Betapa ironisnya ketika sebuah bangsa dan negara yang kaya raya dengan Sumber Daya Alam (SDA) seperti Indonesia, tetapi terus disibukkan dengan upaya pengembangan Program Penanggulangan Kemiskinan. Tentu saja menyedihkan, karena sebuah bangsa yang melimpah SDA-nya, justru terus mengucurkan aneka ragam bentuk program penanggulangan kemiskinan yang silih berganti ? Ada apa dan mengapa Pemerintah Indonesia hingga Pemerintah Daerah diperhadapkan dengan kendala transformasi sosial ekonomi dari masyarakat tidak berdaya menjadi berdaya, hingga menuju pada cita-cita masyarakat madani yang sejahtera ???
Kontribusi dalam bentuk material sejenis stimulans dana hibah murni, hibah bersyarat sampai pada hibah penjaminan sejenis KUR terus digelontorkan pemerintah. Selain itu, warga komunitas miskin pun telah diberi stimulans dalam bentuk pendampingan dari lembaga informal yang concern dengan upaya pemberdayaan. Namun ternyata, selain warga komunitas miskin masih terus terbelenggu ke dalam “kubangan kemiskinan”, juga terkesan betapa sulitnya keluar dari “lingkaran setan pemiskinan” itu. Tak pelak lagi, proses penguatan kapasitas pranata dan kelembagaan sosial yang digeliatkan oleh aktor formal dan informal sepanjang masa, pun belum tampak membuahkan kecerdasan kreativitas sebagai refleksi dari perubahan pola pikir, sikap dan perilaku serta tumbuhnya jiwa kemandirian bagi kaum yang tidak diuntungkan oleh modernisasi pembangunan nasional dan daerah selama ini. Pada gilirannya, orang-orang miskin kian bertambah kualitasnya, meskipun secara kuantitas cenderung menjadi obyek perdebatan yang terkesan cukup kontroversial.
Buku Resolusi Kemiskinan Berbasis ESQ Power ini, dikedepankan sebagai upaya menumbuhkan political will yang tidak hanya bermaksud untuk menikmati kue pembangunan secara berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat. Akan tetapi, lebih diutamakan untuk menumbuhkan kepekaan serta kepedulian bagi mereka yang diberi amanah untuk menjalankan tugas, peran dan tanggung jawabnya dalam kerangka kecerdasan intelektual, emosional, kreativitas dan spiritual. Betapa tidak, kurangnya Intelligent Quotient, karena faktor ketidakmampuan menyelesaikan permasalahan yang mengemuka, lemahnya Emotional Quotient karena faktor tidak transparans, akomodatif dan konsistensi, serta rendahnya Creativity Quotient karena faktor ketidakmampuan merubah ancaman (threat) menjadi tantangan (challange) hingga menjadi peluang (opportunity). Akhirnya, minimnya Spiritual Quotient karena sang aktor belum sepenuhnya memegang teguh amanah yang harus dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat. Hanya Allah Yang Maha Tahu.
No comments:
Post a Comment