PENULIS : SAYED FARED ALATAS
REVIEWER: PERIBADI
BAB 1
AUTOBIOGRAFI IBN KHALDUN
Kehidupan Ibn Khaldun lebih mudah dibagi menjadi tiga babak.
Pertama, masa kecilnya dan pendidikannya, berlangsung selama 20 tahun. Babak
kedua, kira-kira selama 23 tahun, merupakan masa kelanjutan belajarnnya dan
aktivitasnnya diranah politik. Babak ketiga, selama 31 tahun terakhirnnya, ia
bekerja sebagai seorang ilmuwan, guru, dan hakim. Ia menjalani dua babak
pertama di Maghribi dan babak ketigannya di antara Maghribi dan Mesir.
Ibn Khakdun menulis sejak akil balig,
ia terus belajar secara tekun dan menimba ilmu dan kebajikan dari lingkungan
ilmuwan di sekitarnnya hingga terjadi wabah sampar pada 748 H/1348 M yang
membunuh kebanyakan gurunya serta kedua orang tuannya.
Kesempatan pertama Ibn Khaldun yaitu Ibnu
Tafragin menunjuk Ibn Khaldun untuk menjabat sebagai semacam secretariat, yang
bertugas menulis ungkapan “puji syukur kepada Tuhan” di antara basmalah serta
menulis naskah dokumen resmi. Kesempatan kedua Ibn Khaldun diangkat lagi
sebagai penasehat ilmiha, dan dikemudian hari ditunjuk untuk menduduki
jabatan-jabatan lain. Tapi hal ini tidak membuat Ibn Khaldun senang karena itu
bukan merupakan cita-cita yang dinginkan oleh leluhurnnya, akan tetapi ia
senang karena sering bertemu dengan ilmuwan-ilmuwan Maghribi dan Andalusia yang
berkunjung ke istana.
Setelah begitu lama bergelut dalam
bidang politik, akhirnya Ibn Khaldun mengawali babak ketiga kehidupannya yaitu
mengundurkan diri demi ilmu pengetahuan. Setelah empat tahun mengucilkan diri
dan menghasilkan prestasi keilmuwan yang mengagumkan, Ibn Khaldun ingin kembali
ke Tunisia untuk melanjutkan tulisannya tentang sejarah bangsa-bangsa Arab,
Berber, dan Zanata. Dalam fase menulis berikutnnya, ia perlu menggunakan
perpustakaan demi memastikan sumber-sumber historinya. Sumber itu hanya
didapatkan di pusat kota besar. Dalam perjalanan ke Messir, dan bertemu dengan Sultan
al-Barquq, yang memberikan jabatan yang menggiurkan kepadannya. Ia menjelaskan
bagaimana ia harus berjuang melawan system yang korup. Ia berusaha keras
menegakkan hokum yang lemah, mempertimbangkan bukti secara cermat, membersihkan
campur tangan pihak-pihak, dan menguji kejujuran para saksi. Ia menentang
sebuah system yang membiarkan penyelewengan yang dilakukan oleh kroni-kroni
para penguasa dan pembesar. Tapi pada masa itu ia dirundung duka atas meninggal
istri dan anaknya.
Ketenangan hidup yang dinikmati Ibn
Khaldun terusik oleh serangkaian pemberontakan yang mengakibatkan kekalahan
al-Tahir al-Barquq, tetapi kemudian dia
meraih kembali takhtanya. Ibn Khaldun mendiskusikan kejadian-kejadian ini dalam
kerangka yang ditetapkannya dalam Muqaddimah.
Dalam konteks social pemikiran Ibn
Khaldun ada tiga aspek konteks sosio-historisnya, yang pertama adalah latar
belakang historis dari konflik antar-dinasti; yang kedua adalah peran Ibn
Khaldun di dalamya; yang ketiga adalah kesadaran Ibn Khaldun akan peran
leluhurnnya. Ibn Khaldun sangat mengenal sejarah pembentukan dan kejatuhan
Negara-negara di Afrika Utara, termaksud pergantian tiga dinasti di Maroko,
yaitu al-Murabitun (1040-1147 M), al-Muwahhidun (112-1269), dan Mariniyun (1215-1465),
yang didiskusikan secara detail.
Ada faktor-faktor tambahan yang
berperan pada masa Ibn Khaldun yang belum muncul pada masa-masa sebelumnya. Ada
kemerosotan perdagangan emas antara Afrika Utara dan Sudan Barat, dan nada
wabah sampar. Ada isyarat Ibn Khaldun tentang sifat perubahan-perubahan ini
pada masannya. Apapun yang dipikirkan oleh Ibn Khaldun tentang keadaan ekonomi
pada masannya atau kerusakan akibat wabah sampar, ia mungkin tidak
menganggapnya sebagai factor yang merusak kerangka umumnya untuk penelitian
tentang kebangkitan dan kejatuhan Negara. Ia memusatkan perhatiannya pada apa
yang dianggapnya sebagai aspek-aspek universal dari pergantian dinasti.
Tergugahnya Ibn Khaldun untuk mempelajari kebangkitan dan kejatuhan Negara
secara sistematis dan berbagai aspek social mereka dengan apa yang dianggapnya
sebagai pergolakan penting yang diakibatkan oleh wabah sampar itu. Yang
diperhitungkan dalam teorinya adalah abstraksi yang diturunkan dari
pemahamannya yang tajam ihwal sejarah dinamika hubungan antara
masyarakat-menetap dan masyarakat nomaden, serta dampaknya terhadap kebangkitan
dan kejatuhan Negara.
Ibn Khaldun menduduki jabatan penting
di berbagai istana dan dinasti di kawasan Afrika Utara dan Andalusia. Misalnya
pengalaman bekerja sama dengan suku-suku akan memberinya banyak sekali wawasan
tentang watak loyalitas kesukuan, makna dan pentingnnya ashabiyyah dan banyak konsep lainya
yang membentuk kerangka penjelasan teorinya. Tidak seperti ilmuwan lain yang hanya
menjadi penonton dari jarak jauh, Ibn Khaldun secara langsung mengalami dampak
kerusuhan sejarah dinasti, menyaksikan korupsi dan pertengkaran di dalam
istana-istana, dan pernah menjadi korban dalam banyak kejadian.
Ada factor kesadaran Ibn Khaldun dan
kebanggan akan peran leluhurnya dalam politik dan kehidupan intelektual di
Andalusia dan Afrika Utara. Pengalamanya sendiri akan kehidupan politik yang
bergejolak dan juga kesadarannya tentang peran leluhurnnya telah mengembangkan
minat di dalam dirinya untuk memahami watak perubahan sejarah. Ia juga tidak
terlalu antusias dalam jabatan tertentu karena hal itu bukan jenis yang
diidamkan oleh leluhurnnya. Ini menunjukkan bahwa ia diilhami oleh prestasi.
BAB 2
IBN KHALDUN DAN ILMU MASYARAKAT
Ibn Khaldun memulainnya dengan
menyatakan bahwa sejarah dapat dipahami oleh orang terpelajar atau awam. Orang
mampu mengerti sejarah karena di level permukaanya “sejarah tidak lebih dari
informasi tentang perbagai kejadian politik, dinasti-dinasti, dan aneka peristiwa
yang terjadi pada masa lalu, yang disajikan secara anggun, dan dibumbui
kata-kata mutiara. Sejarah di level permukaan atau lahiriyah ini harus
dibedakan dengan makna-batiniah sejarah. Pada tingkat lebih dalam, penulisan
sejarah ”melibatkan spekulasi dan upaya menemukan kebenaran, penjelasan
terperinci tentang sebab-sebab dan asal-usul dari kenyataan yang ada, serta
pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa terjadi.
Karena alasan itulah sejarah harus dianggap sebagai salah satu ranah filsafat.
Ibn Khaldun mengkritik para sejarawan
muslim yang amat tekun mencatat berbagai kejadian bersejarah tetapi
mencapuradukkan fakta dan gossip dan laporan palsu. Gaya penulisan sejarah ini
di ulang-ulang oleh generasi selanjutnnya
yang mengikuti mereka, sehingga laporan-laporan yang ditransmisikan ditambahi
dengan aneka kisah yang tidak masuk akal dan tidak bisa dipercaya.
Karakteristik penulisan sejarah yang dikritiknya adalah :
1.
Gosip dan laporan palsu yang dicampur dengan laporan
factual.
2.
Laporan tentang kejadian bersejarah sering berdasarkan
kesalahan dan dugaan yang serampangan.
3.
Orang yang tidak kompeten terlibat dalam kerja kesarjanaan.
4.
Peniruan buta dalam sejarah diteruskan dari generasi ke
generasi dan diterima begitu saja.
Ibn Khaldun menuding sejarawan-sejarawan yang disebut
terakhir itu sebagai peniru, lamban mengerti, dan bodoh. Mereka hanya
melaporkan fakta-fakta sejarah dari sebuah dinasti tertentu tanpa membedakan
antara kebenaran dan khayalan. Terlebih lagi, mereka gagal menganalisis
asal-asul dinasti, penyebab-penyebab kejayaan mereka, prinsip-prinsip dari
pondasi dan organisasi mereka, penyebab kemunduran mereka, dan factor-faktor
yang menentukan persaingan anta era dinasti-dinasti dan penggantiannya.
Penulisan sejarah semacam ini hannya berisi bentuk-bentuk yang kehilangan
substansinya dan harus dianggap sebagai kebodohan yang menyamar sebagai
pengetahuan. Karya-karya seperti itu hannya menyebut spesies tanpa
mempertimbangkan genus atau direfensiasi di antara mereka.
Ibn Khaldun kemudian menyusun sebuah karya yang menyoroti
keadaan-keadaan yang muncul berkaitan dengan perubahan generasi dan masa. Ibn
Khaldun mencatat bahwa salah satu kelemahan dalam penulisan sejarah adalah
pengabaian fakta bahwa keadaan-keadaan di dalam masyarakat terus berubah dari
masa ke masa, perubahan-perubahan ini menjadi kian terlihat setelah berselang
lama, dan tampaknya hanya beberapa beberapa orang yang mampu menyadarinya.
Pada masa Ibn Khaldun, masyarakat mengalami banyak perubahan
mendasar :
1.
Bangsa Berber digantikan oleh bangsa Arab sebagai kelompok
dominan
2.
Timur dan Barat hancur karena wabah sampar
3.
Wabah sampar terjadi ketika beberapa dinasi mengalami
penurunan, sehingga kian memperlemah kekuasaan dan otoritas mereka
4.
Banyak kota ditinggalkan kosong sehingga menjadi kota mati.
Tujuh
sumber utama kesalahan penulisan sejarah dan justifikasi bagi kelahiran ilmu
baru :
1.
Keberpihakan terhadap pendapat dan aliran tertentu. Jika
seorang sarjana membiarkan dirinya terdikte oleh pendapat atau sekte tertentu,
ia hanya akan menerima informasi yang sejalan dengan pihak yang dibelannya,
sehingga ia ikut menyetujui dan menyebarluaskan kekeliruan.
2.
Keterpercayaan terhadap penyebar informasi itu. Penting
untuk menilai apakah kejadian yang dilaporkan itu memang mungkin atau mustahil
terjadi. Karena apabila ada sebagian tertentu dari informasi sejarah yang tidak
dapat diterima akal, tidak ada gunannya menggunakan pendekatan kritik-perawi
sejak awal.
3.
Kurangnnya kesadaran tentang tujuan kejadian. Banyak perawi
tidak menyadari pentingnya kejadian yang mereka laporkan. Mereka hanya
menduga-duga atau membayagkan maksud informasi itu. Akibatnnya adalah
penyebaran kebohongan.
4.
Anggapan yang tak berdasar terhadap kebenaran suatu
peristiwa. Ini sering terjadi dan terutama akibat ketergantungan pada perawi.
5.
Pengabaian kesesuaian antara keadaan dan konteks kejadian yang
sebenarnnya.
6.
Pamrih, dimana para sejarawan ingin mendapatkan perhatian
atau keuntungan dari penguasa dan pejabat, sehingga informasi yang disampaikan
tidak dapat di percaya.
7.
Yang menyebabkan ketidak jujuran dalam penulisan sejarah
adalah pengabaian atas kondisi masyarakat.
Hal
terpenting yang dibahas dalam Muqaddimah adalah
bahwa masyarakat manusia itu niscaya keberadaanya. Maksudnya adalah manusia itu
secara kodrati bersifat politis dan bahwa mereka tidak dapat dipisahkan dengan
sejenis organisasi social yang dalam istilah filosofi disebut sebagai polis.
Inilah makna organisasi-sosial. Tuhan menciptakkan manusia sedemikian sehingga
mereka harus mendapatkan makanan untuk bertahan hidup. Ada kebutuhan akan
kekuasaan dan otoritas yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai kebutuhan akan
kerajaan. Kerajaan merupakan keniscayan bagi umat manusia dan merupakan
kebutuhan alami. Ibn Khaldun mencatat bahwa filsuf percaya akan keberadaan
kerajaan di dunia hewan, misalnya diantara kalangan lebah dan belalang tetapi
tidak sama dengan kerajaan di kalangan manusia. Kerajaan di dunia hewan
merupakan kecenderungan alami, sedangkan kerajaan di dunia manusia merupakan
hasil kemampuan berfikir dan mengatur.
Ibn
Khaldun juga merujuk ke pandangan para filsuf bahwa kenabian merupakan sifat
alami manusia. Mereka mengatakan bahwa syarat sebuah otoritas untuk melakukan
control atas manusia adalah memenuhi hokum agama seperti yang disampaikan para
nabi. Karena masyarakat adalah keniscayan, dan bahwa kerajaan merupakan sifat
alami manusia, kekuatan apa yang menjelaskan perubahan dari masyarakat namaden
menjadi masyarkat menetap serta kebangkitan dan keruntuhan dinasti-dinasti ? Jawabanya membutuhkan penjelasan tentang
sifat masyarakat nomaden dan masyarakat menetap. Bagian selebihnya dari
masyarakat nomaden, mengulas hal-hal ini. Diskusi Ibn Khaldun tentang
masyarakat nomaden, dinasti, dan otoritas,
masyarakat menetap, ragam mata pencaharian, dan ilmu pengetahuan dapat
direkomendasikan menjadi teori kebangkitan dan
keruntuhan Negara-negara. Untuk-unsur utama teori ini adalah sifat dan
ciri-ciri masyarakat nomaden dan menetap, pengaruh interaksi diantara kedua
masyarakat ini dalam kebangkitan Negara-negara, serta keadaan keduannya yang
menyebabkan penurunan dan keruntuhan Negara.
Focus
dari teori kebangkitan dan kemorosotan Negara-negara adalah pengertian tentang
penyebab kebangkitan dan kemorosotan Negara, yang dijelaskannya dalam terma
perbedaan penting dalam organisasi social antara masyarakat nomaden dan
masyarakat menetap. Ini untuk mempelajari unsur-unsur pembentukan masyarakat,
seperti ekonomi dan lembaga-lembaga perkotaan, Negara, dan solidaritas (ashabiyah). Sebuah konsep sentral untuk memahami
perbedaan-perbedaan ini adalah solidaritas, sejenis perasaan kelompok atau
kohesi social. Dalam teori Ibn Khaldun tentang pembentukan Negara, kelompok
social dengan solidaritas yang kuat dapat mendominasi dan memaksakan aturan
kepada kelompok dengan solidaritas yang lemah. Namun, setelah penaklukkan
sebuah Negara oleh sebuah kelompok
kesukuan, tempat tinggal mereka yang kini di area perkotaan menyebabkan
solidaritasnya menurun, sehingga rentan terhadap serangan dari suku-suku
pedesaan dengan solidaritas yang kuat.
Inilah
unsur-unsur kunci dari sosiologi Ibn Khaldun. Semuannya berhubungan dengan
kebangkitan Negara sebagai akibat dari konflik dan interaksi antara masyarakat
nomaden dan masyarakat menetap serta sifat kedua masyarakat ini yang pada gilirannya
menciptakan keadaan-keadaan yang mengakibatkan kemorosotan posisi raja dan
akhirnnya kemorosotan Negara.
Ibn
Khaldun membuat catatan menarik bahwa orang nomaden lebih baik atau lebih
bermoral dari pada orang yang hidup menetap. Alasannya adalah jiwannya yang
alami lebih mudah meresap kebaikan atau keburukan, bergantung mana yang lebih
berkesan dan berpengaruh. Jiwa orang
nomaden terutama dipengaruhi oleh kebaikan, dan mereka lebih sulit melakukan
kejahatan. Jiwa orang yang menetap, sebaliknya mengenal kejahatan kemewahan dan
sukses duniawi. Orang nomaden juga lebih pemberani daripada orang menetap. Gaya
pemukiman membuat mereka cenderung malas dan santai. Mereka bergantung pada
otoritas penguasa untuk berlindung, tidak membawa senjata, dan tidak perlu
berburu untuk mendapatkan makanan.
Alasan
untuk ini adalah bahwa manusia tidak dikondisikan oleh watak alamiah mereka,
tetapi merupakan hasil dari keadaan yang membuat mereka terbiasa dan
menggantikan watak alamiah mereka.
Pemukim
lebih tidak beruntung lagi karena bergantung pada hokum. Karena itu, wajarlah
jika pada masyarakat menetap, mayoritas didominasi oleh minoritas. Jika
dominasi didirikan di atas ketidakadilan dan intimidasi, ia akan merusak
keuletan dan daya perlawanan rakyat.
Istilah
Ashabiyah telah diterjemahkan secara
beragam ; solidaritas, perasaan kelompok, dan loyalitas kelompok. Makna ini
menurut Ibn Khaldun adalah sebuah perasaan tentang kesamaan dan kesetiaan pada
sebuah kelompok yang terutama dibangun berdasarkan ikatan darah. Ada tiga jenis
hubungan yang membentuk ini pertama adalah hubungan darah, hubungan
patron-klien, dan aliansi.
Ashabiyah
berdasarkan ikatan darah merupakan bentuk solidaritas yang paling kuat. Yang
berasal dari leluhur yang sama, jelas, dan meyakinkan, sehingga muncul perasaan
saling bantu dan saling sayan.
Ibn
Khaldun menyatakan bahwa kelompok nomaden lebih berani dan unggul dibandingkan
dengan kelompok-pemukiman dalam hal kekuatan dan perasaan kelompok. Perasaan
kelompok mendorong rasa saling melindungi dan kegiatan social. Pada saat yang
sama, setiap organisasi social memerlukan seorang pemimpin unggul sebagai
pengendali kelompok. Pemimpin yang unggul itu adalah yang memiliki
perasaan-kelompok yang tinggi sehingga ia mampu memerintahkan orang-orang lain
untuk mematuhinnya.
Tujuan
perasaan kelompok adalah menduduki posisi raja. Begitu sebuah dinasti berkuasa,
ia bisa saja mengabaikan perasaan kelompok yang memungkinkannya naik tahta.
Agama berfungsi sebagai suplemen bagi kekuasaan, meski sebuah dinasti mendapatkannya
dari perasaan kelompok. Agama menciptakan sebuah semangat luar biasa yang
mengatasi kecemburuan dan iri hati serta mendorong orang-orang untuk bertempur
demi tujuan bersama.
Ibn
Khaldun menisbikan keunggulan ini kepada raha (mulk), yang ditandai dengan
kemampuan memimpin dengan kekuatan. Mulk dibedakan dari khalifah dalam hal
kemampuan pemimpin dalam memimpin dengan menggunakan kekuatan. Jadi, pada masa
kepemimpinan mulk, rakyat terus-menerus berada dalam bahaya karena harta
miliknya bisa disita dan mengalami yang tidak dihiraukan oleh hokum agama, dan
penghimpun pajak yang tidak dapat dibenarkan.
BAB 3
IBN KHALDUN TENTANG PENDIDIKAN DAN
PENGETAHUAN
Ada beberapa tingkatan kemampuan berfikir manusia, yaitu
1.
Memahami dan menata hal-hal didunia eksternal yang tampak
acak dan tak beraturan, dan mampu membedakan yang bermanfaat dan tidak.
2.
Membentuk gagasan dan mengembangkan perilaku yang diperlukan
dalam berinteraksi dengan sesama manusia, yang melibatkan pembenaran yang
berkembang melalui pengalaman. Ini disebut kecerdasan eksperimental.
3.
Berfikir yang memasok pengetahuan atau opini tentang hal-hal
di luar persepsi indra. Ini disebut kecerdasan spekulatif.
Ada beberapa kritik khusus Ibn Khaldun terhadap
doktrin-doktrin dan praktis-praktis kaum sufi :
1.
Kesamaan penciptaan sama dengan pandangan Kristen tentang
Mesiah dan juga pandangan syiah imamiyah tentang imam-imam mereka.
2.
Manifestasi ilahi tidak dapat dipahami dengan baik karena
terlalu samar nya dan tidak dapat dipahami sama sekali
3.
Wali kutub hanyalah gaya bicara teroris, tidak berdasarkan
argumentasi logis, dan tidak dilandasi argumentasi agama dan sama dengan teori
syiah ekstremis.
4.
Pernyataan sufi tentang penyingkapan tabir dan hal-hal
terkait bersifat kabur dan ambigu, di buat ketika mereka mengalami ekstase, dan
harus ditinggalkan karena pernyataan ambigu mereka tentang al-quran.
5.
Seorang sufi yang tengah berada dalam keadaan ekstase dan
kehilangan persepsi indrawi bisa jadi mengungkapkan pernyataan ekstase, yang
isinnya bisa jadi bertentangan dengan syariat muslim.
6.
Ibn Khaldun cenderung memperlakukan aspek-aspek sufisme
sebagai bagian dari praktek-praktek supranatural yang terkait dengan sihir,
tukang sihir, dan astrologi, walaupun pengetahuan atau kegiatan supranatural
ini tidak diniatkan kemunculannya.
Ibn Khaldun memiliki pandangan tegas tentang metode
pengajaran dan pembelajaran yang baik. Beberapa gagasan menariknya :
1.
Urutan/susunan dalam pengenalan materi pelajaran menentukan
keberhasilan belajar
2.
Penjejalan terlalu banyak materi pelajaran menghambat
belajar.
3.
Penyebaran buku ringkasan merusak pendidikan.
4.
Metode pengajaran yang efektif mesti di upayakan.
5.
Mata pelajaran penunjang tidak perlu diperluas.
6.
Hukuman terhadap pelajar tidak boleh terlalu keras.
7.
Proses pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan
perjalanan dan bertemu dengan para sarjana.
Bagian
tentang pengajaran anak-anak dan berbagai metode pengajaran yang ditemukan di
kota-kota muslim, mengajarkan al-Quran di tahap awal tidak akan memberikan
hasil terbaik, karena pelajar akan membaca hal-hal yang belum mereka mengerti.
Mereka harus memulainnya dengan belajar prinsip-prinsip islam, prinsip-prinsip
fiqih, perdebatan (jadal), dan hadis,
dan ilmu-ilmu seputar hadis. Ibn Khaldun berpendapat bahwa nasihat dari hakim
baik, tetapi ia pesimis apakah akan diterima karena pertimbangan adat kebiasaan
yang berlaku. Pengajaran al-Quran mendapatkan prioritas utamademi mendapatkan
barakah dan pahala di akhirat, juga karena kecemasan tertundanya pengajaran
al-Quran bagi anak-anak.
Menjejali terlalu banyak materi
belajar bagi pelajar justru menghambat proses belajar. Sejalan dengan itu,
muncul kebutuhan untuk menguasai begitu banyak istilah teknis dan metode yang
digunakan. Dengan mengangkat contoh tentang ilmu Fiqih Maliki, Ibn Khaldun
mengatakan bahwa ilmu fiqih memiliki begitu banyak metode yang berbeda sehingga
akan lebih efesien jika pelajar menerima pengajaran yang lebih terfokus (pada
suatu mazhab). Dia juga menyarankan bahwa pelajar tidak perlu menguasai secara
lengkap tentang prinsip-prinsip dan detail-detail filosofi, karena itu akan
memerlukan waktu belajar seumur hidup untuk satu mata pelajaran saja, padahal
ia hanyalah sebuah alat dan sarana untuk mempelajari pelajaran-pelajaran
selanjutnnya.
Penghalang pengajaran adalah terlalu
banyaknya buku ringkasan. Buku itu berisi penyajian singkat atau ringkasan dari
isi dan metode ilmu pengetahuan. Ibn Khaldun mengingatkan bahwa membaca buku
ringkasan bisa merusak proses pembelajaran karena murid akan bingung ketika
disodori hasil akhir sebelum mempelajari proses. Mempelajari ringkasan juga
membutuhkan banyak waktu apabila isi bukunnya kompleks dan sulit dipahami.
Kebiasaan belajar yang berkembang karena mempelajari ringkasan tidak sebaik
jika mempelajari dari buku utuh aslinya.
Penghalang yang lain bagi pelajaran
efektif adalah metode pelajaran yang tidak efektif. Akan efektif jika dilakukan
secara lamban dan tahap demi tahap. Guru harus memulai mulai dengan pendahuluan
tentang prinsip-prinsip, sembari memperhatikan muridnya dalam menguasai materi
selanjutnnya. Kemudian guru mengulangi materi awal untuk kedua kalinya dan
mengajar materi-materi selanjutnnya. Alih-alih menyodorkan ringkasan, guru
memaparkan uraian dan penjelasan lengkap. Penguasaan mdasar-dasar ilmu
murid-murid itu menjadi lebih dalam. Guru bisa mengulangi topic yang sama
kepada murid-muridnya pada lain waktu, menjelaskan semua materi yang tidak
jelas, kabur, atau pelik. Pengajaran efektif memerlukan pengulangan tiga kali.
Halangan lain yang dibahas oleh Ibn
Khaldun adalah durasi pengajaran ilmu-ilmu pendukung.Ilmu-ilmu utama yang
dipelajari demi kepentingan mereka sendiri adalah ilmu-ilmu agama, fisika, dan
metafisika. Ilmu-ilmu pendukung merupakan prasyarat untuk mempelejari ilmu
lainya, misalnya filosofi, aritmetika, dan logika. Ilmu-ilmu tersebut
dibutuhkan sebagai sarana untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.
Ibn Khaldun juga menesehati bahwa
hukuman keras tidak boleh dijatuhkan kepada murid. Ia membandingkannya dengan
dampak hukuman keras terhadap budak dan pelayan. Murid
yang dihukum terlalu berat bakal merasa tertindas, cenderung menjadi
malas, dan tidak ikhlas.
Hubungan pribadi antara murid dan guru
sangat penting dalam proses belajar. Ibn Khaldun mengusulkan murid untuk pergi
mendatangi sarjana-sarjana terkemuka pada masannya. Hubungan pribadi dengan
guru menghasilkan pengetahuan, karakter unggul dengan guru menghasilkan
pengetahuan, karakter unggul, dan kebijakan mendalam dalam diri murid.
BAB 4
PENERIMAAN ATAS IBNU KHALDUN
Diskusi tentang penerimaan atas Ibn
Khaldun terbagi menjadi tiga bagian : penerimaan atas karyawan di dunia
Muslimin modern; penemuan atas Ibn Khaldun ; status marginalnya dalam ilmu
social modern, baik di masyarakat Muslim maupun di Barat.
Penerimaan atas Ibn Khaldun pada masa
pramodern, di terima secara luas pandangan bahwa Ibn Khaldun tidak mempunyai
sarjana-sarjana pengikut hingga ia “ditemukan” dan diperkenalkan oleh orang
Eropa. Sebelum itu, Ibn Khaldun dianggap
tidak memiliki pengikut di kalangan ilmuwan sezamannya.
Salah satu kritik pedas terhadap Ibn
Khaldun ditulis oleh Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, seorang sejarawan dan ulama
hadis terkenal. Walau memuji pengetahuan Ibn Khaldun dalam hal urusan
kenegaraan, kefasihan, dan apresiasi puisinya, ia mengejek ilmu masyarakat-manusia
Ibn Khaldun dengan mengatakan bahwa tulisan Ibn Khaldun tampak sangat baik
karena dihiasi dengan retorika.
Kuliah-kuliah Ibn Khaldun baru
dipandang sebagai bagian penting dari diskursus intelektual setelah dua abad
kemudian, kali ini di antara sarjana-sarjana dan negarawan-negarawan ottoman
yang mendiskusikan masa depan Negara mereka.
Delapan prinsip saling-terkoneksi tentang
pemerintahan yang baik :
1.
Tidak bisa ada otoritas kerajaan tanpa dukungan militer.
2.
Tidak bisa ada militer tanpa kekayaan.
3.
Rakyat menghasilkan kekayaan.
4.
Keadilan menjamin kesetiaan rakyat pada Negara.
5.
Keadilan memerlukan harmoni di dunia.
6.
Dunia adalah sebuah taman; dindingnnya adalah Negara.
7.
Syariat mengatur Negara.
8.
Tidak ada dukungan untuk syariah kecuali melalui otoritas
kerajaan.
Siklus
keadilan oleh Na’iman adalah sebagai
berikut :
1.
Tidak ada mulk dan
Negara tanpa militer dan sumber daya manusia.
2.
Manusia dapat hidup hanya dengan sarana kemakmuran.
3.
Kemakmuran hanya bisa dikumpulkan dari kaum tani.
4.
Petani mempertahankan kemakmuran melalui keadilan.
5.
Tanpa mulk dan Negara, tdak aka nada keadilan.
Penemuan dan penerimaan atas Ibn Khaldun dalam ilmu social modern.
Perhatian akan Ibn Khaldun, khususnya pada abad ke-19, terjadipada masa
pembentukan berbagai disiplin dalam ilmu-I;lmu social modern. Begitu ilmu-ilmu
ini menyebar ke seluruh dunia Arab dan Muslim dan Eropa, maka sejak saat itu
dan seterusnnya sejumlah sarjana Muslim dan Barat mulai mengacu kepada Ibn
Khaldun ketika menggambarkan sejarah dan
perkembangan kontemporer, terutama di
Timur Tengah dan Afrika Utara. Sebagaimana di Barat, Ibn Khaldun mulai mendapat perhatian besar
dikalangan ilmuwan social Arab dan Muslim lain.
Perhatian Ibn Khaldun terhadap antara masyarakat nomaden dan
menetap; kota-kota dan lokasi mereka; hubungan antara ragam mata pencaharian
dan kehidupan perkotaan. Ibn Khaldun juga diakui oleh kalangan sosiologi,
terutama dari abad ke-19, sebagai pendidi disiplin sosiologi.
Kritik dan dukungan untuk Ibn Khaldun, di mulai dari satu
studi kesarjanaan paling awal atas Ibn Khaldun meragukan klaim bahwa Ibn
Khaldun menemukan sebuah ilmu baru yang kemudian diakui oleh orang modern
sebagai sosiologi. Taha Hussein, dalam disertai doktoralnya tentang Ibn Khaldun
, menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun adalah ilmuwan yang lemah. Ia mengakui
beberapa orisinalitas dalam karya Ibn Khaldun, yaitu ia adalah orang pertama
meninggalkan gaya analisis, dan ia mengakui penguasaan Ibn Khaldun tentang
fakta sejarah bangsa besar. Namun ia menilai pengetahuan Ibn Khaldun tentang
Arab Timur sungguh miskin. Yang lebih penting, Ia Meragukan bahwa ilmu barunya
bisa dianggap sebagai sosiologi, seperti telah diakui oleh para sarjana. Ia
menilai opini yang menyatakan Ibn Khaldun sebagai seorang sosiolog sangatlah
berlebihan karena objek penelitiannya, yaitu Negara, terlalu terbatas untuk
dijadikan objek-studi sosiologi. Walaupun ada beberapa kebenaran dalam
kritiknya, sungguh berlebihan dan mungkin karena muncul dari perspektif seorang
nasionalis Mesir. Berbagai kelemahan dan masalah dalam karya Ibn Khaldun tidak
mengecilkan nilai ilmu-baru yang dirumuskannya, suatu prestasi yang tidak
diakui Hussein.
BAB 5
PERAN PENTING IBN KHALDUN UNTUK ILMU
SOSIAL MODERN
Dalam hal tema, konsep dan kerangka Muqaddimah yang membentuk teori
kebangkitan dan kemerosotan Negara, Ibn Khaldun pasti masih relevan dengan ilmu
social modern.
Para pengkaji Ibn Khaldun sering
mendapati argument segar ketika menelaah isu-isu lama dengan pendekatan Ibn
Khaldun. Misalnya kontroversi masalah khalifah.
Ada lima persyaratan bagi seorang khalifah; yaitu, berpengetahuan,
berintegrasi, kompeten, sehat jasmani/rohani, dan keturunan Quraisy. Syarat
terakhir memicu kontroversi, sehingga persyaratan terakhir ini mesti diperiksa
ulang.
Kontribusi Ibn Khaldun dalam perdebatan
soal syarat kelima itu terletak dalam perdebatan itu terletak pada spesifiknya
terhadap kepentingan umum, yang merupakan pusat perhatian perasaan-kelompok.
Memiliki perasaan yang kuat oleh khalifah akan membebaskannya dari kelompok
oposisi dan pembangkang, dan itu berarti ia diterima oleh kamunitas.
Persyaratan keturunan Qurays, dengan
demikian, terkait dengan persyaratan perasaan-kelompok dan kompetensi. Ibn
Khaldun menurunkan persyaratan yang lebih umum, seorang khalifah harus merupakan anggota kelompok yang
memiliki perasaan-kelompok yang unggul dari pada kelompok-kelompok lain
demi memastikan kepatuhan mereka.
Ibn Khaldun mengembangkan sebuah ilmu
baru yang berbagi banyak sifat dengan sosiologi modern dan juga ilmu-ilmu
social modern lainya. Tiga contohnya, :
1.
Membawa Ibn Khaldun ke Perspektif teoritis dalam ilmu-ilmu
social.
2. Mengembangkan konsep-konsep Khaldunian
No comments:
Post a Comment