Sep 16, 2018

DINAMIKA SOSIAL PERDESAAN: Sebuah Bunga Rampai Kehidupan



Ketika eksistensi desa dan perdesaan disorot dari empat macam mainstream of thought sepertinya terlihat perbedaan konseptual, namun sesungguhnya menunjukkan makna konseptual yang hampir sama. Pertama, masyarakat desa diibaratkan semacam fosil oleh kaum antropologis sebagai budaya masa lalu yang tertinggal karena mengalami cultural lag dalam prosesevolusi masyarakat. Kedua, eksistensi desa dan perdesaan dalam kerangka dikotomi dasar “tradisional/mekanik” versus “modern/organik” menurut tradisi Durkheim serta desa sebagai sesuatu yang menampati “posisi part society with part culture dalam pandangan Krober. Demikian pula menurut refield yang terkenal dengan istilah part segment.

Ketiga, namun ketika eksistensi desa disorot dari pendekatan Marxian menurut kerangka hubungan kekuasaan (power relations) dalam konteks analisis kelas. Maka masyarakat desa masa kini dianggap sebagai sisa-sisa formasi sosial masa lalu (masyarakat pra-kapitalis”) sebagai kelas yang tereksploitir dalam keseluruhan struktur kekuasaan yang ada. Keempat, akhirnya menurut kaum neo-populis/chayanovian bahwa struktur sosial masyarakat desa ditentukan oleh bekerjanya sistem ekonomi yang khas (a specific type of economy) yang kuncinya terletak pada bekerjanya mekanisme “usaha tani keluarga”.

Keseluruhan mainstream of thought tersebut sesungguhnya hampir menyepakati dan seolah ingin menandaskan bahwa alam pedesaan kita di masa lalu merupakan sebuah perkampungan yang menyatu dengan napas kehidupan warganya. Adalah tak ubahnya sang gadis cantik yang demikian elok dipandang mata, namun menurut teori struktural yang berpangkal pada filsafat materialisme bahwa ketika puteri cantik nan jelita itu mendapat sentuhan ciuman beracun dari sang pangeran tampan, maka seketika itu juga alam pedesaan kita mengalami dinamika sosial dan perubahan budaya dengan berbagai implikasi sosial ekonominya. Betapa kini gejolak deforestase yang berkelindan seiring dengan dekulturisasi despritualisasi dan dehumanisasi beserta aneka bentuk degradasi lainnya, seakan terus membahana ke penjuru bumi persada. Akhirnya, alam perdesaan kita tidak hanya kehilangan satwa serta punahnya keindahan jenis fauna lainnya nan mempesona itu. Akan tetapi, tampaknya warga komunitas perdesaan terasa mulai kehilangan rasa bersatu dengan alam sekitarnya. Padahal alam semesta merupakan bagian integral dari dirinya sendiri, sehingga merusak alam adalah berarti merusak sekunjur tubuhnya. Sungguh menyedihkan, karena hampir semua komponen masyarakat, terutama kaum elite yang diamanahi tugas dan tanggung jawab, seakan tak peduli lagi dengan keselamatan ekosistem dan lingkungan sosial budaya kita.



No comments:

Post a Comment