductive
proof that shows the universal truth theory in the position of the deductive
logic of set theory, then at that time an initial idea towards the
PropheticMethodology was then reflected in this article.
Keywords: Discourse,
Methodology, Constructivism and Prophetic
Nov 29, 2018
REVIEW BUKU IBN KHALDUN
PENULIS : SAYED FARED ALATAS
REVIEWER: PERIBADI
BAB 1
AUTOBIOGRAFI IBN KHALDUN
Kehidupan Ibn Khaldun lebih mudah dibagi menjadi tiga babak.
Pertama, masa kecilnya dan pendidikannya, berlangsung selama 20 tahun. Babak
kedua, kira-kira selama 23 tahun, merupakan masa kelanjutan belajarnnya dan
aktivitasnnya diranah politik. Babak ketiga, selama 31 tahun terakhirnnya, ia
bekerja sebagai seorang ilmuwan, guru, dan hakim. Ia menjalani dua babak
pertama di Maghribi dan babak ketigannya di antara Maghribi dan Mesir.
Ibn Khakdun menulis sejak akil balig,
ia terus belajar secara tekun dan menimba ilmu dan kebajikan dari lingkungan
ilmuwan di sekitarnnya hingga terjadi wabah sampar pada 748 H/1348 M yang
membunuh kebanyakan gurunya serta kedua orang tuannya.
Nov 12, 2018
POLITIK TRANSAKSIONAL DAN ANCAMAN DEMOKRASI LOKAL
By: Peribadi And La Ode Montasir
Prolog. Urgensi nilai-nilai budaya dalam
proses demokratisasi di bangsa dan negara tercinta ini, mungkin saja bukan
hanya karena “citra demokrasi” berasal dari negara dan bangsa yang berbeda
budaya. Akan tetapi, dalam tataran praksis kita tengah diperhadapkan dengan
politisi-politisi bagundal yang terjangkiti candu “narkotika budaya (narkoya)”
dalam kerangka life style yang serba bebas (liberal), tidak
mengenal haram-halal (permisif), dan amat memanjakan hawa nafsu (hedonis).
Oct 28, 2018
Peribadi. The Implementation of Participatory Development Paradigm: A Critical Review Over Poverty Reduction Programs In Kendari City
Departmen of Sociology Science, Faculty of Social and Political Science, University of Halu Oleo, Southeast Sulawesi, Indonesia.
Introduction. When Korten
(1993) introduced
the theory
of
people centered development
that respects the
local
knowledge, lot of interest in research
emerged to formulate development plans based on social capital with a participatory approach. Manifestations of community-based participatory development paradigm had lasted
long enough through the program of Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) and the Urban Poverty Reduction Program (UPRP),
including in the area of Kendari Government. Indeed,
the
poverty rate has declined since 2012 amounted
to 6.4 percent, and even predicted to continue declining until 5.7 percent in 2014 with 76. 81 percent of HDI rate, and unemployment also continued to fall to 3.8 percent (TNP2K/RPRCT
Kendari, 2015). However, the data of poverty rate from the National Program for Urban Community Empowerment (NPUCE) Kendari showed that
it
was
still
remained
25
percent
of poor
households in Kendari (NPUCE Kendari, 2014).
Sep 17, 2018
PRAHARA KEHIDUPAN SOSIAL KAUM AGRARIS (Sebuah Perspektif Fenomenologis)
Gegap gempita pembangunan tidak hanya menggelegar di gelanggang gedung
pencakar langit, tetapi juga membahana di tengah gelombang kehidupan sosial
ekonomi kaum marjinal. Aneka macam bantuan yang telah digelontorkan oleh Pemerintah Pusat berupa BLT, RASKIN, JAMKESMAS,
dana BOS dan PSKS. Tak pelak lagi, program Pemberdayaan Masyarakat dalam bentuk
P2KP, NUSSP, Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), P2FM, PLP-BK,
PNPM-MP, Pengembangan Daerah Tertinggal, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir, Pembangunan Perumahan Swadaya dan Pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR).Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pun mengalirkan Dana Block Grant sebesar 100 juta kepada seluruh wilayah kelurahan/pedesaan se Sulawesi Tenggara. Demikian pula dua program spektakuler dari Pemerintah Kota Kendari yang bernama Persaudaraan Madani dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), kini mendapat apresiasi dari banyak pihak. Lebih dari itu, juga warga komunitas miskin Di Kobupaten Konawe Selatan telah diberi stimulans dalam bentuk pendampingan dari lembaga informal yang concern dengan upaya pemberdayaan.
Ikhwal ini berarti tidak ada
alasan lagi bagi suatu Pemerintah Daerah, khususnya di wilayah Pemerintahan Sulawesi Tenggara untuk tidak sukses menumbuhkembangkan
kehidupan sosial ekonomi warga masyarakatnya. Hal itu telah ditopang
oleh beberapa variabel penting atas peningkatan kesejahtraan sosial ekonomi
masyarakat. Akan tetapi, ketika kita mencoba menyelinap dan berupaya menelusuri
lorong-lorong kehidupan kaum marrjinal di pelosok pedesaan nan jauh di sana,
maka pasti kita akan mendengarkan dengan cukup nyaring rintihan tangis dan duka
nestapa mereka yang bergumul di tengah gelombang laut, di bukit-bukit bebatuan,
di areal persawahan, di bangsal industri percetakan batu merah dan di penggalian
kedalaman pertambangan. Betapa menyesakkan rongga dada, karena ternyata
pembangunan belum bisa keluar dari perangkap retorika universum simbolisme. Sementara kaum elite sosial yang
diamanahi tugas mensejahtrakan rakyatnya, lalulalang mempertontonkan kehidupan
mewah nan menggiurkan. Ampuni Hamba-Mu Duhai Tuhan Kami…!!!
Sep 16, 2018
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BINGKAI MULTIKULTURAL Sebuah Bunga Rampai Kehidupan Sosial
Upaya mengentaskan kembali
kajian cultural Weberian yang kemudian dilengkapi dengan spiritualitas
Khaldunian, maka kajian antologi ini berupaya maksimal merekonstruksi
nilai-nilai pendidikan karakter yang tersenandung dalam bingkai Multikultural
sebagai ESQ Power. Pertama, sesungguhnya tipologi Manusia Ulil Albab dan
Ulil Abshar merupakan tujuan utama berlangsungnya sebuah proses
pendidikan. Dalam konteks ini, selain pendidikan itu harus diarahkan kepada upaya
pengkaderan yang berorientasi manusia Ulil Albab, juga seyogyanya diarahkan kepada
upaya melahirkan manusia-manusia Ulil Abshar.
Kedua, sehubungan dengan itu, kajian
yang
dielaborasi dari Sirah Perjuangan Nabi Muhammad SAW tampak di dalamnya menggambarkan
sebuah paradigma pendidikan Profetik yang berlangsung pada diri seorang anak
manusia yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin peradaban masa depan dunia. Dalam
konteks ini, adalah sebuah paradigma Pendidikan Karakter berbasis ESQ Power
yang dielaborasi dari Ary Ginanjar Agustian. Tulisan tersebut adalah dimaksudkan
untuk membumikan aktualisasi pendidikan Enam Rukun Iman, Lima Rukun Islam dan
Satu Ihsan, sehingga disebut sebagai paradigma 165. Hasilnya, selain secara transparan menempatkan Tuhan sebagai
pusat orbit atau pusat gravitasi kecerdasan intelektual, emosional dan
kecerdasan spiritual yang built in di
dalam tubuh anak cucu adam itu sendiri, juga sebaliknya ke depan, tidak lagi melahirkan
fir’aun-fir’aun modern yang membuat bangsa dan negara yang kaya raya SDA ini
terpelanting menjadi bangsa dan negara yang under development.
Ketiga, untaian reflektif yang akhirnya menyusul
terurai adalah memancar dari beberapa nilai budaya sebagai local wisdom
yang menghuni Jazirah Sulawesi Tenggara. Semuanya menandaskan bahwa urgensi
pendidikan karakter di tengah masyarakat kontemporer yang memancar dari jendela
budaya tak bisa lagi ditawar dan ditanggalkan. Betapa tidak, kini anak manusia
tengah berada dalam lingkaran kehidupan sosial yang sangat rentan dan rawan
dengan aneka faktor eksternal yang membahayakan, sehingga amat dibutuhkan
sebuah paradigma pencerahan alternatif yang strategis dan holistik. Tak pelak
lagi, perilaku kleptokrasi dan kleptomania terus menggelegar seiring
dengan aneka dekonstruksi sosial dalam konteks degradasi, inflasi moral, simbolistis
keagamaan, demo anarkis, tawuran siswa dan pelajar serta aneka bentuk dekadensi
moral lainnya yang mendebarkan.
SOSIOLOGI PASAR
Ruang
sosial perbelanjaan yang bernama pasar tradisional dan pasar modern mencuat ke
permukaan ketika kehidupan anak manusia mulai maju. Dalam konteks ini, ketika
mereka menyadari bahwa berbagai macam kebutuhan tidak mungkin dapat terpenuhi
kalau tidak membangun jalinan hubungan sosial. Maka ketika itulah individu
sebagai warga masyarakat mulai melangsungkan proses saling tukar menukar barang
dalam bentuk pertukaran antara singkong dengan ayam, telur dengan ikan dan
buah-buahan dengan kelapa, serta berbagai jenis barang lainnya. Beranjat dari
itulah, maka bentuk “interaksi barter” tersebut berlanjut ke model interaksi
jual beli dan tindakan komunikasi berbasis uangisme dan berorientasi hedonisme.
Kini,
telah menjelmah sebuah ruang sosial perbelanjaan berupa ”mega-mall, super-mall
dan hiper-mall” dengan aneka pernak-perniknya yang tidak hanya merangsang
bangkitnya perilaku konsumeristis. Akan tetapi, juga sukses gemilang
menghipnotis pengunjung hingga menggiringnya ke dalam sebuah “kerangkeng
fantastis” yang kemudian membuahkan perilaku buruk. Dan menurut Baudrillard
(2006) kebiasaan buruk tersebut harus segera diputuskan (breaking the habit). Pasalnya,
menurut Piliang (1998) bahwa betapa ruang sosial ekonomi perbelanjaan akan
menjelmah menjadi sebuah bentuk realitas semu yang berakibat pada kejahatan,
gelandangan, kemiskinan dan sampah.
Tampaknya,
hasil penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dalam konteks ethnografi
of communication, ethnometodologik dan interaksionisme simbolik ini, mendendangkan
bahwa di balik ruang sosial perbelanjaan tradisional, terdengar isyak tangis
segelintir pelaku sosial ekonomi kerakyatan. Sementara di balik gegap gempita
hipermarket terselubung setumpuk realitas dan hiperealitas yang significant
dengan perilaku konsumtif. Betapa idiologi konsumeristis dengan gilang gemilang
menebarkan “virus penakluk”, sehingga kelas menengah ke atas kian doyan
membelanjakan duitnya. Celakanya, kaum kelas menengah ke bawah pun ikut serta
tergiur untuk mencicipi aneka barang konsumtif itu. Meskipun secara ekonomi,
sesungguhnya mereka belum memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang bernuansa
pecitraan itu.
Pada
gilirannya, hasil konstruksi sosial Super Mall tampak merupakan sebuah bentuk
rasionalitas, namun kemudian menurut Weber (dalam Jhonson, 1985 dan Ritzer
2013) bahwa ikhwal itu membuahkan ketakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the
irrationality of rationality). Karena itulah, ke depan pembangunan pasar tradisional
dan pasar modern harus benar-benar menggunakan pendekatan partisipatif,
sehingga tidak hanya semata-mata berpijak pada keinginan pemerintah dan pemilik
modal yang cenderung tidak manusiawi.
DINAMIKA SOSIAL PERDESAAN: Sebuah Bunga Rampai Kehidupan
Ketika eksistensi
desa dan perdesaan disorot dari empat macam mainstream of
thought sepertinya terlihat perbedaan konseptual, namun sesungguhnya
menunjukkan makna konseptual yang hampir sama. Pertama, masyarakat desa diibaratkan semacam fosil oleh kaum antropologis
sebagai budaya masa lalu yang
tertinggal karena mengalami cultural lag dalam prosesevolusi masyarakat. Kedua,
eksistensi desa dan perdesaan dalam kerangka dikotomi dasar “tradisional/mekanik” versus “modern/organik” menurut tradisi Durkheim serta desa sebagai sesuatu yang menampati “posisi part society with part
culture dalam pandangan Krober. Demikian pula menurut refield yang terkenal dengan istilah part segment.
Ketiga, namun ketika eksistensi desa disorot dari pendekatan Marxian menurut kerangka hubungan kekuasaan (power relations) dalam konteks analisis kelas. Maka masyarakat desa masa kini dianggap sebagai sisa-sisa formasi sosial masa lalu (masyarakat pra-kapitalis”) sebagai kelas yang tereksploitir dalam keseluruhan struktur kekuasaan yang ada. Keempat, akhirnya menurut kaum neo-populis/chayanovian bahwa struktur sosial masyarakat desa ditentukan oleh bekerjanya sistem ekonomi yang khas (a specific type of economy) yang kuncinya terletak pada bekerjanya mekanisme “usaha tani keluarga”.
Keseluruhan mainstream of thought tersebut sesungguhnya hampir menyepakati dan seolah ingin menandaskan bahwa alam pedesaan kita di masa lalu merupakan sebuah perkampungan yang menyatu dengan napas kehidupan warganya. Adalah tak ubahnya sang gadis cantik yang demikian elok dipandang mata, namun menurut teori struktural yang berpangkal pada filsafat materialisme bahwa ketika puteri cantik nan jelita itu mendapat sentuhan ciuman beracun dari sang pangeran tampan, maka seketika itu juga alam pedesaan kita mengalami dinamika sosial dan perubahan budaya dengan berbagai implikasi sosial ekonominya. Betapa kini gejolak deforestase yang berkelindan seiring dengan dekulturisasi despritualisasi dan dehumanisasi beserta aneka bentuk degradasi lainnya, seakan terus membahana ke penjuru bumi persada. Akhirnya, alam perdesaan kita tidak hanya kehilangan satwa serta punahnya keindahan jenis fauna lainnya nan mempesona itu. Akan tetapi, tampaknya warga komunitas perdesaan terasa mulai kehilangan rasa bersatu dengan alam sekitarnya. Padahal alam semesta merupakan bagian integral dari dirinya sendiri, sehingga merusak alam adalah berarti merusak sekunjur tubuhnya. Sungguh menyedihkan, karena hampir semua komponen masyarakat, terutama kaum elite yang diamanahi tugas dan tanggung jawab, seakan tak peduli lagi dengan keselamatan ekosistem dan lingkungan sosial budaya kita.
Ketiga, namun ketika eksistensi desa disorot dari pendekatan Marxian menurut kerangka hubungan kekuasaan (power relations) dalam konteks analisis kelas. Maka masyarakat desa masa kini dianggap sebagai sisa-sisa formasi sosial masa lalu (masyarakat pra-kapitalis”) sebagai kelas yang tereksploitir dalam keseluruhan struktur kekuasaan yang ada. Keempat, akhirnya menurut kaum neo-populis/chayanovian bahwa struktur sosial masyarakat desa ditentukan oleh bekerjanya sistem ekonomi yang khas (a specific type of economy) yang kuncinya terletak pada bekerjanya mekanisme “usaha tani keluarga”.
Keseluruhan mainstream of thought tersebut sesungguhnya hampir menyepakati dan seolah ingin menandaskan bahwa alam pedesaan kita di masa lalu merupakan sebuah perkampungan yang menyatu dengan napas kehidupan warganya. Adalah tak ubahnya sang gadis cantik yang demikian elok dipandang mata, namun menurut teori struktural yang berpangkal pada filsafat materialisme bahwa ketika puteri cantik nan jelita itu mendapat sentuhan ciuman beracun dari sang pangeran tampan, maka seketika itu juga alam pedesaan kita mengalami dinamika sosial dan perubahan budaya dengan berbagai implikasi sosial ekonominya. Betapa kini gejolak deforestase yang berkelindan seiring dengan dekulturisasi despritualisasi dan dehumanisasi beserta aneka bentuk degradasi lainnya, seakan terus membahana ke penjuru bumi persada. Akhirnya, alam perdesaan kita tidak hanya kehilangan satwa serta punahnya keindahan jenis fauna lainnya nan mempesona itu. Akan tetapi, tampaknya warga komunitas perdesaan terasa mulai kehilangan rasa bersatu dengan alam sekitarnya. Padahal alam semesta merupakan bagian integral dari dirinya sendiri, sehingga merusak alam adalah berarti merusak sekunjur tubuhnya. Sungguh menyedihkan, karena hampir semua komponen masyarakat, terutama kaum elite yang diamanahi tugas dan tanggung jawab, seakan tak peduli lagi dengan keselamatan ekosistem dan lingkungan sosial budaya kita.
Reconstruction of Participatory Paradigm Based On ESQ Power: A Strategy of Poverty Over Coming In Kendary City South East Sulawesi
Buku ini merupakan hasil penelitian disertasi Peribadi yang diterbitkan di Lamber Academic Publishing Germany. Secara ringkas, hasil studi kasus menjastifikasi dan melegitimasi bangunan silogisme kebenaran universal yang ditandaskan terdahulu bahwa
“pelaku pembangunan yang memiliki
kecerdasan intelektual spiritual (inteleksi) berbasis ESQ
Power, memiliki
ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial dalam melaksanakan tugas,
peran dan tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya sebagai aktor jaringan Pronangkis
di wilayah Pemerintahan Kota Kendari.
Ketika ditelaah
kritisi dari perspektif teori strukturasi serta beberapa konsep kecerdasan,
maka proses legitimasi dimaksud adalah mengindikasikan: (1) Kurangnya Intelligent
Quotient, karena faktorketidakmampuan aktor dan struktur menyelesaikan
permasalahan di bidangnya masing-masing; (2)Lemahnya Emotional
Quotient, karena faktor tidak transparansi, akomodatif
dan konsistensi; (3)Rendahnya
Creativity Quotient, karena faktor ketidakmampuan merubah ancaman (threat) menjadi tantangan (challange)
hingga menjadi peluang (opportunity) serta belum berhasil
membangkitkan spirit dan selft
confidence; dan (4) Minimnya Spiritual Quotient,karena jaringan aktor belum
sepenuhnya memegang teguh amanah, tidak konsisten (istiqomah)serta
belum dapat melaksanakan tugas, peran dan tanggung jawab berbasis ibadah.
A Strategy of Community Development Based on Prophetic Spirituality
Peribadi, Nasruddin Suyuti, Anwar Hafid, Bahtiar Halu Oleo
University Kendari, INDONESIA.
Abstract
Phenomenologic interpretative paradigm which is
used
in this research is a metaphysical realism approach as a
model of deductive phenomonologic philosophy according
to Karl Raimun Popper (Muhadjir, 2011). Whereas, case
study is the most
proper research to be used
if
the form of the research
question is “why” something
happens (explanation) and the study case is a qualitative research form that enables a dialogue (critical theory) and interaction (constructivism) that can be combined with the expressing
of emique perspectives (Yin, 2008). In this context, why has the
strategy
of community development
actuated
by the actor of poverty
overcoming network under
the protection of
the Team of Regional Poverty
Overcoming
Coordination not been able
to take place integrally and interdependently? In fact, the
Team of Regional Poverty Overcoming Coordination, as a powerful weapon to
overcome the poverty, has been provided with Presidential regulation No. 15 in 2010 and
regulation of Minister for Internal Affairs No. 42 in 2010. It is unavoidable that
the
area of Kendari Town government is also supported by Local Regulation No.8 in 2011.
In the effort of
understanding how far
the implementation of participative development paradigm as
the strategy of community
development has been,
will be explored through two instruments, namely: indepth
interview with informant and skillful validator and
Focus Group Discussion
(FGD) with indigenous
people
Keywords: Community Development,
Prophetic Spirituality
Subscribe to:
Posts (Atom)