Sep 17, 2018

PRAHARA KEHIDUPAN SOSIAL KAUM AGRARIS (Sebuah Perspektif Fenomenologis)




Gegap gempita pembangunan tidak hanya menggelegar di gelanggang gedung pencakar langit, tetapi juga membahana di tengah gelombang kehidupan sosial ekonomi kaum marjinal. Aneka macam bantuan yang telah digelontorkan oleh Pemerintah Pusat berupa BLT, RASKIN, JAMKESMAS, dana BOS dan PSKS. Tak pelak lagi, program Pemberdayaan Masyarakat dalam bentuk P2KP, NUSSP, Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), P2FM, PLP-BK, PNPM-MP, Pengembangan Daerah Tertinggal, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir, Pembangunan Perumahan Swadaya dan Pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR).Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pun mengalirkan Dana Block Grant sebesar 100 juta kepada seluruh wilayah kelurahan/pedesaan se Sulawesi Tenggara. Demikian pula dua program spektakuler dari Pemerintah Kota Kendari yang bernama Persaudaraan Madani dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), kini mendapat apresiasi dari banyak pihakLebih dari itu, juga warga komunitas miskin Di Kobupaten Konawe Selatan telah diberi stimulans dalam bentuk pendampingan dari lembaga informal yang concern dengan upaya pemberdayaan.                                                                                  
Ikhwal ini berarti tidak ada alasan lagi bagi suatu Pemerintah Daerah, khususnya di wilayah Pemerintahan Sulawesi Tenggara untuk tidak sukses menumbuhkembangkan kehidupan sosial ekonomi warga masyarakatnya. Hal itu telah ditopang oleh beberapa variabel penting atas peningkatan kesejahtraan sosial ekonomi masyarakat. Akan tetapi, ketika kita mencoba menyelinap dan berupaya menelusuri lorong-lorong kehidupan kaum marrjinal di pelosok pedesaan nan jauh di sana, maka pasti kita akan mendengarkan dengan cukup nyaring rintihan tangis dan duka nestapa mereka yang bergumul di tengah gelombang laut, di bukit-bukit bebatuan, di areal persawahan, di bangsal industri percetakan batu merah dan di penggalian kedalaman pertambangan. Betapa menyesakkan rongga dada, karena ternyata pembangunan belum bisa keluar dari perangkap retorika universum simbolisme. Sementara kaum elite sosial yang diamanahi tugas mensejahtrakan rakyatnya, lalulalang mempertontonkan kehidupan mewah nan menggiurkan. Ampuni Hamba-Mu Duhai Tuhan Kami…!!!

Sep 16, 2018

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BINGKAI MULTIKULTURAL Sebuah Bunga Rampai Kehidupan Sosial




Upaya mengentaskan kembali kajian cultural Weberian yang kemudian dilengkapi dengan spiritualitas Khaldunian, maka kajian antologi ini berupaya maksimal merekonstruksi nilai-nilai pendidikan karakter yang tersenandung dalam bingkai Multikultural sebagai ESQ Power. Pertama, sesungguhnya tipologi Manusia Ulil Albab dan Ulil Abshar merupakan tujuan utama berlangsungnya sebuah proses pendidikan. Dalam konteks ini, selain pendidikan itu harus diarahkan kepada upaya pengkaderan yang berorientasi manusia Ulil Albab, juga seyogyanya diarahkan kepada upaya melahirkan manusia-manusia Ulil Abshar.

Kedua, sehubungan dengan itu, kajian yang dielaborasi dari Sirah Perjuangan Nabi Muhammad SAW tampak di dalamnya menggambarkan sebuah paradigma pendidikan Profetik yang berlangsung pada diri seorang anak manusia yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin peradaban masa depan dunia. Dalam konteks ini, adalah sebuah paradigma Pendidikan Karakter berbasis ESQ Power yang dielaborasi dari Ary Ginanjar Agustian. Tulisan tersebut adalah dimaksudkan untuk membumikan aktualisasi pendidikan Enam Rukun Iman, Lima Rukun Islam dan Satu Ihsan, sehingga disebut sebagai paradigma 165. Hasilnya, selain secara transparan menempatkan Tuhan sebagai pusat orbit atau pusat gravitasi kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan spiritual yang built in di dalam tubuh anak cucu adam itu sendiri, juga sebaliknya ke depan, tidak lagi melahirkan fir’aun-fir’aun modern yang membuat bangsa dan negara yang kaya raya SDA ini terpelanting menjadi bangsa dan negara yang under development.

Ketiga, untaian reflektif yang akhirnya menyusul terurai adalah memancar dari beberapa nilai budaya sebagai local wisdom yang menghuni Jazirah Sulawesi Tenggara. Semuanya menandaskan bahwa urgensi pendidikan karakter di tengah masyarakat kontemporer yang memancar dari jendela budaya tak bisa lagi ditawar dan ditanggalkan. Betapa tidak, kini anak manusia tengah berada dalam lingkaran kehidupan sosial yang sangat rentan dan rawan dengan aneka faktor eksternal yang membahayakan, sehingga amat dibutuhkan sebuah paradigma pencerahan alternatif yang strategis dan holistik. Tak pelak lagi, perilaku kleptokrasi dan kleptomania terus menggelegar seiring dengan aneka dekonstruksi sosial dalam konteks degradasi, inflasi moral, simbolistis keagamaan, demo anarkis, tawuran siswa dan pelajar serta aneka bentuk dekadensi moral lainnya yang mendebarkan.


SOSIOLOGI PASAR





Ruang sosial perbelanjaan yang bernama pasar tradisional dan pasar modern mencuat ke permukaan ketika kehidupan anak manusia mulai maju. Dalam konteks ini, ketika mereka menyadari bahwa berbagai macam kebutuhan tidak mungkin dapat terpenuhi kalau tidak membangun jalinan hubungan sosial. Maka ketika itulah individu sebagai warga masyarakat mulai melangsungkan proses saling tukar menukar barang dalam bentuk pertukaran antara singkong dengan ayam, telur dengan ikan dan buah-buahan dengan kelapa, serta berbagai jenis barang lainnya. Beranjat dari itulah, maka bentuk “interaksi barter” tersebut berlanjut ke model interaksi jual beli dan tindakan komunikasi berbasis uangisme dan berorientasi hedonisme.

Kini, telah menjelmah sebuah ruang sosial perbelanjaan berupa ”mega-mall, super-mall dan hiper-mall” dengan aneka pernak-perniknya yang tidak hanya merangsang bangkitnya perilaku konsumeristis. Akan tetapi, juga sukses gemilang menghipnotis pengunjung hingga menggiringnya ke dalam sebuah “kerangkeng fantastis” yang kemudian membuahkan perilaku buruk. Dan menurut Baudrillard (2006) kebiasaan buruk tersebut harus segera diputuskan (breaking the habit). Pasalnya, menurut Piliang (1998) bahwa betapa ruang sosial ekonomi perbelanjaan akan menjelmah menjadi sebuah bentuk realitas semu yang berakibat pada kejahatan, gelandangan, kemiskinan dan sampah.  

Tampaknya, hasil penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dalam konteks ethnografi of communication, ethnometodologik dan interaksionisme simbolik ini, mendendangkan bahwa di balik ruang sosial perbelanjaan tradisional, terdengar isyak tangis segelintir pelaku sosial ekonomi kerakyatan. Sementara di balik gegap gempita hipermarket terselubung setumpuk realitas dan hiperealitas yang significant dengan perilaku konsumtif. Betapa idiologi konsumeristis dengan gilang gemilang menebarkan “virus penakluk”, sehingga kelas menengah ke atas kian doyan membelanjakan duitnya. Celakanya, kaum kelas menengah ke bawah pun ikut serta tergiur untuk mencicipi aneka barang konsumtif itu. Meskipun secara ekonomi, sesungguhnya mereka belum memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang bernuansa pecitraan itu.

Pada gilirannya, hasil konstruksi sosial Super Mall tampak merupakan sebuah bentuk rasionalitas, namun kemudian menurut Weber (dalam Jhonson, 1985 dan Ritzer 2013) bahwa ikhwal itu membuahkan ketakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the irrationality of rationality). Karena itulah, ke depan pembangunan pasar tradisional dan pasar modern harus benar-benar menggunakan pendekatan partisipatif, sehingga tidak hanya semata-mata berpijak pada keinginan pemerintah dan pemilik modal yang cenderung tidak manusiawi.

DINAMIKA SOSIAL PERDESAAN: Sebuah Bunga Rampai Kehidupan



Ketika eksistensi desa dan perdesaan disorot dari empat macam mainstream of thought sepertinya terlihat perbedaan konseptual, namun sesungguhnya menunjukkan makna konseptual yang hampir sama. Pertama, masyarakat desa diibaratkan semacam fosil oleh kaum antropologis sebagai budaya masa lalu yang tertinggal karena mengalami cultural lag dalam prosesevolusi masyarakat. Kedua, eksistensi desa dan perdesaan dalam kerangka dikotomi dasar “tradisional/mekanik” versus “modern/organik” menurut tradisi Durkheim serta desa sebagai sesuatu yang menampati “posisi part society with part culture dalam pandangan Krober. Demikian pula menurut refield yang terkenal dengan istilah part segment.

Ketiga, namun ketika eksistensi desa disorot dari pendekatan Marxian menurut kerangka hubungan kekuasaan (power relations) dalam konteks analisis kelas. Maka masyarakat desa masa kini dianggap sebagai sisa-sisa formasi sosial masa lalu (masyarakat pra-kapitalis”) sebagai kelas yang tereksploitir dalam keseluruhan struktur kekuasaan yang ada. Keempat, akhirnya menurut kaum neo-populis/chayanovian bahwa struktur sosial masyarakat desa ditentukan oleh bekerjanya sistem ekonomi yang khas (a specific type of economy) yang kuncinya terletak pada bekerjanya mekanisme “usaha tani keluarga”.

Keseluruhan mainstream of thought tersebut sesungguhnya hampir menyepakati dan seolah ingin menandaskan bahwa alam pedesaan kita di masa lalu merupakan sebuah perkampungan yang menyatu dengan napas kehidupan warganya. Adalah tak ubahnya sang gadis cantik yang demikian elok dipandang mata, namun menurut teori struktural yang berpangkal pada filsafat materialisme bahwa ketika puteri cantik nan jelita itu mendapat sentuhan ciuman beracun dari sang pangeran tampan, maka seketika itu juga alam pedesaan kita mengalami dinamika sosial dan perubahan budaya dengan berbagai implikasi sosial ekonominya. Betapa kini gejolak deforestase yang berkelindan seiring dengan dekulturisasi despritualisasi dan dehumanisasi beserta aneka bentuk degradasi lainnya, seakan terus membahana ke penjuru bumi persada. Akhirnya, alam perdesaan kita tidak hanya kehilangan satwa serta punahnya keindahan jenis fauna lainnya nan mempesona itu. Akan tetapi, tampaknya warga komunitas perdesaan terasa mulai kehilangan rasa bersatu dengan alam sekitarnya. Padahal alam semesta merupakan bagian integral dari dirinya sendiri, sehingga merusak alam adalah berarti merusak sekunjur tubuhnya. Sungguh menyedihkan, karena hampir semua komponen masyarakat, terutama kaum elite yang diamanahi tugas dan tanggung jawab, seakan tak peduli lagi dengan keselamatan ekosistem dan lingkungan sosial budaya kita.



Reconstruction of Participatory Paradigm Based On ESQ Power: A Strategy of Poverty Over Coming In Kendary City South East Sulawesi



Buku ini merupakan hasil penelitian disertasi Peribadi yang diterbitkan di Lamber Academic Publishing Germany. Secara ringkas, hasil studi kasus menjastifikasi dan melegitimasi bangunan silogisme kebenaran universal yang ditandaskan terdahulu bahwa “pelaku pembangunan yang memiliki kecerdasan intelektual spiritual (inteleksi) berbasis ESQ Power, memiliki ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial dalam melaksanakan tugas, peran dan tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya sebagai aktor jaringan Pronangkis di wilayah Pemerintahan Kota Kendari.
Ketika ditelaah kritisi dari perspektif teori strukturasi serta beberapa konsep kecerdasan, maka proses legitimasi dimaksud adalah mengindikasikan: (1) Kurangnya Intelligent Quotient, karena faktorketidakmampuan aktor dan struktur menyelesaikan permasalahan di bidangnya masing-masing; (2)Lemahnya Emotional Quotient, karena faktor tidak transparansi, akomodatif dan konsistensi; (3)Rendahnya Creativity Quotient, karena faktor ketidakmampuan merubah ancaman (threat) menjadi tantangan (challange) hingga menjadi peluang (opportunity) serta belum berhasil membangkitkan spirit dan selft confidence; dan (4) Minimnya Spiritual Quotient,karena jaringan aktor belum sepenuhnya memegang teguh amanah, tidak konsisten (istiqomah)serta belum dapat melaksanakan tugas, peran dan tanggung jawab berbasis ibadah.

A Strategy of Community Development Based on Prophetic Spirituality

Peribadi, Nasruddin Suyuti, Anwar Hafid, Bahtiar Halu Oleo University Kendari, INDONESIA

              Abstract

Phenomenologic interpretative paradigm which is used in this research is a metaphysical realism approach as a model of deductive phenomonologic philosophy according to Karl Raimun Popper (Muhadjir, 2011). Whereas, case study is the most proper research to be used if the form of the research question is why” something happens (explanation) and the study case is a qualitative research form that enables a dialogue (critical theory) and interaction (constructivism) that can be combined with the expressing of emique perspectives (Yin, 2008). In this context, why has the strategy of community development actuated by the actor of poverty overcoming network under the protection of the Team of Regional Poverty Overcoming Coordination not been able to take place integrally and interdependently? In fact, the Team of Regional Poverty Overcoming Coordination, as a powerful weapon to overcome the poverty, has been provided with Presidential regulation No. 15 in 2010 and regulation of Minister for Internal Affairs No. 42 in 2010. It is unavoidable that the area of Kendari Town government is also supported by Local Regulation No.8 in 2011. In   the  effor of   understanding   how   far  the   implementation  o participative development paradigm as the strategy of community development has been, will be explored through two instruments, namely: indepth interview with informant and skillful validator and Focus Group Discussion (FGD) with indigenous people



Keywords: Community Development,  Prophetic Spirituality


Academic Research International  Vol. 6(3) May 2015