Ruang
sosial perbelanjaan yang bernama pasar tradisional dan pasar modern mencuat ke
permukaan ketika kehidupan anak manusia mulai maju. Dalam konteks ini, ketika
mereka menyadari bahwa berbagai macam kebutuhan tidak mungkin dapat terpenuhi
kalau tidak membangun jalinan hubungan sosial. Maka ketika itulah individu
sebagai warga masyarakat mulai melangsungkan proses saling tukar menukar barang
dalam bentuk pertukaran antara singkong dengan ayam, telur dengan ikan dan
buah-buahan dengan kelapa, serta berbagai jenis barang lainnya. Beranjat dari
itulah, maka bentuk “interaksi barter” tersebut berlanjut ke model interaksi
jual beli dan tindakan komunikasi berbasis uangisme dan berorientasi hedonisme.
Kini,
telah menjelmah sebuah ruang sosial perbelanjaan berupa ”mega-mall, super-mall
dan hiper-mall” dengan aneka pernak-perniknya yang tidak hanya merangsang
bangkitnya perilaku konsumeristis. Akan tetapi, juga sukses gemilang
menghipnotis pengunjung hingga menggiringnya ke dalam sebuah “kerangkeng
fantastis” yang kemudian membuahkan perilaku buruk. Dan menurut Baudrillard
(2006) kebiasaan buruk tersebut harus segera diputuskan (breaking the habit). Pasalnya,
menurut Piliang (1998) bahwa betapa ruang sosial ekonomi perbelanjaan akan
menjelmah menjadi sebuah bentuk realitas semu yang berakibat pada kejahatan,
gelandangan, kemiskinan dan sampah.
Tampaknya,
hasil penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dalam konteks ethnografi
of communication, ethnometodologik dan interaksionisme simbolik ini, mendendangkan
bahwa di balik ruang sosial perbelanjaan tradisional, terdengar isyak tangis
segelintir pelaku sosial ekonomi kerakyatan. Sementara di balik gegap gempita
hipermarket terselubung setumpuk realitas dan hiperealitas yang significant
dengan perilaku konsumtif. Betapa idiologi konsumeristis dengan gilang gemilang
menebarkan “virus penakluk”, sehingga kelas menengah ke atas kian doyan
membelanjakan duitnya. Celakanya, kaum kelas menengah ke bawah pun ikut serta
tergiur untuk mencicipi aneka barang konsumtif itu. Meskipun secara ekonomi,
sesungguhnya mereka belum memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang bernuansa
pecitraan itu.
Pada
gilirannya, hasil konstruksi sosial Super Mall tampak merupakan sebuah bentuk
rasionalitas, namun kemudian menurut Weber (dalam Jhonson, 1985 dan Ritzer
2013) bahwa ikhwal itu membuahkan ketakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the
irrationality of rationality). Karena itulah, ke depan pembangunan pasar tradisional
dan pasar modern harus benar-benar menggunakan pendekatan partisipatif,
sehingga tidak hanya semata-mata berpijak pada keinginan pemerintah dan pemilik
modal yang cenderung tidak manusiawi.
No comments:
Post a Comment