Oleh: Peribadi
A paper presented at the forum
Indonesia Qualitative Research
Colloquim (IQRA 2018) & Iqra Researcher Award 2018,
Telkom University Bandung, 3 -
4 Desember 2018
The Lecturer of Literary
Department of Sociology Study Faculty Halu Oleo University, Southeast Sulawesi, Indonesia.
Abstract. The methodological
discourse of this narrative is a reflection of thought that comes from the
results of the author's dissertation. The use of a qualitative approach base on
the constructivism paradigm is intended to develop metaphysical moral truths as
a major premise through the philosophy of deductive phenomenology version of Karl
Raimun Popper. Methodological design which questions deductive probalistic
truths on metaphysical moral truths through analysis of phenomenological
philosophy based on interpretive data, interpretive validity, interpretive
analysis and interpretive conclusions, in turn illustrates holistic conclusions
and essential truths. However, when probabilistic theory is used as a deductive
proof that shows the universal truth theory in the position of the deductive
logic of set theory, then at that time an initial idea towards the
PropheticMethodology was then reflected in this article.
PENDAHULUAN
Sejak awal
sebelum kebangkitan Eropa dan sesudahnya telah tumbuh dan berkembang dirkursus
pemikiran Profetik yang didasari oleh beberapa latar pemikiran.
Pertama, ketika barat masih
dalam suasana gelap gulita, sains integratif universal Al-Farabi menandaskan bahwa secara
ontologis realitas alam semesta memiliki tingkat dan gradasi, baik secara
kualitas maupun kuantitas
(Humaidi, 2015).
Kedua, menurut Dillon (2012)” sebelum tesis Weberian menunjukkan
signifikansi etika calvinis dengan
kebangkitan kapitalisme, sesungguhnya Emile Durkheim telah menjadikan
agama sebagai sebuah fokus analisis utama pada sosiologi. Hal ini dipertegas
oleh Bellah (2000) bahwa tradisi rasionalis-positivis
diruntuhkan dari dalam oleh Durkheim ketika ia mengetahui bahwa agama merupakan
subuah realitas sui generis. Ketiga, menurut Rivai dan Arifin (2013) bahwa penekanan teoritis pada nilai-nilai budaya,
terutama pada agama dimaksud Weber sesungguhnya merupakan legitimasi teoritis
atas kepemimpinan profetik yang dapat
membangun pribadi Super Leadership
yang wajib dimiliki oleh pemimpin abad ini. Keempat,
post-modernisme adalah menghargai sepenuhnya kearifan lokal, sehingga memberi
tempat terhormat bagi diskursus pemikiran Profetik.
Jika Marxisme menawarkan paradigma baru yang menghendaki struktur menentukan
superstruktur, sehingga ekonomi dan bahkan seks itu adalah menentukan kesadaran
manusia. Maka tawaran diskursus paradigma Profetik
adalah berupaya meletakkan kesadaran (superstructure)
di atas basis sosial (structure), sehingga
menurut Kuntowijoyo
(2018) Ilmu Sosial Profetik berkesempatan menjadi bagian dari sejarah pemikiran
Barat.
Kelima, phenomenologi interpretif deduktif sebagai
sebuah paradigma dan metodologi yang dikembangkan oleh Karl Raimun Popper, di
dalamnya ada tiga hal dari kelima faktor yang relevan dengan upaya diskursus metodologi
Profetik, yakni: (1) bangunan
silogismenya berangkat dari konsep deduktif kebenaran universal sebagai premis
mayor. Sementara pelbagai kasus yang mengemuka di lapangan adalah diposisikan
sebagai premis minor; (2) Popper mengakui kebenaran moral; dan (3) Popper tidak
menggunakan pisau analisis matematik objektif, tetapi menggunakan pisau
analisis phenomenologik interpretif (Muhadjir, 2011).
DISKURSUS ILMU SOSIAL PROFETIK (ISP)
Kuntowijoyo
(2018) dalam merumuskan Ilmu Sosial Profetik (ISP) dengan berpijak dari Surat
Al-Imran ayat 110 yang berbunyi:
“Kuntum
khaira ummatin ukhrijat linnasi ta’muruuna bilma’ruufi wa tanhauna ‘anil
munkari wa tu’minuuna billahi” yangartinya:“Kamu adalah ummat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah, adalah tersirat empat makna, yakni: (1)
konsep tentang ummat terbaik; (2) aktivisme sejarah; (3) pentingnya kesadaran;
dan (4) etika profetik.
Menurut
Kuntowijoyo, kita dapat merumuskan konstruk-konstruk teoritis yang dapat
digunakan untuk mengamati dan mengkaji permasalahan sosial dan alam semesta. Pertama, komunitas Islam adalah
kategori sebagai the chosen people,
tetapi tidak secara otomatis menjadi umat terbaik (khaira ummah). Kecuali mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan
dalam ayat itu. Hal ini berbeda dengan konsep the chosen people dari Yudaisme, meskipun sama-sama konsep tentang the chosen people. Akan tetapi, Yudaisme
menyebabkan bangkitnya rasialisme. Sedangkan konsep umat terbaik dalam Islam
merupakan tantangan untuk bekerja lebih keras ke arah aktivisme sejarah.
Kedua, aktivisme sejarah adalah bergumul di tengah-tengah manusia (ukhrijat linnas), sehingga yang ideal
bagi Islam adalah keterlibatan umat dalam sejarah pemikiran dan pergolakan.
Makanya, apa yang disebut dengan wadat (tidak
kawin), uzlah (mengasingkan diri) dan
kerahiban serta gerakan mistik yang
berlebihan (ngungkurake kadonyan)
adalah antitesis dengan pandangan Islam. Dalam konteks inilah dimaksudkan
Muhammar (2013) bahwa sesungguhnya ajaran Islam yang terekam dalam karya para
ilmuwan Islam terdahulu memberi penekanan kepada konsep al-wasatiyyah wa al i’tiddl (pertengahan di antara dua pendekatan
yang ekstrim), kepentingan menghindarkan diri dari terperangkap dalam
kecenderungan al-ghuluw wa al-taqsir,
al-ifrat dan al-tafrit, konservatif dan liberal, sikap yang jumud dan
terbuka yang melampaui.
Ketiga, pentingnya
kesadaran atas nilai-nilai ilahiyah (ma’ruf,
munkar, iman) untuk menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini
membedakan etika Islam dari etika materialistis. Karena superstructure (kesadaran) dalam pandangan Marxis ditentukan oleh structure (basis sosial, kondisi
materialis). Demikian pula pandangan yang selalu mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme,
kapitalisme) juga bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan
kesadaran manusia adalah Tuhan. Bukan individu seperti dimaksud oleh kaum
materialis, hedonis dan sekuleristis yang kesemuanya antitesis dengan kesadaran
Ilahiyah.
Basis keilmuan seperti itulah yang sesungguhnya pernah
berkembang pesat di masa-masa kejayaan Islam. Namun kini, Barat mengambil alih
keperkasaan ilmuwan Islam dan bahkan Ibn Sina pun diubah namanya menjadi Avicenna, Ibn Rushd menjadi Averroes, Al-Ghazzali menjadi Algazel, Al-Jabr menjadi Algebra dan banyak lagi (Zarkasyi, 2014). Akan tetapi, menurut
Kuntowijoyo (2018) tetap ada peluang dan tantangan di tengah gelombang dahsyat
itu yang dimotivasi dua hal:
“Pertama,
beranjak dari pemikiran Muhammad Iqbal dalam Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (1966). Di
sini, Iqbal bicara tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Seandainya Nabi
Muhammad SAW seorang mistikus, kata Iqbal, maka tentu saja beliau akan
mengabaikan kemesraan dengan Tuhannya ketika beliau telah sampai kepada “maqam tertinggi” (Sidratul Muntaha) yang menjadi dambaan ahli mistik. Namun tidak
demikian halnya dengan Nabi. Beliau tetap kembali ke dunia fana ini untuk
melakukan perubahan sosial sesuai Misi Suci Al Quran.
Kedua, konstruksi gagasan ISP juga
beranjak dari pikiran Robert Garaudy, filsuf Perancis yang menjadi Muslim dari
agama sebelumnya, Kristen. Intinya, ketika filsafat Barat sudah “membunuh
Tuhan” dan manusia, maka Garaudy menganjurkan supaya manusia memakai filsafat
kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu.
Memang
harus diakui, diskursus paradigma Profetik dalam berbagai disiplin keilmuan
diperhadapkan dengan tembok raksasa epistemologi yang telah tertancap tajam di
areal Perguruan Tinggi. Meskipun pula epistemologi dan metodologinya telah
dijangkiti dengan virus kangker epistemologis yang demikian mengganas (Arif,
2008), tetapi keperkasaannya tetap sulit ditandingi karena sudah ditopang oleh
perangkat keras (hard ware) dan
perangkat lunak (soft ware) dalam
konteks hegenomi keilmuan. Karena itu, Kuntowijoyo menyarankan untuk melakukan pergerakan penuh kesadaran
dan keuletan melalui semacam “gerilnya intelektual” seperti gerakan intelektual
underground dari sosiologi akademis
di Uni Soviet ketika negeri itu masih di bawah dominasi Marxisme ortodoks.
Hanya saja, kalau gerakan intelektual akademis Sovyet diperhadapan dengan
kendala fisik ketika itu. Tampaknya, gerakan diskursus pemikiran Profetik
diperhadapkan dengan faktor mentalitas dan rasa rendah dari kaum intelektual
yang kategori the other under development
dan captive
mind dimaksud Alatas (2010).
Tampaknya,
peluang dan tantangan itu sudah ada sejak dunia modern dengan Renaissance yang bercirikan antroposentrisme. Di dalamnya,
terkandung semangat yang menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia
sendiri, meskipun terkesan mendewakan
pikiran. Sementara teosentrisme
sebagai lawannya terlalu mengunggulkan wahyu sebagai satu-satunya kebenaran.
Sebaiknya kedua pintu gerbang kebenaran tersebut disintesakan sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Peter Berger dan peter Blau, terutama dalam paradigma
pemikiran Ibnu Khaldun. Karena itu, menurut Kuntowijoyo bahwa Ilmu Sosial
Profetik tidak hanya berbeda dengan Marxisme
yang kesadarannya ditentukan oleh struktur basis sosial. Akan tetapi, Ilmu
Sosial Profetik juga berbeda dengan aktivitas dakwah, karena bahasa dakwah
berlaku umum dan bahasa ilmu bersifat spesifik.
Akhirnya, betapapun
supernya sebuah paradigma pembangunan yang gonta ganti digunakan selama ini, namun pada
akhirnya yang lebih menentukan adalah nilai spritualitas yang built in pada diri manusia. Karena itu, penulis pun
semakin percaya diri ketika mendapat bimbingan langsung dari Prof. Kamaluddin
yang mendevelop konsep ekonomi maritim berpijak dari Surah An Nahl ayat 14:
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat
memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan
itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan
supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”.
Demikian
pula, ketika penulis
mendapat bimbingan langsung dari Suharsono yang menuliskan bukunya Ihsan Noor
(2013) tentang “Indonesia Negara Maritim Terbesar di Asia”, pun berpijak
dari Al Quran, yakni:
Pertama, bahwa
“sesungguhnya telah kami jadikan kapal itu sebagai pelajaran, maka adakah orang
yang mau mengambil pelajaran ? (Al Qamar, ayat 15). Kedua,
“sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurnah atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan” (Al Israa, ayat 70).
DISKURSUS METODOLOGI SOSIOLOGI
PROFETIK: Refleksi Realisme Metafisik
Menurut Muttaqin (2012) Sosiologi Profetik sebagai
sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik adalah menggariskan beberapa hal.
Pertama, sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya
yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga
akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian. Kedua, secara
epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu
adalah realitas empiris, rasio dan wahyu. Ketiga, ikhwal ini antithesis dengan
positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos, sehingga secara
metodologis sosiologi profetik dalam posisi kontroversial ketika diperhadapkan
dengan positivisme karena menolak doktrin bebas nilai (value free) serta pengetahuan yang hanya bersumber dari fakta
empiric un-sich. Dalam konteks ini,
sosiologi Profetik tidak hanya berupaya memahami, tetapi juga berorientasi
transformatif (liberasi, humanisasi dan transendensi) yang hampir sama dengan
tujuan metodologi sosiologi kritis (teori kritis). Hanya saja sosiologi
Profetik mengusung transendensi sebagai salah satu nilai yang sangat
fundamental untuk mendasari liberasi dan humanisasi. Keempat, sosiologi profetik
memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure)
menentukan basis material (structure).
Upaya menghindari
kerikil-kerikil tajam nan kontroversial dan melelahkan selama ini, maka penulis
menawarkan strategi penelitian sebagai upaya mengembangkan pendekatan filsafat
phenomenologik deduktif dimaksud Popper yang bertitik tolak dari sebuah grand theory tentang kebenaran objektif
universal, dan kemudian divalidasi lewat uji falsifikasi. Desain Popper
tersebut dielaborasi lebih jauh oleh Muhadjir (2011) kepada ranah empirik
transendental, sehingga relevansi kajian Profetik mendapat peluang untuk
memasuki ruang “kebenaran empirik transendental” sesuai dengan makna substansi
Profetik itu sendiri. Ada beberapa argumentasi atas urgensi dan relevansi strategi
penelitian berbasis Profetik tersebut.
Pertama, semua aliran
pemikiran filsafat dan sumber pengetahuan yang telah berkembang sejak awal
hingga saat ini adalah mengacu dari tiga jenis “kitab epistemologi”, yakni: (1)
Organum karya Aristoteles yang di dalamnya merefleksikan realisme dalam kerangka logika deduktif; (2) Novum Organum karya Francois Bacon yang mencerminkan metode induksi-empiristik; dan (3) Tertium Organum karya Ousspensky sebagai
paradigma intelektual berbasis spritualitas. Meskipun epistemologi Uneversum Organum yang mencerminkan Paradigma Tauhid sebagai epistemologi
keempat belum berkembang (Peribadi, 2015). Akan tetapi, pada ranah
epitestemologi Tertium Organum
berbasis spritualitas tersebut sudah merupakan bagian integral dari kerangka
“phenomenologi interpretif deduktif” dimaksudkan Karl Raimun Popper.
Kedua, dalam kaitannya
dengan fenomenologi agama dalam pandangan Max Scheler, maka menurut Zainudin
(2011) pendekatan fenomenologi hendaknya berusaha mengembalikan studi agama
secara adil dalam memahami kompleksitas keberagamaan dan keyakinan manusia. Hal
itu pun diingatkan Schwandt (1994) bahwa sebuah konstruksi keagamaan hanya
dapat dinilai layak atau tidak dari perspektif paradigma keagamaan tertentu.
Karena itu, dalam upaya rekonstruski paradigma Ilmu-Ilmu Sosial berbasis
Profetik ini, adalah didasarkan pada basis spritualitas
Profetik dalam perspektif agama Islam yang bersumber dari Al Quran dan
Hadist serta perjalanan spritual pra
Profetik hingga memasuki kurun waktu kepemimpinan
Profetik.
Ketiga, agar supaya
formulasi konstruk-konstruk teoritis dan konseptual berbasis Profetik sebagai
sebuah inovasi pemikiran teoritis tidak bakal diklaim malkkonstruksi dalam pandangan semua pihak, terutama bagi kaum
akademisi, maka lebih lanjut peneliti mengacu pada metode research and development yang pernah dikembangkan oleh Borg and
Gall (1989) dan kemudian dielaborasi oleh Sugiyono (2011). Sehubungan dengan
pendekatan kualitatif yang digunakan, maka yang lebih diutamakan adalah prosedur “member check” sebagaimana
dimaksudkan Denzin (2009) serta penilaian validitas interpretif seperti
dimaksud Altheide dan Johnson (2009). Dengan demikian, konsistensi paradigma
dan pendekatan metodologisnya tetap terarah dan terjamin. Dalam konteks ini, Schwandt
(1994) mengingatkan enam sifat konstruksi dan salah satu di antaranya
disebutkan bahwa konstruksi harus direvisi ketika ada data baru yang antithesis
dengan konstruksinya.
IMPLEMENTASI
AKSIOLOGIK PROFETIK: Refleksi Studi Kualitatif
Pertama, pada tahapan awal
proses penelitian adalah terlebih dahulu dikembangkan sebuah premis mayor.
Dalam konteks ini, sebuah grand theory yang
menggambarkan kebenaran objektif universal, yang kemudian divalidasi lewat uji
falsifikasi. Grand Theory dimaksud sebagai salah satu contoh bahwa:
“Bagi Pelaku Pembangunan yang memiliki Kecerdasan Inteleksi (baca: Intelektual
Spiritual) memiliki ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial dalam
menjalankan tugas, peran dan tanggung jawab yang dimanahkan kepadanya”. Konstruksi
bangunan silogisme yang merupakan “premis mayor” tersebut, maka selanjutnya
penulis konfirmasikan dengan aneka kasus program pembangunan dalam konteks
upaya penanggulangan kemiskinan sebagai “premis minor” yang bersiliwerang di
lapangan. Ikhwal inilah yang sesungguhnya dimaksud Kuntowijoyo (2018) bahwa
strategi seperti ini merupakan upaya memperlakukan Al-Qur’an lebih sebagai data
kehidupan dari Tuhan, sehingga pernyataan-pernyataan Al-Qur’an dapat dirumuskan
ke dalam konstruk-konstruk teoritis untuk memahami realitas sosial.
Kedua, upaya menemukan dan
mendalami berbagai kasus sebagai premis minor yang mengemuka di sekitar
kehidupan sosial kita sehari-hari, maka pendekatan kualitatif dalam konteks
phenomenologi interpretif deduktif tersebut dilengkapi dengan desain studi
kasus. Beberapa hasil studi kasus menunjukkan fakta empirik yang menjastifikasi dan melegitimasi bangunan silogisme kebenaran
universal tersebut bahwa aktor penanggulangan kemiskinan yang memiliki
kecerdasan inteleksi, maka dapat melaksanakan tugas, peran dan
tanggungjawabnya. Sebaliknya, bagi aktor penanggulangan kemiskinan yang
berafiliasi dalam TKPKD dan PNPM MP Kota Kendari adalah cenderung tidak amanah dan
enggan bertanggungjawab (Peribadi, 2015).
Ketiga, hasil kajian
tersebut melahirkan sebuah grand desain dan beberapa konstruk teoritis yang
mencerminkan sintetis spritualitas universal dengan spiritual Profetik yang didesain secara integral
dan interdependen. Praktek
kontemplasi di Guahira pada akhir Spiritual PraProfetik dan penetapan
misi (mission statemen) di awal Saintifik Profetik, sesungguhnya
merupakan Zero Mind Process yang dapat mempertajam refleksi pemikiran. Begitu pula ketangguhan pribadi
dapat mempengaruhi pemetaan swadaya serta ketangguhan sosial yang signifikan
dengan penguatan kapasitas kelembagaan. Sementara predikat total action merupakan
human capital yang telah memiliki
kapasitas, kapabilitas dan integritas untuk membangun strategi kolaborasi serta mengembangkan program chanaling dengan berbagai institusi di sekitarnya.
Keempat, ketika fenomena dan
realitas hasil studi kasus di wilayah premis mikro tersebut, ditelaah kritisi
dari perspektif teori dan konsep kecerdasan, maka proses legitimasi dimaksud
adalah mengindikasikan: (1) Kurangnya Intelligent
Quotient, karena faktor ketidakmampuan aktor
dan struktur menyelesaikan permasalahan di bidangnya masing-masing; (2) Lemahnya Emotional Quotient, karena faktor tidak
transparansi, akomodatif dan konsistensi; (3) Rendahnya Creativity Quotient, karena faktor ketidakmampuan merubah ancaman (threat) menjadi tantangan (challange) hingga menjadi peluang (opportunity) serta belum berhasil membangkitkan
spirit dan selft confidence; dan (4)
Minimnya Spiritual Quotient, karena
jaringan aktor belum sepenuhnya memegang teguh amanah, tidak konsisten (istiqomah) serta belum dapat
melaksanakan tugas, peran dan tanggung jawab berbasis ibadah (Hawari 2009).
Kelima, akhirnya salah satu
diskursus teoritis yang terlegitimasi dan sekaligus dapat dikembangkan lebih
lanjut ke depan bahwa kaum elite
memiliki “kecerdasan strategi berkolaborasi” dengan menunjukkan personifikasi Tritunggal (Firaun, Qarun dan Bal’am) sebagai
komunitas Qabil dimaksud Ali Shariaty
dan komunitas dwitunggal (Abu
Jahal dan Abu Lahab dimaksud Peribadi (2015). Meskipun hal ini terkesan
ekslusif dan mungkin diklaim ekstrim, tetapi sesungguhnya peristiwa kehidupan
anak manusia merupakan pengulangan (siklus)
dalam konteks waktu, tempat dan media yang berbeda. Personifikasi konsep
Tritunggal sebagai bagian integral
dari komunitas Qabil dimaksud dalam kerangka teori sosiologis Ali Syari’ati ini
(Ibrahim, 2008; Nugroho, 2009; Syari’ati,
2014;) adalah tidak berarti penulis bermaksud untuk menyamakannya secara
persis. Akan tetapi, realitas dan hiperealtas yang mengemuka di tengah
konstalasi kehidupan masyarakat kontemporer, tampak menunjukkan perilaku yang
hampir sama dan bahkan menyerupai.
SIMPULAN
DAN REKOMENDASI
Petama,
diskursus pengembangan metodologi Profetik dalam konteks realisme metafisik,
sesungguhnya mendapat legitimasi dari paradigma Tertium Organum karya Ousspensky sebagai paradigma intelektual
berbasis spritualitas serta paradigma Uneversum
Organum yang mencerminkan epistemologi
Tauhid (Peribadi, 2015). Selain itu, pengembangan paradigma Profetik juga
mendapat dukungan paradigmatik dalam perspektif paradigma penelitian teori
kritis dan konstruktivisme.
Kedua, realisme metafisik sebagai
metodologi Profetik yang menjadi tawaran alternatif adalah penting untuk
mengisi sel kosong dimaksud Agusta (2006), karena selama ini dunia akademik hanya berkutat di seputar realisme-korespondensi, realisme-koherensi dan realisme-pragmatisme. Upaya pengembangan diskursus pemikiran
tersebut adalah tidak hanya dimaksudkan untuk membuahkan diskursus pemikiran
alternatif yang berorientasi kepada interpretif
fenomenologisme versus interpretif
positivisme. Akan tetapi, yang takkala urgensinya
adalah berupaya mengikis pemikiran terbelenggu (captive mind) dari hegemoni filsafat dan epistemologi Barat seperti
dimaksud Alatas.
Ketiga, telah tiba
saatnya kita harus merakit sebuah paradigma berbasis spritualitas Profetik yang dapat menyentuh langsung
wilayah rasionalisme, ranah etik dan ruang transendental. Kita pun tidak boleh
lagi kelewat terlena dengan logika deduktif Aristotelean yang
tertuang dalam kitab Organum serta induksi-empiristik Francis Bacon yang
tertuang dalam kitab Novum Organum
yang dianggap sebagai satu-satunya metode ilmiah yang dianggap sah dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Tak
pelak lagi, ketika kita terperangkap dengan paradigma Cartesan-Newtonian yang mengandung paham reduksionisme-atomistik bahwa alam sebagai mesin mati tanpa
mengandung makna simbolik dan kualitatif (Syahrani, 2010).
DAFTAR
PUSTAKA
Agusta,
Ivanovich, 2006. Penerapan Riset Aksi dalam Pemberdayaan dan Pelaksanaan
Pengabdian kepada Masyarakat, Makalah disampaikan dalam Workshop Tenaga
Penyuluh Pengabdian kepada Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 29 –
31 Mei 2006.
Alatas,
Farid, Syed, 2010. Dirkursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia, Tanggapan
Terhadap Eurosentrisme, Mizan Publika, Jakarta.
Altheide,
L. David dan Johnson, M. John, 2009. “Kriteria untuk Menilai Validitas
Interpretif dalam Penelitian Kualitatif”, dalam Denzim, Norman K. dan Lincoln,
Yvonna S. (Eds.) Handbook of Qualitative
Research, diterjemahkan oleh Dariyatno, dkk, Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Arif,
Syamsuddin, 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Gema Insani, Jakarta.
Arifin, Syamsul, 2014. Dimensi Profetisme Pengembangan Ilmu Sosial Dalam Islam
Perspektif Kuntowijyo, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 4,
Nomor 2, Desember 2014.
Bellah, N.Robert, 2000, Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama, Essai-essai tentang Agama
di Dunia Modern, diterjemahkan dari
buku “Beyond Belief, Essays On Religion
In a Post-Tradisionalist World”, oleh
Rudy Harisyah Alam, Paramadina bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan
The Ford Foundation, Jaksel.
Borg.
R. Walter and Gall, D. Meredith, 1989. Educational
Research: An Introduction Fith Edition, University Of Oregon, Longman, New
York & London.
Creswell, W. John,
2013. Reseach Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif
dan Mixed, diterjemahkan dari buku Research
Design, Qualitative, Quantitave dan Mixed Methods Approaches, oleh Ahmad
Fawaid, Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Denzin, Norman K.
dan Lincoln, Yvonna S. (Eds.), 1994. Handbook of Qualitative Research, diterjemahkan oleh Dariyatnodkk., (2009), Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Dillon, Michele,
2012, Sosiologi Agama, dalam Bryan S Turner (Ed.), Teori Sosial: dari Klasik
sampai Postmodern, diterjemahkan dari buku The
New Balck Well Companion to Social Theory oleh E. Setiawaty A dan Roh
sufiaty, Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Hawari,
Dadang 2009. IQ, EQ, CQ & SQ Kriteria
Sumber Daya Manusia (Pemimpin) Berkualitas, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Humaidi, 2015. Paradigma Sains Integratif Al Farabi,
Pendasaran Filosofis bagi relasi Sains, Filsafat dan Agama, Sadra International
Institute, Jakarta.
Ibrahim, Subhi, Mohammad, 2008. Polaritas Masyarakat
dalam Pemikiran Ali Syari’ati dan Imam Khomeini, http://ahmadsamantho.wordpress.com/2009/02/07/polaritas-masyarakat-dalam-pemikiran-ali-syari%E2%80%99ati-dan-imam-khomeni/
Kuntowijoyo,
2018. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Mizan Pustaka, Bandung.
Muhadjir,
Noeng, 2011. Metodologi Penelitian, Paradigma Positivisme Objektif,
Fhenomenologi Interpretatif Logika Bahasa Platonis, Chomskyist, Hegelian dan
Hermeneutik, Paradigma Studi Islam, Matematik Recursion-Set Theory &
Struktural Equation Modeling dan Mixed, Rake Sarasin, Edisi VI Pengembangan,
Yokyakarta.
Muhammar, Khalif, 2013, Islam dan Pluralisme Agama, centre for advanced studies on Islam, Science and Civilisation
(CASIS), University Teknologi Malaysia, bekerjasama Pejabat Mufti Wilayah
Persekutuan Jabatan Perdana Menteri, Kuala Lumpur.
Muttaqin, Husnul, 2012. Menuju Sosiologi
Profetik, Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Muzani,
Saiful, 1993. Islam Dalam Hegemoni Teori Modernisasi, Telaah Kasus Awal,
Prisma, Majalah Pemikiran Politik, Sosial dan Ekonomi, No. 1 Tahun XXII, 1993.
Nugroho, Heru, 2009. Mencari Legitimasi
Akademik Ilmu Sosial Profetik‖, Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 1997.
Peribadi, 2015. Reconstruction of
Participatory Paradigm Based on ESQ Power, LAP, Germany.
Rivai, Veithzal, Arifin, Arviyan, 2013,
Islamic Leadership, Membangun
Super leadership Melalui Kecerdasan Spiritual, Bumi Aksara, Jakarta.
Schwandt,
A. Thomas, 1994. “Contruktivist,
Interpretivist Approaches to Human Inquary.”, dalam Denzim, Norman K. dan
Lincoln, Yvonna S. (Eds.) Handbook of
Qualitative Research, SAGE Publications, International Educational and
Professional Publisher, Thousand Oaks, London, New Delhi.
Syaria’ti, Ali, 2014. Sosiologi
Islam, Pandangan Dunia Islam Dalam Kajian Sosiologi Untuk Gerakan Sosial Baru,
Rausyan Fikr Instutute, Yokyakarta.
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif dan R&D), Alfabeta, Bandung.
Sukidi,
1997. Mempertegas Kembali Ilmu Sosial Profetik, Renungan Konstruktif Untuk
Kuntowijoyo, Republika, 14 November 1997.
Syahrani,
Wahab, Abdul, 2010. Tugas Resume Buku Paradigma Holistik, Hegemoni Paradigma
Cartesian, Jumat 26 November 2010, anaktalisayan.blogspot.com
Weber, Max, 1930. The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, The Guernsey Press, New
York.
Yin, Robert
K., 2008. Studi Kasus: Desain dan
Metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zainudin, Muhammad, Filsafat
Fenomenologi Edmund Husserl dan Max Scheler,
http//banyubeningku.blogspot.com/2011/04/ filsafat-
fenomenologi-edmund-husserl.html
Zarkasyi,
Fahmi, Hamid, (2014). Agama Dalam Pemikiran Barat Moderen dan Post-Moderen, http://hamidfahmy.com/agama-dalam-pemikiran-barat-moderen-dan-post-moderen medium=feed%3A+Hamidfahmycom+28HamidFahmy.com%28HamidFahmy.com%29.
SEKILAS
TENTANG PENULIS
Peribadi. Penulis sebagai anak pertama dilahirkan pada
tanggal 31 Desember 1966 di Desa Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone
Provinsi Sulawesi Selatan. Salah satu buku penulis yang spektakuler diterbitkan
oleh Lambert Academic Publishing (LAP) Germany adalah Rekonstruction of Participatory Paradigm Based on ESQ Power: A Strategy of Poverty Overcoming in Kendari
City South East Sulawesi (2015). Selebihnya adalah: Prahara Kehidupan
Sosial Kaum Agraris: Sebuah Perspektif Fenomenologis (2016); Dinamika Sosial
Perdesaan: Sebuah Potret Fenomenal (2016); Sosiologi Perdesaan: Dalam Tinjauan
Teoritis dan Praktikal (2017); serta The Implementation of Participatory Development Paradigm: A
Critical Review Over Poverty Reduction Programs, dalam Buku Islam and Local
Wisdom Religius Expression in Southeast Asia (2017); Resolusi Kemiskinan:
Sebuah Strategi Community Development Berbasis Spiritual Profetik (2017);
Sosiologi Pasar: Sebuah Telaah Kritis Atas Keberadaan Ruang Sosial Ekonomi
Perbelanjaan di Kota Kendari (2018); Pendidikan Karakter
Dalam Bingkai Multikultural: Sebuah Bunga Rampai Kehidupan Sosial (2018); dan Lalu
Lintas Kehidupan: Sebuah Bunga Rampai Transformasi Sosial (2018).
No comments:
Post a Comment