Oct 14, 2022
Jan 22, 2022
Resolusi Pemiskinan dan Kemiskinan
RESOLUSI PEMISKINAN DAN KEMISKINAN:
Sebuah Upaya Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Partisipatif Berbasis ESQ Power
Oleh
PERIBADI
Secara filosofis, orientasi kepada pengembangan diskursus paradigma Profetik adalah bernaung di bawah payungTertium Organum sebagai paradigma intelektual berbasis spiritual dimaksud Ouspensky (2005). Namun tidak berarti mengabaikan sepenuhnya filosofi Organum Aristoteles dan Novum Organum Francis Bacon.
Secara paradigmatik, kajian berbasis ESQ Power berselancar di antara paradigma teori kritik dan paradigma kontruktivisme. Namun lagi-lagi tidak berarti mengabaikan paradigma positivisme dan paradigma post-positivisme.
Secara metodologis, upaya mengembangkan diskursus paradigma Profetik beserta diskursus teori konstruksi sosial Profetik dan konsep kecerdasan Profetik, digunakan pendekatan eklektik melalui metode filsafat fenomenologi deduktif versi Popper, Research Development versi Borg and Gall atau Member Check Denzin dan Studi Kasus Yin.
Secara praktikal, sungguhnya urgensi kajian Tertium Organum dalam konteks realisme metafisik, adalah strategis dan relevan ketika Idiologi pembangunanisme memuncratkan fenomena dekonstruksi, dekulturasi, deforestase, despritualisasi, demoralisasi, dehumanisasi dan aneka inflasi moral lainnya yang menyebabkan bangsa yang kaya SDA ini terpelanting menjadi under-development.
Dalam konteks Pembangunan Pertanian yang berdansa di atas kerangka liberal ala Orba, ternyata di balik quantum jump Revolusi Hijauh, justru menyebabkan terjadinya polarisasi sosial ekonomi, menipisnya homogenitas sosial, melemahnya kelembagaan masyarakat tani serta tersingkirnya kearifan lokal (Amaluddin, 1987; Rachbini, 1990; Trijono, 1995; Baswir, dkk. 2003; Salman, 2012; Sumardjo, 2012; Adisasmita, 2013).
Sementara kini, kian spektakuler lagi, karena telaah skeptisisme dan kritisisme semakin nyaring terdengar ketika “drama pemiskinan” dalam aneka kasus “dana siluman dan rekening gendut” yang kini oknum pelakunya satu persatu mulai tergiring ke ruang persidangan Tipikor. Ironisnya, ayah dan ibu serta anak kemenakan dan menantu, pun ikutserta terkerangkeng sehingga merobohkan benteng terakhir yang bernama Istana Keluarga.
Fenomena, realitas dan hiperealitas tersebut adalah mengindikasikan pentingnya redefenisi dan reformasi serta rekonstruksi paradigmatis. Pasalnya, menurut Suwarsono dan Alvin (1994) serta Hasim dan Remiswal (2009) bahwa paradigma top down merupakan biangkladi malapetaka penyedotan ke atas (trickle-up ef-fect) dan penyedotan produksi (production squeeze). Sungguh luar binasa…?
Akhirnya, Paradigma Pembangunan berbasis intelegensi rasional, intelegensi artifisial dan intelegensi digital membuahkan goncangan moneter pada tanggal 20 Juli 1997. Menurut Chaniago (2012), ikhwal itu merupakan sirine reruntuhan perekonomian Indonesia yang menggelembung sejak tahun 1988, kepada situasi turbulensi ekonomi, sosial dan politik, hingga memuncak pada bulan Mei 1998.
Secara akademik, studi pembangunan dengan berbagai implikasinya telah didominasi oleh aliran modernisasi, teori dependensi dan teori sistem dunia dengan segala kelebihan dan kekurangannya (Suwarsono dan Alvin 1994; Budiman, 1995; Clements, 1999; Fakih, 2006; Chaniago, 2012).
Akan tetapi, ketika Korten (1993) menelorkan teori people centered development yang pro pada local knowledge. Maka ketika itulah, bermunculan minat penelitian untuk merumuskan perencanaan pembangunan berbasis kultural dalam perspektif partisipatif.
Beberapa kajian yang berinisiatif lokal selama ini, belum ada satu pun yang secara murni terfokus kepada urgensi basis spritualitas Profetik untuk mendesain sebuah paradigma pembangunan. Sementara Paradigma Profetik merupakan kajian aktual dan problematik yang cukup urgent dikedepankan di tengah fenomena banditisme, atau mungkin juga kleptomania dan kleptokrasi…?
Ikhwal itulah yang menjadi driving force penulis untuk mencoba mengembangkan sebuah diskursus paradigma pembangunan partisipatif berbasis spritualitas Profetik yang dapat digunakan untuk mengantisispasi proses pemiskinan ke depan. Adalah sebuah Rekonstruksi Pembangunan Partisipatif yang didesain melalui upaya fungsionalisasi value power Kulturalis Weberian dan Transendental Ibnu Khaldun untuk membangkitkan great people sebagai aktor pembangunan yang amanah dalam melaksanakan tugas, peran dan tanggung jawabnya (Kurasawa, 1993; Khaldun, 2005, Malik, 2010; Utoyo, 2011; Weber 2012).
Dalam konteks ini, adalah aktor jaringan Pronangkis (TKPKD dan PNPM MP) Kota Kendari yang selama ini berjibaku mengimplementasikan Perpres No. 15 Tahun 2010 dan Permendagri No. 42 Tahun 2010 serta Perda Kota Kendari No. 8 Tahun 2011.
Fokus dan Ruang Lingkup masalah
Pertama, strategi TKPKD bersama Tim Leader PNPM Mandiri Perkotaan di wilayah Pemerintahan Kota Kendari dalam menjalankan Pronangkis. Kedua, formulasi ideal paradigma pembangunan yang mampu menggenjot god spot dan par exellence dalam mengembangkan strategi community development berbasis ESQ Power ?
Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan kecerdasan inteleksi dan kecerdasan kreativitas awak TKPKD dan aktivis PNPM MP dalam mengimplementasikan payung hukum Pronangkis
di Kota Kendari.
Mengembangkan formulasi ideal paradigma pemberdayaan dengan mengintegrasikan siklus partisipatif dan siklus ESQ Power.
Kontribusi Penelitian
Konstribusi metodologis dan teoritis yang berintikan pada realisme metafisik sebagai sintetis ontologis dan epistemologis.
Kontribusi paradigmatik berbasis Profetik dalam rangka mengembangkan sebuah strategi pemberdayaan kaum marginal.
STUDI BIBLIOGRAFI
Upaya menumbuhkembangkan kajian rekonstruktif atas paradigma penanggulangan kemiskinan ini, penulis melakukan pendekatan “maxing fashions” yang telah dikembangkan oleh Muhadjir (2011) untuk menghindari kontroversi konseptual filosofis dari beragam pandangan ahli atas makna “mixing theories”.
The cultural Weberian dan Transendental Ibnu Khaldun (Weber, 1930; 2012; dan Khaldun 2005)
Konsep Integration of Symbol System Geertz (1983; 1992).
Representative Collective Durkheim (1954)
Teologi Pembebasan: sintetis Kritik dan transformasi sosial (Syariati, 1985; Fakih, 2006)
Teori Diskursus Kemiskinan dan Teori PCD (Korten, 1993; Agusta, 2012)
Perspektif Multiparadigma atas Keberadaan Kaum Agraris (Salman, 2012)
Teori dan Konsep-Konsep Kecerdasan
Meskipun teori dan konsep asas keagamaan dari para ahli tampak saling berbeda dalam segi pendekatan, namun secara esensial mempunyai kesamaan subtansial bahwa agama membimbing aktor untuk memecahkan persoalan, mengatasi ketidakadilan, mencegah penindasan dan mengantisipasi pemiskinan.
Ikhwal itulah diharapkan oleh Ali Syari’ati (1985), Islam harus dipahami sebagai pandangan yang komprehensif dan diposisikan sebagai “agama pembebasan dari penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan. Karena semangat itulah yang mendorong untuk membangun sebuah konstruksi peradaban baru yang anti Machiavellisme.
Bukan agama seperti dimaksud sosiolog dan antropolog sebagai mistisisme belaka. Apalagi hanya menjadikan agama sebagai instrumentalisasi keberagamaan seperti dimaksud Weber dalam salah satu teori tindakan sosialnya, demi menggapai status position. Tak pelak lagi, kalau hanya memperalat agama dimaksud Tago (2014) dalam disertasinya.
Menurut Fakih (2006), memang teologi pembebasan yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat di hampir semua agama (katholik, Islam maupun Budhisme) justru menunjukkan watak yang sangat berbeda dengan sesuatu yang umumnya dikenal sebagai teologi.
Dalam perspektif teori kritik, menurut penilaian Habermas (dalam Safi’i, 2007) bahwa terjadinya reifikasi dalam perilaku demokrasi adalah disebabkan oleh rasionalitas instrumental yang hanya mengukur perkembangan sebuah negara berdasarkan sirkulasi uang dan kepentingan kekuasaan sebagai komoditi utama kapitalis.
Dalam perspektif paradigma Struktural, menurut Yeremias (1995) bahwa proses pemiskinan akibat kurang tersedianya kesempatan (lack of opportunity) untuk maju serta proses eksploitasi dari kaum kapitalis.
Sementara dalam teori hegemoni Gramsci (2003) ditandaskan bahwa selain pengendalian gagasan sebagai sumber utama kekuasaan kapitalis, maka teori kritikal juga memusatkan perhatian pada instrumen dominasi mental sebagai kunci sukses kapitalisme.
Penyimpangan dari aturan, menurut Yudha (2004) dan juga Habermas hanya pantas berlangsung selama tahap konvensional. Karena pada tahap ini didasarkan pada pertimbangan kenikmatan fisikal, kemakmuran diri sendiri dan bertaqlik buta kepada Undang-Undang. Atau juga disebut tidak Well Organized Principle dalam perspektif teori kecerdasan Profetik.
Sementara itu, atraksi dan akrobat politik serta perilaku penyimpangan lainnya, dalam pandangan analogi drama dan teater Goffman yang digelar sebagai seorang “dramaturgist”. Diklaim sebagai penampilan yang bersifat kebetulan, bercanda, penipuan, kekeliruan dan atau sebagai suatu sandiwara belaka (Johnson, 1986; Poloma, 1998; Suyanto dan Amal, 2010).
Berdasarkan teori dan konsep-konsep tersebut, maka sebetulnya kemiskinan itu disebabkan oleh: (1) persepsi agama yang fatalis; (2) faktor oknum yang cerdas memperalat agama; (3) dominasi rasional instrumental; (4) tersedianya peluang kolaborasi untuk mengembangkan proses eksploitasi; (5) pengendalian gagasan dan dominasi mental masyarakat; (6) pembiaran kepada payung hukum dan pragmatisme; (7) belum Well Organized Principle dan pemerintah lebih familiar berselancar di gelanggang politik alias salah urus rakyatnya.
TEORI KECERDASAN
Sesungguhnya, para ahli mengakui bahwa lebih jauh dari neo-cortex, ada otak manusia pada lapisan tengah disebut lymbic system yang mampu mengendalikan emosi dan perasaan manusia. Oleh Daniel Goleman sebagai pakar psikolog Amerika secara monumental menjungkir balik kekuatan Intelligence Quotient (IQ). Karena hasil penyelidikannya membuktikan bahwa kesuksesan seseorang itu sangat ditentukan oleh ketinggian kecerdasan emosinya (Alibasyah, 2003; Hariwijaya, 2008).
Penemuan terkini atas kekuatan Emotional Quotient kian diperjelas oleh Dana Zohar dan Ian Marshall dari Havard University dan Oxford University (Agustian, 2003). Lebih jauh dari itu, Howard Gardner dalam teori multiple intelligences menandaskan bahwa setiap orang memiliki kapasitas sembilan jenis kecerdasan yang dapat dikembangkan secara memadai (Ula, 2013).
Kepemimpinan Profetik yang memiliki dasar penjelasan sosiologis dalam tesis Weber dan Khaldun, jauh sebelumnya telah terkonstruksi dalam Spiritual PraProfetik (diayatimpiatukan, mengembala, berdagang dan berguahira) serta konstruksi Saintifikasi Profetik (Al Alaq, Al Qalam, Al Muzammil, Al Mudatzir dan Alfatiha) (Wibowo, 2000).
Pra Kepemimpinan Profetik adalah dimaksudkan untuk pembangunan mental (mental building) melalui program ber-Guahira sebagai puncak dari upaya Zero Mind process untuk menanggalkan pelbagai belengguh perbudakan "ilah“ serta emosi yang menutup bingkai "God Spot“ seperti prasangka negatif, prinsip hidup, pengalaman hidup, vested interes, sudut pandang, perbandingan dan pengaruh referensi (Agustian, 2000).
Kepemimpinan Profetik adalah untuk menggapai ketangguhan pribadi dan sosial melalui program Mission Statemen sebagai legitimasi Zero Main Process untuk menguburkan aneka isme dan idiologi lainnya. Akhirnya Ihsan merupakan puncak total action dalam memperhambakan diri kepada Ilahi Rabbul Alamin dan menjadi driving force utama dalam berbagai aktivitas, sehingga terhindar dari segala perilaku ABS, puji-pujian dan hipokrit.
Menurut Hawari (2009), indikator kecerdasan inteleksi: (1) IQ: ketidakmampuan aktor dan struktur menyelesaikan permasalahan; (2) EQ, tidak transparansi, tidak akomodatif dan tidak konsisten; (3) CQ, ketidakmampuan merubah ancaman (threat) menjadi tantangan (challange) hingga menjadi peluang (opportunity) serta belum berhasil membangkitkan spirit dan selft confidence; dan (4) SQ, belum sepenuhnya memegang teguh amanah dan tidak konsisten (istiqomah).
Refleksi dari berbagai teori dan konsep kecerdasan tersebut, maka menurut Enstein bahwa kreativitas itu muncul di titik pusat gravitasi kesadaran emosional dan proses kreasi justru berada di luar jangkauan logika. Demikian pula Gooedel sang matematikus ulung menemukan suatu teorema yang luar biasa, bahwa kebenaran mate-matika berada di luar mate-matika yang kemudian teorema ini lebih lanjut dipertegas oleh Weisskopf sebagai ahli fisika nuklir bahwa kebenaran sains berada di luar sains (Nataatmadja, 1982).
PENDEKATAN EKLETIK
Pertama, pendekatan kualitatif dalam konteks paradigma “Interpretif Phenomenologi deduktif” ala Karl Raimun Popper (Muhadjir, 2011). Ikhwal ini dimaksudkan untuk memprakondisikan sebuah dikursus teoritis dan konseptual yang berpijak dari kebenaran moral universal melalui pengujian palsifikasi.
Kedua, desain studi kasus untuk mengembangkan dialog (teori kritis) dan interaksi (konstruktivisme) atas berbagai kasus dalam pelaksanaan Pronangkis di wilayah Pemerintahan Kota Kendari.
Ketiga, pendekatan research and development dan prosedur “member check” dalam pandangan Denzin (2009), adalah dimaksudkan untuk mendesain sebuah formulasi ideal paradigma penanggulangan pemiskinan. Namun agar hasil desain paradigmatik tidak mengalami bencana “malkkonstruksi”, maka perlu mendapat validitas interpretif dari key informan yang ahli dibidangnya sebagaimana dimaksud Altheide dan Johnson (2009).
PROSES PENGUMPULAN DATA
Adalah field research yang berintikan pada pendekatan participatory development approach melalui PAR, FGD, OP dan indepth interview. Dalam proses ini, dikembangkan validasi data melalui “teknik trianggulasi data” dari beragam sumber data, “trianggulasi investigator” dari beragam analisis ilmuwan, dan “triangulasi teori” dari beberapa telaah kritis serta “triangulasi metodologis” dalam kerangka mixing methodes (Patton, 1980; Tashakkori dan Teddlie, 2003 ).
ANALISIS DATA
Analisis tentang kebenaran probabilistik deduktif atas kebenaran moral metafisik, merupakan analisis fisafat phenomenologi dengan menggunakan data interpretif, analisis interpretif, validitas interpretif dan kesimpulan interpretif yang berujung pada uraian interpretif fenomenologik.
TEMUAN SILOGISME KEBENARAN UNIVERSAL
Pertama, Prof. Masihu mengembangkan ekonomi maritimnya dari An Nahl ayat 14 : “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur” (Wawancara, 10 Desember 2014).
Kedua, Prof. Kahar Kasim, guru besar Untad Palu mengelaborasi surah An Nahl ayat 10 untuk menggemukkan ternak : “Dia-lah, yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu”.
Namun untuk mengembangkan habitat perternakan/ pengobatan, Prof. Kahar mendevelop ayat 68: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia” (Wawancara di Kendari, 17 Pebruari 2015).
TEMUAN STUDI KASUS
Pertama, secara kuantitatif harus diakui bahwa Pemerintah Kota Kendari sukses menurunkan angka kemiskinan yang kini tersisa sekitar ± 6 persen (TKPKD, 2015). Namun amat disayangkan, karena menurut Korkot PNPM MP Kendari (2015) masih sebanyak 25 persen orang miskin di Kota Kendari (Tabel 8 hal 127).
Mengakui keberhasilan secara kuantitatif atas turunnya angka kemiskinan, maka menurut Agusta (2012), sesungguhnya secara tidak langsung mengabaikan potret ketimpangan sosial ekonomi. Sementara, menurut Prof Kamaluddin bahwa kasus kesenjangan sosial ekonomi antara elite birokrat dan politik dengan rakyat di Sultra, tampak demikian menganga lebar (2014).
Kedua, kasus fenomenal miskomunikasi antara awak-awak TKPKD dengan konsultan PNPM MP Kota Kendari tentang DDUB dalam konteks Pronangkis.
Ketiga, perilaku peternak di Kota Kendari yang selalu menyembelih sapi betina, sehingga kian mengurangi populasi ternak. Hal ini memerlukan kepedulian Pemerintah Kota Kendari, karena selama kurun waktu tahun 2014 ditemukan sebanyak 57% dalam setiap hari kasus penjualan sapi betina yang sedang bunting dan tidak bunting seperti terlihat dalam tabel 12 (lihat hal 151)
Keempat, kasus disfungsionalisasi TKPKD dan KBP yang menyebabkan program penanggulangan pemiskinan dan kemiskinan di Kota Kendari, tidak berlangsung secara integral dan interdependen.
Kelima, kasus degradasi ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial Tim Leader PNPM MP Kota Kendari, sehingga siklus penanggulangan kemiskinan mulai tampil formalistis.
Keenam, keengganan Pemerintah Kota Kendari mengembangkan strategi penguatan kapasitas BKM yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Kasus proyek yang sifatnya penunjukan langsung, diberikan kepada kelompok dadakan yang berandil pada pesta dekorasi pemenangan politik (strategi security fund dan patron-klien)
Ketujuh, sense of responsibility awak-awak TKPKD Kota Kendari terhadap Pronangkis, tampak nyata belum menunjukkan political will penggunaan uang rakyat yang pro poor, pro people dan pro jobs.
Tabel 14 (211) dan 15 (212) membuktikan syahwat politik Pemerintah Kota Kendari untuk menggunakan uang rakyat lebih dominan pada belanja aparatur dan kepegawaian, mulai dari tahun 2008 s/d Tahun 2014. Tingkat perbelanjaan pun terus melejit tanpa ampun
RELEVANSI KONSEP TEORITIK
Pertama, implementasi paradigma pembangunan partisipatif dalam proses penanggulangan kemiskinan dan praktek demokrasi deliberatif cenderung contra-produktive. Namun hal itu lebih dominan pada ranah aksiologisnya yang signifikan dengan kurangnya ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial serta sense of responsibility
Kedua, disorot dari paradigma fakta sosial dimaksud Ritzer dan paradigma struktural fungsional dimaksud Ilyas Ba-Yunus serta paradigma instrumental dimaksud Habermas, maka struktur kelembagaan TKPKD dengan Koordinator Kota PNPM Mandiri Perkotaan sebagai jaringan aktor penanggulangan pemiskinan dan kemiskinan di Kota Kendari, tampak nyata belum berlangsung secara struktural fungsional.
Ketiga, dari perspektif paradigma Struktural, maka menurut Yeremias (1995) minimalisasi perhatian pemerintah yang ditandai dengan disfungsionalisasi TKPKD dan KBP merupakan fakta empirik yang sulit terbantahkan bahwa telah terjadi proses pemiskinan.
Keempat, pembiaran atas payung hukum adalah tidak hanya patut diklaim sebagai “aparat konvensional” seperti dimaksud Habermas dan Yudha karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan paradigma post modernis. Akan tetapi, juga dapat diklaim sebagai aparat yang cenderung melanggar payung hukum. Dalam perpektif teori kecerdasan adalah berarti pejabat belum memiliki potensi pengendalian Well Organized Principle sebagaimana dimaksudkan Agustian.
Kasus pembiaran terhadap Perda No 8 Tahun 2011, yakni: Pasal 27 bahwa pembiayaan kegiatan penaggulangan kemiskinan bersumber dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, masyarakat, dunia usaha, dan/atau sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat (hal 188). Pasal 6 ayat (1) yakni pendataan warga miskin dilakukan melalui survei berdasarkan kriteria yang mengacu pada hak–hak dasar warga miskin (hal 189).
Kelima, lanjut perspektif Teori Kecerdasan bahwa disfungsionalisasi TKPKD sebagai panglima perang dalam mengintegrasikan berbagai program penanggulangan kemiskinan, berarti kecerdasan inteleksi belum melekat (built in) dalam dirinya untuk menempati sebuah status position.
Berdasakan hasil studi kasus sebagai premis minor adalah menjastifikasi atau melegitimasi bangunan silogisme kebenaran universal sebagai premis mayor yang ditandaskan terdahulu bahwa “pelaku pembangunan yang memiliki kecerdasan inteleksi berbasis ESQ Power, memiliki ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial dalam melaksanakan tugas, peran dan tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya.
IMPLIKASI TEORITIS
Temuan penelitian yang telah dideskripsikan secara kritis reflektif melalui analisis falsifikasi dalam perspektif interpretif fenomenologik tersebut. Maka tipologi kecerdasan para aktor pembangunan, terutama aktor penanggulangan kemiskinan di Kota Kendari dapat direfleksikan dalam berbagai perspektif teoritis berikut ini.
Pertama, mengacu dari perspektif teori tindakan sosial Weber, kaum elite tampak menunjukkan kecerdasan instrumentalisasi keberagamaan untuk menggapai status position dan jenis kepentingan lainnya. Oleh Tago (2014) disebutnya sebagai “kecerdasan memperalat agama”.
Kedua, menyorot dari sudut pandang teori kritis Habermas, kaum elite memiliki kecerdasan pragmatis dengan cara mengalihkan strategi rasionalitas ideal menjadi rasionalitas material, sehingga selain sukses gemilang mempertahankan status quo, juga berhasil membekukan kesadaran kritis (reifikasi) warga masyarakat.
Ketiga, mengintip dari lensa teori dramaturgis, kaum elite memiliki kecerdasan bersandiwara dalam bentuk akrobat politik dengan memanipulasi aneka bentuk rasionalitas dimaksud Weber, sehingga tindakan individu dan tindakan sosialnya bersifat kebetulan, bercanda, dan penipuan yang memukau.
Keempat, berpijak dari teori hegemoni Gramsci, kaum elite memiliki kecerdasan mendominasi dan menghegemoni, sehingga tidak hanya membuat masyarakat menerima aspirasi atas (top down) dan dominasi eksekutif dan legislatif. Akan tetapi, rakyat juga secara aktif menginginkan aspirasi statu quo tersebut.
Kelima, akhirnya ketika ditelaah kritisi dari filsafat Ali Shariaty (1985), maka kaum elite memiliki kecerdasan strategi berkolaborasi dengan menunjukkan personifikasi perilaku Tritunggal (Firaun, Qarun dan Bal’am) dan Dwitunggal (Abu Lahab dan Abu Jahal) sebagai bagian integral dari komunitas Qabil. Ikhwal ini terkesan ekstrim, tetapi peristiwa kehidupan anak manusia, sesungguhnya merupakan pengulangan (siklus) dalam konteks waktu, tempat dan media yang berbeda. Namun substansinya sama.
TEMUAN RESEARCH AND DEVELOPMENT
Paradigma Al Alaq merupakan strategi pendidikan untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat gravitasi kehidupan, sehingga kelak memiliki prinsip yang tak tergoyahkan bahwa “Allah is my everthing in life university, dan Allah always in my heart serta Allah watching us all the time.
Dalam perspektif ini, menurut Tasmara (2006) bahwa manusia yang hatinya bersemayam cinta dan membuncah kepada Allah, maka akan merasakan bahwa dirinya adalah alat belaka dari iradah Ilahiah (the will of God).
Prinsip ini dikandung maksud untuk menomorsatukan amanah demi memperhambakan diri kepada Tuhan. Ketika hal itu tidak dihayati dan tidak diamalkan, maka pantaslah jika mengemuka beberapa kasus seperti: (1) fenomena miskomunikasi antara TKPKD dengan konsultan PNPM MP;(2) disfungsionalisasi TKPKD dan KBP; (3) degradasi ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial Tim Leader PNPM MP; (4) keengganan Pemerintah Kota Kendari untuk memberikan proyek yang sifatnya penunjukan langsung kepada BKM; (5) syahwat politik penggunaan uang rakyat yang tidak pro poor; (6) ketimpangan data kemiskinan antar lembaga; dan (7) pembiaran atas pasal dan ayat Pronangkis.
Hal itulah yang tertuang dalam Format Ideal Rekonstruksi Paradigmatis. Mulai dari bagan 8 hal 215; Bagan 9 hal 218; Bagan 10 hal 226; Bagan 11 hal 232; Bagan 12 hal 235 dan Bagan 13 hal 250. Formulasi tersebut dirakit dari hasil kajian empirik atas Program penanggulangan (158 - 204) sebagai Resolusi Pemiskinan dan Kemiskinan.
Pada lingkaran terdalam terkandung sebuah konstruksi sosial PraProfetik dan Profetik yang mengarah kepada nilai Ikhsan sebagai total action. Lingkaran kedua adalah 5 siklus Rukun Islam untuk ketangguhaan sosial.
Lingkaran ketiga adalah 6 siklus Rukun Iman untuk ketangguhan pribadi dan lingkaran keempat adalah siklus pembangunan partisipatif. Paradigma ini menawarkan langkah strategis agar sebelum mengarungi siklus penanggulangan kemiskinan, terlebih dahulu menyilami konstruksi Profetik
Urgensi dan substansi kajian “Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Partisipatif Berbasis ESQ Power” mendapat respon positif dari berbagai pihak dengan menandaskan bahwa memang paradigma pembangunan partisipatif telah mengandung nilai-nilai universal, tetapi menjadi sempurnah ketika diinjeksi dengan nutrisi Spritualitas Profetik untuk mengeliminir aneka perilaku banditisme.
Implementasinya:
Zero Mind Process dan refleksi pemikiran, ketangguhan pribadi dan pemetaan swadaya, ketangguhan sosial dan program penguatan kelembagaan, kemampuan secara total action adalah berarti telah memiliki kemampuan membangun strategi kolaborasi dalam rangka menyusun PJM Pronangkis.
Pada akhirnya, aktor jaringan penanggulangan kemiskinan yang telah memiliki segala jenis kemampuan dalam konteks kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual serta kecerdasan kreativitas lainnya, pasti mampu melangkah lebih jauh untuk menyusun strategi collaboration yang sinergik (Hajji)
Hingga sampai pada tahapan menjalin hubungan sinergisitas dengan lembaga sosial lainnya, terutama membangun program chanaling dengan SKPD di tingkat birokrasi Pemerintahan Kota Kendari.
DISKURSUS TEORI KONSTRUKSI SOSIAL PROFETIK
Jika fenomena budaya saja bisa menjadi sumber konstruksi dan rekonstruksi dimaksud Weber, maka sudah pasti perjalanan spritualitas Profetik merupakan sumber pemikiran yang tidak bisa tertandingi dan apalagi harus diragukan oleh kaum ilmuwan Muslim itu sendiri.
Ontologi perjalanan anak manusia yang demikian sakral seperti dialami Muhammad pada kurun waktu sebelum kenabian dapat dikemas menjadi sebuah diskursus teoritis yang berorientasi pada epistemologi pembentukan ketangguhan pribadi.
Ontologi spiritual pada masa kenabian dapat dikembangkan menjadi sebuah diskursus teoritis yang berorientasi pada epistemologi pembentukan ketangguhan sosial dengan mengembangkan berbagai konsep Profetik.